APA
yang paling mempesona dari Gunung Bromo? Sulit menjawab pertanyaan tersebut karena
setiap orang mungkin memiliki kesan yang berbeda tentang gunung yang berada di
Kabupaten Prubolinggo Jawa Timur ini. Namun bagi saya, selain keindahan, adalah
tantangannya yang membuat saya merasa bangga dan puas sempat memandangnya dari
dekat.
Saat
kami berangkat ke Prubolinggo dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, sudah
terdengar informasi bahwa puncak Bromo ditutup sementara karena sedang erupsi. Sedikit
kecewa sebenarnya namun tidak menyurutkan niat kami bertujuh. Apalagi puluhan
turis asing berkulit Eropa dan Asia terlihat keluar dari pelabuhan Ketapang. Kami
merasa yakin mereka menuju Bromo juga.
Dari
Ketapang kami menyewa mobil. Cukup mahal. Hal ini sudah kami duga karena belum
ada pelayanan transportasi massal. Serupa lokasi wisata lainnya di Indonesia,
biaya transportasi merupakan komponen pengeluaran terbesar. Apalagi jarak
Ketapang dan kawasan Bromo cukup jauh – sekitar 6 jam perjalanan menggunakan
mobil – dan sulit.
Kami
memasuki kawasan gunung berapi aktif tersebut pada tengah malam berkabut. Mobil
meliuk-liuk menyusuri jalan sempit, menyusuri rumah penduduk dan kebun sayuran
serta pepohonan. Malam itu belum terlalu dingin, masih bisa tertahankan dengan
mengenakan jaket atau baju berlapis. Sopir mengantar kami ke sebuah penginapan
ketika jam telah lewat 12 malam.
“Silahkan
istirahat dulu. Nanti jam empat pagi akan saya bangunkan, lalu diantar mobil
jeep ke Seruni Point,” kata penjaga penginapan. Lagi, kami mengeluarkan ratusan
ribu rupiah untuk sewa jeep. Tepat seperti yang direncanakan, kami dibangunkan
pada dinihari tersebut. Sungguh sebuah perjuangan yang berat karena kondisi badan
masih lelah dan mengantuk berat. Tapi demi melihat sunrise di puncak Bromo, kami berangkat dengan terseok-seok.
Sampai
di kaki Seruni Point, banyak turis telah mulai mendaki. Turis asing dan lokal dengan
puluhan orang-orang dari suku asli Tengger yang menyewakan kuda berkerumun di
pemberhentian terakhir mobil jeep. Saya dan suami mencoba mengelak tawaran
mereka yang gigih. Mereka terus merayu, mungkin karena mendengar nafas saya
yang tersengal-sengal menapaki jalan berbatu, terjal dan licin akibat guyuran
hujan.
“Jauh
Pak, Ibu…tidak akan kuat. Ayo saya antar,” bujuknya. Ketika tawaran itu kami
abaikan, lelaki lain mendekat dan menurunkan tarifnya.
“Lima
puluh ribu saja pak…. Ke atas masih jauh, tidak akan kuat,” ucapnya. Akhirnya
kami pun tergoda karena mengira puncak Seruni masih jauh. Ternyata hanya berkuda
satu putaran, kami harus turun. Di sanalah pemberhentian terakhir kuda. Saya
dan suami hanya bisa meringis karena telah ditipu mentah-mentah, namun juga
salut atas kegigihan mereka menawarkan kudanya.
Bagi
saya yang tidak muda lagi, menapaki sekitar duaratus anak tangga ke puncak
pengamatan Bromo di Seruni Point adalah sebuah perjalanan berat. Berlahan
semangat untuk tidak mau dikalahkan oleh usia bangkit. Saya bisa! Meski dada
terasa berat dan dipenuhi oleh udara dingin yang membuat saya terbatuk-batuk,
keinginan untuk sampai di Seruni sebelum pendar matahari muncul, semakin
menguat. Uap dingin berpacu keluar, mengepul dari mulut-mulut kami. Syukurillah,
akhirnya bisa sampai di puncak bersama puluhan turis lainnya.
Momen-momen
menjelang munculnya matahari berlalu dengan sepi. Sebagian berbisik-bisik
dengan teman atau pasangannya, yang lain memilih diam dan mengamati dengan
tenang. Ketika cahaya matahari mulai berpendar kuat, suara jepretan kamera
terdengar di setiap sudut, berlomba mendapatkan latar belakang menarik dari
Gunung Bromo dengan asap yang mengepul dari kawahnya.
Berlahan
langit mulai terang. Kami pun menuruni Seruni menuju kuda yang menunggu di
bawah. Sungguh, menunggangi kuda menuruni jalan yang sempit dan curam adalah
pengalaman yang sangat menegangkan. Seakan-akan kaki kuda akan terperosok dan
melempar penunggangnya ke dalam jurang. Untungnya saya berhasil mengatasi rasa
takut tersebut, bahkan kemudian menikmatinya.
Meski
kawasan di tanah berpasir di kaki Bromo ditutup akibat erupsi, orang-orang
Tengger menjanjikan mengantar kami ke sana melewati jalan setapak. Jalan
tersebut biasa dilewati mereka untuk mengambil rumput makanan kuda. Sekali-sekali
kami terpaksa turun dari kuda karena jalannya terlalu licin dan berbahaya.
Begitu
sampai di dataran berpasir, perasaan saya terasa meluap-luap oleh sensasi
keindahan dan kemenangan. Akhirnya kami berada tidak jauh dari kaki Gunung
Bromo. Meski terlarang mendaki puncaknya, kami memberanikan diri mengambil
beberapa gambar di dekat Pure Luhur Poten, tempat ibadah Penganut Hindu Tengger.
Ada
perasaan puas dan senang yang aneh, serta kedekatan dengan yang Maha Kuasa
ketika berada di sana. Sedikit terbawa perasaan…tapi terus terang saya merasa
menjadi salah satu orang terpilih ketika itu. Di usia yang tak lagi muda, saya bisa
hadir di kawasan Bromo. Itu suatu pencapaian yang luar biasa. Lalu saya ingat…,
bumi Allah ini sangat luas. Saat itu pun saya bermohon agar DIA memberi kami umur
panjang dan rezeki cukup agar dapat mengunjungi bagian lain dari bumiNya dan
merasakan keagunganNya, sebagaimana perasaan saya ketika berada di kawasan
Bromo. (Asnelly Ridha Daulay)