MEMANG enak jadi presiden. Baru beberapa hari mencurahkan isi hati soal gajinya yang tidak naik-naik, oleh Menteri Keuangan langsung ditindaklanjuti dengan menyusun usulan kenaikan gaji. Tidak tanggung-tanggung, 8000 pejabat negara lainnya kejatuhan untung karena diusulkan juga untuk menerima kenaikan gaji. Sungguh kontras dengan nasib para ibu rumah tangga kelas menengah ke bawah. Siapakah yang peduli dengan keluhannya akan uang belanja rumah tangga yang tak cukup karena semua harga sembako naik?
Coba simak harga sembako di Jambi belakangan ini. Semakin gila saja. Cabe Rp80 ribu/kg, beras Rp10 ribu/kg, gula pasir 12 ribu/kg, minyak goreng Rp11 ribu/kg serta kentang dan kol menembus harga Rp 5 ribu/kg. Untung saja ongkos angkot tidak ikut naik sehingga masih ada sisa uang recehan di dompet mereka.
Banyak diantara ibu-ibu tersebut sudah mengkomunikasikan masalah kenaikan harga ini kepada suami masing-masing. Sebagian direspon positif; uang belanja hariannya ditambah. Tapi diantara mereka banyak yang dicuekin; karena suami tak peduli atau memang tidak ada lagi sumber pendapatan yang bisa dibagi.
Untungnya ibu rumah tangga di Indonesia ini tidak secengeng pejabat yang keenakan dimanjakan oleh negara. Mengutip sebuah iklan rokok yang kurang lebih berbunyi begini; dilarang keras cengeng, walau duit tinggal seceng, ibu rumah tangga selalu ada akal untuk menyiasati kesulitan, serta bekal kesabaran tanpa tepi.
Kiat pertama para ibu biasanya dengan mengurangi kualitas barang yang dibeli. Masih belum cukup juga, diikuti dengan mengurangi jumlahnya, misalnya dari beli sekilo cabe menjadi setengah kilo saja dan gilingnya diirit-irit. Sementara kegiatan shopping baju, tas dan barang-barang tertier lainnya dipending dulu hingga ekonomi kembali stabil.
Bila duit belanja masih kurang juga, maka demi kesejahteraan anak dan suami, banyak ibu rumah tangga rela menguras tabungan di bank atau menggadaikan gelang, cincin dan perhiasan berharga lainnya untuk menutupi ketekoran.
Untunglah dampak buruk dari kenaikan harga tersebut baru menimbulkan efek lesu dan semakin pesimis dengan kinerja pemerintahan sekarang. Dampak yang cukup mengkhawatirkan seperti sering diungkapkan para pengamat/ahli masalah sosial kemasyarakatan yaitu meningkatnya angka perceraian, bunuh diri dan kriminalitas, kelihatannya belum menonjol. Setidaknya media massa tidak melaporkan peningkatan kasus-kasus tersebut.
Sebagai sebuah negeri yang masyarakatnya dikenal cukup relijius, kesulitan ekonomi nampaknya bisa diatasi oleh warga Jambi dengan baik. Kearifan seperti itulah yang seharusnya kita tumbuhkan dan pelihara. Cukup relevan rasanya bila pada masa sulit ini kita kembali membaca dan merenungi kutipan puisi Omar Khayyam berikut ini;
Apakah kemiskinan yang membawa ku kepada mu?
Tidak ada yang miskin, asal ia pandai berkeinginan sederhana.
Rasa pahit dari kesulitan ekonomi ini dapat ditawarkan atau dikurangi kecutnya dengan kembali kepada gaya hidup yang lebih sederhana. Tidak perlu mengadu ke siapa-siapa. Mudah-mudahan kita tak akan jatuh miskin, atau jadi seorang peminta-minta karena krisis ekonomi ini.
Seharusnya presiden dan pejabat negara lainnya mau belajar dari filosofi hidup para ibu rumah tangga ini.