Setiap kali pemilukada akan dilaksanakan, ada kecemasan di hati sebagian warga provinsi ini akankah gubernur terpilih nanti benar-benar seorang yang berjiwa besar dalam menerima keragaman budaya dan etnis? Akankah dia menepati janjinya untuk memberi kesempatan yang sama kepada warga Jambi untuk berkembang sesuai dengan potensinya dan menempatkan secara proporsional pertimbangan budaya, etnis atau agama orang-orang yang akan duduk dalam pemerintahannya?
Kekhawatiran tersebut beralasan mengingat Jambi adalah negeri yang multikultur. Berdasarkan data Jambi Dalam Angka 2008, penduduk Provinsi Jambi tahun 2008 berjumlah 2.788.269 orang. Terdapat etnis-etnis besar selain Melayu yang bermukim di Provinsi Jambi seperti Jawa, Minang, Batak, Bugis, China, Sunda dan Kalimantan. Profesi mereka pun beragam, mulai dari petani kecil, pedagang kaki lima hingga pengusaha besar, pegawai negeri golongan rendahan hingga pejabat eselon, dari anggota sebuah LSM hingga anggota dewan yang terhormat.
Meskipun keberagaman etnis, budaya dan agama telah ada di Jambi sejak provinsi ini terbentuk namun belum ada usaha yang bersifat terstruktur atau formal yang dimaksudkan untuk mengukuhkan Jambi sebagai Negeri Multikultur. Agaknya pemerintah daerah dan masyarakat masih ragu-ragu untuk memproklamirkan kemultikulturan daerah ini, walaupun secara diam-diam keragaman tersebut eksis dan berkembang dengan sendirinya dalam masyarakat.
Coba kita lihat, adakah even budaya yang bersifat tahunan yang dikelola oleh masyarakat atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi yang mempresentasikani semua budaya yang ada di Provinsi Jambi? Adakah pembinaan budaya yang dilakukan di sekolah-sekolah atau lembaga non pemerintah sehingga generasi muda tidak tercerabut dari budaya leluhurnya? Mengapa usaha mengembangkan budaya yang ada di Jambi tidak dilakukan dengan serius? Ataukah (masih) ada kecurigaan segelintir orang bahwa dengan membiarkan budaya non melayu Jambi dipupuk dan berkembang akan berakibat buruk bagi perkembangan budaya dan orang melayu Jambi sendiri?
Tidaklah heran jika Jambi menjadi kota yang kering pertunjukan budaya. Kalau pun ada festival, itu hanya berupa festival band anak muda, pentas dangdut atau pesta rakyat dengan iringan organ tunggal. Tanpa mengecilkan arti pertunjukan tersebut, namun apakah kultur seperti itu yang kita sodorkan untuk dicintai oleh generasi Jambi?
Marilah kita mencontoh kepada Australia, salah satu negara yang dikuasai oleh kultur barat (western) namun budaya timur berkembang dengan pesat. Selain budaya penduduk asli Australia suku Aborogin, budaya lain seperti Cina, India, Indonesia dan Arab dipupuk dan berkembang biak dengan subur serta diterima oleh warga kulit putih. Setiap tahun selalu ada festival untuk menampilkan budaya tersebut. Setiap gedung pertunjukan yang dimiliki pemerintah menyediakan tempat bagi kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan pegelaran budaya mereka.
Di sekolah formal pun, para siswa diberi kesempatan untuk mempelajari kultur lain yang tidak selalu terkait dengan daerah asal si siswa. Orang Barat begitu tertarik dengan pakaian tradisional negara lain, terkagum-kegum dengan kerajinan tangan atau motif tradisional negara lain, termasuk tarian, nyanyian dan makanannya. Berdasarkan pengalaman penulis yang pernah menetap di Kota Brisbane, Negara Bagian Queensland Australia, anak-anak sekolah dasar di sana memiliki jadwal presentasi untuk menampilkan informasi tempat unik atau makanan khas negaranya di depan teman-temannya yang berasal dari belahan dunia yang berbeda. Kegiatan tersebut menumbuhkan kecintaan terhadap budaya sendiri dan menjawab rasa ingin tahu anak-anak tersebut terhadap budaya negara lain
Contoh lain adalah Malaysia yang mengklaim bahwa lagu Rasa Sayang Sayange, Tarian Pendet, Reog Ponorago sebagai warisan budayanya. Tindakan itu dilakukan Malaysia dalam upayanya untuk mengatakan kepada dunia bahwa negerinya adalah negeri yang multikultur.
Mengapa Malaysia begitu tergoda untuk mengadopsi budaya lain sebagai budaya negaranya, bahkan dengan resiko harus bersiteru dengan Indonesia? Untuk menjadi negeri yang diperhitungkan di Asia, Malaysia dengan nekatnya mengklaim budaya milik negara lain. Alasannya cukup kasat mata, bahwa negara ini ingin memenangkan persaingan di pasar turisme dan investasi.
Sesungguhnya keuntungan untuk menjadi negeri yang multikultur telah dihitung dengan seksama oleh Malaysia. Keuntungan yang langsung dirasakan adalah terciptanya harmonisasi diantara budaya Melayu dengan budaya yang dibawa oleh kaum pendatang ke negeri tersebut sehingga Malaysia dapat menjadi negeri yang lebih kaya secara kultur dan lebih toleran terhadap perbedaan yang ada selama tidak berlawanan dengan nilai-nilai Islam.
Keuntungan kedua adalah negeri multikultur yang dibina dengan benar akan menjadi negeri yang nyaman sebagai tempat tinggal dan membesarkan anak-anak serta menjadi tempat beristirahat di hari tua. Sajian keragaman dan keindahan budaya serta toleransi penduduknya merupakan dasar utama kenyamanan tersebut.
Keuntungan lainnya bersifat finansial dimana negeri multikultur berprospek menjadi tempat investasi yang menguntungkan karena adanya jaminan keamanan dan hukum.
Provinsi Jambi layak dibandingkan dengan Malaysia, yang penduduknya sama-sama berkultur melayu, mayoritas muslim dan tak dapat menutup diri dari serbuan pendatang multi etnik. Jambi mesti memanfaatkan potensi multikultur guna membentuk tatanan masyarakat dan pemerintah yang lebih baik melalui harmonisasi budaya/etnik serta pengembangan budaya sebagai objek turisme.
Rasanya agak berlebihan jika segelintir orang masih mengkhawatirkan budaya melayu bakal kehilangan pamornya. Justru eksistensi budaya melayu akan semakin kuat karena keterbukaannya menerima budaya lain. Rasa ‘berterimakasih’ terhadap penduduk asli Jambi juga akan semakin mendalam karena kesempatan yang diberikan kepada semua orang untuk hidup, berkarya dan mengembangkan Jambi tanpa ketakutan dan kekhawatiran. Pada gilirannya semboyan dan tekad ini: ”Jambi, Negeri Yang Harus Kujaga Dan Kubela” akan mengisi seluruh relung hati warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar