Ada yang mengganggu Kania ketika ia membaca pesan singkat di ponselnya.
“Aku jemput awak selesai rapat ini.”
Aneh!Tidak biasanya suaminya ber-sms dengan bahasa seperti itu, betapapun sedang kesal hatinya atau marah. Kalau lagi malas, suaminya Riziq mengirim Junaidi, lelaki berkulit hitam yang suka senyum cengengesan itu untuk menjemputnya. Walau dia kurang suka ekspresi nakal tukang ojek itu, -dan badan gempalnya yang hampir menyita seluruh dudukan motor-, namun itulah gunanya maaf dan toleransi dalam perkawinan. Toh belum ada perkawinan yang sempurna.
Pesan itu hanyalah sebaris kalimat, tapi ia merasa suaminya kurang menghargainya. Coba kalau dia yang memanggil suaminya ‘kau’ atau’hey’ saja, dia pasti marah! Atau malah membentaknya. ‘Awak’ dalam bahasa Melayu sering diartikan ‘kau’. Cukup kasar dan asing bagi Kania yang bukan berasal dari ethnis Melayu. Walau dia telah tinggal di Jambi cukup lama, beberapa bagian dari bahasa lokal tak disukainya, termasuk ‘awak’ itu. Bolehkah ia menuntut laki-laki yang telah 16 tahun menjadi suaminya itu untuk berlaku sopan atau bertutur lebih lembut kepadanya?
Kania mencoba mengingat materi pengajian yang pernah dia ikuti. Semakin keras mengingat, semakin kecut hatinya. Berlaku kasih sayang dan menghormati istri bukan topik menarik para ustadz di kampungnya, bahkan juga di acara siraman kalbu berbagai tivi swasta.
Ustad Afdhal, guru mengaji yang sering memberi ceramah ba’da Ashar di langgar Fi Sabilillah mengatakan bahwa ridho Allah datang setelah ridho suami. “Allah tidak akan berkenan bila suami ibu tidak ridha” ucapnya sambil berpindah pandang dari satu wanita ke wanita lain, tatapannya begitu tajam terutama kepada jemaah perempuan yang banyak tertawa dan kurang khusu’ selama pengajian tersebut.
Ustad Hendri pernah dengan sangat menyentuh bercerita tentang istri yang patuh pada suaminya, hingga urung melayat ayahnya yang meninggal dunia. Hanya karena sang suami berpesan untuk tidak meninggalkan rumah hingga dia kembali. Bahkan Nyai Zulaikha, pimpinan masjid taklim menganjurkan anggotanya untuk mencium tangan suami sebelum meninggalkan rumah. “Supaya kita dapat barokah,” pesannya lembut.
Sungguh, aku belum pernah dengar cerita ustadz tentang istri yang menuntut suaminya berlaku lembut dan sayang, Kania mengeluh dalam hati.
Kania kembali membaca pesan singkat tersebut. Apa yang berkelebat di otak suaminya hingga panggilan sayangnya, Nana berganti ‘awak’ dalam sms tersebut?
Selama berumahtangga, dia dan suami saling berbagi. Kesetaraan diantara mereka tercermin dari belanja rumahtangga yang dipenuhi sebagian dari gajinya. Sungguh Kania tidak keberatan. Kata Nyai Zulaikha, itu juga termasuk sedekah. Sedekah yang utama adalah sedekah pada keluarga sendiri.
Kania tidak suka merengek kepada suami, walau kadang keinginan untuk dihadiahi perhiasan yang indah dan mahal oleh suaminya berdenyut-denyut, meremas hatinya yang ingin dimanja.
Betapa ingin Kania membongkar kesal hatinya agar suaminya tahu bahwa dia sudah cukup sabar selama ini. Dia mungkin istri yang tidak sempurna. Tapi Kania hanya ingin sedikit dicintai dan dihargai.
Kania mulai merasakan panas yang lembab di matanya. Dibanding teman-teman SMAnya yang mengaku pengangguran – karena mereka ibu rumahtangga-, Kania lebih sejahtera secara finansial. Namun siapakah yang lebih bahagia, dirinya atau mereka?
Akhirnya dia harus menyesali, kemandiriannya telah menjauhkan dirinya dari cinta suami.
Handphonenya bergetar lagi.
“Aku sudah di luar…”. Pesan singkat dari Riziq.
Kania beringsut dan mencoba menjernihkan matanya yang berkaca-kaca. Mengenakan kemeja putih, pengusaha travel agent itu menatapnya dengan tanda tanya. Kania memasuki mobil mini van itu dengan diam. Dia masih mengunci mulutnya.
Mobil berjalan pelan. Kania masih bungkam hingga belokan ke jalan besar. Mengapa begitu sulit berterus terang kepada suami sendiri? Kania mengira perkawinan mereka telah dibangun atas kesetaraan, nyatanya… uh tidak!
“Ada masalah di kantor?” akhirnya Riziq memecah kebuntuan itu. Kania menggeleng.
“Lalu apa?” suaminya menuntut penjelasan.
“Apakah Abang keberatan menjemputku?”
“Ti… tidak” ucapnya cepat dan agak gugup.
Sekali-sekali dia melihat ke kaca spion, mengamati jalan yang amat ramai menjelang waktu sholat Jumat. Mereka tengah melalui pusat keramaian kota kecil ini, sebuah sekolah tengah menghamburkan siswanya sementara deretan para penjemput tak sabar membunyikan klason di jalan yang tak cukup lapang itu.
Akhirnya mobil mini van itu memasuki jalan kecil menuju rumah mereka. Kania turun dan membuka pagar istananya yang berwarna kuning gading. Suaminya menjejali langkahnya, terburu-buru mengambil kunci dari kantung jeans-nya. Ia membukakan pintu untuk Kania. “Tadi aku rapat di kantor asosiasi. Bertemu dengan teman-teman lamaku. Maaf, aku menyebutmu awak di sms itu. Tadinya aku kira tidak apa-apa. Tidak suka ya…?”
Kania menjatuhkan tasnya di kursi empuk itu. Lega. Benar, tadi dia tidak suka dipanggil awak oleh suaminya, tapi kini mendengar suaminya menjelaskan hal tersebut dengan agak menyesal, kok rasanya ‘awak’ menjadi tidak terlalu tidak sopan?
“Tidak apa-apa. Cuma jangan sering-sering.”
Suaminya tertawa. “Kenapa?”
“Abang tidak sopan padaku. Jangan perlakukan aku seperti kepada orang lain!”
Suaminya tersenyum, mencium kepalanya dan buru-buru menuju kamar mandi untuk berwudu’. Dari masjid terdengar Gharin masjid menyeru para laki-laki untuk datang. Kania tersenyum memandangi punggung suaminya. Sayup gemercik air wudu’jatuh di lantai kamar mandi.
Sabar dan toleransi telah menolong mereka keluar dari banyak masalah. Perkawinan mereka tidak sempurna. Namun suaminya juga tidak buruk-buruk amat. Dia ternyata cukup peduli pada perasaannya.