PROFESI peneliti masih kalah pamor dibanding profesi lainnya di Indonesia. Alasannya cukup benderang; tantangan pekerjaan yang tak ringan, memerlukan pemikiran yang luas dan objektif, seringkali menuntut perjalanan ke lapangan yang cukup berat sedangkan penghasilannya tak sebesar profesi lain yang berbasiskan intelegensi. Hal lain yang membuat citranya turun adalah fakta hasil penelitian sering diabaikan alias tak digunakan atau tersimpan menjadi seonggok dokumen lapuk dan tak up to date lagi.
Meski kurang populer, segelintir orang masih menekuni kegiatan kepenelitian dengan dedikasi yang patut dipuji. Mereka adalah para guru, dosen dan fungsional peneliti yang bekerja di lembaga litbang milik daerah.
Pada Simposium Nasional Hasil Penelitian dan Inovasi Pendidikan yang diselenggarakan di Denpasar Bali tanggal 20 sampai 22 September 2011 ditampilkan karya tulis insan pendidikan dan fungsional peneliti yang disarikan dari penelitian mereka. Para guru dan dosen yang diundang pada simposium itu melakukan penelitian walau tanpa dukungan dana sepeserpun dari pemerintah.
Kepala Pusat Penelitian dan kebijakan Kementrian Pendidikan, Ir. Hendarman M.Sc. Ph.D mengatakan bahwa pihaknya berusaha untuk mempromosikan kegiatan penelitian dan menjadikan hasil penelitian sebagai dasar pengambilan kebijakan. Tentu saja tidak semua hasil penelitian dapat dijadikan kebijakan karena dirinya mengakui pula bahwa banyak penelitian yang sifatnya resarch is just for research yaitu penelitian yang hanya untuk memenuhi hasrat meneliti tanpa terkait dengan kebutuhan lingkungan. Menurutnya penelitian yang dapat dijadikan kebijakan adalah penelitian yang menyangkut permasalahan di lingkungan sekolah terutama proses kegiatan belajar-mengajarnya. “Inilah yang bisa diangkat sebagai dasar pengambilan kebijakan,” ucapnya.
Ucapan Hendarman ini benar adanya. Banyak sekali hasil penelitian di Indonesia tak terpakai karena dibuat bukan berdasar kebutuhan tapi karena ‘keinginan’, apakah itu keinginan penelitian cepat selesai, penelitian pesanan atau keinginan untuk memperoleh uang dari proyek penelitian tersebut.
Tapi sesungguhnya ada juga penelitian yang bagus yang tidak ditindaklanjuti menjadi kebijakan. Pertimbangannya macam-macam. Ada hasil penelitian yang bertentangan dengan policy kepala daerah, implementasinya terlalu berat untuk dibiayai, hingga kekurangpedulian decision maker terhadap hasil penelitian itu sendiri. Padahal di negara maju hampir semua kebijakan dibuat berdasarkan penelitian. Hal itu pula yang membuat banyak peneliti jenius Indonesia yang akhirnya menerima tawaran untuk bekerja di negara lain seperti Malaysia. Singapura, Jepang bahkan Amerika Serikat dan negara Eropa. Sebab negara ini tak kunjung menghargai profesi peneliti.
Tak heran banyak kebijakan dan program pembangunan di negara kita muncul mendadak dan kemudian hilang tak berbekas. Padahal dana yang dikucurkan untuk program itu tak tanggung-tanggung, contoh program budidaya Ikan Patin Jambal yang pernah menjadi program unggulan Provinsi Jambi.
Berkaca pada pengalaman terdahulu, seharusnya Jambi tak lagi mengabaikan hasil penelitian. Apalagi Sekretaris Daerah Provinsi Jambi Ir. Syahrasadin pernah menjadi pejabat eselon III di Badan Litbang Daerah Provinsi Jambi. Artinya, orang nomor satu di jajaran birokrasi Pemprov Jambi yang juga seorang mantan dosen ini paham benar tentang sulitnya menjadi peneliti dan betapa berharganya hasil penelitian itu.
Dengan dukungan dan penghargaan sepatutnya terhadap peneliti dan hasil kerjanya, pasti banyak yang mau jadi peneliti.
(Ir. Asnelly Ridha Daulay, M. Nat Res Ecs/ Peneliti pada Badan Litbang Daerah Provinsi Jambi dan Ketua Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia Provinsi Jambi).