Kemajuan yang diraih kaum perempuan di Indonesia patut dibanggakan. Semua itu bermula dari cita-cita Kartini agar semua perempuan dapat bersekolah dan memiliki kebebasan untuk memilih (pernikahan dan jalan hidup/karir) yang diinginkannya Saat ini tidaklah aneh seorang perempuan menduduki jabatan menteri, atau pemimpin perusahaan/BUMN atau kepala daerah. Namun kaum perempuan belum dapat bersenang hati karena muncul masalah-masalah lain seperti perdagangan perempuan (women traficking), penyiksaan atas para tenaga kerja perempuan (TKW), fenomena nikah siri serta ratusan kejadian lain yang menyayat hati.
Mengapa nasib perempuan masih menjadi bulan-bulanan? Ataukah cita-cita Kartini yang diurainya melalui ratusan surat-surat kepada teman-teman Belandanya terlalu sederhana sementara zaman modern menuntut solusi yang lebih rumit?
Membahas apa yang dicita-citakan Kartini tanpa membaca dengan sabar keseluruhan surat-suratnya tidak akan memberikan gambaran yang utuh tentang cita-cita Kartini. Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, amat jelas tergambarkan kegelisahan wanita kelahiran 21 April 1879 ini. Ada beberapa poin penting yang dia gundahkan di dalam surat-suratnya; keprihatinan akan nasib perempuan terutama dari kalangan bawah yang tidak memperoleh pendidikan sama sekali, keprihatinan akan perempuan bangsawan seperti dirinya yang diizinkan mengecap pendidikan dasar namun tidak dibolehkan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, serta kepedihan banyak perempuan yang memasuki dunia pernikahan tanpa kebebasan untuk memilih laki-laki yang disukai atau tanpa melalui masa perkenalan yang memadai.
Masa-masa tersebut dilalui Kartini dengan ribuan pertanyaan dan kegelisahan, adakalanya didapatinya ketenangan dari buku yang dia baca, surat dari sahabat penanya, atau kemampuannya menjawab pertanyaan-pertanyan yang mengganggunya tersebut. Seringkali kegelisahan itu datang lagi, hatinya tenang lagi, gelisah lagi dan akhirnya Kartini sampai pada titik keikhlasan. Menjelang kematiannya pada tanggal 13 September 1904, Kartini nampaknya berada pada spirit yang sangat baik (Betapa saya tiada akan girang, mengetahui ada akan tiba bahagia yang demikian besarnya itu,... surat Kartini tanggal 7 September 1904 kepada Nyonya Abendanon). Kesimpulan yang penulis peroleh adalah Kartini telah berhasil mengatasi kegelisahannya karena dia telah sampai ke tahap menyadari tujuan hidupnya yaitu menjadi perempuan yang berguna bagi keluarga dan lingkungannya melalui profesi sebagai pendidik.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah pendidikan telah membekali warga didiknya sehingga dia mampu mendidik dirinya sendiri atau menolong kaumnya dan orang disekitarnya? Apakah seseorang harus bersekolah ke jenjang pendidikan yang sangat tinggi seperti S2 atau S3 agar bisa menemukan jalan hidup terbaik bagi dirinya? Bukankah tidak semua orang mampu membiayai pendidikan tinggi? Mengapa pendidikan setara pendidikan lanjutan tidak mampu membekali seseorang untuk mencari penghidupan yang layak bagi dirinya, memotivasi dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dan sebagainya? Jangan-jangan dorongan untuk bersekolah tinggi hanyalah untuk mengejar cita-cita menjadi PNS atau pekerjaan lain yang gampang mendapatkan uang sehingga profesi lain yang juga baik namun membutuhkan jiwa dan pikiran yang terasah halus seperti pelukis, penulis, jurnalis, pemahat dan lain sebagainya diabaikan atau tidak dijadikan pilihan hidup.
Penulis menduga keluhuran pendidikan yang dicita-ciakan Kartinilah yang tidak dimiliki di era ini sehingga penindasan terjadi dan terjadi lagi. Pendapat ini bukan bermaksud menafikan keberhasilan perjuangan perempuan Indonesia. Pemberlakuan kebijakan pendidikan dasar 12 tahun atau UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang salah satu pasalnya mengatakan bahwa wanita boleh dinikahkan minimal berusia 16 tahun dan pengetatan persyaratan bagi laki-laki yang bermaksud beristri lebih dari satu wanita, sangat banyak mengangkat harkat perempuan.
Namun sistem pendidikan yang dilaksanakan pada era ini terasa kurang pas dengan pendidikan, atau lebih tepatnya ruh pendidikan yang dicita-citakan kartini. Hal ini telah dirasakan oleh Kartini, dimana dalam salah satu suratnya dia menulis ....Banyak lagi perempuan Bumiputra, lebih, lebih terpelajar dan cakap daripada kami, dan pada mereka ada tersedia segala yang perlu; tiada kurang kesempatan akan mencerdaskan pikirannya dengan segala ilmu dengan sesukanya; sama sekali tiada terlambat dalam mencerdaskan tenaga rohaninya; yang boleh menjadi apa saja yang dikehendakinya; dan mereka itu semuanya tiada berbuat apa-apa, suatupun tidak ada yang tercapai oleh mereka yang menuju ke arah sesuatu yang boleh membangkit perempuan sebangsanya dan bangsanya.
Dengan terus terang Kartini menyatakan pendapatnya tentang perempuan yang menikmati pendidikan formal memadai, memperoleh kesempatan yang luas namun tidak melakukan apa-apa untuk menolong kaumnya. Apa yang dikatakan Kartini sangat relevan pada zaman ini. Siapa bilang wanita yang nikah siri adalah orang-orang bodoh yang tidak mengecap pendidikan? Mereka semua adalah wanita yang memperoleh pendidikan, namun ternyata pendidikan tersebut tidak dapat digunakannya untuk mengarahkan dirinya sendiri. Pendidikan yang dikecapnya adalah pendidikan yang hanya menyentuh fisiknya atau otaknya, namun tidak menyentuh ruhnya, tidak mencerahkan jiwanya.
Melalui peringatan hari kartini ini kita sebaiknya mengevaluasi sistem pendidikan nasional yang lebih berorientasi kepada penguasaan teori namun miskin keterampilan, mengabaikan pencerahan dan kurang memberikan motivasi. Guru-guru berpacu agar siswanya lulus 100% dalam UAN, apakah pendidikan yang diberikan membawa kepada keluhuran budi, itu adalah persoalan lain.
Pendidikan luar sekolah seharusnya juga mendapat porsi perhatian yang besar. Kita tahu bahwa peran da’i atau ulama atau pemuka agama non muslim lainnya sangat besar untuk membentuk karakter bangsa. Selama ini apakah pemerintah memperhatikan guru-guru spritual ini dengan memadai? Perbaikan kesejahteraan hidup, pelatihan dan pembekalan hanya diberikan kepada guru-guru formal sedangkan guru-guru spritual ini, hidup dan bekerja dari sumbangan warga masyarakat semata. Peran mereka makin lama makin kecil, profesi ini menjadi tidak diminati karena masyarakat berlahan-lahan lebih menyukai kehidupan hedonis dan kurang waktu untuk mencari kehidupan yang agamis.
Dari kehidupan Kartini, penulis juga memperoleh suatu temuan yang menyejukkan yakni tiada lagi dikotomi antara perempuan dan laki-laki karena kedua jenis sex itu diciptakan Allah untuk saling berbagi. Kartini yang pada mulanya menentang perjodohan dirinya dengan Bupati Rembang, akhirnya menemukan penguatan pada diri suaminya tersebut, dan anak-anak tirinya sebagai murid pertamanya di Rembang. ”... Di Rembang nanti luaslah lapangan pekerjaan saya, dan syukurlah saya tiada akan berdiri sendirian di sana, dia telah berjanji akan membantu saya kuat-kuat...” (Suratnya tanggal 25 Agustus 1903 kepada Nyonya Abendanon)
Rangkaian kalimat tersebut menggambarkan optimisme Kartini karena suaminya mendukung perjuangannya. Kartini menunjukkan kepada kita bahwa perjuangan untuk mencerdaskan perempuan tidak harus dilakukan dengan gerakan ekstrem semacam gerakan women liberation atau feminisme ala barat, namun bisa lebih efektif bila dilakukan dengan persuasi dan diskusi yang menjembatani dua pemikiran yang berseberangan seperti permintaan persuasif yang dilakukan Kartini terhadap kedua orangtuanya agar dapat bersekolah ke Belanda (disetujui walaupun kemudian dibatalkannya karena pinangan Bupati Rembang kepada Kartini) dan diskusi dengan calon suaminya tentang peran yang ingin Kartini lakukan setelah menjadi istri nantinya.
Sebagai kesimpulan, perbaikan sistem pendidikan yang menyatukan otak dan hati nurani serta diskusi yang terus menerus dengan semua pihak adalah hal yang harus ditingkatkan implementasinya agar cita-cita kartini menjadikan perempuan Indonesia yang cerdas, bahagia dan bermartabat dapat diwujudkan sepenuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar