PADA salah
satu blok pedagang di Pasar Anyar Bogor, terlihat deretan toko dan kios pinggir
jalan yang menjual aneka jenis sepatu/sandal anak-anak, wanita dan pria dewasa.
Sepatu tersebut terbuat dari plastik dan kulit sintesis yang harganya relatif
murah. Melihat sepatu bertumpuk sebanyak itu, patut ditanya, siapakah yang akan
membeli dan memakainya?
Di tempat
lain, Pasar Jambu, kita juga dapat melihat puluhan jenis handphone (HP) berderet
di etalase toko. Barang impor tersebut
dijual dengan harga bervariasi, dari ratusan ribu rupiah hingga mendekati 10 juta rupiah per unitnya.
Begitu banyak pilihan HP dengan keunggulan fitur masing-masing, dan harganya
relatif mahal. Pikiran kita pun kembali tergelitik, benarkah orang Indonesia
cukup kaya sehingga pasar untuk handphone begitu terbuka ? Banyak orang
Indonesia yang memiliki HP lebih dari satu, berganti model setiap enam bulan
sekali bahkan lebih singkat dari itu. Kenapa dan apa gunanya?
Jawabannya;
orang Indonesia tidak membutuhkan
barang-barang sebanyak itu. Tunggu saja beberapa bulan setelah
barang-barang tersebut dikeluarkan dari pabriknya, akan ada diskon bahkan
penjualan banting harga.
Pada sisi
lain masyarakat Indonesia selalu mengeluhkan naiknya harga komoditi kebutuhan
pokok seperti beras, gula, cabe, bawang dan seterusnya. Kanapa untuk barang
kebutuhan pokok seperti itu stoknya sering putus sehingga memicu kenaikan harga
di pasar sedangkan untuk barang-barang yang tidak termasuk kebutuhan pokok,
justru suplainya demikian berlebih dan lancar? Mengapa pabrik atau pengusaha
memproduksi begitu banyak barang yang tak termasuk kebutuhan pokok, padahal
mereka tahu bahwa tak semuanya akan terjual sesuai harga yang mereka patok
pertama kali?
Menurut
ilmu ekonomi produksi besar-besaran tersebut dilakukan dengan alasan efisiensi,
agar kapasitas mesin pabrik atau alat terpakai sepenuhnya. Upah buruh yang
murah, ikut menjadi faktor penting kenapa pengusaha ingin memproduksi lebih
banyak dan kemudian menggenjot bagian pemasaran untuk merayu konsumen agar
barang-barang mereka terjual lebih banyak. Prinsip ekonomi kapitalis “uang
harus tumbuh” telah menyebabkan absorbsi sumber daya alam, kerusakan lingkungan
dan kita terjebak dalam menghasilkan barang yang tidak bermanfaat.
Gambar 1.
Hirarki Keharusan
(Hoogendjik,
1996; hal 43)
Satu faktor
lagi yang mendorong produksi skala besar tersebut adalah harga bahan mentah
yang murah, yang tidak memasukkan biaya kerusakan lingkungan ke dalamnya. Dalam
bisnis sepatu misalnya, harga bahan baku karet merupakan harga murni yang
dihitung dari biaya yang terpakai untuk menyadap, mengolah karet secara
sederhana dan membawanya ke pabrik. Di dalam harga tersebut tidak tercakup
kerugian yang diderita lingkungan akibat hutan yang beralih menjadi kebun
karet, polusi di sungai dan udara karena penggunaan pupuk serta bahan kimia
untuk processing di pabrik. Hal itulah yang menyebabkan sepatu produksi Bogor
(dan barang-barang lain di Indonesia) dapat dihasilkan dalam jumlah banyak plus
harga murah.[1]
Fenomena
ini menimbulkan pertanyaan, mengapa kita tidak memproduksi barang dengan jumlah
lebih sedikit, sesuai dengan kebutuhan masyarakat namun berkualitas? Mengapa
Indonesia membiarkan dirinya dibanjiri produk HP luar yang beragam, sebagian
berkualitas rendah yang jumlahnya melebihi kebutuhan normal masyarakat kita?
Apakah karena negara kita tidak memiliki aturan pasar yang kuat untuk membatasi
impor tersebut sehingga kita dengan mudah dikepung oleh barang-barang yang
sesungguhnya tidak diperlakukan?
Ada tiga
unsur utama dalam kegiatan ekonomi di dunia ini; pemilik pabrik/modal, konsumen
(masyarakat), dan pemerintah. Jika perekonomian Indonesia ingin membaik, ketiga
unsur tersebut harus merubah cara pandangnya terhadap barang.
Sudah jamak
di dunia ini pemilik pabrik atau modal menginginkan keuntungan sebesar-besarnya
dengan menggunakan modal sekecil-kecilnya. Prinsip tersebut sah-sah saja, tapi
apakah keuntungan tersebut harus meningkat terus dan terus? Pemilik modal harus
menyadari ada keterbatasan keuntungan, dan ketika hal itu tiba, mereka harus
kreatif mencari jenis usaha lain yang memberi keuntungan baru. Keragaman bisnis
akan mendorong munculnya lapangan pekerjaan baru, kemahiran baru dan trend.
Menurut Hoogendijk (1998; hal 98) pengusaha seharusnya tidak hanya berpikir
bahwa merupakan pemborosan jika mesin tidak digunakan sepanjang hari. Pengusaha
harus memikirkan kepentingan lebih luas; masyarakat, lingkungan dan masa depan.
Jangkauan pemikirannya harus sampai kepada; apakah ekosistem global
memungkinkan untuk memproduksinya, seberapa banyak dan bagaimana kualitasnya,
bisakan produk tersebut diperbaiki dan digunakan kembali?
Dari uraian
di atas dan dengan merenungkan kondisi yang ada di sekitar kita, terdapat
masalah utama yang kita hadapi saat ini, yaitu:
- Pengabaikan
terhadap konsep Sustainable
Development dan ekonomi hijau
- Pembangunan
infrastruktur jalan dan pendukung industri lainnya sangat lamban
- Sikap
hidup masyarakat yang konsumtif
- Indonesia
tak memiliki rancangan strategis tentang industri apa yang harus mendapat
dukungan berlebih.
- Cikal
bakal industri nasional, yaitu kerajinan khas Indonesia, belum memperoleh
dukungan optimal
Apa Yang
Harus Dilakukan Pemerintah?
1. Konsisten
membangun ekonomi hijau
Pemerintah
sebagai regulator memiliki peran penting untuk mengembalikan pemilik modal dan
konsumen kepada perilaku ekonomi yang benar. Pajak lingkungan, insentif untuk
usaha rakyat yang ramah lingkungan dan berkualitas, pajak impor yang tinggi dan
terus mendorong upaya tercapainya swasembada pangan, merupakan langkah-langkah
penting agar pasar Indonesia dibanjiri oleh produk berguna, yang benar-benar
memenuhi kebutuhan rakyat, bukan barang-barang yang hanya akan memperbanyak sampah
di bumi ini.
Penerapan
pajak lingkungan dan internalisasi biaya kerusakan lingkungan, terutama
terhadap perusahaan besar yang mengeksploitasi sumberdaya alam atau menyumbang
pencemaran, sangat efektif untuk mengurangi kerusakan yang mereka timbulkan atau
untuk menghemat sumberdaya alam. Disinsentif timbul karena biaya produksi
menjadi bertambah.
Gambar 2.
Perbedaan
laba hasil yang ditimbulkan oleh penerapan pajak lingkungan dan internalisasi
biaya kerusakan lingkungan (Hoogendijk, 1996)
Prinsip ekonomi
hijau harus dipandang bukan sebagai penghambat perekonomian, namun justru
mendorong terciptanya pasar yang sehat dan pembangunan yang berkelanjutan. Mari
kita lihat dua perbandingan berikut.
Sebuah
negara berkembang –A- menghasilkan pemasukan ekonomi kotor (brutto) bernilai
100. Biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan pemasukan tersebut mencapai 60
(untuk membiayai produksi serta perbaikan kerusakan lingkungan yang terjadi),
sehingga pemasukan netto negara itu menjadi 40.
Bandingkan
dengan negara B, yang menjalankan ekonominya dengan cara lebih bersih dan
sedikit limbah, cerdas, tenang. Meskipun nilai yang dihasilkan perekonomiannya
hanya 40, namun biaya yang dikeluarkannya untuk produksi dan perbaikan
kerusakan lingkungan hanya 10, sehingga pemasukan bersihnya menjadi 30.
Meskipun pemasukan netto negara B lebih kecil dari negara A namun persentase
kehilangan nilai perekonomiannya jauh lebih kecil – 25% berbanding 40%
(Hoogendijk, 1996).[1]
Hoogendijk
(1998) menyarankan pemerintah menghentikan
sikap memihak kepada pengusaha besar, pengetatan kontrol terhadap investasi,
mendorong substitusi impor dan konversi produk secara umum, melawan oligarki
dan monopoli kecuali untuk komoditas yang dibutuhkan masyarakat luas, mengubah
pajak pertambahan nilai (PPN) kerja menjadi PPN
energi dan lain-lain.
2. Membangun infrastruktur di daerah
penghasil produk unggulan
Dalam
Master Plan Percepatan Penguatan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah diplot Jawa merupakan
basis pembangunan industri dan perdagangan sedangkan Sumatera berbasiskan perkebunan
dan pertambangan. Penetapan itu menyebabkan banyak jalan, jembatan dibangun dan
lapangan udara diperlebar di Pulau Jawa. Akibatnya laju alih fungsi lahan
pertanian di tanah yang merupakan tersubur di Indonesa sangat cepat. Ini
menyebabkan produksi pangan nasional menurun.
Sebaliknya
di Pulau Sumatera yang tanahnya kurang subur sehingga lebih cocok untuk tanaman
perkebunan, pembangunan infrastruktur tersebut jauh dari memadai. Hal ini
menyebabkan pengangkutan hasil perkebunan menjadi mahal. Ongkos angkut
kontainer dari Padang ke Jakarta sebaagi contoh, hampir empat kali lipat lebih
tinggi dari biaya angkut Jakarta-Singapura (US$600 berbanding US$185).
Di Sumatra
pengangkutan hasil perkebunan dan pertambangan umumnya dilakukan melalui jalan
darat. Hal ini menyebabkan kerusakan berat pada jalan-jalan negara, provinsi
dan kabupaten sehingga mengganggu transportasi umum secara keseluruhan dan
beban bagi kas daerah/negara untuk memperbaikinya. Jenis transportasi lain
seperti kereta api dan kapal laut belum
dikembangkan karena pemerintah daerah tidak memiliki dana untuk membangun
jaringan rel kereta atau pelabuhan laut.
3. Mencerdaskan dan menghimbau
masyarakat untuk hidup lebih membumi.
Masyarakat harus diajak untuk hidup
hemat, mengkonsumsi barang-barang lebih sedikit namun berkualitas baik. Untuk
itu pajak iklan harus dibuat lebih tinggi khususnya untuk barang-barang lux dan
bersifat pencemar sedangkan iklan layanan masyarakat diberi harga rendah,
bahkan gratis (khususnya di media milik pemerintah)
Konsumen
yang selama ini dimanjakan oleh iklan, harus kembali kepada akal sehat bahwa
barang tetaplah barang, yang memiliki kemampuan terbatas untuk memuaskan
keinginan manusia. Tubuh hanya memerlukan sedikit saja dari sekian banyak
barang yang tersedia di pasar. Mengacu kepada Law of Diminshing Return, hati manusia bahkan lebih selektif karena
tingkat kepuasannya akan berkurang seiring dengan bertambahnya koleksi barang
yang dimiliki.
Menyadarkan
masyarakat Indonesia bahwa alamnya telah tergerus untuk memproduksi
barang-barang yang tidak mereka butuhkan, atau dijual ke luar negeri dengan
harga yang murah, mungkin membutuhkan kampanye jangka panjang. Namun bukan tanpa pengharapan. Hidup
sederhana dan menyukurinya serta menolak/mengecam semua bentuk pemborosan, telah
diajarkan semua agama. [2]
4.
Membuat skala prioritas tentang industri yang mendapat
dukungan dari pemerintah.
Industri tersebut harus berbasis keunggulan lokal, yang hanya
dimiliki oleh sedikit negara di dunia namun prospek pasar luas. Agar bisa
mendorong pertumbuhan industri berbasis inovasi pemerintah harus menciptakan
situasi yang kondusif, diantaranya mendorong inovasi serta Research and Development (R&D). Saat ini posisi Indonesia dalam
bidang inovasi tidak terlalu membanggakan.
Global Innovation Index Indonesia tahun 2012 berada di peringkat 100 dari
141 negara, terendah di antara negara ASEAN. Dana yang dibelanjakan pemerintah
untuk R&D juga sangat rendah (hanya 0,08% dari GDP). Kondisi ini menyerupai
kemunduran China pada akhir abad ke-18 hingga awal abad 19.[3]
.Jerman adalah satu contoh negara yang membangun industri berbasiskan
inovasi. Jerman menduduki peringkat negara nomor 3 paling inovatif di dunia,
memiliki hak paten terbanyak di dunia dan menghasilkan sekitar 80 orang peraih
nobel. Industri penting yang dibangun dan dipilih negara ini untuk dikembangkan
adalah industri mobil, konstruksi mesin, elektroteknik, teknologi lingkungan
dan nanoteknologi. (http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de.go.id)
Indonesia bisa
meniru Jerman dengan memilih komoditi tertentu untuk dikembangkan. Kita memiliki
sawit dan karet yang berprospek besar untuk menyuplai sebagian besar kebutuhan
dunia. Namun kita membiarkan pasar sawit dan karet dikuasai oleh pengusaha
asing meskipun dari segi luas areal lebih banyak dimiliki oleh masyarakat
(petani mandiri). Keadaan menjadi lebih tidak menguntungkan Indonesia karena
sebagian besar industri pengolahan karet dan sawit bersifat semi processing
sehingga pertambahan nilai dari produk akhirnya dinikmati negara lain.
Industri
pangan di tanah air juga harus diperkuat. Ketergantungan Indonesia kepada
produk pangan dari luar negeri harus dipangkas dengan cara mengembalikan pola
dan jenis konsumsi sesuai dengan kebiasaan/kultur di masing-masing daerah..
Setiap daerah di nusantara ini memiliki tanaman pangan khas masing-masing.
Pemerintah harus menghentikan upaya untuk menyeragamkan konsumsi pangan di
seluruh daerah karena hal tersebut berakibat tekanan yang terlalu tinggi
terhadap komoditas pangan tertentu (beras misalnya).
Khusus
menyangkut impor daging sapi (atau ternak sapi), perlu dikaji lagi apakah
Indonesia benar-benar membutuhkannya? Indonesia sendiri memiliki suplai ternak
kecil (kambing, domba, babi), unggas dan ikan yang memadai. Ini artinya dapat memenuhi kebutuhan akan
daging hewani tanpa keharusan untuk memperoleh daging sapi atau kerbau.
Bahkan kita
dapat menekan kebutuhan daging hewani –dengan jalan mengurangi konsumsi daging
hewani dan beralih ke sumber protein nabati--karena menurut hasil studi, rata-rata
konsumsi daging di dunia, telah melebihi standar hidup. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa level
konsumsi daging oleh manusia telah menyamai konsumsi hewan karnivora bertubuh
kecil (babi dan ikan-ikan kecil). Tingkat tropik manusia (dihitung dari tingkat
tropik makanan dalam diet dan proporsi yang dikonsumsinya) mencapai level 2,21. (level 1 untuk herbivore, level 2
untuk karnivora kecil, level 3 untuk karnivora besar dan level 4 untuk karnivora
yang memiliki sedikit pemangsa seperti beruang kutub). Kita tidak membutuhkan
konsumsi daging hewani sebanyak itu untuk dapat bertahan hidup.
Gambar 3 .
Level tropik manusia menyamai hewan
karnivora kecil, meningkat pesat karena konsumsi di negara yang ekonominya
tengah berkembang pesat seperti India dan Cina (sumber: http://nationalgeographic.co.id)
5.
Mendukung industri rumah tangga berciri khas Indonesia
Banyak
kerajinan rakyat seperti batik, emas, perak dan batu sungai (akik) yang
meskipun diproduksi dalam skala kecil dan menengah namun memiliki specialty atau niche sehingga terkenal hingga ke luar negeri. Beberapa negara di dunia hidup dari industri yang
cikal bakalnya merupakan kerajinan rumah tangga seperti Swiss dengan industri jamnya serta Belanda
dengan agroindustri bunga..
Nilai ekspor bunga tulip
dari Belanda mencapai US$ 2,4 miliar dari ekspor
langsung sedangkan jika digabungkan dengan nilai penjualan dari sistem lelang
menjadi US$ 13 hingga 20 miliar per tahun. Keseriusan membangun industri bunga
ini didukung dengan inovasi berupa munculnya varian baru bunga tulip setiap
tahun serta adanya festival bunga. (www.liputan6.com).
Bandingkan dengan industri batik kita yang nilai ekspornya masih rendah.
Tabel 1: Nilai Ekspor Batik
Nasional 2004-2009
Tahun
|
Nilai Ekspor Batik Nasional
|
2004
|
US$ 34,41 juta
|
2005
|
US$ 12,46 juta
|
2006
|
US$ 14,27 juta
|
2007
|
US$ 20,89 juta
|
2008
|
USS 32,28 juta
|
Triwulan I 2009
|
US$ 10,86 juta
|
Sumber: Suara Pembaruan,
3 Oktober 2009 (dalam Ulum, tanpa tahun).
Sebagai
kesimpulan Indonesia harus mereorientasi kebijakan ekonominya, tidak lagi
sebatas mengejar pertumbuhan, tapi lebih fokus kepada efisiensi (menghasilkan
barang yang benar-benar berguna) dan kehati-hatian memilih dan mendukung
industri nasionaL. Langkah ini diharapkan dapat menghemat penggunaan sumberdaya
alam, mengurangi kerusakan lingkungan dan masyarakat tidak terjebak dalam
kehidupan boros.
DAFTAR BACAAN
Hoogendijk, W. 1996. Revolusi
ekonomi Menuju Masa Depan Berkelanjutan Melalui Pembebasan Ekonomi dari
Pengejaran Uang Semata. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kynge, J.
2007. Rahasia Sukses Ekonomi Cina;
Kebangkitan Cina Menggeser Amerika Serikat sebaagi Superpower Ekonomi Dunia. Bandung: Penerbit Mizan.
Manusia
Semakin Karnivor, http://nationalgeographic.co.id, diakses
tanggal 18 Desember 2013.
Prospek dan
Tantangan Perekonomian Indonesia, bahan presentasi Faisal Basri 2 Desember
2013.
Tulip,
Salah Satu Andalan Komoditi Ekspor Belanda, www.
Liputan6.com, diakses tanggal 18 Desember 2013.
Ulum,
I.MD. tanpa tahun. Batik Dan Kontribusinya Terhadap Perekonomian
Nasional.
[1] Cina adalah negara yang menikmati pertumbuhan ekonomi sangat tinggi, mencapai dua digit. Namun itu dibangun di atas pengorbanan lingkungan yang besar. Gurun di sebelah utara memakan kota-kota kecil dan besar yang ada ditepi-tepinya, sungai menghilang, makanan tercemar hormon binatang dan zat kimia, munculnya penyakit baru seperti flu burung dan SARS hingga polusi yang buruk. Pembangunan ekonomi Cina juga menguras SDA dan merusak lingkungan di Indonesia, PNG dan tempat-tempat lain di dunia (Kynge, 2007, hal 160-161).
[3]
Rasulullah pernah berdiskusi
dengan Jabir. “Mengapa engkau berlebih-lebihan.” Jabir menjawab, “Apakah
didalam whudu tidak boleh berlebih-lebihan?”. Kemudian Rasulullah menjawab,
“Ya, janganlah engkau berlebih-lebihan ketika whudu meskipun engkau berada di
sungai”. (Mengapa Kita Harus Hidup Hemat, www.majelismunajat.com, diakses 17
Desember 2013)
[4] China mengalami kemandekan waktu itu
dimungkinkan oleh beberapa hal: (1) kekakuan proses ujian kerajaan yang pada
intinya mengabaikan sains, (2) penduduk yang terlalu banyak sehingga menghambat
pengembangan mesin yang menghemat tenaga manusia, (3) pengundulan hutan yang
menyebabkan China sulit memperoleh pasokan kayu bakar-sumber energi waktu itu,
dan (4) pendanaan yang banyak di bidang militer dan pertahanan. (Kynge, 2007).