Istilah moral hazard sering disebut-sebut ketika anggota dewan mempertanyakan kebijakan Bank Indonesia untuk memberikan bailout kepada Bank Century. Banyak pemirsa yang menyaksikan siaran langsung Pansus Century tidak terlalu peduli apa maksudnya moral hazard. Mereka lebih memperhatikan anggota dewan di satu sisi yang mengintrogasi Sri Mulyani atau sang menteri keuangan yang menjadi bulan-bulanan dalam sidang tersebut namun berhasil untuk tetap bersikap tenang.
Moral hazard sering dipakai di bidang ekonomi untuk menggambarkan dampak sebuah kebijakan ekonomi yang merugikan pasar atau masyarakat namun menguntungkan segelintir pelakunya. Contohnya adalah pemberian bailout kepada Bank Century tersebut. Tidak ada defenisi khusus kapan kekisruhan di sebuah bank dapat menimbulkan dampak sistemik. Menurut Deputi Gubernur B, pendefenisian dampak sistemik di satu sisi akan memberikan kepastian hukum kepada pelaku perbankan namun sisi negatifnya akan menimbulkan moral hazard karena pemilik bank yakin bahwa kalau banknya bermasalah maka pasti akan di bailout.
Ternyata moral hazard dapat terjadi dimana-mana. Beberapa hari ini saya sibuk memikirkan fenomena di masyarakat kita yang merupakan gambaran lebih familiar tentang moral hazard. Anak SMP atau SMA yang belum memiliki SIM ternyata diperkenankan orangtuanya untuk membawa motor atau mobil ke sekolah. Pihak sekolah pun tidak terlalu mempermasalahkan hal ini, terlihat dengan diplotnya areal halaman sekolah sebagai lapangan parkir. Polisi pun tidak banyak bertindak terhadap anak sekolah yang bersileweran dengan motornya. Dalam contoh ini, moral hazard dirasakan oleh anak-anak lain yang tidak memiliki motor, tidak diizinkan orangtuanya untuk membawa motor namun memiliki keinginan kuat untuk membawa motor ke sekolah. Yang terjadi akhirnya adalah perdebatan tak henti atau negoisasi yang berkepanjangan antara anak dengan orang tua agar dia dibelikan motor seperti kawan-kawannya yang lain.
Contoh lain dan ini melibatkan pejabat di instansi pemerintah adalah keputusan untuk mempromosikan seseorang menjadi pejabat di eselon III dan II. Sudah jamak diketahui bahwa penunjukan seseorang menjadi pejabat eselon berdasarkan pertimbangan ketat oleh BAPERJAKAT (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). Namun ketika nama-nama pejabat tersebut diumumkan kepada publik dan dilantik, kekecewaan muncul atas sebagian nama pejabat tersebut. Ada yang terlalu muda dan prestasinya biasa-biasa saja, ada yang pernah terkait masalah indispliner, ada pejabat yang program pembangunan instansinya gagal total namun tetap bertahan.... Ketidakpuasan ini terjadi karena tidak adanya kejelasan terhadap kriteria pengangkatan. Jika pengangkatan berdasarkan Daftar Urutan Kepangkatan/DUK (kriteria ini sering digembor-gemborkan sebagai kriteria yang amat penting), mengapa di banyak instansi muncul pejabat karbitan?
Moral Hazard pun muncul dalam jenjang karir pegawai negeri ini. Bagi pegawai muda yang seharusnya dapat berkembang optimal karena minat belajar dan bekerjanya tinggi, berlahan akan lesu darah. Untuk apa bekerja terlalu semangat jika yang menjadi bos adalah si tua itu yang tidak dapat bekerja optimal atau tidak dapat lagi memonitor kegiatan di lapangan karena penyakit yang menggerogotinya atau memang karena malas saja ....
Kekecewaan juga muncul ketika mendengan si anu yang masih muda, prestasi kerjanya biasa saja (tapi dengar-dengar masih ada hubungan kekerabatan dengan pejabat penting dll) mendapat promosi. Kenapa dia? Apa sih istimewanya?
Disinilah moral hazard dapat menghancurkan moral (dalam artian semangat) bangsa untuk berderap maju. Kecurangan yang sedikit-sedikit berlahan menjadi bukit (patah) arang. Benar, bekerja itu sebaiknya dengan niat Lillahi Ta’ala. Namun tidak adakah tanggung jawab moral pejabat publik negeri ini untuk mengurangi terjadinya moral hazard?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar