Tanaman karet merupakan
penyumbang kemakmuran ekonomi masyarakat Jambi yang sangat penting. Selain sejarahnya
lebih tua dari tanaman sawit yang beberapa tahun terakhir digadang-gadangkan
sebagai pilar ekonomi wilayah ini, luas kebun dan jumlah petani/kepala keluarga
pekebun karet juga lebih besar. Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas
Perkebunan Provinsi Jambi, sampai tahun 2010 luas kebun karet di Jambi 646.878
hektar dan petani terlibat 251.403 KK. Bandingkan dengan sawit yang luasnya
baru mencapai 341.457 hektar dan petani terlibat baru sekitar 177.802 KK.
Karet ternyata juga berjasa
dalam perkembangan pers di negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini. Cerita ini
dimulai ketika pada tahun 1957, Gubernur Jambi Singedekadane memberi izin
kepada Persatuan Pedagang Karet Jambi yang diketuai Raden Yasin (alm) untuk
menjual langsung karet ke Singapura. Sebagian keuntungan penjualan karet disepakati
akan digunakan untuk membeli beberapa
unit mesin percetakan.
Dibawah pengelolaan Perusahaan
Daerah (PD) Dharma Karya, mesin cetak bermerek Handle Bergh itu digunakan
untuk mencetak dokumen dan buku-buku milik Pemerintah Provinsi Jambi serta
beberapa harian lokal Jambi yang eksis waktu itu seperti Koran Mingguan Berita dan Ampera. Mesin bersistim intertip/linetip ini menggunakan material timah yang sangat banyak
sebagai bahan baku penyusun huruf. Meski berteknologi sederhana, keberadaannya sangat membantu wartawan dalam mempercepat penyampaian informasi karena tidak perlu lagi ke Padang,
Palembang atau Jakarta untuk mencetak koran.
Dari
cerita di atas terlihat, di awal berdirinya Provinsi Jambi petani karet pernah
jaya. Mereka hidup makmur, bahkan dapat memberi sumbangan materi bernilai
tinggi kepada pemerintah dan pers waktu itu.
********
Berpuluh tahun kemudian, kehidupan petani
karet Jambi makin sulit. Merekalah kini yang berada di pihak yang membutuhkan
sumbangan. Saat ini terdapat 118.000 hektar kebun karet yang harus diremajakan
dan petani menunggu bantuan pemerintah untuk memulainya.
Petani karet sepertinya tak
berdaya mengatasi masalah yang ada. Harga karet yang tak stabil, kuatnya cengkraman
tengkulak dan buruknya infrastruktur jalan, merupakan keluhan paling sering
diungkapkan. Keluhan tersebut benar adanya dan sulit dibantah. Pemerintah juga telah
berupaya keras untuk meminimalkan masalah tersebut.
Dukungan yang diberikan
oleh pemerintah untuk program karet khususnya lima tahun terakhir sebenarnya cukup
besar. Setiap tahun anggaran peremajaan karet tertuang dalam APBD Provinsi
Jambi. Dana terkait juga dialokasikan di APBN Murni. Sebagai tambahan, untuk
tahun 2012 Dirjen Sarana Prasarana Perkebunan Kementan RI juga menyediakan dana
perluasan areal untuk membuka kebun karet baru.
Masalahnya sebenarnya bukan
semata pada kurangnya dana pembangunan karet karena besaran dana seringkali bersifat relatif. Sistim
penganggaran pemerintah kita sangat terikat kepada peraturan keuangan yang ada.
Kebijakan yang diambil di luar sistim, misalnya untuk memintas proses tender,
akan menyeret pejabat negara kepada tuduhan penyalahgunaan wewenang atau
tindakan korupsi. Praktis tak banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki
keadaan ini bila pemerintah pusat tidak lebih dulu merevisi peraturan keuangan
tersebut.
Benturan ini sering terjadi
di Jambi. Pada awal tahun para petani telah diinstruksikan untuk membersihkan
lahan namun hingga pertengahan tahun bibit atau saprodi belum bisa
didistribusikan disebabkan proses tender belum selesai. Ketika bahan tersebut
datang, minat petani telah menguap melihat lahan mereka yang kembali dipenuhi
ilalang. Inilah yang menyebabkan sebagian target peremajaan karet pada era
kepemimpinan Gubernur Drs. H. Zulkifli Nurdin tak tercapai.
Sementara sebagian petani
bergantung kepada bantuan pemerintah, sisanya tak dapat melepaskan diri dari tengkulak.
Tengkulak atau pengijonlah yang mereka datangi ketika membutuhkan dana segar meski
harga yang ditawarkan lebih rendah dari harga di pasar lelang atau pabrik.
Selalu menyalahkan
faktor-faktor lain di luar diri sendiri bukanlah sikap yang bijak dan dewasa. Petani
karet Jambi seharusnya bangga dan bangkit, mereka memiliki keunggulan
komparatif yang besar. Dibandingkan dengan kehidupan petani tanaman pangan yang
sangat tergantung pada kemurah-hatian musim dan harga jual komoditi lebih rendah, kondisi petani
karet jauh lebih baik karena harga jual lebih tinggi dan hasil panen bisa disimpan
lama (non-perishable).
Sejatuh-jatuhnya
harga, petani karet masih bisa bernafas. Tidak seperti petani lobak dan tomat
di Kerinci yang sering membiarkan sayurnya tak dipanen karena nilainya jatuh di
pasaran. Pada saat harga karet cukup tinggi seperti pada minggu ke-4 Desember
2011 dimana harga karet slab bersih 100 persen dijual Rp28.400/kg, slab bersih
70 persen Rp19.880/kg dan Rp14.200/kg untuk slab bersih 50 persen, petani bisa meraup
keuntungan yang besar. Jika penghasilan tersebut dikelola dengan baik, tentu
keadaan petani karet tidak semiris yang sering diungkap di media massa.
Namun kenyataanya masih banyak
petani yang belum mengelola kekayaannya dengan baik. Menguapnya uang penjualan
karet terkait dengan gaya hidup mereka yang konsumtif. Sudah jamak diketahui setiap
kali harga karet melambung tinggi, show room mobil dan motor di Kota Jambi dan
kota sekitarnya dibanjiri pembeli yang berasal dari kalangan petani karet. Demikian
juga mal yang ada di kota, tak luput menjadi tempat petani menghamburkan
uangnya. Meski tak semua begitu, kecendrungan demikian terlihat jelas di masyarakat
Jambi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
kunjungannya ke Jambi pada 22 September 2011 telah mengingatkan hal itu. Presiden mengharapkan
keuntungan penjualan karet dapat dikelola dengan baik sehingga saat harga karet
dunia anjlok, tidak membuat petani sulit.
Melihat kepada gambaran
yang ada di masyarakat dan nasehat presiden di atas, penyuluhan petani sudah
seharusnya menempatkan porsi lebih besar untuk materi manajemen usaha dan
keuangan. Mendidik petani untuk lebih cerdas berwirausaha sangat penting
dilakukan. Banyak petani kita yang belum merasa perlu menginvestasikan kembali sebagian
keuntungan untuk membeli saprodi dan areal tanam baru.
Jika melihat kepada materi
penyuluhan yang ada, baru sebatas hal-hal bersifat teknis budidaya karet. Jika
petani Jambi cerdas dalam menanam dan merawat karet namun ceroboh dalam menggunakan
uangnya, kesejahteraan sulit untuk diwujudkan.
Selain kurang bijak
menggunakan uangnya, petani kita juga belum cerdas dalam memanfaatkan
sumber-sumber pembiayaan ringan. Lembaga keuangan/ekonomi mikro (LKEM) di
desa-desa belum dimanfaatkan secara optimal. Hampir semua desa telah memiliki koperasi
atau kelompok simpan pinjam. Pemerintah lewat berbagai departemen pun telah menyalurkan
modal awal untuk mendukung pertumbuhan LKEM.
Kini tinggal usaha pemerintah
daerah mendorong petani untuk memanfaatkannya. Dana LKEM dapat digunakan
sebagai talangan sehingga petani tak perlu mengemis kepada pengijon atau
berharap bantuan bibit dari pemerintah yang berkisar Rp3 juta sampai Rp 5 juta
per hektarnya. Jika LKEM dapat dikembangkan
dan diperkuat, petani memiliki tempat mengadu saat butuh modal. Pengijon dapat
disingkirkan dari mata rantai pemasaran karet di Jambi.
Kini sudah waktunya Pemerintah Provinsi Jambi bersama-sama Pemerintah Kabupaten dan Kota
menyusun program pembangunan karet yang lebih berorientasi mencerdaskan petani
karet, dengan tidak meninggalkan kegiatan pembangunan sarana jalan, pasar
lelang karet dan industri hilir yang telah lama diidamkan. Dengan program
pembangunan yang menempatkan petani sebagai mitra sejajar, mudah-mudahan visi membangun karet untuk kesejahteraan rakyat Jambi
dapat segera diwujudkan. (Penulis : Asnelly Ridha Daulay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar