AKU
semakin mirip Mom. Tak ada yang mengatakan itu, aku hanya merasakannya. Ketika
tercium aroma bedak dari tubuhku, segar dan selembut bayi, aku ingat sering
menciuminya dari tubuh Mom. Dia selalu bersih. Dia tidak tahan untuk tidak
mandi segera setelah keringat menyapu tubuhnya. Mom suka beli kosmetik yang
wangi, dan murah, karena sepanjang hidupnya dia tak pernah berlimpah uang.
Aku
juga sesensitif Mom. Walau tak akan ada yang percaya karena aku tampak selalu
berbinar-binar dan antusias. Aku sedih dan sering menyimpannya untuk diriku
sendiri. Seperti Mom juga yang selalu tertawa dan ramah di acara arisan kampung
kami. Mom akan pergi ke lantai dua rumah kami, merawat bunga-bunga di pot yang
dicintainya, atau ke dapur membersihkan kulkas dan berusaha mengabaikan Pa yang
barusan berkata keras kepadanya dan tidak peduli pada kecemasan-kecemasannya.
Mom
seperti aku kini, yang kecewa karena tak bisa berbagi kesulitan dengan Dia yang
menikahiku. Dia menganggapku bisa mengatasinya, meski suaraku bergetar
mengisahkan kesulitanku. Orang berkata hubungan dalam perkawinan akan berubah
menjadi pertemanan seiring bertambahnya waktu. Hubungan kami seperti itu. Dia
seperti teman yang hanya bisa berdoa dan berharap aku akan baik-baik saja,
melewati kesulitan dengan ketabahan. Aku mendamba lebih dari itu. Aku ingin Dia
memelukku dan meyakinkanku bahwa kami akan berjuang dan melewatinya
bersama-sama. Bukan hanya memintaku sabar dan ikhlas. Dia TAK MENGERTI dan aku
benci memiliki suami yang menganggapku seperti teman. Apa gunanya bila aku pun
bisa punya teman, di luar rumahku, mungkin bahkan lebih lembut dan baik hati
dari pada Dia.
Aku
mengancam? Bukan itu. Aku hanya takut kami tak bisa lagi saling memahami
kesedihan masing-masing - kesedihan itu datang lebih banyak dari kegembiraan belakangan
ini-. Kami akan bertemu banyak pria dan wanita, satu diantaranya mungkin akan
menawarkan pertolongan yang aku butuhkan saat ini.
Seperti
mom, hubunganku pun tak berhasil dengan anak laki-lakiku. Apakah nasib buruk
juga diwariskan? Seraya menciumi aroma bedak dari tubuhku, aku berdoa semoga
saja aku tidak membuat Dia dan anak-anakku jijik. Mungkin suatu hari nanti mereka
akan datang kepadaku, mengucapkan selamat malam, memelukku dan diam-diam
menyesap harum aroma bedak yang aku banggakan ini. Dan akan ada perdamaian
diantara kami. (***)