Adat Yang Tak Luntur oleh Hujan
Ketika kembali menginjakkan kaki ke tanah leluhurku di Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara, lagu lama ini kembali bersenandung di dalam hati.
O, Tano Batak
haholongakku
Sai namalungun
do au tu ho
Cukup sulit untuk kembali datang ke Padang Bolak; selain karena kesibukan pekerjaan di rantau, jalan yang jelek dan jarak tempuh yang jauh dari Jambi menjadi penghalang untuk sering-sering ke sana. Namun jangan bilang aku tidak rindu! Meskipun kampung ini jauh, tertinggal dan berudara panas, hatiku selalu merindukan bertemu kembali dengan sanak saudaraku yang hangat, yang ekspresif, meskipun tak banyak kebaikan yang bisa kusumbangkan.
Pesta pengukuhan gelar untuk dua orang sepupuku akhirnya menjadi jalan bagi aku dan suami untuk kembali ke Padang Bolak. Di sana, kami menikmati kembali kehadiran orang-orang kampung yang sederhana dan hangat, yang menyambut kami dengan gembira karena tak menyangka kami bisa memenuhi undangan mereka.
Satu hal yang mengesankan dari kunjungan singkat ini adalah adat Tapanuli yang tidak luntur oleh waktu dan hujan (kalo lekang oleh panas sudah biasa toh!). Ini beberapa foto yang menggambarkan antusiasme keluarga kami untuk terus mempertahankan adat budaya leluhur.
Tulisan di atas tikar anyaman di depan rumah menandakan adanya pesta adat.
Acara Penebalan Nama sepupuku ditandai dengan pemotongan kerbau. Karena ada dua orang yang diberi gelar adat, maka kerbau yang dipotong pun harus dua ekor.
Kedua sepupuku dan istri masing-masing, mereka pake kacamata hitam hi...hi...hi. Tapi ini bukan untuk gaya-gayaan lho! Mereka harus duduk di sana semalam suntuk plus dua siang. Jadi, kalo mereka tertidur atau terkantuk-kantuk selama prosesi tersebut, tidak ada yang tahu sebab dilindungi oleh kacamata hitam itu.
Manortor, merupakan tari adat yang ditunggu semua orang. Meski tari ini sederhana namun aturannya ketat dan filosofis. Seorang tetua kampung mengatur siapa yang boleh menari sesuai dengan posisinya dalam keluarga besar kami. Terlihat suamiku di barisan belakang, mengayapi Oppungku yang berada di barisan depan.
Nantulangku di tengah, menortor dengan penuh perasaan. Perjalanan panjang dan sulit telah dilaluinya hingga akhirnya kedua anak laki-lakinya berhasil hidup mapan.
Antrian terlalu panjang untuk menortor, aku dan iparku tidak peroleh tempat. Untungnya kami mendapat kesempatan mendampingi pasangan sepupuku menyaksikan pembantaian kerbau di halaman belakang.
Di Pesta adat ini laki-laki dan perempuan bekerja sesuai dengan posisi masing-masing. Yang perempuan menyiapkan bumbu dan bahan masakan, yang laki-laki memasak di atas tungku besar. Siapa bilang adat patriakhi selalu melemahkan posisi perempuan? Laki-laki ikut kerja juga kok!
Pada acara seperti ini seluruh keluarga besar berkumpul dan tersenyum. Oppung dan Tulangku berpose bersama.
Aku berpose bersama keluarga dari Sipirok. Oppung buyut, Oppung kandung dan Nantulangku adalah perempuan Sipirok yang dinikahi dan dibawa ke keluarga kami di Padang Bolak.
Kunjungan singkat yang mengesankan. Aku berharap masih banyak kesempatan untuk bertemu mereka lagi. Horas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar