MAK
YUNI menggandeng kedua tangan anaknya, bergegas menuju sekolah
pemerintah yang berada sekitar 400 meter dari rumahnya. Tak lama lagi
bel akan berbunyi, sementara kedua putri kembarnya yang baru berusia
tujuh tahun, terlihat ceria meski kantuk masih membayang di mata
mereka. Bedak yang berlepotan, aroma minyak kayu putih yang
menghangatkan, samar tercium di udara pagi. Mak Yuni harus berpacu,
mengantar anak ke sekolah dan kemudian singgah ke warung terdekat,
membeli bahan mentah untuk lauk mereka hari ini. Dia harus cepat. Ada
setumpuk jahitan yang menunggu diselesaikan. Sebagai tukang jahit
yang cukup punya nama, dia tak mau mengecewakan
langganan-langganannya.Baju-baju itu harus siap sesuai waktu yang
dijanjikan.
Mak Yuni adalah satu contoh potret wanita Indonesia saat ini. Meski
bukan sarjana, walau tak beraktivitas di luar rumah, kesibukannya
menyerupai wanita karir yang menduduki posisi penting. Mak Yuni
memiliki pekerjaan. Dia memiliki pendapatan yang jelas. Dia seorang
tukang jahit.
Ada banyak potret lain wanita Indonesia yang bekerja di berbagai
sektor. Mulai dari wanita pemulung sampah, pembuat kue, perias
pengantin, tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, penasehat hukum,
hingga mereka yang beruntung menduduki jabatan strategis di
pemerintahan atau perusahaan swasta. Tak ada penolakan atas
keberadaan mereka karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
moderat. Lagi pula wanita-wanita itu bekerja dengan kemampuannya,
dengan ketekunan serta kerja kerasnya dan didorong niatnya untuk
menyejahterakan keluarga.
Peran wanita Indonesia dalam memperkuat ekonomi keluarga tak bisa
dibantah. Wanita di Indonesia berbeda dengan mayoritas wanita di
negeri muslim lainnya yang dilarang untuk beraktivitas di ruang
publik. Ketika wanita di Arab Saudi misalnya, masih berjuang untuk
memperoleh hak bersuara dalam pemilihan umum, seorang wanita
Indonesia telah menjadi presiden dan puluhan telah menduduki kursi
menteri. Ketika wanita di Afghanistan tidak diizinkan bersekolah
umum, banyak generasi pemudi Indonesia yang masuk universitas bahkan
berjaya meraih nilai tertinggi Indeks Pendidikan Komulatif (IPK).
Siapakah yang bisa membantah fakta ini? Bahkan jauh sebelum zaman
Kartini, jutaan wanita telah berkebun, mengeringkan dan mengasinkan
ikan atau membuat jamu untuk dipikul dan dijual ke kota-kota. Mereka
bekerja dan mencipta sesuai dengan ilmu yang diwariskan kepada mereka
dan penciuman tajam seorang wirausahawati sejati.
Namun, negara secara formal belum mengakui peran wanita dalam
membangkitkan perekonomian bangsa. Fasilitas dan perlindungan yang
diberikan kepada wanita Indonesia yang bekerja, terutama di level
usaha kecil dan menengah sangat kurang. Janganlah lagi menyebut
masalah TKW yang disiksa dan tak dibayar gaji di luar negeri, di
dalam negeri saja belum terlihat perubahan kebijakan pemerintah
terhadap wanita pekerja mandiri atau wirausahawati.
Sesungguhnya banyak wanita yang memiliki usaha kecil berpotensi
berkembang menjadi usaha yang lebih besar, namun terkendala
memperoleh modal usaha. Mak Yuni misalnya, berkeinginan membeli
beberapa unit mesin jahit dan membuat butik kecil di samping rumahnya
namun upah jahitan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit belum
cukup untuk membuat lompatan seperti itu.
Pemerintah lewat lembaga perbankan yang dimilikinya ternyata kurang
percaya pada kemampuan para pekerja mandiri ini untuk mengembalikan
modal yang mereka pinjam. Perbankan minta boroh sertifikat rumah atau
tanah sementara banyak rumah belum memiliki tanda kepemilikan itu.
Jika pun ada, sertifikat rumah itu seringkali atas nama suami dan
suami merasa berat menyetujui peminjaman ke bank karena bunganya yang
berat. Bisakah para wanita pengusaha kecil ini meminjam tanpa jaminan
harta? Bisakah mereka menjaminkan kredibilitas diri mereka saja, toh
uang yang dipinjam tak sebanyak pengusaha kelas kakap?
Beberapa jenis kredit perbankan menyaratkan tanda tangan suami jika
seorang wanita ingin mengajukan pinjaman modal usaha. Mengapa hal itu
masih diperlakukan? Bukankah pada banyak usaha keluarga, si istrilah
yang menjadi pionir dan pemimpin usaha sementara si suami hanya
sebagai pendukung, bahkan sering tak terkait samasekali karena
memiliki pekerjaan lain. Masih adakah urgensi tanda tangan suami di
sini?
Perubahan cara berpikir terasa lambat di kalangan pengambil kebijakan
di Indonesia. Para pejabat masih memandang ke potret lama ketika
wanita yang memiliki usaha di rumah, harus bertanya kepada suami
apakah dia boleh begini dan begitu. Banyak laki-laki Indonesia yang
kini berpikir moderat, bahkan sangat senang karena istrinya
menghasilkan uang tanpa harus bekerja di luar rumah. Banyak suami
yang membiarkan istri mengambil keputusan sendiri terhadap usaha yang
dibangunnya, karena menurutnya si istri lebih tahu. Perubahan yang
terjadi di masyarakat ini seharusnya dapat ditangkap dan diadopsi
untuk memperbaiki pelayanan negara terhadap wanita.
Demikian juga di bidang pendidikan anak yang senantiasa menjadi
konsern para wanita. Pertanyaan di hati mereka selalu muncul, apakah
anak-anak mereka dididik dengan benar, apakah kesehatan dan
keselamatan anak dijaga dengan baik di sekolah atau di tempat
penitipan anak? Belum lagi masalah biaya pendidikan yang semakin
tinggi dan kegiatan ekstra sekolah yang dipaksakan kepada anak-anak
mereka. Kekhawatiran tersebut muncul karena lembaga pendidikan
termasuk penitipan anak beroperasi dengan standar yang belum baku dan
seringkali tidak dipatuhi. Kerisauan ini cukup mengganggu pencapaian
dan totalitas mereka dalam bekerja.
Masalah kesehatan juga belum
tersentuh. Karena peran ganda yang dilakoninya, banyak wanita
mengabaikan kesehatannya. Pemerintah belum banyak memberi dukungan
terhadap produktivitas wanita lewat bidang kesehatan, misalnya
dengan memberi subsidi untuk cek kesehatan menyeluruh (general
ceck-up) atau pemeriksaan kanker
rahim yang banyak merenggut nyawa wanita Indonesia.
Meski peran wanita dalam
perekonomian nyata, namun belum banyak yang telah dilakukan untuk
mendukung atau membuat mereka nyaman bekerja. Jika wanita-wanita ini
menyerah atau memutuskan untuk tak bekerja, dampaknya pasti akan
besar sekali. Akan banyak keluarga Indonesia yang terpaksa menurunkan
kualitas hidupnya, pasti akan banyak keluarga berkehidupan ekonomi
menengah yang turun kasta menjadi ”keluarga miskin” atau
setidaknya ”hidup sangat sederhana” karena tak ada lagi
pendapatan istri yang ikut menopang keluarga itu. Pada gilirannya,
negara pasti akan terdampak negatif karenanya. (Penulis
: Asnelly Ridha Daulay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar