Hidup terasa sepi bila tak
berinteraksi dengan media sosial. Banyak orang merasa kosong kalau tidak
mengupdate foto atau pendapatnya setiap hari, bahkan setiap jam. Sebagian mengupdate
statusnya berdasarkan informasi atau pemikiran terbaru yang muncul di benaknya,
namun lebih banyak lagi yang sebenarnya tidak punya kebaruan untuk dimunculkan.
Hanya kepingin saja agar orang lain lebih tahu tentang dirinya.
Keinginan berlebihan untuk
mengaktualisasi diri seringkali menjebak seseorang kepada dosa. Tanpa sadar
pengguna media sosial telah berlaku riya, menginformasi hal-hal bagus tentang
diri dan keluarganya untuk mendapatkan tanggapan pujian atau setidaknya acungan
jempol. Yang lebih tidak bertanggungjawab, karena tak punya hal menarik tentang
dirinya untuk diceritakan, lalu mencari cara lain untuk mengisi wajah media
sosialnya, misalnya dengan memposting gambar jelek. Kalau gambarnya lucu atau
inspiratif sih tidak apa-apa, bisa menambah banyak teman. Anehnya, ada yang
menjadi kecanduan memposting gambar jelek dan porno (hasil editan lagi!), tulisan
menghina dan mendikreditkan orang lain, bahkan menulis pendapat pribadi yang
sifatnya memfitnah dan tidak logis.
Media sosial yang semula
dimaksudkan untuk memperbanyak teman akhirnya menjadi arena saling balas kemarahan
dan kekasaran serta pamer diri sendiri. Jumlah teman dan kontak bisa saja
bertambah tapi deretan ‘musuh’ diantara teman-teman itu, pasti barisannya makin
panjang. Hal inilah yang sering tidak disadari oleh pengguna media sosial yang
suka memposting ini dan itu.
Jadi… bila sekarang tanggapan
atau gambar apapun yang diposting di media sosial bisa dibawa ke ranah hukum,
menurut saya itu bagus sekali. Seseorang harus bijaksana mengekspresikan
dirinya. Ucapan atau ejekan yang akan membuat orang lain sakit hati dan terhina
seharusnya dihindarkan, juga pendapat yang dangkal dan sekterian yang sebenarnya
justru menunjukkan kekerdilan diri sendiri.
Dan yang menyulitkan tapi sering dianggap tidak penting adalah bagaimana caranya meminta maaf kepada orang-orang yang dilukai oleh
media kita? Ketika menemui korban secara langsung jadi sulit akibat jarak yang
jauh terbentang, apakah permintaan maaf di wall (facebook, bbm, dll) bisa
menjadi jembatan permintaan maaf? Saya rasa tidak.
Tuhan tidak mengampuni dosa
manusia terhadap manusia lain sebelum yang dilukai bersedia memaafkannya.
Kalau
memajang permintaan maaf lahir dan batin di wall kita bisa menjadi penghapus
dosa, wuih alangkah mudahnya penghapusan dosa itu! Sama artinya dengan maling
yang menguras benda berharga di sebuah rumah, lalu esoknya mengirim surat
permintaan maaf dan bilang ia menyesali perbuatannya. Tidak segampang itu kan?
Karenanya jangan merasa hebat ketika memposting sesuatu. Mediamu menunjukkan siapa dirimu.