Problema kependudukan adalah masalah seluruh bangsa. Sungguh naïf bila masih ada yang berpendapat bahwa masalah kependudukan merupakan urusan negara semata. Tanpa kepedulian semua pihak, tanpa dukungan semua stakeholders bangsa ini, masalah kependudukan akan berkembang tak terkendali sehingga pada masanya nanti menimbulkan masalah yang amat kompleks di bidang ekonomi, sosial, politik dan pemerintahan.
Dibanding era 1980-an, terkesan telah terjadi penurunan perhatian dan dukungan pemerintah terhadap program keluarga berencana (KB), yang kemudian diikuti oleh kekurangpedulian masyarakat. Akibatnya sudah mulai dirasakan saat ini berupa adanya tanda-tanda bahwa berdasarkanSensus Penduduk Indonesia 2010, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 4 atau 5 juta lebih banyak dari perkiraan para ahli. Ini artinya pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat kembali.[2]
Padahal program KB atau family planning sangat penting untuk mengendalikan ledakan penduduk, salah satu aspek kependudukan yang sangat mengkhawatirkan dunia. Penurunan perhatian ini sebagian disebabkan oleh terjadinya perubahan fundamental dalam penataan kenegaraan sejak diberlakukannya UU No 32/2004 tentang Otonomi Daerah yang memberi kewenangan lebih besar kepada provinsi dan kabupaten/kota untuk mengatur dirinya sendiri.
Kewenangan lebih besar untuk mengatur provinsi, kabupaten atau kota berdampak pada keterbatasan wewenang Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan program KB. Keterbatasan Pemerintah Pusat tersebut seharusnya diimbangi dengan perhatian dan dukungan yang lebih besar dari Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota terhadap pelaksanaan KB di daerah masing-masing, namun kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh pemerintah daerah menyebabkan perhatian terhadap program KB berkurang.
Selain faktor pemberlakukan UU Otonomi Daerah, faktor kekurangpedulian masyarakat juga sangat mempengaruhi. Nampaknya masyarakat cepat lupa terhadap suatu program jika pemerintah tidak terus menerus menyuarakannya lewat media massa atau gerakan massal. Kepedulian masyarakat sulit untuk muncul dengan sendirinya atau bertahan dalam waktu lama, harus diungkit dengan gerakan semacam penyuluhan, pemberian insentif /kemudahan dan peningkatan sarana prasarana.
Sebagaimana kelaziman di negara berkembang, kaum perempuan di Indonesia sering berada pada posisi marginal atau pinggiran. Kemarginalan perempuan ini disebabkan antara lain oleh faktor budaya patriakhi, kemiskinan dan faktor psikologis dimana perempuan kerap menolak atau tidak suka menonjolkan diri atau mengemukakan pendapat pribadinya.
Dihubungkan dengan program KB, kemarginalan perempuan berdampak sangat besar terhadap program ini. Mengapa? Karena dari beberapa pilihan alat KB atau alat kontrasepsi yang tersedia, sebagaian besar ditujukan kepada perempuan. Apa artinya semua alat KB yang canggih bila perempuannya tidak mengenal konsep keluarga berencana tersebut? Atau tidak memiliki wawasan serta kemandirian untuk memilih alat KB yang terbaik dan sesuai dengan dirinya? Atau keinginannya untuk berkeluarga berencana (berKB) tidak didukung oleh keluarga atau lingkungannya?
Disadari tidak mudah untuk merumuskan program/ kegiatan KB yang dapat diterima semua unsur masyarakat. Program KB setidaknya harus mempertimbangkan kedaulatan bangsa, konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan priorotas pembangunan bangsa serta menghargai sepenuhnya pertimbangan religius, nilai etis dan latar belakang budaya bangsa, dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia yang diakui masyarakat internasional.[3]
Tulisan ini bermaksud untuk menggali beberapa masalah seputar pelaksanaan KB dan langkah sosialisasinya, terutama yang berkaitan dengan posisi perempuan yang marginal. Menurut penulis persoalan-persoalan ini belum atau kurang tersentuh/tertangani dengan baik, akibatnya perempuan pada posisi marginal ini belum terlibat aktif dalam program KB yang dicanangkan oleh pemerintah.
Diharapkan tulisan ini dapat memberi sumbangan pemikiran untuk pengembangan pola kegiatan KB di Indonesia yang lebih mengakomodasi keinginan atau kepentingan wanita marginal ini.
Program KB Yang Pro Wanita Marginal
Perempuan adalah suluh kehidupan, slogan ini telah lama dikenal oleh masyarakat kita. Namun berfungsi sebagai suluh (penerang) seringkali kontradiktif dengan realita di tengah masyarakat.
Sebagai istri, perempuan berperan dalam mendorong suaminya mencapai keberhasilan dalam pekerjaan. Sebagai ibu, seorang perempuan adalah pendidik dan penunjuk jalan bagi anak-anaknya agar menjadi pintar dan berguna bagi masyarakat. Namun ketika berhadapan dengan urusan rumahtangga dan anak-anaknya, tak banyak orang yang peduli karena dianggap sebagai tugas alami seorang perempuan. Dapat dipastikan bila seorang wanita beranak banyak, dialah yang menanggung sebagian besar beban tersebut sementara suami hanya berfungsi membantu.
Perempuan yang hidup di perkotaan dan mengecap pendidikan memadai cukup beruntung karena dapat memilih pekerjaan dan merencanakan perkawinan, kehamilan dan jumlah anak sesuai dengan keinginannya. Namun perempuan yang hidup di desa atau kawasan terisolir, berpendidikan minim dan hidup miskin, pilihan untuk mereka nyaris tidak ada. Keluarga atau suamilah yang memilihkan atau memutuskan sesuatu untuk mereka. Perempuan seperti inilah yang menurut penulis masih terabaikan atau termarginalkan dan belum terjangkau sepenuhnya oleh program KB.
Menurut penulis, hal-hal yang menghalangi perempuan marginal dalam berKB terkait dengan mindset (cara pikir) masyarakat terhadap KB itu sendiri. Figur terdekat dengan seorang perempuan adalah suaminya sendiri sehingga cara berpikir suami (laki-laki) harus dirubah. Beberapa hal yang kurang produktif bagi pelaksanaan program KB dan perlu mendapat perhatian pemerintah (dalam hal ini BKKBN) adalah :
1. Pandangan tradisional bahwa KB merupakan ranah istri
Laki-laki yang berpandangan ortodoks beranggapan bahwa KB adalah urusan istri. Laki-laki tidak mau terlalu ikut campur pembicaraan tentang KB karena berpendapat hal tersebut bukan tanggung jawab dirinya. Urusan KB adalah domain (ranah) istri sehingga pilihan berKB otomatis terserah kepada istrinya.
Pada pasangan yang memiliki kesetaraan pendidikan dan pihak istri telah memahami pentingnya program KB, kecenderungan suami yang kurang peduli tersebut berdampak tak terlalu besar bagi keberhasilan pelaksanaan KB di rumah tangga mereka. Si istri dengan inisiatif sendiri mencari informasi serta mendapatkan pelayanan KB yang dibutuhkannya. Namun bagi istri yang memiliki pendidikan minim plus pemahaman keluarga berencana yang kurang, tanpa dorongan dan dukungan dari pihak suami, dipastikan tidak akan berKB dan membiarkan dirinya hamil tanpa perencanaan yang matang.
Hal seperti ini sering kita temui pada keluarga dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah; memiliki anak lebih banyak, istri yang terlihat jauh lebih tua dari usianya, kesehatan yang cepat menurun karena interval kehamilan yang dekat serta beban makin berat untuk membesarkan anak.
2. Perbedaan persepsi antara pemerintah dengan kelompok masyarakat anti KB
Program KB yang diluncurkan pemerintah pada era 1970-an belum dapat diterima semua kelompok masyarakat, contohnya kelompok keagamaan Islam yang berpendapat bahwa KB itu haram. Perbedaan pemahaman tersebut telah sering didiskusikan dan diupayakan mencari jalan tengahnya. Namun Penulis berpendapat, banyak dari hasil diskusi tersebut yang tidak ditindaklanjuti dalam bentuk pengambilan keputusan, padahal cukup banyak kesamaan persepsi yang berhasil dimunculkan dari diskusi antara pandangan yang pro dan kontra KB tersebut.
Salah satu hal yang diperoleh penulis dari perbincangan dengan anggota kelompok yang anti KB (alat kontrasepsi) adalah pandangan KB haram disebabkan tujuannya yang tak syar’i (tidak sesuai syariah), yakni bertujuan untuk membatasi kelahiran. Kelahiran tidak perlu dibatasi karena Tuhan menyediakan rezeki yang cukup untuk semua mahluknya. Namun kelompok ini setuju pada pemakaian alat KB yang dimaksudkan untuk menjarangkan kelahiran. Untuk ini hukum penggunaan alat KB menjadi halal.
Dari sudut pandang ini penulis berkesimpulan bahwa perbedaan prinsip antara KB yang dicanangkan pemerintah dengan kelompok keagamaan ini adalah dari sudut pandang niat. Pemerintah lebih menonjolkan aspek ‘pencegahan kelahiran’, sementara kelompok ini menonjolkan aspek ‘menjarangkan kelahiran’. Tujuan akhirnya pada hakekatnya sama yakni untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Terdapat beberapa pandangan kelompok agama dalam pelaksanaan KB, yang perlu mendapat perhatian pemerintah, diantaranya [4]:
a. Vasektomi haram karena dilakukan dengan memotong saluran sperma yang berakibat terjadinya kemandulan tetap. Upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali yang bersangkutan oleh karena itu hukumnya menjadi haram.
b. Kontrasepsi dalam rahim dibenarkan jika pemasangan dilakukan oleh tenaga medis wanita. Jika tenaga medisnya pria, si istri harus didampingi oleh suaminya.
c. Keputusan berKB harus didiskusikan dan disetujui oleh suami dan istri
3. Penyuluhan/ pelayanan KB di kantong-kantong kemiskinan belum optimal
Negara Bangladesh telah melaksanakan program KB dengan membangun strategi berdasarkan kesadaran bahwa ketidaksetaraan gender masih terjadi di negara tersebut. Pemerintah menyadari bahwa kaum perempuan terikat sangat kuat kepada suami dan perkawinannya, banyak diantara mereka yang tidak boleh keluar rumah tanpa pendampingan, atau tidak memiliki keberanian untuk berpendapat/memilih. Pemerintah kemudian merekrut puluhan ribu tenaga penyuluh KB yang bertugas melayani para perempuan hingga ke rumahnya masing-masing.
Pelayanan itu tidak hanya sampai kepada kegiatan memperkenalkan metode alat kontrasepsi, membawa para wanita ke klinik untuk dipasangkan alat KB, senantiasa mendampingi para perempuan tersebut dalam kesehariannya dan memberikan bantuan-bantuan ringan seperti menjaga anak, membawakan air untuk dimasak, makanan dan sebagainya.[5]
Pelaksanaan program KB di Bangladesh tersebut memberikan hasil yang mencengangkan, yaitu penurunan angka kelahiran yang dramatis dari rata-rata 7 kelahiran per wanita pada pertengahan tahun 1970, menjadi 3,4 kelahiran per wanita pada tahun 1993. Namun biaya yang dikeluarkan untuk program tersebut sangat besar sehingga pada akhir tahun 1980-an, pemberian insentif untuk tenaga pendamping KB ini dihentikan.
Apa yang dilakukan oleh Negara Bangladesh ini tentu sangat sulit diterapkan di Indonesia apalagi saat ini kita menghadapi krisis ekonomi global. Namun program serupa dengan modifikasi di beberapa aspek dan diterapkan secara terbatas di wilayah marginal, dapat saja dilaksanakan saat ini karena biayanya lebih ringan.
Penguatan Fungsi Penyuluhan, Pelayanan KB dan Adopsi Budaya Lokal
Dari permasalahan yang dikemukakan di atas dapat ditarik gambaran bahwa pelaksanaan penyuluhan yang menjangkau masyarakat marginal dan pelayanan terhadap para perempuannya sangat vital untuk meningkatkan jumlah peserta KB di wilayah RI yang kurang beruntung tersebut. Namun penyuluhan dan pelayanan seperti apakah yang ideal untuk mereka?
Dalam Cairo Action’s Program telah dirumuskan tujuan pelaksanaan program KB yaitu; (1) agar pasangan atau individu dapat menentukan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah dan jarak anak yang akan dimiliki; (2) masyarakat memperoleh informasi dan jaminan untuk mewujudkan keinginannya berKB; (3) menjamin diperolehnya informasi tentang pilihan metode KB yang ada; dan (4) tersedianya secara lengkap metode yang efektif dan aman untuk pasangan atau individu yang menginginkan berKB. Selain itu perlu adanya pendidikan kependudukan dan KB yang memadai karena ini akan menjadi landasan individu untuk mengambil keputusan yang bertanggung jawab terhadap diri, pasangan dan keluarganya dalam berKB.
Jika melihat kepada tujuan tersebut, terutama pada poin 4, pemerintah diminta untuk menyediakan metode yang efektif dan aman bagi pasangan yang ingin berKB. Memang benar tidak disebutkan bahwa penyediaan fasilitas tersebut secara gratis. Cairo Action’s Program menekankan pentingnya pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran berKB dan berkesimpulan pemberian pelayanan KB gratis dan insentif berlebihan terhadap para penyuluh/pendamping/petugas KB tidak diperkenankan lagi.
Namun bagi masyarakat yang kurang beruntung, yang akses untuk memperoleh pendidikan tidak sebaik di daerah perkotaan atau daerah makmur lainnya, pemerintah belum dapat mengharapkan masyarakatnya berKB secara mandiri. Biaya pemasangan dan alat kontrasepsi yang berkisar Rp5.000 hingga Rp20.000 adalah sangat mahal bagi mereka.
Alasan lain adalah kebijakan pelaksanaan KB tidak dapat diseragamkan untuk semua negara atau semua wilayah di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut ekonomi liberal terdapat paham bahwa hal-hal yang bersifat pribadi (seperti KB) tidak selayaknya dibiayai atau disubsidi oleh negara. Di Indonesia hal tersebut belum dapat dilakukan sepenuhnya, masih banyak subsidi yang diberikan oleh negara kepada masyarakat. Juga kita tidak dapat menyamakan perlakuan antara suatu daerah yang ekonominya maju, pendidikan masyarakatnya relatif tinggi, dan berada dekat dengan pusat pemerintahan dengan daerah lain yang kondisi sosial ekonomi masyarakatnya jauh lebih rendah.
Untuk itu Pemerintah harus menyediakan layanan secara gratis kepada perempuan marginal tersebut, setidaknya hingga mereka mampu secara ekonomi untuk membayar pelayanan KB yang diterimanya. Memperbanyak pos pelayanan KB di kantung-kantung kemiskinan adalah salah satu solusinya. Keberadaan pos tersebut akan mempermudah dan mempercepat mereka untuk mendapatkan informasi dan pelayanan dibutuhkan.
Mantan Menteri BKKB Dr. Haryono Suryono bahkan mengusulkan membentuk sekitar 700.000 – 750.000 Pos Pemberdayaan Keluarga di pedesaan dan kelurahan di kota-kota. Fungsi Posdaya tersebut sebagai forum silaturahmi dan koordinasi pembangunan berbasiskan penduduk dengan mengacu pada Millenium Development Goals (MDGs), yaitu pembangunan secara lengkap mengatasi kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan lingkungan, termasuk menghidupkan kembali pola hidup gotong royong dan peduli terhadap sesama anak bangsa.[6]
Selain itu sarana dan prasarana Posdaya diharapkan dilengkapi dan didukung oleh program/kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau instansi vertikal yang ada di daerah, tanpa perlu menambahkan dana lain. Ini adalah konsekuensi logis dari penerapan Otonomi Daerah dimana Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota melalui SKPDnya harus berkontribusi kepada kesuksesan program KB melalui pemberdayaan perekonomian warga. Peran organisasi wanita di bawah KOWANI dapat ditingkatkan untuk pemberdayaan ekonomi warga dan KB di daerah, karena sebagian organisasi wanita tersebut memiliki link yang kuat dengan SKPD di provinsi, kabupaten atau kota . Sebagai contoh, unit organisasi Dharma Wanita Persatuan di masing-masing SKPD yang ada di daerah.
Keberadaan penyuluh dan petugas KB juga sangat vital untuk meningkatkan jumlah peserta KB. Penulis berpendapat saat ini terjadi kemiskinan kualitas para penyuluh/petugas KB. Pada era 1980-an dan 1990-an, para penyuluh tidak hanya menguasai konsep KB dan ragam alat kontrasepsi, mereka juga dibekali ilmu agama terutama KB menurut hukum Islam, ilmu psikologi dan komunikasi, sehingga masyarakat menjadi nyaman dan terbuka menyambut kehadiran mereka.Saat ini pendekatan dengan beragam ilmu tersebut nyaris tak ada lagi.
Faktor penghambat lainnya dari segi kepenyuluhan adalah minimnya petugas KB laki-laki. Untuk membuka wawasan para laki-laki tentang KB -bahwa KB bukan ranah wanita semata- sebaiknya disampaikan oleh penyuluh laki-laki. Efektivitas penyuluhan akan lebih tinggi dibanding jika petugas perempuan yang melaksanakannya karena penjelasan tentang KB banyak menyangkut organ reproduksi, suatu topik yang cukup tabu dan jarang dibicarakan dengan orang baru dikenal atau orang yang berbeda sex.
Untuk itu Penulis menyarankan perlunya direkrut atau dilatih penyuluh laki-laki yang lebih banyak lagi, demikian pula iklan layanan masyarakat sebaiknya menggunakan model atau narasumber laki-laki sehingga paradigma “KB adalah ranahnya perempuan” dapat disirnakan berlahan-lahan. Selain itu harus diperhatikan pula pemberian insentif non materi bagi fungsional penyuluh berupa kemudahan memperoleh angka kredit yang nantinya akan berpengaruh pada peningkatan gaji/tunjangan mereka.
Menyangkut perbedaan pandangan antara konsep/pelaksanaan KB pemerintah dengan pandangan masyarakat agama, Penulis mendorong adanya usaha keras pemerintah (BKKBN) untuk mengakomodasi tujuan/niat berKB untuk menjarangkan kelahiran dalam kampanye-kampanye KB. Selama ini Penulis melihat dan mendengar KB penting semata-mata untuk alasan ekonomi, pandangan seperti ini tidak dapat diterima oleh semua masyarakat kita. Apa gunanya diskusi panjang tentang KB dari pandangan hukum Islam jika rumusan yang dihasilkan tersebut tidak diadopsi dalam bentuk kebijakan pemerintah?
Penulis juga sangat mendorong bila pemerintah mau mengadopsi dan mempopulerkan konsep KB alami yang diterapkan oleh masyarakat atau yang berasal dari budaya lokal walaupun untuk sementara waktu ini, efektivitas KB alami ini dianggap masih rendah. Metode penggunaan jamu semisal akar pinang sebagai metode pencegah kehamilan belum diteliti dan dikembangkan secara optimal padahal potensinya untuk menjadi alat kontrasepsi yang memenuhi standar cukup terbuka lebar.
Selama ini Pemerintah terlalu mengandalkan alat KB yang merupakan adopsi metode asing (buatan pihak luar negeri) tapi kurang berusaha untuk menggali dan mengembangkan metode alami yang berpotensi lebih aman dan tanpa efek samping. Penulis mengakui bahwa riset tersebut membutuhkan dana besar dan waktu lama, namun hasilnya akan sangat berguna untuk sebuah negara sangat luas dengan populasi penduduk besar seperti Indonesia ini.
Bila pemerintah melalui BKKBN mau berkomitmen menggali budaya lokal dan mengakomodasi pemahaman kaum agama dalam membangun kebijakan KB khas Indonesia, persepsi bahwa KB (family planning) merupakan alat bangsa asing (barat) untuk melemahkan Indonesia dan negara berpenduduk muslim lainnya diharapkan akan berkembang ke arah lebih baik.
Demikian pokok-pokok pikiran yang penulis dapat sampaikan dalam makalah ini sebagai masukan untuk pengembangan program KB di Indonesia. Semoga bermanfaat untuk kita semua. (Penulis : Ir. Asnelly Ridha Daulay, M. Nat Res Ecs)
[1] Makalah ini ditulis dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis yang dilaksanakan oleh BKKBN – KOWANI pada ajang “The 3rd ACWO Board Meeting and KOWANI Fair 2011” di Jakarta.
[2] Rebranding Program KB Di Indonesia, (http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=998 )
[3] Arah dan Implementasi Kebijaksanaan Program keluarga berencana di Indonesia oleh Siswanto Agus Wilopo (http:// docs.google.com/ viewer?a=v&q=cache:fELGp4wapkgJ:i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?)
[4] Pandangan Hukum Islam terhadap aborsi, Bayi tabung dan Keluarga berencana oleh Dedi Purnama dan Indra FW, (http://www.scribd.com/doc/21985425/Pandangan-Islam-Terhadap-aborsi-Bayi-Tabung-dan-Keluarga-Berencana)
[5] Bangladesh’s Familiy Planning Success Story: a Gender Perspective by Sidney Ruth Schuler et al, (http://www.guttmacher.org/pubs/journals/2113295.pdf)