Seminar “Chalenges
and Opportunities in the Management of Coastal Zones, Marine and Small
Island Resources in Maluku Province”,
Ambon (30/11)
Welcome to my blog. Most of writings/articles here are about my beloved Jambi. Your comments are awaited.
Mengenai Saya
- Asnelly RD
- Jambi, Jambi, Indonesia
- wonderful life starts from a wonderful heart
30 Desember 2011
29 Desember 2011
Bedah Rumah Dan Pemberdayaan Masyarakat Miskin
DARI
sekian banyak program pembangunan Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus yang
ditampung di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015,
mungkin kegiatan Bedah Rumah (Bedrum) yang berada di bawah payung Program Satu Miliar
Satu Kecamatan (SAMISAKE)-lah yang paling populer. Padahal selain Bedrum,
ada kegiatan lain seperti Jaminan Kesehatan dengan sasaran 19.639 jiwa,
beasiswa dengan sasaran 7.043 siswa, Sertifikasi Rumah Hasil Bedrum 3.176
sertifikat, bantuan modal usaha bagi UMKM, serta bantuan dump truck 8 unit dan kendaraan
roda tiga. 1
Bedrum menjadi begitu populer, salah
satunya karena memberi peluang kepada keluarga miskin yang jumlahnya di Provinsi
Jambi saat ini mencapai 34.180 keluarga untuk berharap suatu hari nanti rumah mereka
direnovasi melalui kegiatan ini. Berdasarkan data BAPPEDA Provinsi Jambi, pada tahun
2011 ditargetkan sebanyak 5000 rumah akan dibedah. Dari jumlah tersebut, baru 2.802
rumah yang didanai oleh APBD Provinsi Jambi, 100 unit dari APBD Kabupaten
Tanjung Jabung Timur, sementara sisanya diharapkan didanai oleh BUMN, BUMD dan perusahaan
swasta besar yang beroperasi di Jambi melalui penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR)
sebanyak 805 unit.
Harapan HBA terhadap peran swasta yang
lebih besar untuk mendukung kegiatan ini nampaknya cukup mendapat respon positif.
Beberapa bank telah melaksanakan bedah rumah seperti Bank Jambi (10 unit
rumah), BTN (10 unit), BNI (20 unit), Bank Mandiri (10 unit) dan sebuah BUMN, PTPN
VI (10 unit). Beberapa pengusaha papan atas juga ikut memberikan bantuannya, diantaranya
seorang pengusaha batubara yang membedah 500 unit rumah dan seorang pengusaha asal
Kota Jambi yang membedah 14 rumah keluarga miskin di sekitar tempat tinggalnya.
Banyak hal positif yang dapat dicermati dari
pelaksanaan kegiatan ini. Yang pertama, terlibatnya unsur TNI melalui Komado Resor
Militer 042/Garuda Putih sebagai pelaksana lapangan untuk kegiatan bedah rumah
yang didanai APBD Provinsi Jambi. Ini merupakan bentuk keharmonisan hubungan antara
Pemerintah Provinsi Jambi dan TNI serta sebuah upaya simpatik untuk mendekatkan
diri kepada masyarakat. Apresiasi juga pantas
diberikan karena kegiatan ini berhasil menggugah warga negara golongan ekonomi mampu
untuk berbagi dengan saudaranya yang hidup kurang beruntung.
Ada makna positif yang tak kalah penting
dari pelaksanaan program ini, yakni penghiburan untuk masyarakat yang belum terpenuhi
harapannya akan infrastruktur jalan yang baik. Keluhan tentang buruknya kondisi
jalan di Jambi muncul di mana-mana. Saat ini Jambi memiliki jalan provinsi sepanjang
1.400 km dan jalan nasional sepanjang 900 km lebih. Diawal kepemimpinan HBA,
keadaan jalan yang bagus hanya 31 persen, selebihnya dalam keadaan rusak ringan
dan rusak berat.2 Demikian
juga publik masih mengeluhkan pelayanan aparat pemerintah, sehingga keberadaan kegiatan
bedah rumah ini dapat mengurangi kekecewaan yang dirasakan oleh mereka.
Meski target fisik 5000 rumah yang
dicanangkan HBA belum tercapai, sebagian masyarakat menilai kemenangan telah
diraih, kemenangan nilai kemanusiaan dan pemerataan pembangunan. Bahkan Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono ikut menyampaikan apresiasinya untuk kegiatan percontohan
di 50 kecamatan ini saat berkunjung ke Jambi pada September 2011 lalu.
Dibalik cerita sukses itu, ada suara-suara
mempertanyakan kualitas rumah yang dihasilkan. Beberapa rumah yang dibedah
hanya mengalami pergantian atap seng atau catnya saja diganti, dan diperkirakan
tak akan menghabiskan Rp7,5 juta sebagaimana dana yang dialokasikan per rumah. Aroma penyelewengan tercium di sini.
Gubernur Jambi pun tak abai soal ini. HBA
mengakui ada beberapa rumah yang tidak sempurna pengerjaannya, tidak sesuai
spesifikasi tapi jumlahnya sangat kecil sehingga tidak patut untuk dibesar-besarkan,
apalagi sampai mengecilkan arti keberhasilan kegiatan.
Namun sikap kritis terhadap kegiatan bedah
rumah tidak hanya menyangkut dugaan penyelewengan dana. Juga muncul pertanyaan,
akankah kegiatan ini diteruskan untuk tahun kedua dan ketiga hingga kelima pemerintahan
HBA? Menurut mereka, kegiatan ini hanya pantas dipertahankan pada tahun
pertama, sebagai pemenuhan atas janji
HBA di waktu kampanye dulu.
Jawaban pun sudah diperoleh. Kegiatan
bedah rumah akan berlanjut untuk tahun 2012 dengan jumlah
anggaran per rumah ditingkatkan menjadi
Rp. 10 juta. Total dana keseluruhan yang harus disediakan di APBD Provinsi
Jambi 2012 sebanyak Rp 27,5 miliar untuk 2.750 unit rumah.
Adalah kalangan pemerhati pembangunan dan
perguruan tinggi yang mengharapkan program pembangunan yang diusung Pemerintah Provinsi
Jambi lebih berkonten pemberdayaan masyarakat. Secara konseptional,
pemberdayaan masyarakat memiliki dua makna pokok, yaitu memberikan kekuasaan,
mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada masyarakat agar mereka
memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan untuk membangun diri dan
lingkungan secara mandiri. Pemberdayaan masyarakat juga bermakna meningkatkan
kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program
pembangunan agar kondisi kehidupan mereka dapat mencapai tingkat kemampuan yang
diharapkan.3
Kegiatan bedah rumah yang dilaksanakan di
Jambi justru memiliki nilai pemberdayaan yang sangat kurang dan karenanya tidak
strategis. Dari segi kriteria penerima bantuan bedah rumah, mungkin saja telah
memenuhi syarat-syarat dianggap sebagai keluarga miskin seperti tidak memiliki
faktor produksi (tanah, modal atau keterampilan), terbatasnya akses terhadap
aset produksi, tingkat pendidikan rendah dan lain sebagainya. Tapi dari segi kriteria
pemberdayaan, jelas kegiatan bedah rumah belum memenuhi unsur kegiatan yang
memberdayakan masyarakat. Di sini, masyarakat
tak terlibat dalam kegiatan apapun, semisal
menentukan cat atau bentuk rumah mereka.
Melihat keadaan tersebut, dapat
dipahami bila banyak yang mengharapkan kegiatan bedah rumah untuk tahun
berikutnya harus diperbaiki, bahkan dihentikan saja untuk diganti dengan
kegiatan lain yang lebih konstruktif. Fraksi Gerakan Keadilan dalam
tanggapannya terhadap penyampaian APBD Provinsi Jambi tahun 2012 mengharapkan adanya
kejelasan terhadapi informasi rumah yang dibedah. Jangan sampai terjadi tumpang
tindih penggunakan dana APBD dengan dana CSR ataupun dengan dana yang bersumber
dari APBD Kabupaten / Kota untuk rumah yang sama.4
Tuntutan untuk mengaudit kegiatan tersebut
juga disuarakan banyak pihak. Hal ini sangat relevan karena sebagian besar dana
yang digunakan berasal dari APBD Provinsi Jambi yang memang harus
dipertanggungjawabkan sesuai administrasi keuangan negara. Dana bedah rumah
yang berasal dari CSR, auditnya dapat diserahkan kembali kepada perusahaan
bersangkutan.
Perbaikan paling penting untuk kegiatan
ini dengan cara memasukkan unsur pemberdayaan masyarakat ke dalamnya. Ini
sesuai dengan amanat UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah,
khususnya menyangkut kebijakan pemberdayaan masyarakat. Peran pemerintah dalam
rangka pemberdayaan masyarakat dengan diterapkannya UU tersebut seharusnya
bergeser dari pelaksana menjadi fasilitator, dari memberikan instruksi menjadi
melayani masyarakat, dari mengatur menjadi memberdayakan masyarakat, dan dari
bekerja untuk memenuhi aturan menjadi bekerja untuk memenuhi misi.3
Model kegiatan yang memberdayakan
masyarakat sebenarnya telah dimiliki oleh beberapa program di Indonesia seperti
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Ratusan
jalan desa, jembatan, madrasah dan sekolah telah dibangun atau direnovasi oleh
masyarakat sendiri dengan menggunakan kucuran dana pemerintah, serta kualitasnya
sering dipuji-puji melebihi hasil kerja kontraktor swasta.
Dalam kegiatan PNPM, masyarakat di
dusun atau desa dilatih untuk mampu merencanakan, mengusulkan dan memperjuangkan
proposal mereka di depan forum musyawarah dan Unit Pengelola Kegiatan (UPK)
PNPM-MP Kecamatan hingga rencana yang mereka bangun bersama-sama layak untuk
didanai. Selain itu terdapat juga
pendanaan untuk kegiatan ekonomi dalam bentuk kelompok Simpan Pinjam Perempuan
(SPP).
Proses kompetisi ini dapat diaplikasikan
ke kegiatan bedah rumah secara selektif, sesuai dengan keterbatasan serta pendidikan
keluarga miskin. Misalnya untuk
mendapatkan pendanaan bedah rumah, rumah tersebut diharuskan memiliki warung
atau tempat usaha sederhana. Dengan demikian, selain memberikan tempat berteduh
yang lebih representatif, bedrum juga membantu keluarga miskin dalam bekerja mencari
nafkah dan untuk lebih produktif.
Kegiatan bedah rumah harus memberikan
pencerahan kepada masyarakat miskin, sehingga mereka ikut aktif dalam
pelaksanaannya. Masyarakat diminta untuk merencanakan bagian tertentu dari
rumah yang direnovasi. Misalnya, merencanakan renovasi dapur yang lebih pas untuk
usaha pembuatan kue atau gudang/workshop yang memadai untuk kegiatan ekonomi
produktif lainnya.
Dengan adanya perspektif baru tentang
kegiatan bedah rumah, diharapkan memberikan
nilai lebih dalam pelaksanaannya pada tahun yang akan datang. Kegiatan ini
tidak lagi bersifat kemanusiaan atau charity
semata namun memberi dorongan kepada masyarakat kurang mampu untuk lebih
mandiri, memperbaiki kehidupan ekonominya melalui perbaikan rumah plus sarana
produksi yang difasilitasi oleh pemerintah. (Penulis Asnelly Ridha Daulay, adalah Ketua IKWI Cabang
Jambi, Peneliti Badan Litbang Provinsi Jambi dan Wapimred Infojambi Koran).
DAFTAR PUSTAKA
1 Samisake Diharap Menjadi Daya Ungkit Menuju Jambi EMAS 2015, (http://www.jambiprov.go.id, diakses 27 Desember 2011)
2 Jalan Di
Jambi Masih Rusak Sampai 2015, (http://infojambi.com,
diakses 27 Desember 2011).
3 Daeli, SP dan Y.R. Siregar, 2010. Model
Kelembagaan Pemerintah daerah Ditinjau Dari Perspektif pemberdayaan Masyarakat
Miskin. Jurnal Binapraja, vol. II (384-394),
Jakarta.
4 Pandangan Umum
Fraksi Gerakan Keadilan Terhadap APBD Provinsi Jambi Tahun 2012, (http://infojambi.com, diakses 25 Desember 2011)
26 Desember 2011
PETANI CERDAS, KUNCI PENTING KEBERHASILAN PEMBANGUNAN KARET JAMBI
Tanaman karet merupakan
penyumbang kemakmuran ekonomi masyarakat Jambi yang sangat penting. Selain sejarahnya
lebih tua dari tanaman sawit yang beberapa tahun terakhir digadang-gadangkan
sebagai pilar ekonomi wilayah ini, luas kebun dan jumlah petani/kepala keluarga
pekebun karet juga lebih besar. Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas
Perkebunan Provinsi Jambi, sampai tahun 2010 luas kebun karet di Jambi 646.878
hektar dan petani terlibat 251.403 KK. Bandingkan dengan sawit yang luasnya
baru mencapai 341.457 hektar dan petani terlibat baru sekitar 177.802 KK.
Karet ternyata juga berjasa
dalam perkembangan pers di negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini. Cerita ini
dimulai ketika pada tahun 1957, Gubernur Jambi Singedekadane memberi izin
kepada Persatuan Pedagang Karet Jambi yang diketuai Raden Yasin (alm) untuk
menjual langsung karet ke Singapura. Sebagian keuntungan penjualan karet disepakati
akan digunakan untuk membeli beberapa
unit mesin percetakan.
Dibawah pengelolaan Perusahaan
Daerah (PD) Dharma Karya, mesin cetak bermerek Handle Bergh itu digunakan
untuk mencetak dokumen dan buku-buku milik Pemerintah Provinsi Jambi serta
beberapa harian lokal Jambi yang eksis waktu itu seperti Koran Mingguan Berita dan Ampera. Mesin bersistim intertip/linetip ini menggunakan material timah yang sangat banyak
sebagai bahan baku penyusun huruf. Meski berteknologi sederhana, keberadaannya sangat membantu wartawan dalam mempercepat penyampaian informasi karena tidak perlu lagi ke Padang,
Palembang atau Jakarta untuk mencetak koran.
Dari
cerita di atas terlihat, di awal berdirinya Provinsi Jambi petani karet pernah
jaya. Mereka hidup makmur, bahkan dapat memberi sumbangan materi bernilai
tinggi kepada pemerintah dan pers waktu itu.
********
Berpuluh tahun kemudian, kehidupan petani
karet Jambi makin sulit. Merekalah kini yang berada di pihak yang membutuhkan
sumbangan. Saat ini terdapat 118.000 hektar kebun karet yang harus diremajakan
dan petani menunggu bantuan pemerintah untuk memulainya.
Petani karet sepertinya tak
berdaya mengatasi masalah yang ada. Harga karet yang tak stabil, kuatnya cengkraman
tengkulak dan buruknya infrastruktur jalan, merupakan keluhan paling sering
diungkapkan. Keluhan tersebut benar adanya dan sulit dibantah. Pemerintah juga telah
berupaya keras untuk meminimalkan masalah tersebut.
Dukungan yang diberikan
oleh pemerintah untuk program karet khususnya lima tahun terakhir sebenarnya cukup
besar. Setiap tahun anggaran peremajaan karet tertuang dalam APBD Provinsi
Jambi. Dana terkait juga dialokasikan di APBN Murni. Sebagai tambahan, untuk
tahun 2012 Dirjen Sarana Prasarana Perkebunan Kementan RI juga menyediakan dana
perluasan areal untuk membuka kebun karet baru.
Masalahnya sebenarnya bukan
semata pada kurangnya dana pembangunan karet karena besaran dana seringkali bersifat relatif. Sistim
penganggaran pemerintah kita sangat terikat kepada peraturan keuangan yang ada.
Kebijakan yang diambil di luar sistim, misalnya untuk memintas proses tender,
akan menyeret pejabat negara kepada tuduhan penyalahgunaan wewenang atau
tindakan korupsi. Praktis tak banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki
keadaan ini bila pemerintah pusat tidak lebih dulu merevisi peraturan keuangan
tersebut.
Benturan ini sering terjadi
di Jambi. Pada awal tahun para petani telah diinstruksikan untuk membersihkan
lahan namun hingga pertengahan tahun bibit atau saprodi belum bisa
didistribusikan disebabkan proses tender belum selesai. Ketika bahan tersebut
datang, minat petani telah menguap melihat lahan mereka yang kembali dipenuhi
ilalang. Inilah yang menyebabkan sebagian target peremajaan karet pada era
kepemimpinan Gubernur Drs. H. Zulkifli Nurdin tak tercapai.
Sementara sebagian petani
bergantung kepada bantuan pemerintah, sisanya tak dapat melepaskan diri dari tengkulak.
Tengkulak atau pengijonlah yang mereka datangi ketika membutuhkan dana segar meski
harga yang ditawarkan lebih rendah dari harga di pasar lelang atau pabrik.
Selalu menyalahkan
faktor-faktor lain di luar diri sendiri bukanlah sikap yang bijak dan dewasa. Petani
karet Jambi seharusnya bangga dan bangkit, mereka memiliki keunggulan
komparatif yang besar. Dibandingkan dengan kehidupan petani tanaman pangan yang
sangat tergantung pada kemurah-hatian musim dan harga jual komoditi lebih rendah, kondisi petani
karet jauh lebih baik karena harga jual lebih tinggi dan hasil panen bisa disimpan
lama (non-perishable).
Sejatuh-jatuhnya
harga, petani karet masih bisa bernafas. Tidak seperti petani lobak dan tomat
di Kerinci yang sering membiarkan sayurnya tak dipanen karena nilainya jatuh di
pasaran. Pada saat harga karet cukup tinggi seperti pada minggu ke-4 Desember
2011 dimana harga karet slab bersih 100 persen dijual Rp28.400/kg, slab bersih
70 persen Rp19.880/kg dan Rp14.200/kg untuk slab bersih 50 persen, petani bisa meraup
keuntungan yang besar. Jika penghasilan tersebut dikelola dengan baik, tentu
keadaan petani karet tidak semiris yang sering diungkap di media massa.
Namun kenyataanya masih banyak
petani yang belum mengelola kekayaannya dengan baik. Menguapnya uang penjualan
karet terkait dengan gaya hidup mereka yang konsumtif. Sudah jamak diketahui setiap
kali harga karet melambung tinggi, show room mobil dan motor di Kota Jambi dan
kota sekitarnya dibanjiri pembeli yang berasal dari kalangan petani karet. Demikian
juga mal yang ada di kota, tak luput menjadi tempat petani menghamburkan
uangnya. Meski tak semua begitu, kecendrungan demikian terlihat jelas di masyarakat
Jambi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
kunjungannya ke Jambi pada 22 September 2011 telah mengingatkan hal itu. Presiden mengharapkan
keuntungan penjualan karet dapat dikelola dengan baik sehingga saat harga karet
dunia anjlok, tidak membuat petani sulit.
Melihat kepada gambaran
yang ada di masyarakat dan nasehat presiden di atas, penyuluhan petani sudah
seharusnya menempatkan porsi lebih besar untuk materi manajemen usaha dan
keuangan. Mendidik petani untuk lebih cerdas berwirausaha sangat penting
dilakukan. Banyak petani kita yang belum merasa perlu menginvestasikan kembali sebagian
keuntungan untuk membeli saprodi dan areal tanam baru.
Jika melihat kepada materi
penyuluhan yang ada, baru sebatas hal-hal bersifat teknis budidaya karet. Jika
petani Jambi cerdas dalam menanam dan merawat karet namun ceroboh dalam menggunakan
uangnya, kesejahteraan sulit untuk diwujudkan.
Selain kurang bijak
menggunakan uangnya, petani kita juga belum cerdas dalam memanfaatkan
sumber-sumber pembiayaan ringan. Lembaga keuangan/ekonomi mikro (LKEM) di
desa-desa belum dimanfaatkan secara optimal. Hampir semua desa telah memiliki koperasi
atau kelompok simpan pinjam. Pemerintah lewat berbagai departemen pun telah menyalurkan
modal awal untuk mendukung pertumbuhan LKEM.
Kini tinggal usaha pemerintah
daerah mendorong petani untuk memanfaatkannya. Dana LKEM dapat digunakan
sebagai talangan sehingga petani tak perlu mengemis kepada pengijon atau
berharap bantuan bibit dari pemerintah yang berkisar Rp3 juta sampai Rp 5 juta
per hektarnya. Jika LKEM dapat dikembangkan
dan diperkuat, petani memiliki tempat mengadu saat butuh modal. Pengijon dapat
disingkirkan dari mata rantai pemasaran karet di Jambi.
Kini sudah waktunya Pemerintah Provinsi Jambi bersama-sama Pemerintah Kabupaten dan Kota
menyusun program pembangunan karet yang lebih berorientasi mencerdaskan petani
karet, dengan tidak meninggalkan kegiatan pembangunan sarana jalan, pasar
lelang karet dan industri hilir yang telah lama diidamkan. Dengan program
pembangunan yang menempatkan petani sebagai mitra sejajar, mudah-mudahan visi membangun karet untuk kesejahteraan rakyat Jambi
dapat segera diwujudkan. (Penulis : Asnelly Ridha Daulay)
19 Desember 2011
Bila Mak Yuni Berhenti Bekerja
MAK
YUNI menggandeng kedua tangan anaknya, bergegas menuju sekolah
pemerintah yang berada sekitar 400 meter dari rumahnya. Tak lama lagi
bel akan berbunyi, sementara kedua putri kembarnya yang baru berusia
tujuh tahun, terlihat ceria meski kantuk masih membayang di mata
mereka. Bedak yang berlepotan, aroma minyak kayu putih yang
menghangatkan, samar tercium di udara pagi. Mak Yuni harus berpacu,
mengantar anak ke sekolah dan kemudian singgah ke warung terdekat,
membeli bahan mentah untuk lauk mereka hari ini. Dia harus cepat. Ada
setumpuk jahitan yang menunggu diselesaikan. Sebagai tukang jahit
yang cukup punya nama, dia tak mau mengecewakan
langganan-langganannya.Baju-baju itu harus siap sesuai waktu yang
dijanjikan.
Mak Yuni adalah satu contoh potret wanita Indonesia saat ini. Meski
bukan sarjana, walau tak beraktivitas di luar rumah, kesibukannya
menyerupai wanita karir yang menduduki posisi penting. Mak Yuni
memiliki pekerjaan. Dia memiliki pendapatan yang jelas. Dia seorang
tukang jahit.
Ada banyak potret lain wanita Indonesia yang bekerja di berbagai
sektor. Mulai dari wanita pemulung sampah, pembuat kue, perias
pengantin, tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, penasehat hukum,
hingga mereka yang beruntung menduduki jabatan strategis di
pemerintahan atau perusahaan swasta. Tak ada penolakan atas
keberadaan mereka karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
moderat. Lagi pula wanita-wanita itu bekerja dengan kemampuannya,
dengan ketekunan serta kerja kerasnya dan didorong niatnya untuk
menyejahterakan keluarga.
Peran wanita Indonesia dalam memperkuat ekonomi keluarga tak bisa
dibantah. Wanita di Indonesia berbeda dengan mayoritas wanita di
negeri muslim lainnya yang dilarang untuk beraktivitas di ruang
publik. Ketika wanita di Arab Saudi misalnya, masih berjuang untuk
memperoleh hak bersuara dalam pemilihan umum, seorang wanita
Indonesia telah menjadi presiden dan puluhan telah menduduki kursi
menteri. Ketika wanita di Afghanistan tidak diizinkan bersekolah
umum, banyak generasi pemudi Indonesia yang masuk universitas bahkan
berjaya meraih nilai tertinggi Indeks Pendidikan Komulatif (IPK).
Siapakah yang bisa membantah fakta ini? Bahkan jauh sebelum zaman
Kartini, jutaan wanita telah berkebun, mengeringkan dan mengasinkan
ikan atau membuat jamu untuk dipikul dan dijual ke kota-kota. Mereka
bekerja dan mencipta sesuai dengan ilmu yang diwariskan kepada mereka
dan penciuman tajam seorang wirausahawati sejati.
Namun, negara secara formal belum mengakui peran wanita dalam
membangkitkan perekonomian bangsa. Fasilitas dan perlindungan yang
diberikan kepada wanita Indonesia yang bekerja, terutama di level
usaha kecil dan menengah sangat kurang. Janganlah lagi menyebut
masalah TKW yang disiksa dan tak dibayar gaji di luar negeri, di
dalam negeri saja belum terlihat perubahan kebijakan pemerintah
terhadap wanita pekerja mandiri atau wirausahawati.
Sesungguhnya banyak wanita yang memiliki usaha kecil berpotensi
berkembang menjadi usaha yang lebih besar, namun terkendala
memperoleh modal usaha. Mak Yuni misalnya, berkeinginan membeli
beberapa unit mesin jahit dan membuat butik kecil di samping rumahnya
namun upah jahitan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit belum
cukup untuk membuat lompatan seperti itu.
Pemerintah lewat lembaga perbankan yang dimilikinya ternyata kurang
percaya pada kemampuan para pekerja mandiri ini untuk mengembalikan
modal yang mereka pinjam. Perbankan minta boroh sertifikat rumah atau
tanah sementara banyak rumah belum memiliki tanda kepemilikan itu.
Jika pun ada, sertifikat rumah itu seringkali atas nama suami dan
suami merasa berat menyetujui peminjaman ke bank karena bunganya yang
berat. Bisakah para wanita pengusaha kecil ini meminjam tanpa jaminan
harta? Bisakah mereka menjaminkan kredibilitas diri mereka saja, toh
uang yang dipinjam tak sebanyak pengusaha kelas kakap?
Beberapa jenis kredit perbankan menyaratkan tanda tangan suami jika
seorang wanita ingin mengajukan pinjaman modal usaha. Mengapa hal itu
masih diperlakukan? Bukankah pada banyak usaha keluarga, si istrilah
yang menjadi pionir dan pemimpin usaha sementara si suami hanya
sebagai pendukung, bahkan sering tak terkait samasekali karena
memiliki pekerjaan lain. Masih adakah urgensi tanda tangan suami di
sini?
Perubahan cara berpikir terasa lambat di kalangan pengambil kebijakan
di Indonesia. Para pejabat masih memandang ke potret lama ketika
wanita yang memiliki usaha di rumah, harus bertanya kepada suami
apakah dia boleh begini dan begitu. Banyak laki-laki Indonesia yang
kini berpikir moderat, bahkan sangat senang karena istrinya
menghasilkan uang tanpa harus bekerja di luar rumah. Banyak suami
yang membiarkan istri mengambil keputusan sendiri terhadap usaha yang
dibangunnya, karena menurutnya si istri lebih tahu. Perubahan yang
terjadi di masyarakat ini seharusnya dapat ditangkap dan diadopsi
untuk memperbaiki pelayanan negara terhadap wanita.
Demikian juga di bidang pendidikan anak yang senantiasa menjadi
konsern para wanita. Pertanyaan di hati mereka selalu muncul, apakah
anak-anak mereka dididik dengan benar, apakah kesehatan dan
keselamatan anak dijaga dengan baik di sekolah atau di tempat
penitipan anak? Belum lagi masalah biaya pendidikan yang semakin
tinggi dan kegiatan ekstra sekolah yang dipaksakan kepada anak-anak
mereka. Kekhawatiran tersebut muncul karena lembaga pendidikan
termasuk penitipan anak beroperasi dengan standar yang belum baku dan
seringkali tidak dipatuhi. Kerisauan ini cukup mengganggu pencapaian
dan totalitas mereka dalam bekerja.
Masalah kesehatan juga belum
tersentuh. Karena peran ganda yang dilakoninya, banyak wanita
mengabaikan kesehatannya. Pemerintah belum banyak memberi dukungan
terhadap produktivitas wanita lewat bidang kesehatan, misalnya
dengan memberi subsidi untuk cek kesehatan menyeluruh (general
ceck-up) atau pemeriksaan kanker
rahim yang banyak merenggut nyawa wanita Indonesia.
Meski peran wanita dalam
perekonomian nyata, namun belum banyak yang telah dilakukan untuk
mendukung atau membuat mereka nyaman bekerja. Jika wanita-wanita ini
menyerah atau memutuskan untuk tak bekerja, dampaknya pasti akan
besar sekali. Akan banyak keluarga Indonesia yang terpaksa menurunkan
kualitas hidupnya, pasti akan banyak keluarga berkehidupan ekonomi
menengah yang turun kasta menjadi ”keluarga miskin” atau
setidaknya ”hidup sangat sederhana” karena tak ada lagi
pendapatan istri yang ikut menopang keluarga itu. Pada gilirannya,
negara pasti akan terdampak negatif karenanya. (Penulis
: Asnelly Ridha Daulay)
16 Desember 2011
Habibie dan Kehidupan Sesudah Mati
Saya
ingin tahu, di manakah posisi Ibu Ainun saat ini. Apakah dia berada
di President Suit Room atau di mana?
Pernyataan Bachruddin Jusuf
Habibie tersebut, tentang almarhum istrinya dr. Hasri Ainun yang
meninggal 22 Mei 2010 di Jerman, membuat ruangan yang dipenuhi oleh
Pengurus Dewan Riset Nasional (DRN) dan perwakilan Dewan Riset Daerah
(DRD) dari 26 Provinsi di Indonesia itu sontak hening. Masih teringat
dengan jelas bagaimana Presiden RI ke-3 ini sangat terpukul dengan
kematian istrinya tahun lalu. Tak biasanya Habibie berbicara hal
spritual dan di forum para pakar dari berbagai disiplin ilmu
tersebut, dia menyebut-nyebut tentang kehidupan sesudah mati.
”Dalam
perjalanan dari Kuningan (kediaman Habibie-red) ke Serpong
ini, saya membaca Surah Yasin dan beberapa surah lain untuk
dikirimkan ke dua orang ibu, pertama ibu yang melahirkan saya, dan
yang kedua Ibu Ainun pendamping hidup saya. Saya yakin, getaran di
hati saya saat membaca surah Al- Qur'an dan doa-doa akan sampai
kepada mereka, karena menurut teori fisika, getaran itu adalah energi
yang bisa dikirimkan ke tujuan manapun,” jelasnya.
Pada
kesempatan tampil sebagai keynote speaker dalam sidang
paripurna Dewan Riset Nasional tersebut, Kamis (15/12) di Gedung DRD
Serpong, Banten, Habibie masih terlihat energik dan ceria. Namun
bukan berarti dirinya telah melupakan pendamping hidupnya selama 48
tahun tersebut. Justru terlihat bahwa Habibie yang bangkit dari
kesedihannya menemukan optimisme bahwa istrinya berada di tempat yang
baik.
Dengan
gaya bahasa yang meletup-letup, Habibie berusaha menjelaskan
keberadaan ruh dengan menggunakan teori fisika quantum dan
penjelasannya tersebut cukup meyakinkan dan masuk akal. Menurutnya
ruh orang yang mati tersusun dari partikel-pertikel energi yang
memungkinnya terbang menuju akhirat. Tak cukup hanya bicara, ternyata
Habibie tengah merampungkan buku tentang ruh tersebut.
”Saya
sedang menulis buku dan hampir rampung. Buku ini menguraikan
pemikiran saya tentang di mana Ibu Ainun saat ini, tentang kehidupan
sesudah mati,” ucapnya seraya menambahkan buku tersebut akan
diluncurkan dalam delapan bahasa, termasuk bahasa Arab.
Nampaknya
selain sukses sebagai ilmuwan, Habibie juga penulis yang andal. Buku
Habibie dan Ainun, Kisah Cinta
Sejati Sang Profesor yang dirilis tahun lalu menarik
perhatian cukup besar. Kita tunggu saja, bagaimana Habibie menjawab
rasa ingin tahunya di buku barunya ini. (Asnelly
Ridha Daulay)
14 Desember 2011
15 Tahun Lagi Danau Sipin Dikelilingi Mahoni
HATI siapa yang tak kecut melihat kondisi
Danau Sipin sekarang ini. Danau seluas 42 hektar tersebut kini
dikelilingi oleh tanaman semak dan ilalang, nyaris tak ada pohon
rindang. Air danau yang dangkal serta rumah-rumah reot yang nampak dari
kejauhan menjadi trade mark
danau ini. Pada waktu malam, kondisi di sini bahkan lebih seram, karena
banyak pasangan ”mojok”, asyik masyuk di keremangan malam. Keindahan
yang biasanya lekat dengan kata ”danau”, sungguh tak terlihat di sini.
Konon,
dulunya Danau Sipin tak seperti ini. Airnya jernih dan tinggi, tempat
para warga mandi dan mencari ikan. Penebangan pohon, eksplorasi hasil
danau yang berlebihan, tumpukan sampah serta tekanan dari penduduk yang
makin padat menyebabkan kondisi berubah. Saat ini terdapat ribuan
keramba yang turut memperberat beban danau ini.
Upaya
untuk menjadikan kawasan ini sebagai objek wisata, atau setidaknya
tempat melapaskan kepenatan warga kota Jambi, pernah ada. Waktu itu di
era tahun 1990-an, Lily Sayoeti membangun sebuah restoran yang
berandanya menghadap ke danau yang masuk wilayah Kecamatan Telanaipura
Jambi itu. Namun ketika suami Lily tak menjadi Gubernur Jambi lagi,
pesona restoran dan danau itu memudar perlahan, dan akhirnya menjadi
kawasan suram seperti adanya kini.
Syukurlah,
pada pencanangan program nasional Menanam 1 Milyar Pohon, Kamis (8/12),
Pemerintah Provinsi Jambi menetapkan kawasan Danau Sipin sebagai area
penanaman pohon. Sebelumnya yayasan yang dipimpin Lily Sayoeti
menyerahkan kembali pengelolaan tanah itu kepada Pemprov. Jambi sehingga
upaya untuk menghijaukannya kembali terbuka lebar. Puluhan hektar area
lain yang yang menjadi aset pemprov. Jambi juga akan ikut dihijaukan.
Mahoni
pun dipilih sebagai pohon yang akan menghijaukan Danau Sipin. Tinggi
pohon ini bila telah besar nanti bisa mencapai 35 – 40 meter dan
berdiameter 125 centimeter. Tanaman asal Hindia Barat ini biasanya
tumbuh subur di daerah payau. Meski membutuhkan setidaknya 15 tahun lagi
untuk menjadi besar dan rindang, namun apa yang telah dimulai hari ini,
yakni menanam pohon di areal seluas 16 hektar di sekitar Danau Sipin
hingga ke belakangan Kantor Gubernur Jambi, merupakan kabar gembira bagi
rakyat Jambi.
Seperti
yang dikatakan oleh Gubernur Jambi, Drs. H. Hasan Basri Agus bahwa
penanaman pohon hari ini mungkin tidak dapat dinikmati oleh sekitar 1500
orang yang hadir pada acara pencanangan tersebut. ”Namun anak-anak dan
keturunan kita lah yang akan menikmatinya. Ini adalah rezeki untuk
mereka,” ucapnya.
Bila
saat ini hanya sedikit kawasan rindang di Kota Jambi, maka lima belas
tahun lagi diharapkan muncul kawasan-kawasan hijau baru yang memang
sudah lama dirindukan warga kota ini. Mudah-mudahan saja. (infojambi.com/Asnelly Ridha Daulay)
2 Desember 2011
Workshop Australia Awards: Kearifan Lokal Untuk Kesejahteraan Nelayan
AMBON – Diskusi tentang pentingnya untuk me-revitalisasi dan me-reinterprestasi “sasi”, yaitu kesepakatan tradisional di masyarakat pesisir tentang pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan berikut sanksi pelanggarannya, menghangat pada workshop bertema “Chalenges and Opportunities in the Management of Coastal Zones, Marine and Small Island Resources in Maluku Province” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Australia melalui lembaga pengelola beasiswanya AusAid di Ambon (30/11) lalu. Workshop yang dibuka oleh Sekretaris Daerah Provinsi Maluku R. F. Far Far, SH, MH, ini menghadirkan sejumlah pakar kelautan Indonesia yang pernah menerima beasiswa dari pemerintah Australia dan pakar dari James Cook University Australia.
Mengapa
Maluku yang dipilih, hal ini terkait dengan kondisi geografi Maluku
yang terdiri dari hanya 7% daratan dan 93% lautan. Negeri yang
berjuluk ”The
spicey Island and Exotic Marine Paradise”
ini sejatinya sangat kaya hasil laut namun tidak dapat dimanfaatkan
secara optimal karena kurangnya infrastruktur pendukung, pembangunan
ekonomi yang lambat hingga rawan bencana alam. Akibatnya, kehidupan
nelayan menjadi semakin sulit di provinsi yang akan mencanangkan
dirinya sebagai lumbung ikan nasional tersebut.
Adalah
Prof. Hermien Soselisa yang mengangkat wacana pentingnya
merevitalisasi sasi untuk mengurangi dampak kerusakan lebih berat di
wilayah kelautan Maluku. Diakuinya, sasi mulai ditinggalkan di
beberapa kawasan dan pemerintah selama ini tidak berusaha untuk
mempertahankan budaya lokal tersebut.
”Sasi
merupakan jalan tengah antara paham eksploitasi bebas dan paham deep
conservasionist.
Melalu penerapan sasi, wilayah perairan tertentu ditutup untuk
kegiatan eksploitasi dalam jangka waktu tertentu, kemudian dibuka
lagi untuk dimanfaatkan, sehingga wilayah tersebut memiliki waktu
untuk pulih dari kerusakan,” jelasnya.
Pakar
dari Kementrian Kelautan Prof. Jamaluddin Jompa PhD setuju bahwa
sasi dapat menjadi alternatif untuk menyelamatkan perairan Indonesia
dari over-fishing dan eksploitasi berlebihan lainnya namun dia
menghargai bila nilai yang ada pada sasi diteliti dulu untuk mencari
pembuktian akademisnya.
“Bisa
dengan pendekatan marine
biology
atau marine
ecology. Kita
jadi tahu mengapa nenek moyang kita membuat sasi itu. Jika di back-up
ilmu pengetahuan, generasi yang hidup sekarang bisa lebih
mengapresiasinya,” timpalnya.
Yvonne Pattinaja, Kasi
Tata Ruang Laut Nasional pada sesi lain menyoroti konflik antara
beberapa produk hukum yang ada di Indonesia. Pada level nasional,
telah ada UU no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
namun di kabupaten dan kota banyak ditemui Peraturan Kepala Daerah
yang berbenturan dengan produk hukum yang ada di atasnya. Dia juga
melihat masalah besar dimana sangat rendah minat masyarakat khususnya
yang berasal dari wilayah pesisir untuk belajar ilmu kelautan.
Sekretaris
Pertama AusAid Emily Serong mengharapkan workshop ini dapat menjadi
jembatan antara pakar dari berbagai disiplin ilmu guna berdiskusi dan
mencari solusi tentang masalah kelautan dan pemberdayaan
masyarakatnya. ”Kami juga berharap networking sesama alumni
penerima beasiswa Australia akan terbangun lebih baik lewat pertemuan
ini, ”jelasnya.
Workshop
yang sepenuhnya didanai pemerintah Australia ini juga memberi
kesempatan kepada Alumni yang berada di luar Ambon untuk ikut
berpartisipasi. Calon yang berminat diharusnya menulis esay singkat
tentang pentingnya workshop ini bagi pengembangan karirnya atau
daerah yang diwakilinya. Sebanyak 25 orang alumni AusAid akhirnya
terpilih, termasuk satu dari Jambi yakni Ir. Asnelly Ridha Daulay, M.
Nat Res Ecs, penerima beasiswa Australia tahun 2002-2004 yang
sekarang bertugas sebagai peneliti di Balitbangda Provinsi Jambi.
(infojambi.com/ARD)
18 November 2011
Problematika Kemacetan di Kota Jambi
KEMACETAN
di Kota Jambi semakin parah saja. Permasalahannya ternyata tak hanya
terletak pada sempitnya ruas jalan, namun diperumit oleh prilaku
pengendara mobil dan motor yang tidak tertib, parkir seenaknya di
badan jalan, penjual kaki lima yang semakin bertambah sampai dengan
seringnya lampu lalu lintas mati di titik-titik tertentu dan di jam
paling sibuk.
Terhitung
ada beberapa lokasi yang sering membuat panik karena begitu masuk ke
sana, jangan harap akan keluar segera. Titik itu antara lain di
pertigaan masjid Nurdin Hamzah hingga kompleks sekolah Al Ahzar,
depan SD Negeri 47, sekitar SMA 5, depan sekolah Adhyaksa hingga ke
perempatan di Telanaipura menuju kantor Gubernur Jambi. Masih ada
titik-titik macet lain yang cukup panjang jika diuraikan di sini.
Waktu
macetnya pun bisa diprediksi, yaitu ketika anak-anak pergi dan keluar
dari sekolah, yakni pagi sekitar jam 07.00 – 07.30 WIB, siang
sekitar jam 13.00 – 14.00 hingga sore sekitar jam 16.00. Kondisi
ini terus berulang dan semakin parah hari ke hari.
Praktis
belum banyak yang dilakukan oleh Pemerintah Kota ataupun Provinsi
Jambi untuk mengatasi hal ini. Bahkan polisi yang mengatur lancarnya
arus lalu lintas sering tidak berada di tempat ketika pelayanannya
sangat dibutuhkan. Alhasil deretan antrian mobil makin panjang,
pengendara motor saling salib tanpa peduli akan mencelakai orang atau
merusak kendaraan orang lain. Wajah-wajah panik, marah dan kesal pun
terlihat di mana-mana. Pemandangan dan pengalaman yang langsung
merusak mood di saat kesegaran pikiran sangat dibutuhkan untuk
belajar atau bekerja.
Disadari
upaya memperluas ruas jalan bukan hal yang mudah. Keterbatasan
anggaran pemerintah sudah sering diungkapkan dan dijadikan alasan.
Jangankan untuk membangun jalan baru atau memperlebarnya, memperbaiki
jalan yang rusak saja pemerintah hampir tak berdaya.
Melihat
kondisi ini, mungkin kita harus mengubah rutinitas kegiatan kantor
terutama PNS di Kota Jambi. Jika ditelusuri, jalan semakin ramai
dikarenakan para pengguna memanfaatkan jalan pada saat bersamaan.
Pada pagi, siang dan sore puncak keramaian, waktunya bertepatan
dengan pegawai masuk kantor, istrirahat siang dan keluar dari kantor.
Misalnya saat ini ada sekitar 8 ribu PNS di Kota Jambi dan sekitar 4
ribu anak yang keluar dari rumah menuju sekolahnya, maka dapat
diperikirakan terdapat sekitar 12 ribu pengguna jalan pada pagi itu.
Itulah yang menyebabkan lalu lintas di Kota Jambi tak bisa selancar
dulu lagi.
Menyadari
hal ini, ada baiknya pihak berwenang di Kota Jambi merubah jadwal PNS
masuk kantor menjadi jam 9 pagi. Jadwal pulangnya bisa diperpanjang
menjadi jam 5 sore. Hal ini akan mengurangi tekanan arus lalu lintas
secara signifikan karena tidak berbenturan dengan rutinitas anak
sekolah.
Pengaturan
seperti ini sebenarnya tidak asing lagi karena telah berlangsung lama
di Jakarta dan kota-kota besar di dunia lainnya. Para pekerja di sana
memulai aktivitasnya pada jam 9 pagi sementara sekolah dan kampus
telah memulainya 2 jam lebih awal.
Dengan
pengaturan baru tersebut diharapkan orangtua yang pekerja atau yang
PNS memiliki waktu cukup untuk mengantar dan mengurus kebutuhan
sekolah anaknya serta mempersiapkan dirinya sendiri untuk bekerja
lebih baik, tanpa tekanan dan kepanikan terjebak macet di jalan.
Lompatan
kebijakan seperti ini diperlukan, terutama saat pemerintah kesulitan
mengumpulkan dana dan selalu kalah cepat dengan laju kerusakan jalan.
(Asnelly Ridha Daulay).
13 November 2011
Batik Jambi, Batiknya Orang Gedongan
CUKUP
banyak
yang mengeluhkan mahalnya batik Jambi. Ucapan itu terlontar melihat
harga sepotong batik Jambi yang mencapai ratusan ribu rupiah,
sementara batik dari Jawa bisa dibeli dengan selembar uang lima puluh
ribuan rupiah. Ternyata anggapan batik Jambi itu mahal, benar adanya.
Bahkan di era 70-an, hanya orang gedongan yang mengenakan batik.
Salah seorang pengrajin batik Jambi Azmiah (45),
mengatakan bahwa di waktu dulu yang memakai batik Jambi hanya orang
kalangan atas. ”Langganan ibu saya kebanyakan pejabat dan istrinya,
paling rendah ya... camat. Orang biasa jarang sekali,” cerita
Azmiah tentang ibunya, almarhum Asmah, yang merupakan pengrajin batik
generasi awal di Kota Jambi.
Kala itu batik belum dibuat menjadi pakaian, hanya
dipakai dalam bentuk sarung dan selendang. Harganya sekitar Rp60 ribu
hingga Rp70 ribu sepotongnya, harga yang cukup mahal kala itu. Namun
meski mahal, pesanan batik waktu itu tetap banyak.
”Pemakai
batik mengerti bahwa pada batik itu, yang dinilai seninya. Uang soal
ke dua,” tambah wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik
ini. Motif batik Jambi memang khas dan berbeda dengan batik Jawa.
Kerajinan icon Jambi ini merupakan refleksi dari alam, terlihat dari
motif yang dibatikkan seperti Durian Pecah, Kapal Cina, Batanghari,
Angso Duo, Antlas hingga Riang-riang.
Ada satu motif batik kuno yang jarang dicetak, namanya
motif jayo. Konon motif ini pernah dipesan oleh Raja Siginjai untuk
pakaiannya sendiri. Motif jayo yang bermakna kemakmuran ini
menunjukkan tingginya status sosial seseorang. Motif ini dicetak
hanya jika ada pesanan, dan harganya bisa mencapai tiga juta rupiah.
”Jadi
kalau batik Jambi dibilang mahal, mungkin benar juga. Karena batik
Jambi bukan sekedar pakaian tapi sesuatu yang bernilai seni dan sarat
cerita tentang daerah ini,” kata pengrajin yang memiliki 48 anak
binaan ini.
Hal lain yang membuat batik Jambi ”yang asli” mahal,
adalah karena proses pembuatannya menggunakan pewarna alam seperti
indigo, kayu bulian, daun mangga dan kayu sepang. Batik yang
dikenakan oleh kalangan atas tentu saja harus enak dipakai serta
tidak berbahaya untuk kesehatan. Pembuatannya pun secara tulis, bukan
dicetak. ”Batik Jambi mahal karena ditulis dan menggunakan bahan
yang aman untuk kulit,” jelasnya.
Saat
ini, karena menyesuaikan dengan pesanan masyarakat banyak, batik
Jambi pun dibuat dengan harga lebih murah. ”Tapi batiknya dicetak
dan menggunakan pewarna buatan,” jelas Azmiah yang pernah mendapat
order 100 potong scraf dari salah satu museum di Kota London,
Inggris ini. (ARD)
Batik Jambi Di Tangan Dua First Lady
PENGRAJIN
batik Jambi beruntung memiliki dua istri gubernur yang sangat peduli
dengan karya mereka. Kedua first lady
itu adalah Lily Sayoeti
dan Ratu Munawarroh Zulkifli. Keduanya sering disebut-sebut, bahkan
dibanding-bandingkan oleh para pengrajin batik, khususnya mereka yang
berada di Kota Seberang.
Meski sama-sama getol mempromosikan batik ke luar daerah hingga ke luar negeri, ternyata pendekatan yang dipakai ke dua wanita yang sama-sama ayu ini berbeda. Lily Sayoeti yang lebih dulu menjadi first lady menyukai batik yang berwarna cerah sehingga batik yang beredar pada era kepemimpinan suaminya, Drs. H. Abdurrahman Sayoeti (1989-1999) banyak yang berwarna terang. Pilihan ini mungkin terkait dengan latar belakang dirinya yang seorang artis dan menyukai hal-hal glamour.
Selain itu, wanita berdarah Minang ini menganjurkan pencetakan batik Jambi dilakukan di sentra batik Jawa dengan alasan biaya produksi dan upah lebih murah. Batik bermotif Jambi pun diproduksi secara masal di Jawa, bahkan batik yang dipromosikan ke luar negeri seringkali dibuat oleh tangan-tangan orang Jawa. Hal ini belakangan dikeluhkan oleh pengrajin lokal karena orderan mereka jadi sepi. Namun pendekatan Lily itu bisa mengangkat batik Jambi di kancah nasional dan internasional.
Ratu Munawarroh memiliki pendekatan yang berbeda. First lady yang mendampingi suaminya Drs. H. Zulkifli Nurdin, MBA (1999-2010) selama dua periode kegubernuran, lebih menyukai batik dengan warna gelap dan teduh. Orang sering menghubung-hubungkan pilihan ini dengan latar belakang pendidikan pesantrennya yang kuat. Selain itu, wanita berdarah Sunda ini rajin menggali corak lama dan memberdayakan pengrajin asli Jambi untuk membuat batik-batik tersebut.
Ratu sendiri sering memakai batik dengan warna yang gelap tapi guntingannya berkelas. Dia juga yang membangkitkan kembali pemakaian tengkuluk dengan bahan batik Jambi serta baju kurung melayu.
Kita menunggu pendekatan apa yang akan dilakukan istri gubernur yang sekarang, Ny. Yusniana Hasan Basri untuk menjadikan batik Jambi tuan rumah di negeri sendiri. (ARD)
6 November 2011
Ied Adha, November 2011
Someday we will look at again this photo and recall the time we shared as a family. Hope God bless us always.
19 Oktober 2011
Jalan “Budaya dan Olahraga” H. Agus Salim
Satu
lagi kawasan yang cukup hijau di Kota Jambi dan karenanya menjadi
indah dipandang mata adalah kawasan sepanjang jalan H. Agus Salim di
Kota Baru. Di sini terdapat monumen sederhana yang mungkin
dimaksudkan sebagai penanda bahwa kawasan tersebut adalah pusat
pemerintahan Walikota Jambi. Monumen tersebut dikenal sebagai mini
Monas-nya Jambi.
Ruas
jalannya cukup panjang hingga mencapai Simpang Kebun Handil dan apik
ditumbuhi pohon tua. Trotoar di jalan ini juga lebar dan kondisinya
masih bagus. Pada akhir pekan sering diselenggarakan pertunjukan band
anak muda dan road race.
Tak heran bila di sini banyak terpasang umbul-umbul dari sponsor
penyelenggara acara tersebut.
Selain
merupakan kawasan perkantoran, di sini terdapat dua gedung besar yang
menjadi pusat aktivitas olahraga dan seni. Gedung Olah Raga (GOR)
Kota Baru merupakan sasana bagi generasi muda Jambi berlatih olah
raga beladiri, atletik atau sekedar belajar mengendari motor dan
mobil. Sebenarnya tempat ini cukup potensial untuk dikembangkan
menjadi pusat hiburan masyarakat yang murah, namun karena tak diurus
dengan baik, penampilan gedung ini malah memprihatinkan.
Satu
lagi gedung yang terlunta-lunta adalah GOS Kotabaru. Semestinya
gedung ini dimanfaatkan untuk kegiatan berkesenian namun entah
mengapa tempat itu menjadi begitu senyap, nyaris tanpa kegiatan.
Padahal tak jauh di sampingnya berdiri Kantor Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jambi, tempat dibuat dan diluncurkannya kebijakan
pembangunan di bidang kebudayaan dan wisata.
Mungkin karena kurangnya
dukungan pemerintah untuk menghidupkan kawasan itu, keindahan dan
keteduhan jalan Agus Salim tak termanfaatkan dengan sempurna.
Seandainya di lokasi terbuka yang terdapat di kawasan itu ditampilkan
atraksi budaya Jambi; tari japin, pencak silat, rebana dll, seperti
atraksi budaya China yang sering ditampilkan di Orchard Road
Singapura, Jalan Agus Salim bisa menjadi pusat hiburan sekaligus
menanamkan kecintaan masyarakatnya terhadap budaya Melayu.
Langganan:
Postingan (Atom)