Suatu dorongan menyentaknya untuk bangun. Riri menepis selimut dan segera bangkit. Pandangannya seketika berputar-putar. Ia kembali duduk di tepi ranjang, tersenyum geli sambil mengingat sebab keriangan tiba-tiba di dini hari ini. Sekuntum mawar merah. Kemarin sore, mawar itu masih kuncup. Bersaman pintu yang terbuka, Riri menemukan kelopaknya mengembang lebar. Begitu cantik dan segar.
Benangsarinya bergoyang-goyang diembus angin sesudah hujan. Inilah yang ia inginkan. Menjadi orang pertama yang melihat bunga itu mekar.
Riri menikmatinya dengan kepauasan penuh. Ia menjumpai banyak mawar, di taman, di teras rumah, di pot bunga, dijual di toko-toko kembang. Tapi yang satu ini, mawar miliknya sendiri. Steknya ia minta dari Diana, dirawatnya baik-baik dan akhirnya hari ini, mempersembahkan kuntum yang cantik. Betapa indahnya! Betapa segarnya! Betapa merahnya.
Riri mendekatkan hidung, menghirup bau mawar itu dalam-dalam. Wanginya memenuhi rongga hidung, menjalar sampai ke hati. Diusapnya dengan lembut tetes embun yang menyentuh kulit wajahnya. Saat matanya berpaling, ia melihat gadis kecil itu berdiri di luar pagar.
Di wajahnya yang pucat tersembul mata menyelidik. Barangkali dia sudah berdiri di sana sejak tadi, Riri menerka dalam hati. Gadis kecil itu tidak bergeming. Jalinan rambutnya jatuh di bahu, melewati lehernya yang pucat dan kurus. Baju yang dipakainya tipis dan di subuh ini, tak ada sandal di kakinya.
“Kamu tidak kedinginan?” Riri keheranan. Sebelum ini, dia tidak mengacuhkan gadis itu walau seringkali lewat di depan rumah.
Gadis kecil itu menggeleng. Matanya berpindah dari Riri ke kuntum mawar merah. Kelihatannya dia tidak akan beranjak dari sana.
“kamu yang tinggal di rumah itu kan?” Riri bertanya lagi. Dia mengangguk untuk kedua kalinya. Apa dia bisu? Selama ini Riri tidak memperhatikan keanehan di diri gadis belasan tahun itu. Ia terlalu biasa. Rumah yang dihuninya pun seperti tidak bersuara padahal Ine pernah bilang, anak itu memiliki saudara tujuh orang.
Riri mencoba Melupakan kehadirannya. Ditangannya kini terselip gunting bunga. Ranting-ranting tua dan daun yang tumbuh melewati pagar jadi sasaran perhatiannya. Tetes air menghujani Riri ketika tanpa sengaja tersenggol rumpun bambu jepang.
Hup! Dingin. Riri tersenyum sendiri. Sejak solar water masuk rumah, keluarganya tidak lagi mandi dengan air keran yang dingin. Sampai mendadak ia dikejutkan jatuhan air dari pohon bambu jepang.
Riri melanjutkan pemangkasannya. Ia telah berada dekat ke gadis itu berdiri. Matanya masih menatap dengan simak.
”Bunga kertas kami tua dan tinggi. Aku akan memotongnya,” tiba-tiba ia bersuara. Tenang dan anggun. Riri mendongak heran. Siapa yang mengajarinya bicara seperti itu?
Perkiraan demi perkiraan muncul dalam benaknya. Siapa tahu gadis ini putri ningrat yang karena suatu peristiwa terdampar di rumah kayu itu? Atau keluarganya bangkrut mendadak setelah mengecap hidup bagai raja-raja? Dunia sekarang ibarat roda yang berputar teramat kencang. Banyak yang berubah dalam waktu sekejab.
Tapi saudaranya ada tujuh. Masihkah orang kaya yang hidup ala raja-raja menginginkan beranak banyak?
”Kakak bolehkah kupinjam guntingmu?” Putri itu berkata lagi. Riri menatapnya ragu. Bunga kertas di rumah kayu itu tumbuh menjulang dan menebarkan warna mencolok. Orange dan lila. Beberapa dahannya menjuntai hampir menyentuh tanah. Tidak terlihat lagi daun hijau. Semuanya berwarna cerah. Walau begitu tidak mampu juga menghapus kesan lengang yang mendominasinya.
Akan ditolaknyakah permintaan itu? Toh dia tidak mengenal betul siapa gadis itu sesungguhnya. Lagipula, dia meminjam tanpa benar-benar meminta.
Riri beranjak meninggalkannya. Sudah waktunya bersiap-siap menuju sekolah.
“Kakak?”
Riri menemukan wajah memelas kini. Ia memohon. Riri tergerak menyodorkan gunting itu.
”Segera kembalikan.”
Dia mengangguk. Lalu tubunhnya yang ringan berjalan seperti melayang.
Riri segera melupakannya. Ingatannya kini beralih pada Diana. Banyak yang akan ditanyakannya pada teman sebangku itu.
”Din, mawarku....”
”Mekar,” sambung Diana sambil senyum-senyum. Riri ini ada-ada saja. Masa mawar segitu aja diributin?
”Kok tahu sih?”
”Terang dong. Sedari minggu lalu, saat masih kuncup, kamu ngomong mawar melulu.”
Riri nyengir. Di rumah ia meninggalkan sekuntum mawar. Hanya sekuntum. Sementara di halaman rumah Diana yang luas, ada sepetak tanah yang dikhususkan untuk mawar hibrida. Wajar saja perasaan Diana tidak seajaib perasaaannya sekarang.
“Tapi, kelopaknya kok sedikit? Tidak penuh seperti di rumahmu?”
“Belajar berbunga kali. Pohon jambu kan juga begitu. Pertama berbuah, kecil dan jarang-jarang.”
Riri melongo.
“Begitu ya?”
“Tahu pasti sih tidak. Aku kurang memperhatikan bunga-bungaan. Mawar itu kan bisnisnya Mbak Ega.”
Ega, mbaknya Diana, tamatan Fakultas Pertanian. Ia menolak jadi pegawai negeri karena lebih tertarik agro bisnis. Dia mengolah sendiri kebun jeruk warisan keluarga. Halaman rumah pun dimanfaatkan untuk menanam bunga potong. Riri terkagum-kagum melihat hamparan mawar, krisan, dahlia, anggrek dan banyak lagi di sana. Belum lagi bonsai-bonsai di rumah kawat yang selalu terkunci. Terlihat artistik dan mahal.
”Aku ambil pertanian saja nanti,”
Diana tertawa mengejek.
”Gara-gara mawar sekuntum kamu melupakan ITB-mu. Ngapain dulu ngotot ambil jurusan A-1?”
Riri terkikik. Iya-ya. Padahal di rapor kelas satu fisikannya cuma tujuh. Tapi ia merengek-rengek terus pada Bu Aida agar dimasukkan ke kelas A-1 sementara guru bimbingan Penyuluhan itu tetap yakin, Riri lebih cocok di jurusan A-2.
“Sudah ah. Nyengir melulu!”Diana menyenggol tangannya. “Nanti temani aku ke
“Jadi ambil blus itu?”
“He-eh.”
“Katanya sedang apes?”
”Mbak Ega yang kasih duitnya.”
Beruntung benar Diana punya kakak sudah bekerja. Macet duit dari ortu bisa minta pada kakak. Tapi Diana mencibir.
”Dia tidak mau kasih gratis. Hari minggu nanti, aku tidak boleh kemana-mana. Harus membantunya memanen bunga.”
Oooh!
Dari RIO plaza, Diana mengajak makan martabak mesir di Kubang. Kuahnya yang pedas benar-benar memancing selera. Martabak satu porsi habis ludes, masih ditambah lagi satu gelas es alpokat.
Riri sampai di rumah sudah sore. Alisnya berkerut melihat tenda hitam terpasang di rumah kayu itu. Siapa yang mati?
“Anaknya,” jawab Ine pendek. Dalam hati Riri bertanya-tanya, adik si gadis tadi pagi atau kakaknya?
“Sudah dikubur?”
“Baru saja. Aku ikut mengantar. Kasihan sekali mereka.”
”Memangnya kenapa?”
Ine menatapnya sewot. Apa orang mati tidak patut dikasihani? Enak saja Riri ngomong mentan -mentang bukan keluarga sendiri.
”Putrinya sudah sakit beberapa hari. Tadi pagi, waktu dibangunkan dia tidak bergerak lagi,” Ine menjelaskan.
”Begitulah kalau keluarga besar. Tak sempat diurus satu-satu. Siapa yang tahu barangkali dia sudah mati sejak senja kemarin?”
Perasaan Riri menjadi tidak enak. Baginya kematian adalah sebuah gambar buram yang penuh kesedihan. Seperti sebuah jalan panjang berliku-liku, lengang dan gelap sekali.
Ine mengguncang tubuh Riri yang tertidur lelap. Riri membuka mata dengan malas. Dilihatnya Ine bersiap-siap hendak pergi. Pakai kerudung segala.
”Ikut takziah, nggak?”
Riri menggeleng dan menguap bersamaan.
“Berani sendiri? Mama dan Papa sudah berangkat ke sana lho.”
Riri bangkit buru-buru.
“Tunggu aku! Kamu sih tidak bangunkan sejak tadi.” Ia langsung membasuh muka ke kamar mandi. Soal takut, Riri memang nomer satu.
Takziah berlangsung dalam suasana mendung. Air mata masih berlinang di wajah ibu yang kehilangan putrinya. Sementara suaminya menunduk terus seperti tidak sanggup menahan berat kepala. Di kiri dan kanan mereka, duduk berdempet anak-anak.
Riri prihatin melihatnya. Kondisi rumah jelas menunjukkan kemiskinan mereka. Anak-anak kurus dan kurang terawat. Putrinya yang dua orang itu, walau berpara manis tapi lesu-lesu. Mana gadis tadi pagi?
Riri mengitari rumah dengan pandangannya. Mencari-cari barangakali si tubuh kurus itu terselip diantara tamu yang membanjiri rumahnya. Berulangkali Riri menyusuri satu persatu sampai matanya kembali tertumbuk pada kedua orangtua itu. Satu, dua, tiga..., tujuh. Ah! Riri mengulang hitungannya. Satu, dua, tiga..., tujuh. Anak-anak mereka tinggal tujuh. Dan gadis tadi pagi tidak ada diantara mereka.
Diakah yang mati? Tapi ....
”Ine!”
Ine menyikutnya. Beberapa mata menyorot pada Riri yang tidak sadar menyebeut nama Ine terlalu keras. Wajah Riri pucat. Mendadak tubuhnya menggigil.
”kamu ini apaan sih tadi? Tegur Ine. Riri duduk lemas di atas tempat tidur.
”Aku ketemu dia tadi pagi.”
”Siapa?”
”Gadis yang mati itu!”
Ine tertawa. ”Bercanda melulu. Tadi pagi ia sudah jadi mayat!”
Wajah Riri menegang. Tiba-tiba berlari mendekati pintu.
“Benar Ine. Dia yang datang!” Riri berkata gusar. Ine berhenti menyiram air ke wajahnya. Riri kelihatan gelisah sekali.
”Nih cuci dulu mukamu. Biar lebih tenang,” Ine menyodorkan gayung kepadanya. Riri melakukannya juga tapi pikirannya tidak bisa lepas dari gadis kecil tadi pagi. Aneh! Masih tergambar jelas sosoknya yang lemah, bajunya yang tipis, kakinya yang tanpa sandal dan nada bicaranya yang mengesankan. Dia masih hidup tadi pagi. Dia berkata akan memangkas bunga kertas. Gadis itu meminjam gunting bunga!
Ine menatap kakaknya khawatir. Apalagi melihat Riri yang kemudian kasak kusuk membuka laci, lalu ke luar kamar, meninggalkan bunyi debum di sana sini.
”Ada apa sih, Ri?”
”Gunting bunga. Dia meminjamnya tadi!” Riri bertambah pucat.
”Tidak mungkin! Kau bermimpi. Tidur sore-sore sih!”
Riri tidak mengacuhkannya.
“Tidak ada. Gunting itu, mana? Ine, dia datang tadi pagi, melihatku sedang mencium mawar. Lalu gunting itu ia pinjam!”
Ine tambah cemas. Aduh! Mama papa belum juga pulang. Ia takut Riri histeris karena tidak kuat menahan emosi. Ine berlari ke dekat pintu, menunggu-nunggu kehadiran mereka. Ingin rasanya menjemput ke sana tapi Ine juga tidak mau meninggalkan Riri sendirian.
“Ayo, kita ke kamar. Kamu capek sekali,” Ine membujuk. Tubuh Riri lemas. Diikutinya Ine yang membimbingnya ke kamar. Tubuhnya terasa dingin. Ia yakin tidak bermimpi. Gadis kecil itu benar-benar datang kepadanya.
”Siapa namanya?”
”Astuti. Sudahlah, jangan pikir dia lagi. Astuti telah berbaring dengan tenang di sisi Tuhan.”
Malam itu rasanya panjang sekali. Wajah-wajah berduka melintas lagi di depan matanya. Mereka tinggal di rumah kayu itu bertahun-tahun, hidup miskin sementara tetangganya berkecukupan. Tak ada yang membantu mereka. Tidak ada yang tahu, Astuti dibiarkan merintih sakit karena tak sanggup membiayai dokter.
Perasaan beralah menghantuinya. Hampir setiap hari ia melihat Astuti di depan rumah. Tidak sekalipun ia menyapa atau bertanya mengapa wajahnya pucat. Mengapa baju buruk itu masih dipakai dan mengapa dia tidak bersandal. Sesungguhnya banyak keanehan pada gadis kecil itu.
Dia begitu kontras dengan lingkungannya. Tetapi mengapa tak sempat terperhatikan? Bahkan ia baru tahu sekarang, namanya Astuti. Oh Tuhan, benar-benar tuakah dunia ini sehingga tetangga sendiri pun tidak kenal?
•••••••••
Riri merapatkan sweaternya. Angin dingin berhembus lembut. Mawar sekuntum itu dilihatnya tidak seindah kemarin. Tak tercium lagi harumnya yang menyegarkan.
Riri tersenyum kecut. Ternyata selama ini ia terlalu sibuk memperhatikan hal-hal sepele. Sekuntum mawar saja sanggup membuatnya tergila-gila sementara di sekitarnya masih banyak yang menuntut perhatian dan mengharap bantuan.
Angin dingin berhembus tiba-tiba.
“Kakak?” suara halus menyapanya. Riri menunduk menahan gejolak di jiwanya. Dibaliknya tubuh berlahan-lahan.
“Astuti? Selamat pagi,” jawabnya berhasil untuk tenang. Gadis kecil itu terpana. Perlahan-lahan wajah pucatnya berseri-seri. Gunting bunga diangkatnya tinggi-tinggi.
“Aku mengembalikan gunting kakak.”
Riri mendekat, menyambut gunting itu. Tangan dingin Astuti menyentuh tangannya.
“Terimakasih, Kak. Aku pergi.”
”Tunggu dulu,” tahan Riri. Mawar sekuntum itu dipotongnya.
”Ambillah untukmu. Kakak tidak bisa memberimu apa-apa,” ucap Riri terharu. Senyum Astuti tersungging, terlihat abadi.
”Terimakasih, Kakak.”
Astuti pergi. Tubuhnya ringan seperti melayang. Di belakangnya Riri menyusut air mata. Astuti sengaja datang padanya. Ia ingin dikenang. Ia ingin Riri mengingatnya selama-lamanya. Dia seperti hendak berkata, aku memiliki tujuh lagi saudara. Sewaktu-waktu mereka bisa mati karena lapar dan sakit yang tidak terobati.
Matahari belum nampak walau sinarnya telah berpendar dari timur bumi. Meski semua masih serba samar hari ini tapi Riri sadar, ia harus berbuat sesuatu. Hidupnya pasti lebih indah bila tidak hanya memikirkan diri sendiri • [CERIA BUKU ke-26, 24 April – 8 Mei1995]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar