PERJALANAN
ke salah satu dusun yang dihuni Suku Anak Dalam (SAD) di Senami, Desa Jebak
Kecamatan Muara Tembesi tak terlalu susah. Dari Kota Jambi, mobil APV yang
membawa kami hanya membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam untuk mencapai dusun yang
berada di teritori Kabupaten Batanghari tersebut.
Yang membuat kami
lelah, tak lain melihat kehidupan suku asli ini. Melewati jalan tanah dan
barisan rumah mereka, kami seperti berjalan memasuki abad yang lalu.
Perasaan itu muncul
begitu saja. Rumah SAD seharusnya dikelaskan sebagai rumah keluarga “bawah pra
sejahtera”. Hanya berdinding kayu, berlantai tanah atau cor semen kasar dan atap yang tak sepenuhnya bisa
melindungi dari panas dan hujan.
“Rumah kami basah
kalau hujan,” kata Saini, 74 tahun, tentang rumah yang katanya dibangun oleh
Dinas Sosial Provinsi Jambi tahun 1999 lalu. Bersama istrinya, bekas kepala
dusun ini melewati hari tuanya di rumah panggung tersebut. Tak ada kamar di
rumah itu, seonggok kasur tua tampak ditumpuk di pojok ruangan.
Selain rumah yang
sangat sederhana, kebersihan juga masih jauh dari kehidupan suku ini. Beberapa
anak yang ditemui, belepotan ingus dan tanah, tak beralas kaki dan mengenakan baju
kotor. Anjing menjadi teman bermain anak-anak tersebut, memegang dan menggendongnya
dengan akrab. Hal yang tak biasa dilakukan oleh anak-anak dari keluarga muslim.
“Meskipun di KTP-nya
muslim, tapi pengetahuan Islam mereka dangkal. Puasa dan shalat…belum bisa,
“ucap Kepala Dusun Senami, Rosmiyati.
Bukannya tak ada usaha dirinya dan pemerintah untuk meningkatkan
kehidupan religius suku asli ini, tapi diakui memang sangat sulit.
“Butuh kesabaran
yang tanpa batas. Tak bisa mengharapkan hasil cepat,” ucap wanita keturunan
Serang Banten ini. Bersama suaminya yang mengelola satu-satunya masjid di
kawasan tersebut, Rosmiyati tak berhenti menyeru SAD untuk menjadi muslim yang
baik.
Agaknya sangat sulit
untuk meningkatkan kualitas hidup suku rimba ini. Formula yang diterapkan oleh
pemerintah masih jauh dari harapan. Upaya yang sukarela dilakukan kelompok
masyarakat dan mahasiswa, juga belum berhasil menyentuh hati Orang Rimba.
SAD memang tak lagi
tinggal di rimba. Mereka bahkan tak lagi hidup dengan mengandalkan hasil hutan
seperti damar, jernang atau rotan. SAD sekarang tercabut dari akar kehidupan
rimbanya, namun sebagai orang modern, mereka pun tidak bertransformasi dengan
baik.
Indikasinya dapat
dilihat dari tingkat pendidikan mereka. Anak-anak SAD di sini berpendidikan sebatas
sekolah dasar. Bahkan banyak yang hanya bersekolah satu atau dua tahun saja.
“Sekolah jauh, anak
saya capek,” jelas Musman. Ayah empat anak kelahiran 1970 itu tak merasa
terganggu dengan keterbatasan pendidikan anak-anaknya. Tiga dari empat anaknya
hanya tamat SD.
Sekolah dasar memang
cukup jauh kalau ditempuh berjalan kaki. Namun dengan banyaknya SAD yang
memiliki sepeda motor, alasan jauh tersebut kurang dapat diterima. Terkesan
bahwa kebanyakan kepala keluarga SAD tak peduli dengan pendidikan anak-anaknya.
Contohnya saja Musman,
satu dari sedikit keluarga SAD yang tergolong mampu di dusun tersebut. Dia yang
memiliki kebun karet cukup luas dan berpenghasilan tambahan sebagai pengumpul
madu di kawasan perkebunan akasia PT. WKS, belum menganggap pendidikan penting.
Kemodrenan di rumahnya hanya ditandai dengan satu unit televisi plus decorder
tivi digital.
Demikian juga dengan
para perempuan muda SAD. Kebanyakan mereka belum termotivasi untuk meningkatkan
keterampilan. Waktu mereka dihabiskan untuk duduk bercengkerama. Kegiatan pengajian atau pelatihan untuk
meningkatkan ekonomi keluarga, belum menarik hati mereka. Bahkan kebiasaan
mengayam yang dulunya sangat akrab dengan kehidupan wanita SAD, telah
ditinggalkan.
Melihat kondisi itu,
akankah SAD bisa bertransformasi menjadi masyarakat modern sementara generasi
mudanya tak berpendidikan dan berketerampilan cukup?(****)