Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

31 Desember 2012

Wisata Jambi Masih Begitu Aja!

DI PENGHUJUNG tahun ini, Kementrian Pariwisata dan Industri Kreatif (Kemenparekraf) meluncurkan kepada publik 9 provinsi destinasi wisata syariah. Kesembilan provinsi tersebut adalah Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Makasar, dan Lombok.
Jambi kembali belum masuk ke dalam provinsi utama tujuan Wisata Minat Khusus.
Sepanjang tahun ini, belum tampak catatan menonjol yang ditorehkan insan-insan pariwisata Jambi untuk menjual keistimewaan Jambi kepada publik tanah air.
Pada tahun  2012, nama Candi Muara Jambi cukup terkenal dan ramai dikunjungi, namun itu lebih disebabkan oleh adanya dua perhelatan besar berkelas nasional yang diselenggarakan di provinsi ini; puncak peringatan Hari Pers Nasional dan Perkemahan Pramuka Putri Nasional atau Perkempinas. Di luar itu, hanya ada pameran foto, lukisan dan atraksi budaya kecil-kecilan yang belum terpublikasikan secara luas sehingga tak mampu menarik wisatawan yang lebih banyak.
Padahal sebagai destinasi wisata syariah, Jambi sangat memungkinkan. Di sini ada masjid Agung Al Falah yang berbangun unik, berdiri di atas istana kerajaan Sultan Thaha, yang kita tahu berjuang melawan imperialime Belanda hingga terbunuh.
Di seberang Sungai Batanghari yang katanya terpanjang di Pulau Sumatra itu, terdapat perkampungan Melayu yang memiliki sejarah tak kalah tua. Di Seberang Kota ini, arsitektur rumah, kesenian, kerajinan dan kehidupan para santri sangat bernafaskan Islam. Jauh ke atas, ke arah Merangin dan Kerinci, juga terdapat masjid kuno dan ritual yang masih dilaksanakan oleh masyarakat, semuanya tak kalah menarik.  
Menurut Kementrian Pariwisata, sebuah provinsi dapat menjadi destinasi wisata religi bukan hanya karena keberadaan situs,  harus didukung fasilitas seperti hotel, salon dan spa, bahkan pasar yang menjual komoditi yang bernuansa Islam.
Melihat kepada sembilan provinsi di atas, Jambi mungkin “kalah” dibanding Jakarta, Sumbar, Banten dan beberapa provinsi lain dari segi daya tarik situsnya. Namun dibanding Provinsi Lampung atau Riau, apakah Jambi tidak lebih menarik?
Kelemahan Jambi terdapat pada fasilitas yang kurang mendukung. Belum banyak salon, spa atau hotel yang mengutamakan nilai-nilai Islam dalam melayani konsumennya. Kita juga belum punya pasar seni yang menjajakan kerajinan tangan dan souvenir khas Jambi. Jangan sebut lagi soal jalan yang… ya ampun buruk sekali.
Dari segi tren, generasi muda Jambi belum menonjolkan fashion Islami. Kelompok Hijabers sudah ada, tapi mereka belum menemukan identitas hijab yang khas, misalnya hijab khas melayu. Kuluk yang pernah dipopulerkan oleh Ratu Munawaroh, dan sebenarnya sangat menarik serta mengandung filosofi,  pemakaiannya kembali sepi.  
Untunglah  Gubernur Jambi Drs. Hasan Basri Agus memiliki visi lumayan oke tentang wajah kota Jambi ke depannya. Dia telah memulai proyek pembangunan Jam Besar di pinggir Sungai Batanghari tepatnya di Kelurahan Arab Melayu, yang direncanakan akan berdentang setiap kali waktu shalat datang. Di  menara  tersebut akan dibangun pula museum berisikan sejarah masuknya agama Islam ke Jambi serta kisah Islami lainnya. Kehidupan pesantren di Seberang Kota juga dibenahi sehingga kawasan itu kembali menjadi tujuan belajar para santri di seluruh pelosok Sumatra seperti puluhan tahun lalu.
Jika rasanya terlalu berat untuk bersaing dengan 9 provinsi tujuan wisata syariah, sebenarnya Jambi masih punya “simpanan” lain. Wisata hijau atau ecowisata. Ini didukung oleh keberadaan empat Taman Nasional; Kerinci Seblat, Bukit Tigapuluh, Bukit Duabelas dan Berbak,  geopark di Sarolangun, sungai dan danau yang masih alami. Tinggal bagaimana melengkapi infrastrukturnya agar mudah dijangkau dan tak terlalu makan banyak ongkos.
Masalahnya, konsep wisata apa yang dimiliki oleh Dinas Pariwisata Provinsi Jambi saat ini? Apakah masih akan terus berkutat pada kontes putri-putrian sementara provinsi lain bersaing keras untuk menjual daya tarik yang mereka miliki? Apakah warga provinsi ini yang jumlahnya lebih dari 3 juta masih akan terus disuguhi objek wisata yang itu-itu saja dan terpaksa berpaling ke kehidupan mall atau pusat perbelanjaan?
Mari kita tunggu gebrakan insan pariwisata Provinsi Jambi!

27 Mei 2012

Suku Anak Dalam; Sebuah Transformasi Peradaban yang Gagal?



PERJALANAN ke salah satu dusun yang dihuni Suku Anak Dalam (SAD) di Senami, Desa Jebak Kecamatan Muara Tembesi tak terlalu susah. Dari Kota Jambi, mobil APV yang membawa kami hanya membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam untuk mencapai dusun yang berada di teritori Kabupaten Batanghari tersebut.
Yang membuat kami lelah, tak lain melihat kehidupan suku asli ini. Melewati jalan tanah dan barisan rumah mereka, kami seperti berjalan memasuki abad yang lalu.
Perasaan itu muncul begitu saja. Rumah SAD seharusnya dikelaskan sebagai rumah keluarga “bawah pra sejahtera”. Hanya berdinding kayu, berlantai tanah atau cor semen  kasar dan atap yang tak sepenuhnya bisa melindungi dari panas dan hujan.
“Rumah kami basah kalau hujan,” kata Saini, 74 tahun, tentang rumah yang katanya dibangun oleh Dinas Sosial Provinsi Jambi tahun 1999 lalu. Bersama istrinya, bekas kepala dusun ini melewati hari tuanya di rumah panggung tersebut. Tak ada kamar di rumah itu, seonggok kasur tua tampak ditumpuk di pojok ruangan.
Selain rumah yang sangat sederhana, kebersihan juga masih jauh dari kehidupan suku ini. Beberapa anak yang ditemui, belepotan ingus dan tanah, tak beralas kaki dan mengenakan baju kotor. Anjing menjadi teman bermain anak-anak tersebut, memegang dan menggendongnya dengan akrab. Hal yang tak biasa dilakukan oleh anak-anak dari keluarga muslim.
“Meskipun di KTP-nya muslim, tapi pengetahuan Islam mereka dangkal. Puasa dan shalat…belum bisa, “ucap Kepala Dusun Senami, Rosmiyati.  Bukannya tak ada usaha dirinya dan pemerintah untuk meningkatkan kehidupan religius suku asli ini, tapi diakui memang sangat sulit.
“Butuh kesabaran yang tanpa batas. Tak bisa mengharapkan hasil cepat,” ucap wanita keturunan Serang Banten ini. Bersama suaminya yang mengelola satu-satunya masjid di kawasan tersebut, Rosmiyati tak berhenti menyeru SAD untuk menjadi muslim yang baik. 
Agaknya sangat sulit untuk meningkatkan kualitas hidup suku rimba ini. Formula yang diterapkan oleh pemerintah masih jauh dari harapan. Upaya yang sukarela dilakukan kelompok masyarakat dan mahasiswa, juga belum berhasil menyentuh hati Orang Rimba.
SAD memang tak lagi tinggal di rimba. Mereka bahkan tak lagi hidup dengan mengandalkan hasil hutan seperti damar, jernang atau rotan. SAD sekarang tercabut dari akar kehidupan rimbanya, namun sebagai orang modern, mereka pun tidak bertransformasi dengan baik.
Indikasinya dapat dilihat dari tingkat pendidikan mereka. Anak-anak SAD di sini berpendidikan sebatas sekolah dasar. Bahkan banyak yang hanya bersekolah satu atau dua tahun saja.
“Sekolah jauh, anak saya capek,” jelas Musman. Ayah empat anak kelahiran 1970 itu tak merasa terganggu dengan keterbatasan pendidikan anak-anaknya. Tiga dari empat anaknya hanya tamat SD.
Sekolah dasar memang cukup jauh kalau ditempuh berjalan kaki. Namun dengan banyaknya SAD yang memiliki sepeda motor, alasan jauh tersebut kurang dapat diterima. Terkesan bahwa kebanyakan kepala keluarga SAD tak peduli dengan pendidikan anak-anaknya.
Contohnya saja Musman, satu dari sedikit keluarga SAD yang tergolong mampu di dusun tersebut. Dia yang memiliki kebun karet cukup luas dan berpenghasilan tambahan sebagai pengumpul madu di kawasan perkebunan akasia PT. WKS, belum menganggap pendidikan penting. Kemodrenan di rumahnya hanya ditandai dengan satu unit televisi plus decorder tivi digital.
Demikian juga dengan para perempuan muda SAD. Kebanyakan mereka belum termotivasi untuk meningkatkan keterampilan. Waktu mereka dihabiskan untuk duduk bercengkerama.  Kegiatan pengajian atau pelatihan untuk meningkatkan ekonomi keluarga, belum menarik hati mereka. Bahkan kebiasaan mengayam yang dulunya sangat akrab dengan kehidupan wanita SAD, telah ditinggalkan.
Melihat kondisi itu, akankah SAD bisa bertransformasi menjadi masyarakat modern sementara generasi mudanya tak berpendidikan dan berketerampilan cukup?(****)

13 April 2012

Kerupuk Jambi Masih Kalah Bersaing Dengan Produksi Sidoarjo

 
SUMBER daya laut yang melimpah membuat Kabupaten Tanjung Jabung Barat terkenal sebagai penghasil aneka makanan hasil olahan laut. Salah satunya adalah kerupuk udang. Secara tradisional, hampir setiap rumah tangga di desa pinggir pantai membuat kerupuk ini.
Keistimewaan kerupuk udang keluaran Tungkal adalah rasa ikannya yang kental.
“Kalau kerupuk daerah lain campuran tepungnya sangat banyak, kalau kerupuk buatan kami perbandingan ikan dan tepungnya hampir sama,” jelas Acin, seorang pemilik usaha kerupuk di Tungkal.
Usaha ini digelutinya hampir 5 tahun dengan produksi bulanan mencapai 200 kg. Sebenarnya dia dan istrinya siap untuk meningkatkan produksi kerupuk tapi pemasarannya belum ada.
Kerupuk buatannya secara rutin dikirim ke Jambi, ditampung seorang pembeli yang kemudian menggorengnya untuk dipasarkan di supermarket dan toserba di ibukota Jambiprovinsi tersebut.
Kerupuk buatan Acin di jual Rp. 50 ribu per kg. Selain kerupuk dengan ukuran selebar setengah telapak tangan, mereka juga membuat kerupuk kayu api. Pengeringan kerupuk masih menggunakan sinar matahari meski di tempat usahanya yang merupakan fasilitas dari Dinas Perikanan Tanjab Barat di TPI Parit 7 Kuala Tungkal, Tanjab Barat tersedia oven.
“Oven hanya dipakai kalau musim penghujan. Kami tak mau tergantung kepada oven karena susah memperoleh bahan bakar gas di sini,” jelasnya.
Sampai saat ini tidak ada masalah yang ditemui dalam proses produksi karena bahan mentah, tenaga kerja dan ketersediaan cahaya matahari sangat mendukung. Namun untuk pemasaran, mereka harus bersabar.
“Pemasaran kami baru sampai ke Jambi. Kalau ke luar agak sulit karena harus bersaing dengan kerupuk Sidoarjo Jawa Timur yang harganya lebih murah. Tapi kalau dibandingkan rasanya, kerupuk kami lebih enak karena ikannya lebih banyak dan bebas bahan pengewet,” papar Acin.
Untuk konsumen yang tahu kelebihan kerupuk tungkal, pastilah akan memilih membeli kerupuk ini. Tapi kalau pertimbangannya harga, tentu lain lagi ceritanya.

Terasi Tungkal Yang Istimewa



TERASI dapat disebut sebagai bumbu masakan terpopuler di Indonesia. Jauh sebelum pelezat masakan mengandung monosodium glutamate merambah dapur di negeri ini, terasi telah dipakai untuk melezatkan nasi goreng, rujak, sambal caluk, tumis kangkung dan hidangan lainnya. Terasi menjadi andalan juru masak untuk membuat masakan dengan rasa paripurna.

Kota Tungkal dan desa-desa di sepanjang lautnya telah cukup lama menjadi sentra pembuatan terasi dan turunannya di Jambi. Tidak hanya untuk kebutuhan lokal, terasi Tungkal diam-diam juga telah dikirim seantero Indonesia hingga negeri tetangga Malaysia. 

Nenek Roqayah, seorang pembuat terasi di Desa Parit 7 RT. 01 Kelurahan Tungkal 1 Kuala Tungkal, mengatakan setiap bulan sekitar 500 kg terasi dan petis dibawa ke luar Tungkal. “Sering juga ada permintaan dari Malaysia,” jelasnya.

Terasi yang diberi label Sri Rezeki Laut ini dijual Rp. 50.000/kg, sedangkan terasi basah dan belum berlabel dijual Rp. 15.000/kg.

Menurutnya membuat terasi tidak sulit, apalagi bahan bakunya, udang rebon tersedia setiap saat. Udang kecil tersebut dibeli dengan harga Rp. 2000/kg.

“Yang mahal itu garam, harganya Rp. 100 ribu sekarung ukuran 20 kg serta upah tenaga kerja. Saya membayar sekitar Rp. 10.000 untuk 1 kg terasi yang dibuat mereka,” tambahnya.

Makanya untung yang diperoleh wanita keturunan Jawa ini sebulannya hanya berkisar Rp. 1,5 juta. Untungnya, Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat lewat Dinas perikanannya meminjamkan peralatan mesin penggiling udang, cetak dan perkakas berteknologi sederhana lainnya, sehingga proses membuat terasi lebih cepat.

Sampai saat ini, pengeringan terasi masih menggunakan cahaya matahari, meski kadang-kadang terhalang oleh cuaca yang mendung. “Keringnya lebih bagus,” ucapnya mengemukakan alasan mengapa tak menggunakan oven untuk mengeringkan terasi tersebut.