NYARIS semua kota di Indonesia menghadapi fenomena meningkatnya jumlah aksi kebut-kebutan di jalan raya. Pelakunya adalah pengendara muda usia. Berlahan namun pasti komunitas pengendara bau kencur ini bertambah jumlahnya. Prilaku masyarakat luas terhadap mereka cenderung permisif dan toleran, membiarkan mereka membawa kendaraan walaupun menurut hukum hal tersebut tidak dibenarkan.
Para remaja ini dengan cukup bebas mengendarai motor/mobil mereka menuju sekolah dan berhura-hura dengan aksi balapan liar di sudut-sudut kota. Ini merupakan dampak samping dari membaiknya perekonomian Indonesia, lemahnya kontrol keluarga serta masyarakat dan menjamurnya bisnis leasing kendaraan roda dua dan roda empat sehingga hampir semua kalangan di Indonesia dapat memanfaatkan fasilitas kredit untuk memiliki kendaraan pribadi.
Di sisi lain, upaya pihak Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk melarang siswanya berkendaraan ke sekolah dianggap angin lalu. Bila tidak diizinkan parkir di halaman sekolah, mereka ‘menitipkan’ kendaraan mereka di warung atau rumah penduduk di sekitar sekolah.
Pihak polisi jalan raya nampaknya tidak berdaya menghadapi derasnya arus pengendara belia ini. Selain karena keterbatasan petugas, peringatan dan ‘kemarahan’ dari polisi pun telah kehilangan daya tekannya. Bagi anak baru gede (Abege) ini, kucing-kucingan dengan polisi terkadang menjadi sebuah petualangan yang mengasyikkan dan tergoda untuk memenangkannya. Kondisi di jalanan menjadi lebih buruk lagi karena sebagian besar remaja ini ‘cuek’ terhadap keselamatan mereka sendiri. Selain tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) karena terganjal usia sesuai UU Nomor 22 tahun 2009, mereka juga tidak peduli pada kelengkapan kendaraan mereka seperti kaca spion dan lampu serta aturan lalu lintas lainnya.
Akibatnya angka kecelakaan lalu lintas pun tinggi. Berdasarkan laporan Kepolisian RI (Polri) kasus kecelakaan lantas tahun 2009 sebanyak 57.726 kasus dan mengakibatkan 18.205 meninggal dunia. Diperkirakan sekitar 60% korban tersebut tergolong usia produktif atau masih sekolah.
Peran Jasa Raharja dalam memberikan penyuluhan tentang pentingnya menjaga keselamatan di jalan raya telah diakui dan dirasakan masyarakat. Saya ingat ketika masih kecil dulu, di banyak tikungan jalan di luar kota terlihat tugu peringatan kecelakaan lalu lintas. Di puncak tugu tersebut biasanya dipajang mobil atau motor yang ringsek akibat tumburan hebat. Etalase tersebut memberikan shock terapi yang efektif bagi generasi saya pada waktu itu.
Namun bagi anak muda sekarang, sekedar tugu peringatan atau baliho yang mengingatkan akan sebuah kecelakaan tragis mungkin belum cukup. Mereka sudah terbiasa melihat tayangan atau film aksi yang lebih sadis/mengerikan daripada itu. Masyarakat sangat bersyukur dengan terobosan yang dilakukan oleh Jasa Raharja dengan menyempurnakan tugu peringatan tersebut. Sekarang tugu tersebut tidak hanya memampangkan motor dan mobil ringsek, namun juga terdapat pos pelayanan bagi pengendara yang membutuhkan bantuan dan fasilitas alat komunikasi, komputer, TV dan AC seperti yang akan dibangun di Belopa Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan.
Penyuluhan yang dilakukan ke sekolah-sekolah juga memperkuat eksistensi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan komitmennya; utama dalam perlindungan, prima dalam pelayanan ini. Materi yang diberikan seperti UU No. 6 tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, UU nomor 34 tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dan UU lalu lintas yang baru yaitu UU no 22 tahun 2009 memang sangat dibutuhkan masyarakat terutama untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka ketika mengalami laka lantas dan peraturan yang harus mereka patuhi.
Kontribusi tersebut patut disyukuri oleh masyarakat namun Jasa Raharja tidak boleh berhenti sampai di sana mengingat ancaman berkendaraan di jalan raya belum menurun. Mengedepankan tindakan penegakan hukum terhadap anak muda kita ini nampaknya belum mampu memberikan efek jera. Perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif terhadap mereka dan para ‘guardian’ mereka (orangtua, guru sekolah atau tokoh yang mereka patroni).
Peranan orangtua dan guru dalam membimbing anak-anak mereka untuk berkendaraan dengan aman dibatasi oleh ruang dan waktu. Di rumah dan di sekolah anak-anak bisa saja menunjukkan prilaku patuh namun di luar rumah/sekolah, wallahualam. Demikian juga dengan wibawa mereka telah tergerus oleh zaman. Alangkah lebih baiknya dalam kampanye-kampanye sadar keselamatan lalu lintas, Jasa Raharja juga melibatkan tokoh panutan atau popular seperti artis, komedian, politikus atau kaum profesional, selain para orang tua dan guru tentunya.
Baru-baru ini saya mendengar tentang program pelayanan masyarakat terbaru dari Jasa Raharja berupa layanan SMS Center yang menginformasikan tentang kecelakaan dan santunan. Baik sekali bila SMS tersebut juga berisi kampanye yang mengajak pengguna jalan raya untuk lebih bertanggung jawab terhadap dirinya dan sesama. Bekerjasama dengan operator selular, Jasa Raharja memiliki peluang besar untuk merubah opini anak muda ini, membujuk mereka untuk ‘menahan diri’ bermotor ria hingga usia 17 tahun. Tentu saja butuh argumen yang convincing and touching (meyakinkan dan menyentuh) seperti kampanye NO DRUG yang banyak kita lihat di media atau tempat umum.
Kita berharap kampanye lewat SMS tersebut akan mengurangi jumlah pengemudi tak berlisensi dan ugal-ugalan ini, atau setidaknya menjadi lebih bertanggung jawab terhadap keselamatan diri mereka dan pengguna jalan lainnya. Peran Jasa Raharja sebagai pembangun kesadaran publik di bidang keselamatan berkendaraan tentu akan semakin dirasakan oleh masyarakat dengan inovasi pelayanan yang dilakukannya belakangan ini. Jasa Raharja berperan tidak hanya ketika terjadi kecelakaan, namun sedari dini telah aktif meningkatkan kenyamanan berlalu lintas.
Siapakah pemain bola Indonesia yang paling banyak menyedot perhatian? Pertanyaan ini pasti akan dijawab beragam bila tanpa kriteria yang jelas. Penjelasannya pun akan lari ke mana-mana. Namun di Hotel Sultan Jakarta, tempat para pemain tim nasional Indonesia dan official menginap, semua anggota timnas menjadi idola. Tiap jam sepanjang hari, para penggemar dan wartawan berburu sang idola. Siapa saja yang mengenakan jaket bertulisan punggung INDONESIA, pasti ‘dicurigai’ sebagai timnas dan dikejar-kejar.
Keadaan ini berbeda dengan di luaran. Di sekitar Gelora Bung Karno misalnya, para penjual baju bola sering kesal karena calon pembeli hanya menginginkan kaos bertuliskan Irfan dan Gonzales. “Memangnya timnas itu hanya dua orang saja apa…,” ucap mereka sambil menggerutu karena dagangannya tak jadi dibeli.
Tentu saja pengalaman berburu orang beken ini meninggalkan cerita lucu dan malu-maluin. Apalagi para wanita setengah baya itu alias ibu-ibu yang mendadak ngefans timnas sebenarnya tidak kenal wajah pemain dan nama mereka, namun demi anak rela repot berburu tanda tangan dan foto.
Saya yang berkesempatan datang ke Jakarta pada hari pertandingan leg kedua melawan Philipine sangat beruntung memiliki peluang bertemu dengan timnas karena menginap di hotel yang sama. Berhubung saya sudah masuk kategori ‘ibu-ibu’, cara huntingnya beda dengan ABG yang berteriak-teriak, menyerbu dan saling menyalib hingga membuat pemain sulit bernafas. Gaya kami para ibu-ibu lebih elegan dan berulang-ulang mengatakan,” ini (tanda tangan) untuk anak saya lho Mas!”.
Sejak berangkat dari Jambi, saya sudah berangan-angan untuk mempersembahkan setidaknya foto Irfan Bachdim untuk kedua anak laki-laki saya. Mereka gila bola setengah mati. Dengan mengabaikan keraguan mereka, - apa mama bisa ? - pada malam kemenangan Indonesia melawan Philipine, saya sabar menunggu di loby hotel. Irfan lewat. Gonzales tak tersentuh. Saya terjepit di antara wartawan bertubuh tinggi besar dan kameranya serta ratusan abege dan selebritis yang histeris. Sedikit terhibur, saya berhasil berfoto dengan Eva Gonzales.
Besok sorenya saya dan ibu-ibu lain yang punya misi sama, kembali berkeliling loby. Tampak puluhan anak didampingi orangtua mereka tertawa-tawa memamerkan baju yang sudah ditandatangani para pemain nasional. Kami menyusuri koridor menuju lantai bawah dengan harapan menemukan pemain itu di sana. Hup… di tangga si baby face Irfan Bachdim tiba-tiba muncul.
“Can I take your picture?” spontan saya mendekat dan bertanya. Dia pun menghentikan langkahnya. Salah seorang saudara Irfan malah menawarkan diri untuk menjepret gambar kami. Dapat juga akhirnya.
Pengalaman terlucu dan bikin malu adalah ketika mengejar tanda tangan Okto Maniani, si bintang timur Indonesia. Saya menjadi iri begitu mengetahui rekan saya ternyata sudah memperoleh tanda tangan Okto. Saya pun bertekad untuk menunggu dia.
Dari sudut loby hotel terlihat seorang laki-laki Papua berbadan gempal bertanya-tanya ke reseptionis hotel dan menunggu dengan gelisah. Feeling saya mengatakan bahwa dia pastilah keluarga atau kenalan Okto. Setengah jam berlalu, muncullah seorang laki-laki bertubuh kecil dengan topi menutup separuh wajah. Profil tubuhnya mirip Okto namun teman saya yang tadi sudah mendapatkan tanda tangan pemain asal Papua itu, bersikukuh bahwa itu bukan Okto.
Saya meminta bantuan teman yang suaminya penggemar berat Okto untuk bertanya. Dia pun mendekati mereka. Sedikit membelakangai laki-laki Papua bertubuh kecil tersebut, dia pun bertanya, “Bapak kerabatnya Okto ya?”.
Bukannya dia yang menjawab melainkan si laki-laki bertubuh kecil itu. “Saya Okto, Ibu,” ucapnya dengan aksen timur yang mendayu seraya menyembulkan giginya yang putih serta senyum manis. Sontak saja sang ibu kegirangan dan minta maaf berulang-ulang karena tak mengenal Okto dengan baik. Jadilah kami berfoto dengan Okto dan mendapat tanda tangannya.
Alhasil perburuan saya berjalan sukses. Walau tdk mendapat tandatangan Irfan dan Gonzales, saya sudah cukup puas. Sudah waktunya untuk mundur dari perburuan tersebut karena kelihatannya para pemain mulai tertekan dan kehilangan keramahan mereka akibat perhatian yang berlebihan ini. Maklum, beban yang disandangkan ke pundak mereka sangat berat. Jangan sampai saya dan fans lainnya malah menambah beban itu. Kasihan mereka.
PERNYATAAN Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, MM bahwa jajaran Pemerintah Provinsi Jambi siap menerapkan green economyconcept atau pembangunan hijau ditanggapi beragam oleh sejumlah kalangan. Komitmen yang diungkapkan pada pertemuan denganTim Komisi VII DPR RINovember 2010 lalu menjadi menarik untuk dibahas mengingat sejarah pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan di Provinsi Jambi cukup memprihatinkan. Sejumlah media massa pun memberi judul tebal di media mereka terhadap statemen Gubernur Jambi ini
Apa yang mendorong sang Gubernur yang baru dilantik pada tanggal 3 Agustus 2010 mengungkapkan hal tersebut? Apakah karena sebelumnya, Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pernah mengungkapkan hal serupa pada Global Ministerial Environment Forum di Bali pada bulan Februari 2010? Pada kesempatan tersebut Presiden menyatakan akan mengadopsi sejumlah strategi pembangunan hijau yang pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja dan pro-rakyat miskin.
Keraguan banyak pihak terhadap keseriusan para pemimpin daerah (Bupati, Walikota hingga Gubernur) di Provinsi Jambi untuk melaksanakan konsep pembangunan hijau cukup beralasan mengingat catatan suram yang ditorehkan para pemimpin pemerintahan di negeri sembilan lurah sepucuk Jambi ini. Selama puluhan tahun ekonomi Jambi ditopang oleh eksplorasi dan eksploitasi kekayaan hutan dan pertambangan. Bahkan pada periode sebelum tahun 2000, subsektor kehutanan menjadi primadona penghasil PAD Provinsi Jambi.
Pasca keluarnya beragam peraturan yang melindungi hutan dan segenap isinya, ekonomi Jambi beralih ke subsektor perkebunan dan sektor pertambangan. Sejak lima tahun terakhir keduanya menjadi penyumbang PDRB utama.
Selain kalangan yang ragu akan komitmen tersebut, ada juga pihak yang gembira dan optimis dengan perubahan paradigma pembangunan yang dulunya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi (proGrowth) namun sekarang harus lebih memperhatikan keseimbangan alam (proGreen). Apalagi dalam visi Provinsi Jambi tahun 2011-2015 yakni Jambi EMAS (Ekonomi Maju, Aman, Adil dan Sejahtera) telah ditetapkan lima prioritas pembangunan Provinsi Jambi lima tahun ke depan yaitu (1) Peningkatan Infrastruktur Wilayah dan Energi, (2) Pendidikan dan Kesehatan serta Sosial Budaya, (3) Pengembangan Ekonomi Rakyat, Investasi dan Kepariwisataan, (4) Ketahanan Pangan dan Sumber daya Alam serta Lingkungan Hidup, dan (5) Pelaksanaan Tata Pemerintahan yang baik. Tersirat cukup jelas bahwa green economy telah menjadi perhatian pemerintah provinsi.
Konsekuensi pengadopsian konsep pembangunan hijau kini berada di depan mata. Jika konsep ini diterapkan maka pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara selektif dan bijaksana. Siapkah pemimpin Jambi melaksanakan hal ini sementara tuntutan masyarakat untuk hidup layak dan terbebas dari kemiskinan semakin nyaring terdengar serta target pertumbuhan ekonomi tahun 2011 yang dipatok cukup tinggi yakni 7,80 persen? Bukankah untuk memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan modal yang sangat besar?
Seperti apakah tantangan yang akan dihadapi Provinsi Jambi dalam menerapkan konsep pembangunan hijau ini, barangkali dapat tergambar dari permasalahan pembangunan dan lingkungan hidup yang saat ini dihadapinya.
Hutan dan Perkebunan
Pengelolaan hutan di Jambi paling banyak menuai kritik. Berdasarkan analisis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), hutan di Jambi mengalami penyusutan sekitar 99.000 hektar per tahun disebabkan oleh konversi, pembalakan liar maupun kerusakan hutan akibat alam. Jika pada tahun 1990-an luas hutan Jambi mencapai luas 2,2 juta hektar, saat ini diperkirakan hanya tersisa 500.000 hektar, dan sebagian telah mengalami kerusakan parah.
Meningkatnya jumlah kebun sawit secara drastis dituding sebagai penyebab utama hancurnya hutan di Jambi. Sebenarnya bukan hanya hutan yang dikonversi, lahan gambut dan lahan sawah pun beralih fungsi menjadi kebun sawit. Tanaman keras asal Amerika Latin ini juga dianggap tidak ramah lingkungan karena rakus pupuk kimia dan air, merusak struktur tanah serta menyebabkan kehilangan keragaman hayati (biodiversity). Pada tahun 2002, luas kebun sawit di Provinsi Jambi 155.857 hektar, meningkat tajam menjadi 493.737 hektar pada tahun 2009.
Ironisnya, Pemerintah Provinsi Jambi justru menjadikan komoditi sawit sebagai program unggulan daerah yang memperoleh pendanaan besar lewat APBD Provinsi Jambi. Bahkan Gubernur Zulkifli Nurdin (periode 1999 - 2009) yang berlatar belakang pengusaha ini mencanangkan program 1 juta hektar kebun sawit. Sangat disyukuri program tersebut tidak berlanjut karena ditentang banyak pihak. Kalau tidak, entah bagaimana wajah Jambi saat ini.
Namun sawit terlanjur menimbulkan konflik. Fluktuasi harga CPO menyebabkan kerugian besar bagi para petani. Pada Desember 2008, harga TBS mencapai titik terendah berkisar Rp300 sampai Rp400 per kilo-nya. Sebelumnya harga TBS kelapa sawit mencapai Rp1.900 sampai Rp2.100, bahkan pernah sampai Rp3.000 per kg-nya. Hal ini menyebabkan banyak petani terlilit hutang, stress hingga masuk rumah sakit jiwa. Keadaan makin buruk karena para pengusaha sawit ikut menekan harga sehingga hal ini memaksa Gubernur Jambi melakukan intervensi. Ditetapkanlah harga terendah TBS Rp892 per kg pada medio Desember 2008 tersebut.
Meskipun manfaat ekonomi dari booming sawit cukup dirasakan masyarakat bahkan memunculkan sejumlah orang kaya baru, namun keuntungan ini kurang dinikmati masyarakat kecil. Pemilik kebun baru tersebut umumnya adalah pengusaha besar dan orang kaya perkotaan sementara masyarakat kecil hanya menjadi buruh perkebunan. Faktor kecemburuan sosial, sengketa lahan, perjanjian inti-plasma yang tidak memuaskan telah mendorong terjadinya konflik antara perusahaan atau pemilik kebun sawit dengan masyarakat.
Tabel 1. Kerusuhan Massa akibat ekspansi sawit di Provinsi Jambi 1998 – 2007
No
Tahun
Lokasi
Keterangan
1.
1 November 1998
Tungkal Ulu Kab. Tanjab
Pembakaran PT. DAS. Akibat pembakaran, 1 petani dijadikan tersangka.
2.
2 April 1999
Tanah Tumbuh Kab. Bute
Pembakaran PT. TEBORA
3.
3 September 1999
Empang Benao Kab. Bangko
Pembakaran PT. KDA. 13 orang dijadikan tersangka dengan pasal 170, 363, dan 218 KUHP
4.
4 Januari 2000
Tanah Tumbuh Kab. Bute
Pembakaran PT. Jamika Raya. 13 orang tersangka dengan pasal berlapis: pasal 170, 187, 406,412,164 KUHP
5.
7 September 2002
Bungo
Pengrusakan PTPN VI. 18 Orang dijadikan tersangka dengan tuduhan pasal 170 KUHP
6.
10 Desember 2006
Singkut Kab. Sarolangun
Pembakaran PT. DIPP. 27 orang dijadikan tersangka dengan 5 berkas terpisah.
7.
11 Desember 2007
Lbk Madrasah Kab. Tebo
Pembakaran alat-alat berat di PT. WKS. 9 orang dijadikan tersangka dengan 2 berkas terpisah.
Sumber: Walhi Jambi, 16/11/2008
Sejatinya Pemerintah Provinsi Jambi memiliki program pertanian unggulan lainnya seperti replanting karet, perikanan dan peternakan. Program ini pun lebih dapat diterima karena ramah lingkungan dan pro rakyat miskin namun pelaksanaannya kurang sukses. Replanting karet yang bertujuan untuk mengganti tanaman karet rakyat yang sudah tua dan tidak produktif, gagal mencapai target. Penambahan luas kebun karet dari tahun 2006 hingga 2010 yang ditargetkan 130 ribu hektar ternyata hanya tercapai 21 ribu hektar.
Program budidaya ikan patin juga gagal total karena tak didukung studi kelayakan usaha dan pemasaran yang memadai. Sementara itu program peternakan berupa penyebaran sapi bibit kurang berhasil karena sulitnya mendapatkan bibit sapi unggul, proses seleksi penggaduh dan penyebaran ternak yang kurang tepat hingga produktivitas ternak yang rendah.
Patut untuk menjadi renungan dan kajian, mengapa program kerja pemerintah daerah yang jelas-jelas hijau (green), pro-rakyat miskin dan pro-lapangan kerja ternyata kurang/tidak berhasil dalam pelaksanaannya.
Pertambangan
Eksploitasi kekayaan tambang di Jambi semakin marak sejak lima tahun terakhir. Izin begitu mudah diberikan. Di Kabupaten Batanghari, banyaknya izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan Pemkab Batanghari melalui Badan Pelayanan Terpada Satu Pintu (BTPSP) dipertanyakan anggota Dewan karena dari 100 izin yang dikeluarkan, hanya dua perusahaan yang melakukan produksi.
Lain lagi cerita di Kabupaten Bungo. Dampak kerusakan lingkungan akibat eksplorasi batubara seperti terjadi di Desa Leban, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo mendorong Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Jambi untuk turun ke lapangan.
Kerusakan lingkungan akibat pertambangan umumnya disebabkan penggunaan bahan kimia yang berlebihan dan lahan bekas galian yang ditelantarkan. Kesepakatan antara perusahaan pengeksplorasi tambang dengan pemerintah kabupaten bahwa perusahaan tidak boleh menggunakan bahan kimia dan berkewajiban mereklamasi bekas galian, diabaikan begitu saja. Banyak sekali penggunaan bahan kimia yang dilaporkan oleh masyarakat serta bekas penggalian yang tidak dibuat menjadi kolam ikan atau danau untuk lokasi rekreasi air.
Selain penambangan oleh perusahaan, penambangan emas liar oleh masyarakat atau Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) terjadi di 4 kabupaten yatu Bungo, Tebo, Merangin dan Sarolangun. Kegiatan ini meresahkan karena mengakibatkan air sungai menjadi tercemar sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Beberapa desa menjadi kesulitan air bersih.
Masalah lingkungan di bidang pertambangan muncul karena pengeluaran izin oleh kabupaten dan kota kurang selektif, sementara kewenangan Bapedalda Provinsi Jambi dalam melaksanakan pengawasan terbatas. Fungsi Bapedalda Provinsi Jambi hanya sebagai koordinator dan memberikan pembinaan sedangkan pengawasan langsung terhadap aktivitas perusahaan terkait pelestarian lingkungan itu merupakan wewenang pemerintah kabupaten. Sejak pemberlakukan otonomi daerah, pihak kabupaten seakan berjalan sendiri dan kurang berkoordinasi dengan Bapedalda Provinsi Jambi.
Pemerintah Provinsi Jambi maupun pemerintah kabupaten terkait sebenarnya telah melaksanakan beberapa langkah seperti penyuluhan/sosialisasi hukum mengenai dampak dari kegiatan PETI yang dilakukan oleh Tim Terpadu Pemerintah Propinsi Jambi yang terdiri dari Bapedalda Propinsi Jambi, Dinas Pertambangan Propinsi Jambi, Kejaksaan Tinggi Jambi dan Biro Hukum Setda Propinsi Jambi kepada para camat, para lurah, kepala desa dan ketua LKMD, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh pemuda serta LSM serta penegakan hukum bagi para pelaku dengan menerapkan sanksi pidana sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 pasal 31 ayat (1) namun hal ini belum efektif.
Upaya menertibkan PETI kelihatannya tidak akan berhasil sebelum pemerintah mampu menyediakan atau mengalihkan ekonomi masyarakat ke sektor lain yang lebih menarik. Sedangkan untuk perusahan pertambangan nakal, belum terlihat adanya tindakan hukum yang tegas terhadap mereka.
Hutan dan pertambangan hanyalah sekelumit permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi. Masih terdapat masalah lain seperti menurunnya kualitas air sungai Batanghari, hutan bakau di pantai timur Jambi yang terancam punah atau perlindungan plasma nutfah lokal yang menunggu perhatian Pemerintah Provinsi Jambi.
Tantangan dan Peluang
Harus diakui bahwa tantangan yang dihadapi Pemerintah Provinsi Jambi untuk melaksanakan konsep pembangunan hijau sangat berat karena selama ini para birokrat dan masyarakat terbiasa dimanjakan oleh kekayaan alam Jambi yang berlimpah dan mengabaikan pelestarian alam. Merubah attitude (mental dan prilaku) bukanlah pekerjaan gampang.
Apalagi jika pemberian izin eksploitasi kekayaan alam terhadap perusahaan tertentu merupakan bagian dari balas jasa atas dukungan dana perusahaan tersebut kepada kepala daerah saat pencalonannya dulu. Persoalannya pun menjadi tidak sederhana. Namun selalu ada solusi. Selama eksploitasi tersebut masih dalam batas-batas yang wajar dan ada upaya meminimalkan efeknya terhadap lingkungan, penggunaaan sumber daya alam boleh-boleh saja. Saat ini Jambi belum mampu mengikuti paham dark conservasionist yang menolak dengan total seluruh bentuk eksploitasi alam, mengingat sumber daya alam tersebut masih merupakan salah satu modal utama untuk keluar dari belitan kemiskinan.
Lalu bagaimana caranya menciptakan program kerja pembangunan daerah yang pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja dan pro-rakyat miskin agar tidak gagal seperti yang diuraikan di atas?
Pemerintah daerah harus mengefektifkan mekanisme penjaringan usulan pembangunan yang telah diatur dalam UU No. 25/2004 yaitu forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Masyarakat lewat lembaga adat atau sosial keagamaan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengusulkan pembangunan yang dibutuhkan dan secara berjenjang disampaikan lewat forum tingkat kecamatan hingga pusat (nasional). Forum ini juga menjadi arena efektif untuk mensosialisasikan konsep pembangunan hijau kepada masyarakat dan seluruh jajaran pemerintah daerah.
Selanjutnya Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) yang ada di provinsi dan kabupaten/ kota yang selama ini nyaris tak terdengar kiprahnya, bekerjasama dengan BAPPEDA dan dinas teknis terkait harus diberi tugas untuk menggodok pola pelaksanaan kegiatan pemerintah yang tepat sasaran.
Menumbuhkan kepedulian dan kekritisan masyarakat terhadap semua tindakan yang merusak lingkungan harus dilaksanakan secara terus menerus dan mendapat dukungan pemerintah daerah. Selama ini terkesan pemerintah daerah sangat alergi dengan unjuk rasa para aktivis lingkungan dengan alasan mereka diboncengi oleh kepentingan asing atau pihak yang tidak senang dengan perusahaan atau pejabat tertentu. Bapedalda pun perlu lebih diberdayakan, jangan hanya menunggu laporan masyarakat. Keluhan atas kewenangan terbatas yang dimiliki oleh Bapedalda patut direspon dengan merevisi peraturan terkait tugas dan fungsinya.
Terakhir namun sangat penting adalah penegakan hukum terhadap para penjahat lingkungan ini. Sesungguhnya kejahatan mereka bukan saja terhadap masyarakat sekarang namun juga terhadap generasi masa datang. Kerusakan yang mereka ciptakan hari ini terpaksa dibayar mahal oleh generasi masa datang karena biaya pemulihan lingkungan akibat kerusakan tersebut akan menyedot 20% dari GDP Indonesia.
Jika tidak, kita patut khawatir bahwa komitmen untuk menerapkan pembangunan hijau hanyalah rangkaian kata yang manisnya di bibir saja.
Dulu, berwisata bukanlah sesuatu yang teramat saya sukai. Sebagai kutu buku, saya lebih senang mendekam di kamar, membaca tumpukan komik atau majalah kumpulan cerpen sebelum kembali membuka buku pelajaran dan menghafal istilah-istilah Latin Biologi, pelajaran favorit saya kala duduk di bangku SMA.
Saya mulai menyukai acara jalan-jalan ketika berkesempatan menetap di Queensland, salah satu negara bagian di Australia tempat saya menyelesaikan program pendidikan S2. Mungkin karena ini adalah kunjungan pertama ke negara asing, saya menghabiskan akhir pekan menjelajahi ibukotanya dengan berjalan kaki atau naik bus, menyusuri taman kota yang rapi dengan deretan pohon elegan serta kursi yang merayu untuk diduduki.
Sering juga saya sekedar berjalan-jalan ke pusat kota, cuci mata dengan melihat bule-bule yang tinggi besar bersileweran, mengamati orang aborigin ngamen dan membuat lukisan. Tak lupa saya memotreti rumah ala western, museum, gedung pemerintahan hingga area kampus. Pergi ke kawasan China Town bagi saya juga bermakna wisata, sambil mencari bahan makanan Indonesia, beli buku dan pernak-pernik di pasar rombeng, mengintip para peramal di tendanya hingga bermain pasir di Gold Coast yang berombak biru dan bersiih sekali.
Ternyata saya telah keranjingan berjalan-jalan.
Kebiasaan berkeliling setiap akhir pekan itu lalu saya bawa ke Indonesia. Bersama suami dan anak-anak, saya mulai dapat menikmati wisata ke pantai Padang yang sebelumnya saya anggap biasa saja karena saya lahir serta tumbuh di Padang atau shopping kerajinan lokal di Bukittinggi setiap kali keluarga kami mudik lebaran.
Pada kesempatan lain, saya dan keluarga menikmati hamparan padang rumput dengan ratusan sapi yang digembalakan di Padang Bolak Sumatera Utara. Kami juga mengunjungi kota kecil Muaro Bungo, Kuala Tungkal atau menginap di sebuah villa di kaki perkebunan teh Kayu Aro Kerinci.
Sudut-sudut Kota Jambi juga tak luput dari penjelajahan. Sebut saja Danau Sipin, dengan luas sekitar 42 hektar di tengah Kota Jambi dimana terdapat sebuah restoran ala rumah panggung yang berandanya menghadap ke danau, hang-out bersama teman seraya bersantap siang dengan menu khas Jambi. Kadang kami mendekati para penjual ikan danau dan membeli ikan Toman, Lambak, atau Baung untuk dibawa pulang.
Detil dan kekhasan objek wisata tanah air meninggalkan kesan unik, memperkaya sekaligus meringankan (beban) hati saya. Penghargaan terhadap area wisata negeri sendiri ternyata muncul dari pengalaman menetap sebentar di luar negeri. Negeri saya ternyata memiliki keunikan yang mengesankan.
Di Aussie area wisata dan paket yang disediakan ditata demi kemudahan pewisatanya. Brosur berisi arah dan biaya berwisata ke Goaldcost dengan menggunakan kereta api atau bus mudah ditemukan. Brosur dan leaflet wisata ada di mana-mana, di kampus, stasiun kereta atau losmen. Di tanah air brosur wisata sejenis secara eksklusif hanya tersedia di travel biro, itu pun didominasi tawaran paket wisata ke luar negeri atau umroh/haji. Bahkan di Bandara Sultan Thaha Jambi pun, saya jarang melihat brosur wisata tanah air.
Tidak heran jika di provinsi saya ini, paket wisata ke tiga negara Malaysia, Singapore, dan Thailand lebih populer dibanding paket wisata ke Bali atau Ancol. Yang cukup mengherankan, peminat untuk wisata tersebut ternyata tidak selalu dari kalangan atas. Pekerja swasta kelas menengah, pegawai negeri hingga guru adalah deretan profesional yang berwisata ke negeri tetangga tersebut.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Apakah orang Indonesia lebih suka memperkaya bangsa lain lewat kunjungan wisata tersebut? Ternyata jawabannya sederhana saja. ”Mereka (agen perjalanan) menawarkan paket wisata singkat, terjangkau dan mengurusi semua keperluan perjalanan kami, “jelas Juslina tentang liburan ke luar negeri yang dia ikuti bersama kolega gurunya. “Kami kan tidak memiliki keluarga di sana, jadi harus ada yang mengelola perjalanan kami,” ucap guru berusia 42 tahun ini, yang sebelumnya hanya berwisata ke kota dimana dia memiliki sanak famili.
Paket wisata ke luar negeri tersebut diakuinya sebagai ‘tidak terlalu istimewa’. “Pemandangannya biasa saja. Beli oleh-oleh tidak bisa banyak karena tidak sesuai selera dan mahal! Hanya saja ada perasaan bangga karena kami sudah sampai ke luar negeri,” ucapnya diikuti tawa, mengenang perjalanan wisata selama 5 hari tersebut.
Seandainya ada travel biro yang menyediakan paket wisata dalam negeri dengan pelayanannya senyaman paket ke luar negeri tersebut, apakah ada yang tertarik? Yuni, wakil kepala sekolah di sebuah SMA di Kota Jambi ternyata menyukai ide tersebut. “Setiap akhir tahun ajaran, sekolah membawa anak-anak berlibur. Selama ini saya dan guru-guru lain yang mengawal kegiatan tersebut dan repotnya minta ampun. Maklum mengurusi abege (Anak Baru Gede),” katanya.
Jika dihitung jarak tempuh Jambi-Jakarta yang hanya 55 menit dengan pesawat udara, paket kunjungan ke Ancol sebagai salah satu contoh, bisa dikemas lebih murah, praktis dan menarik. Misalnya paket wisata 3 hari dengan biaya Rp2 juta,- sudah termasuk biaya hotel, makan, transport pesawat dan bus dari/ ke Ancol-, lalu ditawarkan ke sekolah-sekolah atau kantor pemerintah dan perusahaan swasta, paket wisata tersebut akan lebih menarik dan terjangkau. Peminatnya mungkin akan membludak lagi bila ada diskon pada bulan-bulan tertentu, atau jika pesertanya melebihi 10 orang, atau harga miring pada off-peak season. Dengan biaya yang lebih murah, lebih banyak kalangan guru, murid dan profesinal kelas menengah yang mampu menikmati keragaman area wisata milik bangsanya sendiri.
Tentu saja, untuk mengemas paket wisata singkat, hemat dan informasinya sampai ke sekolah dan kantor-kantor, butuh kerjasama yang baik antara biro perjalanan dan pengelola area wisata. Jika paket mungil ini dapat dikemas dengan memikat, tentu pewisata di provinsi lain di luar Jakarta terutama dari kalangan sekolahan dan pekerja berpenghasilan menengah akan bergegas menyambutnya. (Penulis: Asnelly Ridha Daulay).
Jika saat ini ada yang bertanya, siapakah tokoh wanita yang paling menarik hati saya? Dengan mantap saya akan menjawab; Elizabeth Bennet. Tokoh rekaan Jane Austin dalam novelnya “Pride and Prejudice” tersebut berhasil memenangkan hati saya karena kekukuhan hatinya dalam mempertahankan prinsip hidup. Cinta yang benar adalah cinta yang dibangun atas dasar penghormatan. Elizabeth atau Lizzy tidak dapat mentolerir siapapun atau pandangan apapun yang meremehkan dirinya, apalagi jika itu dikaitkan dengan keperempuanan dirinya atau status keluarganya.
Elizabeth menyadari diri dan keempat saudara perempuannya adalah beban keluarga. Tanpa seorang pun saudara laki-laki, nama keluarga Bennet, tanah dan rumah keluarga akan jatuh ke ponakan laki-laki sang ayah karena anak perempuan di daratan Inggris pada abad 18 tidak memperoleh hak waris. Dalam kondisi seperti itu, hanya perkawinanlah yang dapat menyelamatkan mereka. Namun hal tersebut tidak mudah. Jumlah laki-laki kaya, cukup kaya, atau bangsawan tidak banyak. Para perempuan harus bertarung dengan mengandalkan kualitas yang mereka miliki; kecantikan, nama keluarga dan harta. No money, no connection, nasib perempuan menjadi tidak jelas.
Elizabeth tidak membiarkan situasi tersebut mengintimidasi dirinya. Baginya lebih baik tidak menikah jika dia tidak menemukan laki-laki yang menghargai pendapatnya, menerima kondisi keluarganya yang tidak sempurna dan memahami hidupnya yang sederhana. Kemampuan Elizabeth untuk mendidik dirinya dan mempertahankan prinsip tersebut amat mengagumkan saya. Tidak banyak perempuan yang seperti itu. Sangat banyak perempuan yang menyerah atas desakan keluarga, keadaan dan mengorbankan prinsip atau cita-citanya agar semua orang senang dan mau mencintai dirinya.
Inilah yang nampak di Indonesia pada abad 21 ini. Perempuanlah yang paling banyak menderita karena kemiskinan keluarganya. Jutaan perempuan di Indonesia yang hidup tanpa harta, tanpa koneksi, ternyata juga tidak mendapat perlindungan dari laki-laki yang menjadi suami atau saudara laki-lakinya. Mereka terpaksa bekerja di sektor non formal dengan gaji rendah, resiko tinggi dan mengabaikan martabat mereka. Indonesia memiliki norma dan ide yang bagus tentang status perempuan namun gagal menjadikannya realita.
Kisah tragis yang dialami Sumiyati, tenaga kerja wanita (TKW) kita yang disiksa di Arab Saudi mengingatkan saya bahwa institusi negara belum dapat memberi kesetaraan, kesejahteraan dan perlindungan untuk perempuan. Demikian juga di sektor formal khususnya di jajaran pemerintahan, perempuan yang memiliki pendidikan yang baik dan kecakapan dalam bekerja masih sulit mencapai posisi puncak karena dilemahkan oleh faktor ‘keperempuanannya’. Perempuan harus dua kali lebih baik dari koleganya yang laki-laki agar dapat menduduki posisi strategis.
Saya menjadi bertanya-tanya, masih relevankah rangkaian kata muluk dan acap kali didengungkan bahwa agama dan budaya timur menghormati kaum perempuan? Perempuan yang manakah yang memperoleh kehormatan tersebut? Perempuan kelas atas atau tertentu sajakah? Berapa persenkah jumlah mereka dari seluruh perempuan yang ada di negeri ini? Bagaimana dengan perempuan yang tidak beruntung karena dilahirkan dari keluarga miskin?
Dalam kasus tenaga kerja wanita yang dikirim ke luar negeri yang jumlahnya pada tahun 2010 mencapai 465.485 orang atau naik 37,314 persen dari angka tahun lalu, hasil kerja keras mereka belum tentu dapat menjadi jaminan bahwa mereka akan lebih dihormati di tengah masyarakat atau keluarganya. Banyak diantara mereka, ketika pulang ke tanah air menemukan bahwa uang yang mereka kirim ternyata disalahkelola oleh suami atau saudara laki-laki mereka. Mereka belum dapat hidup tenang atau pensiun menjadi TKW, sebaliknya mereka dipaksa atau terpaksa kembali bekerja agar anggota keluarganya dapat hidup layak lebih lama. Sebuah pengorbanan yang harusnya memperoleh penghormatan yang pantas.
Sudah saatnya kita berhenti memuja diri sendiri dengan mengatakan bahwa perempuan di Indonesia memperoleh tempat terhormat. Sudah saatnya pula perempuan Indonesia berhenti bermimpi bahwa mereka dapat mengandalkan para laki-laki untuk melindungi mereka. Tanpa pendidikan, tanpa prinsip hidup yang diperjuangkan dengan ketat dan sungguh-sungguh, tak akan ada penghormatan dari masyarakat dan laki-laki. Dan cinta yang dibangun tidak atas dasar penghormatan tersebut, akan segera lapuk dimakan waktu dan kecantikan yang memudar.
Para perempuan, ayo didik dirimu menjadi lebih baik dan bermartabat. Jangan biarkan kesulitan mengintimidasi dirimu.