LIMA tahun
terakhir Kota Jambi berkembang dengan pesat. Tak hanya jumlah penduduk dan
kendaraan, juga bangunan rumah serta ruko bermunculan bak jamur di musim hujan.
Akibatnya, harga tanah meningkat tinggi, jalan-jalan padat merayap dan ruang
terbuka untuk bermain bola, jogging atau parkir semakin penuh sesak.
Beberapa kawasan yang 10 tahun lalu masih berupa hutan
belantara, kini telah beralih fungsi menjadi pemukiman seperti kawasan Mayang
Mangurai, kelurahan Kenali Asam Bawah, Bagan Pete dan Kenali Besar. Demikian
juga daerah pertanian seperti di Lingkar Selatan, sebagian telah beralih fungsi
menjadi perumahan dan toko-toko. Sementara lahan terbuka yang mestinya bisa
dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau (RTH), seperti kawasan sepanjang pinggir
sungai Batanghari tidak terkelola dengan baik.
Selain berdampak
pada keterbatasan ruang gerak dan suplai udara segar, minimnya ruang hijau
berimbas pada prilaku anak muda. Banyak studi mengungkapkan, meningkatnya
jumlah tawuran dan aksi agresif remaja disebabkan kurangnya ruang bagi mereka
untuk bersosialisasi dan berekspresi.
Dalam buku Our Common Future (buku yang pertama kali
memunculkan konsep pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development), telah diingatkan tentang masalah
perkotaan yang dihadap negara berkembang pada era 1980-an. Permasalahan itu
terutama terletak pada ketidakmampuan kota untuk melakukan penataan karena
tekanan penduduk, polusi udara serta air hingga minimnya taman dan area rekreasi.
Keharusan sebuah
kota untuk memiliki ruang hijau diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,. RTH
diharapkan dapat menjadi tempat
bersosialisasi dan penjaga ekosistem lingkungan perkotaan, termasuk di dalamnya
menjamin ketersediaan oksigen dan air bagi warganya.
Sebenarnya seberapa luas ruang hijau yang harus dimiliki oleh
sebuah kota? Undang-undang nomor 26/2007 menyaratkan,sebuah daerah minimal
harus memiliki RTH seluas 30% dari total daratannya. Sebanyak 20% dari alokasi
tersebut diharapkan merupakan RTH publik, artinya RTH yang dimiliki dan
pengelolaannya diatur oleh pemerintah sedangkan 10% sisanya dimiliki oleh
pribadi/privat.
Bicara tentang RTH tidak hanya menyangkut luasan, juga
berhubungan dengan kualitas tanaman yang terdapat di dalam ruang hijau tersebut.
Tanah kosong ditumbuhi ilalang, seperti terlihat di banyak bagian kota Jambi,
belum bisa dikatakan ruang hijau. Ruang hijau harus memperhatikan karakteristik
kota dan jenis tanaman yang sesuai. Untuk Kota Jambi yang berpenduduk padat dan
polusi kendaraannya tinggi, tanaman yang sesuai untuk ruang terbukanya seperti pepohonan
dengan perakaran kuat, ranting tidak mudah patah, daun tidak mudah gugur, berdaun
lebar dan rindang, berbulu dan yang mempunyai permukaan kasar/berlekuk. Pohon
sebaiknya bertajuk tebal serta
mengeluarkan bau harum atau pohon yang menghasilkan bunga/buah/biji yang
bernilai ekonomis.
Hal itu semua belum
mendapat perhatian dalam penataan ruang hijau di Jambi. Pada sebagian taman,
hutan kota atau pinggir jalan ditanami pepohonan cukup rapat tapi jenisnya
belum sesuai dengan fungsinya untuk menyerap karbon dan penyediaan air. Berdasarkan
data BAPPEDA Kota Jambi tahun 2013, diperoleh data eksisting RTH sebagai
berikut:
Tabel: Luasan RTH Kota
Jambi Saat ini
Klasifikasi RTH
|
Luas (Ha)
|
Keterangan
|
RTH Publik
|
||
Hutan Kota
|
75.27
|
Kekurangan : 3274,58 Ha
|
Taman Kota
|
84.64
|
|
Pemakaman
|
76.11
|
|
Jumlah
|
236.02
|
|
RTH Privat
|
||
lahan pertanian
|
980.94
|
Kekurangan : 774,36 Ha
|
Jumlah
|
980.94
|
Sumber: Bappeda Kota Jambi, 2013
Data di atas menunjukkan Jambi masih kekurangan RTH, baik
yang kategori privat maupun publik. Luas Kota Jambi yang mencapai 17.553 Ha menyaratkan
RTH publik minimal 3.510,60 Ha dan RTH privat minimal 1.755,30 Ha. Ini artinya
terdapat kekurangan luasan RTH sebanyak 4.049 Ha dengan rincian: kekurangan RTH
publik sebanyak 3. 274, 58 Ha dan RTH privat sebanyak 774,36 Ha.
Potensi perluasan RTH masih sangat besar karena adanya
lapangan olahraga atau area terbuka di depan kantor-kantor pemerintah yang bisa
dipercantik dan diperkuat fungsinya sebagai ruang hijau. Demikian juga halaman
rumah penduduk yang ditanami bunga dan pepohonan, belum terdata luasannya
padahal masih banyak rumah warga kota Jambi yang memiliki halaman cukup luas
dan asiri.
Masuknya lahan pertanian sebagai bagian dari RTH privat juga
beresiko atau rawan kehilangan karena alih fungsi lahan pertanian yang sangat
deras menjadi pemukiman dan rumah toko (ruko). Sejak status pemilikan lahan
pertanian berada di tangan pribadi serta belum adanya peraturan daerah yang
membatasi peralihan fungsi lahan, mudah dipredeksi RTH privat akan tergerus
dengan cepat di masa datang.
Untungnya, Pemerintah Kota Jambi telah berancang-ancang untuk
memperluas RTH yang ada saat ini, seperti termuat dalam draf RTRW Kota Jambi
2013-2033. Sumber lahan untuk perluasan
RTH tersebut antara lain sempadan sungai (325 Ha), sempadan danau (294, 76 Ha),
taman (875,90), pemakaman (139 Ha), jalur hijau jalan (63,68), hutan kota
(547,26) dan RTH fungsi lain (1.357,44 Ha).
Selain kebutuhan RTH dihitung dari luas daratan suatu wilayah
(minimal 30%), alokasi luasan RTH sesungguhnya bersifat dinamis karena
tergantung juga pada jumlah penduduk dan tingkat polusi di suatu daerah. Mengingat
perkembangan Kota Jambi yang pesat, mau tidak mau harus ada rencana memperluas
ruang hijau secara bertahap. Perencanaan di awal juga sangat membantu
mengantisipasi lepasnya lahan ke tangan pihak swasta sehingga biaya
membabaskannya tidak menjadi mahal ketika lahan tersebut dibutuhkan untuk ruang
terbuka hijau.
Grafik berikut
menunjukkan luasan RTH yang dibutuhkan kota Jambi pada 7 tahun ke depan (2020),
yang akan bergerak naik seiring bertambahnya jumlah penduduk. Grafik ini
merupakan hasil simulasi menggunakan data proyeksi penduduk Kota Jambi tahun
2010.
Grafik perkiraan kebutuhan RTH Kota Jambi 2012-2020
Grafik ini menunjukkan kebutuhan lahan RTH yang sangat cepat,
mendekati 8000 hektar, untuk memenuhi kebutuhan warga kota Jambi pada tahun
2010. Dengan jumlah lahan yang statis sementara kebutuhan warga akan lahan
bersifat dinamis, tidak ada cara lain, melainkan dengan mengamankan dari
sekarang tanah untuk RTH Kota Jambi sehingga kota ini pada periode 10 tahun ke
depan tetap menjadi kota hunian yang nyaman.
Dikarenakan kewenangan penyediaan RTH berada di tangan
Pemerintah Kota Jambi, tidak salah kiranya bila kita meminta pihak terkait
untuk memberi perhatian lebih terhadap permasalahan ruang hijau. Kondisi kota
saat ini yang telah menunjukkan tanda-tanda salahkelola, harus segera diatasi,
salah satunya dengan menyediakan ruang hijau publik yang memadai luasnya. (***)
(Penulis Asnelly Ridha Daulay adalah
mahasiswa Program Doktor pada Institut Pertanian Bogor, Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan).