KETIKA saya mengupdate
status di facebook, “Just arrived in
Lombok”, seorang teman berkomentar agar tidak melewatkan Pulau Gili
Terawangan. Teman-teman lain bahkan dengan detil menyebut objek wisata yang
harus saya kunjungi di Pulau Lombok dan sekitarnya.
“Tenang, kita akan ke
sana setelah acara HPN selesai,” jawab suami ketika dengan geli saya melaporkan
respon teman-teman tersebut.
Jadi, hari-hari pertama
di Mataram kami mengunjungi objek wisata yang dekat-dekat saja seperti Pantai
Senggigi, menyapa monyet di Pusuk Pass, singgah sebentar di Pantai Aan dan
tentu saja, melihat karya tangan penduduk Lombok yang terkenal; perhiasan
mutiara dan tenunannya.
Fathur yang amat keranjingan
fotografi mengajak ke bukit Merese yang terletak di seberang Pantai Aan. Hanya
saya dan Fathur yang berangkat. Kami pun menyewa kapal untuk menyeberang.
Perjalanan ke Bukit
Merese ternyata tidak mudah. Siang itu sangat panas. Hati saya langsung terhibur
begitu kapal meninggalkan pantai menuju laut biru. Tuhan telah menganugerahkan biru
yang indah untuk semua laut yang
mengitari Pulau Lombok. Sampai di kaki Bukit Merese, kami bertiga menapaki
padang rumput tipis dan bergelombang, yang mengingatkan pada scene sebuah film Hollywood. “Seperti di
film Jurrascic Park ya Ma?,” kata Fathur mengungkapkan apa yang juga ada di
pikiran saya.
Fathur tak kuasa menahan
gejolak hatinya untuk segera menemukan sudut terbaik pemotretan. Nyaris lupa
bahwa ibunya merangkak tertatih-tatih di belakang. Sadar melenggang sendirian,
dia mendekat dan bertanya apakah saya masih bisa melanjutkan pendakian? Tentu
saja harus bisa! Sebagaimana Fathur, saya juga amat tertarik dengan pemandangan
anyar.
Dan ketika kami membelok
mengitari sebuah undukan dan sampai di sebuah dataran, dada kami terkesiap
melihat pemandangan di bawah kami. Laut biru membentang hingga ke tepi langit, mengitari
bukit-bukit yang lebih rendah dari Merese.
“Mama, inilah keindahan
absolut itu,” ucap Fathur nyaris berdesah. Saya pun mengangguk. Teramat indah…indahnya
nyungsep ke hati karena tersaji khusus untuk
kami berdua.
Fathur meninggalkan saya
di puncak bukit Merese, ditemani kerbau-kerbau yang sedang merumput. Dia dan si
pemandu menuju cerukan di bawah, meloncat dari satu batu karang ke batu berikut
untuk mengambil gambar-gambar menarik. Sendiri di puncak Merese, saya sempat
berpikir alangkah ramainya wisatawan asing yang akan datang jika infrastruktur
ke sini dilengkapi. Dengan kondisi jalan yang buruk dan sempit saja, puluhan bule
bersepeda motor mau datang, apalagi kalau ada kereta gantung atau kapal pesiar?
Tapi, mungkin baik juga jika Merese dan bukit-bukit lainnya dijadikan sebagai
lokasi wisata eksklusif, agar alamnya terawat dan tidak berisik
Selesai acara puncak HPN
di Pantai Kuta yang dihadiri Presiden Jokowi, kami bertujuh pun berangkat ke
Pulau Gili Terawangan. Dari Pelabuhan Bangsal, di tengah hujan rintik kami naik
perahu yang dipadati bule dan penduduk lokal serta bertumpuk-tumpuk
sayur-sayuran. Wahhh, terjepit seperti pengungsi yang tersingkir dari
negerinya. Ini liburan atau penyiksaan sih? Tapi para bule yang duduk di
anjungan kapal terlihat santai-santai saja, tak terganggu oleh pemandangan
dunia ketiga di hadapan mereka. Bagi mereka mungkin keindahan alam Indonesia
plus orang-orangnya yang bersahaja adalah satu paket yang saling melengkapi.
Sore itu Pulau Gili ramai,
kegirangan terlihat di wajah-wajah yang melintas. Pulau itu bak sebuah desa yang
penduduknya saling mengenal walau pada kenyataannya hampir tiap hari para turis
datang dan pergi. Meski tingkah turis asing bikin risih, wisatawan muslim dan
muslimah yang berjilbab seperti saya cukup banyak mengunjungi pulau ini. Dan di
sini mudah mendapatkan makanan halal. Penduduk lokal Gili sebagian besar muslim,
cara berpakaian dan berbicara mereka pun
sopan.
Gili Terawangan di waktu
malam sepenuhnya menjadi kampung orang asing. Di sepanjang jalan yang mengitari
pulau, berbaris kafe, pub, restoran atau Misbar Movie (dengan barisan
bed/tempat tidur kecil untuk bersantai). Jalanan ramai oleh pejalan kaki, kereta kuda model tempo dulu dan sepeda kayuh.
Sampai saat itu, saya belum melihat istimewanya pulau ini. Lalu mengapa banyak
teman merekomendasikannya? Apakah karena banyak bulenya? Hmm, bagi saya melihat
orang kulit putih bukan lagi suatu pemandangan yang menarik. Saya agaknya harus
menunggu besok untuk peroleh jawabannya.
Tuntas subuh, saya sendirian
ke tepi pantai. Para karyawan kafe sedang bersih-bersih. Pagi itu pantai yang
berjarak dua ratus meter dari penginapan lengang. Hanya beberapa turis Asia dan
remaja lokal. Bule mungkin masih teler di kamar masing-masing.
Sunrise will be coming
soon. Saya datang tepat waktu. Saat penghuni pulau ini tengah terlelap, dan
kapal-kapal yang ditambat berayun lembut digoyang angin laut, kemunculan
matahari pertama seperti hadiah bagi para pecinta subuh. Saya adalah sedikit
orang yang menerima hadiah itu di Pulau Gili Terawangan.
Sebelum sarapan, saya dan
suami mengelilingi pulau bersepeda. Udara segar dan birunya laut mengalir
beriringan dengan kayuhan sepeda kami. Cucuran keringat terasa seperti cipratan
air yang menyegarkan dan menggerakkan otot yang melempem akibat kemalasan
berolahraga selama ini.
Pengalaman paling menarik
di Gili tentu saja mengintip terumbu karang biru di dasar laut. Begitu boat sampai
di Gili Mano, Fathur langsung menyebur disusul yang lain. “Ayo..turun!” ajak suami dari laut. Sejenak
saya ragu. Maakk, saya tidak bisa berenang! Saya melirik pelampung yang sudah dikenakan
sejak kapal meninggalkan pantai. Saya akan menyesal jika tidak mencoba.
Saya pun turun ke laut.
Ternyata tak ada yang perlu ditakutkan. Tubuh saya beradaptasi dengan cepat. Di
kejauhan Fathur dan anggota rombongan lain asik snorkeling dan berfoto dengan
latar terumbu biru yang indah. Luar biasa.
Kami kembali ke darat
satu jam kemudian dengan perasaan puas dan bersepakat akan mengulang kembali petualangan di dasar laut. Nusantara
kita toh tidak kekurangan laut-laut indah untuk diselami.// Asnelly Ridha Daulay.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar