AMBON – Diskusi tentang pentingnya untuk me-revitalisasi dan me-reinterprestasi “sasi”, yaitu kesepakatan tradisional di masyarakat pesisir tentang pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan berikut sanksi pelanggarannya, menghangat pada workshop bertema “Chalenges and Opportunities in the Management of Coastal Zones, Marine and Small Island Resources in Maluku Province” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Australia melalui lembaga pengelola beasiswanya AusAid di Ambon (30/11) lalu. Workshop yang dibuka oleh Sekretaris Daerah Provinsi Maluku R. F. Far Far, SH, MH, ini menghadirkan sejumlah pakar kelautan Indonesia yang pernah menerima beasiswa dari pemerintah Australia dan pakar dari James Cook University Australia.
Mengapa
Maluku yang dipilih, hal ini terkait dengan kondisi geografi Maluku
yang terdiri dari hanya 7% daratan dan 93% lautan. Negeri yang
berjuluk ”The
spicey Island and Exotic Marine Paradise”
ini sejatinya sangat kaya hasil laut namun tidak dapat dimanfaatkan
secara optimal karena kurangnya infrastruktur pendukung, pembangunan
ekonomi yang lambat hingga rawan bencana alam. Akibatnya, kehidupan
nelayan menjadi semakin sulit di provinsi yang akan mencanangkan
dirinya sebagai lumbung ikan nasional tersebut.
Adalah
Prof. Hermien Soselisa yang mengangkat wacana pentingnya
merevitalisasi sasi untuk mengurangi dampak kerusakan lebih berat di
wilayah kelautan Maluku. Diakuinya, sasi mulai ditinggalkan di
beberapa kawasan dan pemerintah selama ini tidak berusaha untuk
mempertahankan budaya lokal tersebut.
”Sasi
merupakan jalan tengah antara paham eksploitasi bebas dan paham deep
conservasionist.
Melalu penerapan sasi, wilayah perairan tertentu ditutup untuk
kegiatan eksploitasi dalam jangka waktu tertentu, kemudian dibuka
lagi untuk dimanfaatkan, sehingga wilayah tersebut memiliki waktu
untuk pulih dari kerusakan,” jelasnya.
Pakar
dari Kementrian Kelautan Prof. Jamaluddin Jompa PhD setuju bahwa
sasi dapat menjadi alternatif untuk menyelamatkan perairan Indonesia
dari over-fishing dan eksploitasi berlebihan lainnya namun dia
menghargai bila nilai yang ada pada sasi diteliti dulu untuk mencari
pembuktian akademisnya.
“Bisa
dengan pendekatan marine
biology
atau marine
ecology. Kita
jadi tahu mengapa nenek moyang kita membuat sasi itu. Jika di back-up
ilmu pengetahuan, generasi yang hidup sekarang bisa lebih
mengapresiasinya,” timpalnya.
Yvonne Pattinaja, Kasi
Tata Ruang Laut Nasional pada sesi lain menyoroti konflik antara
beberapa produk hukum yang ada di Indonesia. Pada level nasional,
telah ada UU no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
namun di kabupaten dan kota banyak ditemui Peraturan Kepala Daerah
yang berbenturan dengan produk hukum yang ada di atasnya. Dia juga
melihat masalah besar dimana sangat rendah minat masyarakat khususnya
yang berasal dari wilayah pesisir untuk belajar ilmu kelautan.
Sekretaris
Pertama AusAid Emily Serong mengharapkan workshop ini dapat menjadi
jembatan antara pakar dari berbagai disiplin ilmu guna berdiskusi dan
mencari solusi tentang masalah kelautan dan pemberdayaan
masyarakatnya. ”Kami juga berharap networking sesama alumni
penerima beasiswa Australia akan terbangun lebih baik lewat pertemuan
ini, ”jelasnya.
Workshop
yang sepenuhnya didanai pemerintah Australia ini juga memberi
kesempatan kepada Alumni yang berada di luar Ambon untuk ikut
berpartisipasi. Calon yang berminat diharusnya menulis esay singkat
tentang pentingnya workshop ini bagi pengembangan karirnya atau
daerah yang diwakilinya. Sebanyak 25 orang alumni AusAid akhirnya
terpilih, termasuk satu dari Jambi yakni Ir. Asnelly Ridha Daulay, M.
Nat Res Ecs, penerima beasiswa Australia tahun 2002-2004 yang
sekarang bertugas sebagai peneliti di Balitbangda Provinsi Jambi.
(infojambi.com/ARD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar