Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

20 Juni 2010

gosip


Dari balik meja kerjanya, menembus kaca jendela yang dibentengi terali besi pengaman, Fresca mengamati Dinah dan Ledia berbincang di areal parkir motor. Dia sudah hafal mimik Ledia kala membicarakan hal yang amat serius, atau gawat, menurut ukurannya sendiri. Bersemangat, meletup-letup dan puas jika orang lain terkesima mendengarnya. Pasti itu lagi yang diulang-ulangnya dan kali ini Dinah yang jadi sasarannya.


Nan…, tolong bereskan lap top ini ya?” dengan matanya menunjuk ke arah laptop yang tadi dipakainya. Laptop berwarna biru itu adalah satu-satunya benda cantik di ruang kerjanya. Semua meubel, kursi, printer dan desktop dan gambar dinding berumur setidaknya lima tahun. Ruang kerjanya dan ruang lain di kantor ini tidak pernah ditata designer interior profesional.


Duahari lalu Fresca pulang dari perjalanan dinas ke Merangin. Tubuhnya. masih capek, digoncang perjalanan 12 jam bolak balik ke salah satu kabupaten di ujung barat provinsi. Adegan Ledia dan Dinah yang baru lewat membuatnya tambah lunglai.


“Aku tak boleh terintimidasi oleh mereka…,” Fersca berbisik pada dirinya sendiri. Kakeknya memberinya nama Fresh Catarina, tigapuluh enam tahun lalu, agar dia menjadi perempuan yang selalu cantik dan tegar seperti Catarina, seorang ratu yang hidup di Eropa sana entah pada abad berapa. Aku tidak akan mengecewakan kakekku, dia bertekad.


Ditinggalkannya ruang kerja Divisi Program yang sederhana, disesaki tumpukan dokumen anggaran dan laporan evaluasi kegiatan dinas. Hanya personil terbaik di kantor ini yang ditunjuk menjadi kepala divisi program. Namun si tegar Fresca telah menemui pucuk pimpinan dinas empat bulan lalu dan mengungkapkan niatnya mengundurkan diri. Ia ingin merahasiakan hal itu namun berita tersebar dengan cepat. Kadis memintanya bertahan hingga ditemukan calon pengganti yang tepat.


Sore itu lalu lintas di kawasan Mayang cukup padat. Jarak kantor dan rumahnya tak jauh, hanya 10 menit bermobil. Dulu dengan motornya, dia hanya butuh waktu 3 menit. Fresca mulai merasa nyaman dengannya kendaraannya yang baru, sebuah sedan berwarna metalik.


“Sorry, bukan aku yang mengatur acara pertemuan itu. Mereka benar-benar lupa mengundangmu,” percakapannya dengan Susan sekitar dua pekan lalu berkelebat. Susan mengelak disalahkan karena tidak menyertakannya pada pertemuan sosialisasi dengan pejabat pusat beberapa waktu sebelumnya.


“Karena itu aku tidak bisa menjelaskan mengapa anggaran pembangunan pasar tani itu diblokir…. Tak ada informasi apapun tentang itu yang kuperoleh. Silakan tanya kepada pejabat yang datang waktu itu,” ucap Fresca. Dari pancaran mata Susan tampak ia tidak senang dengan jawaban itu. Complain Susan berhubungan dengan sesuatu yang dari awal tidak melibatkan dirinya. Terserahlah jika Susan akan menggunakan pengaruhnya terhadap Kadis. I can explain it, bisik hati Fresca .


Kilasan percakapan dengan Susan melintas sementara Fresca mengendari mobilnya pulang. Perbedaan pendapat acap terjadi antara dirinya dengan pejabat teknis dan seringkali dia harus berkata tidak untuk permintaan-permintaan mereka. Apa karena itu dia disebut keras bahkan rude... kasar.

Enam tahun di divisi Program telah merubahnya. Fresca yang dulu fresh menjadi Fresca yang mengkerut digerus pekerjaan dan usia. Ia ingat penampilannya sepulang sekolah S2 dari Denmark. Kadang dia mengenakan gaun musim seminya, katun dengan motif bunga-bunga kecil, terlihat nyaman dan anggun di tubuhnya yang tinggi. Lebih sering sebenarnya dia mengenakan celana jeans warna biru muda dipadu kemeja corak kotak-kotak. Sepatu yang dikenakannya bertumit dua atau paling tinggi tiga centi. Wajahnya yang putih kemerahan dipupuri powder tipis dan seulas lipstick warna pink di bibirnya yang segar. Mereka bilang penampilannya mirip Elle Mcpherson, si mantan foto model itu.


Pandanglah dia sekarang. Hampir setiap hari mengenakan seragam pegawai negeri abu-abu dan sepatu pansus warna hitam. Paras wajahnya tegang. Lipstick tipisnya tidak sempat dipoles ulang, memperjelas garis-garis bibirnya yang belakangan makin kerap menghirup hitamnya kopi. Matanya sering berkaca-kaca karena kelelahan menatap layar komputer.


Akhir-akhir ini dia diganggu pertanyaan sampai kapan hidupnya begini?. Membawa pekerjaan kantor ke rumah dan menomorduakan kehidupan sosialnya. Selain pesta perkawinan atau aqeqah yang dihadirinya bersama suaminya, Fresca tidak punya waktu lagi menghadiri arisan erte, yasinan setiap Jumat atau pertemuan para istri di organisasi para lawyer dimana suaminya bernaung.


Minggu lalu, dia menyempatkan diri untuk mendampingi Ocean putrinya mengikuti pelatihan penulis cilik. Alangkah gembiranya Ocean, sebentar-sebentar melirik ke barisan belakang, mencari-cari dirinya di barisan orangtua yang mendampingi anak-anaknya. Ketika putrinya berhasil menyelesaikan ceritanya satu halaman folio, dia berlari mendekat dan memeluknya. ”Mama, lihat tulisanku. Bagus kah?”.


Dia bertekad untuk hidup lebih balans, terutama bagi putri tunggalnya yang sangat membutuhkan kehadirannya. Kantornya yang memiliki staf perempuan lebih banyak dari staf laki-laki itu membuatnya mulai muak. Terlalu banyak perempuan, dan terlalu banyak gosip. Kini gosip itu mencekiknya, pelan dan pasti .

****

Gosip itu berawal tiga pekan lalu.


Suara tawa bersahut-sahutan dibawa angin ke ruang kerjanya. Masih pagi, tapi rekan kerjanya dari divisi lain sudah meninggalkan meja kerjanya dan berkumpul di ruang umum. Asik ngobrol dan tertawa melepaskan kejemuan mereka.


”Apa sih yang mereka ributkan?”. Nani dan Rozi saling berpandangan lalu menggeleng halus. Dua staf juniornya itu jarang sekali bergabung untuk ngerumpi bersama mereka di luar sana. Tawa itu makin kencang. Percuma melanjutkan pekerjaannya kalau langit-langit hatinya dipenuhi rasa penasaran.


”Topik apa nih? Seru betul...?” Fresca menghampiri gerombolan staf di divisi surat menyurat. Sebagian duduk di kursi yang ada, beberapa menompangkan pinggulnya di sudut meja. Kondisi di divisi surat menyurat lebih kusam lagi, sebagian besar mika meja atau kursi terkelupas di sana sini, kontras dengan penghuninya yang menjelang istirahat siang masih berbinar-binar. Satu-satunya yang membuat tempat ini menarik adalah tersedianya beberapa eksemplar surat kabar lokal dan nasional.


”Kami lagi membicarakan kebaikan hatimu...” ucap Akmal sambil mengedipkan matanya, disambut tawa riuh dari yang lain. Beberapa memukul-mukul meja hampir histeris. Fresca mengernyitkan kening. Kebaikan hati...?


”June beruntung sekali jadi stafmu, bisa ikut expo di Jakarta,” dia menjawab kebingunan Fresca. Ooh, itu rupanya. Di kantor ini expo berarti memperoleh tiket gratis ke Jakarta, dapat baju seragam penjaga stand yang lumayan mahal dan kesempatan shopping setelah expo usai.


June salah satu staf ”terbaik” yang dimiliki Fresca. Terbaik dalam salah pengetikan, terbaik dalam melupakan pesan-pesan penting, tidak terlalu baik dalam mengelola uang kegiatan dinas.


”Aku tak tahu menahu soal itu...” Fresca berusaha menarik diri dari topik itu. Dia tidak pernah mengikuti expo pertanian. Sungguh, dia akan menolaknya jika pun diajak. Dirinya bukan humas yang baik. Ledia tidak memberitahunya mengapa memilih June diantara 7 stafnya yang lain, yang lebih cantik dan bisa diandalkan. Menurutnya mungkin tidak penting.


Wajah-wajah di ruangan itu terheran-heran, pura-pura kaget atau mungkin kasihan kepadanya. Bos yang dilangkahi anak buahnya.


Kembali ke ruang kerjanya, Fresca tercenung. Sekelilingnya mentertawakan kapasitas June di tim expo tahun ini. Mereka juga mengejek kepemimpinanku, bisik Fresca pada dirinya sendiri. Dia ingin menuntaskan karirnya di kantor ini dengan manis namun June yang kebelet ingin ikut expo, telah mengacaukannya.


”Belum lagi ibu pindah, June sudah kelayapan kemana-mana, menjilat pada bakal pengganti ibu di sini,” stafku yang paling ketus, Linda ikut mengompori.


”Dia kan tak tahu tentang itu...?” namun Fresca meragukan kata-katanya sendiri. Adakah yang bisa dirahasiakan di kantor ini? Bahkan dinding pun punya telinga. Dia mengusulkan nama Nessa sebagai pengganti dirinya. Nessa dan Ledia koordinator tim expo tahun ini. Apakah June membarter informasi itu untuk mendapatkan tiket ke expo?


Betapa naifnya dia, percaya bahwa semua stafnya loyal pada dirinya. June telah menjadi Brutus! Junei benar tidak membunuhnya, namun perempuan itu mendorongnya hingga jatuh dan menjadi bahan tertawaan semua orang.


Keluar dari ruang kerja bendahara dinas, Fresca masih bisa menahan marah. ”Dinah, ada apa dengan laporan keuangan kita? Bendahara bilang laporan keuangan penggunaan dana 40 juta yang kita ambil bulan lalu belum selesai. Benar?”.


Dinah menekuk muka. Ada rasa bersalah di wajah perempuan yang tujuh tahun lebih muda darinya itu. Ia menyukai cara kerja Dinah yang rapi dan cepat. Kalaulah golongan kepangkatannya memenuhi syarat, pasti dialah yang akan diusulkan sebagai penggantinya.


”Saya kira semua sudah beres, Bu. Begitu yang June bilang terakhir kali ditanya. Ternyata selain belum diserahkan, leporan keuangan ini banyak salahnya dan tidak lengkap,” Dinah menunjuk setumpuk berkas di mejanya.


Fresca meminta semua staf untuk menyelesaikan hari itu juga. June terpaksa dihubungi untuk menanyakan dimana dia menyimpan berkas-berkas lainnya. Jawabannya yang tidak jelas dan berbelit-belit memaksa Fresca untuk mengambil alih ponsel di genggaman Dinah.


”June, berkas itu tidak ada di tempat yang kau bilang. Di mana sih sebenarnya?”.


”Ada di bawah mejaku itulah Bu, Cari saja di sana, aku tidak pernah membawanya ke rumah...”. Pang.... jawaban itu membuatnya kalap.


”Oh ya.... jadi sekarang kau yang memerintah kami? Kau enak-enak di sana dan kami bekerja puntang panting di sini membereskan kecerobohanmu?”Fresca tak dapat menahan marah.


Sesaat tak ada jawaban.


”June!”


”Terserahlah... Semua berkas ada di situ!”, jawab June ketus. Dari mana datangnya keberanian itu. Gang barunya itu kah?


Fresca merasakan tengkuknya sakit dan berat. Inikah balasan yang diberikan oleh stafnya...? Fresca merasa terpuruk. Ia terpancing. Pastilah ini akibat akumulasi informasi yang diterimanya dari kiri dan kanan. Dirinya tidak dapat memaafkan kekurangajaran June.


Gossip bertiup seperti angin, bukan angin semilir yang menyejukkan namun angin taufan yang menghancurkan. Ledia dan June menyebarkan cerita bahwa dirinya marah karena June ikut timnya ke Jakarta. Laporan keuangan yang tidak beres itu tidak pernah disebut-sebut. Dirinya disalahkan sebagai bos yang kasar dan semena-mena.


”Tidak usah terlalu kau pikirkan, isu itu akan hilang sendiri,” suaminya Toni menghibur.


”Tapi semua orang seperti berpaling dariku. Aku seperti monster yang jahat,” keluhnya.


“Kau memang monster, kan,” Toni berkata sambil nyengir. ”Sayangku, kau terlalu menuntut kesempurnaan!” .


Sebelas tahun menikah dengan Fresca, dia tahu istrinya terobsesi pada kesempurnaan pekerjaan. Stafnya yang lain mungkin bisa mengikuti pola kerjanya, tapi June tidak. Dengan saraf yang menua dan berhenti beregenerasi, serta bekal pendidikan hanya sekolah menengah, dia pasti tersiksa bekerja dengan Fresca.


”Dia tidak pernah bilang apa-apa, baru sekarang.... Lagi pula, pendapatannya lebih banyak sejak bergabung dengan timku?” Fresca masih penasaran. Walaupun peran June hanya mengedarkan absensi pada rapat koordinasi atau workshop yang dikelola divisinya, namanya tetap masuk kepanitiaan dan memperoleh honor yang lumayan.


Toni mengangkat bahu. ”Uang bukan segalanya, Darling. Dan... kau ataupun aku bukan penilai manusia yang baik.”


Mengikuti nasehat suaminya, Fresca tidak memedulikan tingkah June. Terang-terangan dia memboikot, tidak sudi lagi duduk di meja kerjanya. June lebih sering bersama Ledia, Susan dan Nessa, mengeluhkan penderitaannya akibat perlakukan Fresca, atau pulang lebih cepat. Dia juga melaporkan Fresca kepada Kepala Dinas dan Pak Said, atasan langsung Fresca. Walau Fresca sangat ingin dipanggil untuk mengklarifikasi masalah itu, namun kedua bosnya itu tidak pernah memintanya menemui mereka.


Fresca merasa di setiap sudut orang-orang membicarakan tentang dirinya. Sungguh tidak adil. Dia diam, bukan berarti dia berada di pihak yang salah. Ketidakbenaran yang disebut berulang-ulang akan menjadi kebenaran…. Apakah itu yang sedang terjadi?


Ledia ikut-ikut memusuhinya. Di pelataran parkir kemarin, dia bahkan menggunjingkan dirinya kepada Dinah.


Lorong itu hanya lebar satu meter. Berpapasan tanpa berteguran, hanya mengartikan satu hal,... permusuhan. Itulah yang diperlihatkan Ledia ketika mereka berserebok di koridor, Fresca menuju ruang kerjanya, Ledia menuju tempatnya.


Fresca melangkah beberapa tapak ketika dorongan impulsif menyuruhnya untuk berhenti.


”Hai Ledia...”


Wanita itu tidak menoleh.


Fresca membalikkan badan mengejarnya.


”Ada apa? Kenapa kau tidak senang denganku?”


”Hanya perasaanmu saja!” ucapnya ketus.


”Oh ya..., lalu kenapa kau bercerita buruk tentang aku kepada semua orang. Aku tidak punya masalah denganmu!”.


”Kau ingin tahu? Ayo ke ruanganku...!” Ledia mendahului menuju ruang kerjanya. Sedetik Fresca bersyukur, dia tidak salah duga. Ledia benar membencinya.


”Kau kasar dan suka mempersulit orang!” Ledia menudingnya dengan tuduhan itu. Fresca terdiam. Dia mungkin kasar atau ketus... Tapi hal ini masih bisa diperdebatkan. Ada aksi, ada reaksi. Namun mempersulit orang lain.... Benarkah dia seperti itu? Apakah keinginannya untuk bekerja sempurna telah membuat orang lain mendapatkan kesulitan?


”Siapa yang aku persulit, dan urusan yang mana?” Fresca menuntut. Tuduhan Ledia membuat hatinya sakit. Hal yang membanggakannya adalah masa kerjanya selama enam tahun di divisi paling sulit, Divisi Program. Kadis akan menggantinya secepat mungkin jika dia bertabiat mempersulit orang lain. Siapa pun tahu, mempersulit urusan anggaran akan membuat kantor ini lumpuh.


”Semua orang,” nada suaranya makin tinggi dan tanpa ragu-ragu. Ledia pastilah sangat dendam padanya.


”Jangan gara-gara June, aku menjelma jadi yang paling jahat di kantor ini. Kalau mau adil kau karus mendengar cerita dari dua sisi, ....dia yang menyebabkan kami harus menyelesaikan tugasnya... bukan aku yang menjahati dia!”


Ledia tak bergeming. June telah merecoki pikirannya. Apapun penjelasannya Ledia tidak akan mengurangi sikap permusuhannya. Dia menyimpan dendam yang lain. Namun Fresca harus menghentikan aksi perempuan ini.


”Kau juga harus tahu apa kata orang tentangmu? Kau penjilat nomer satu. Ketika Meriana masih jadi bosmu, kau mengikuti apa saja katanya. Bahkan menjilat bokongnya pun kau sudi.... Tapi begitu dia non job,... menegurnya pun kau enggan,” ucap Fresca dengan nada tinggi dan kasar. Selintas muncul bayangan almarhum kakeknya. Beliau pasti tidak setuju mendengar Ratu Catarina-nya bicara seperti itu.


Ledia terkesima. ”Aku tidak begitu.... Siapa yang bilang?”


”Semua orang!”


Tatapan mata Fersca yang dingin menghunjam wanita yang mulai gugup itu.


”Satu lagi....” Fresca menggantung kata-katanya.


”Kaulah yang menyebar gosip tentang hubungan bos dengan Susan, kau bersama-sama dengan Nessa. Namun namamu sebagai penebar gosip lebih populer. Aku bisa saja melangkah ke ruang Kadis dan mengatakan ini kepadanya. Bagaimana...?”.


Ledia tergagap-gagap.


”Semua orang tahu tentang itu.... Bukan aku saja yang...”


”Kau sekamar dengan Susan waktu expo di Batam. Pulang dari sana, kau bercerita ke semua orang. Bayangkan apa reaksi bos bila mengetahui ini? Dia selalu mendengar kata-kataku!”


Fresca dengan anggun meninggalkan Ledia yang terhenyak di kursinya.

****


Fresca melunjurkan kakinya di depan televisi. Segurat senyum tersungging di bibirnya. Dia telah melakukan tindakan efektif untuk menghentikan gosip tentang dirinya dan mungkin juga gosip-gosip yang lain. Ledia tidak akan punya nyali menjelaskan perihal love affair sang bos.


Sambil memutar channel tivi yang akan memutar Desperate Housewives, Fresca mengingat percakapannya dengan Kepala Dinas sebelum pulang.


”Pak, aku mencabut surat pengunduran diriku ".


Kadis menatapnya heran.


" Kenapa ? "


"Kecuali bila Bapak sudah menemukan penggantiku,… aku dengan senang hati… "


" Belum ! Belum ada pengganti yang pas ! Aku lega mengetahui ini ".


Fresca tidak perlu menjelaskan mengapa dia mencabut surat pengunduran diri itu •••



12 Juni 2010

MAWAR MERAH


Suatu dorongan menyentaknya untuk bangun. Riri menepis selimut dan segera bangkit. Pandangannya seketika berputar-putar. Ia kembali duduk di tepi ranjang, tersenyum geli sambil mengingat sebab keriangan tiba-tiba di dini hari ini. Sekuntum mawar merah. Kemarin sore, mawar itu masih kuncup. Bersaman pintu yang terbuka, Riri menemukan kelopaknya mengembang lebar. Begitu cantik dan segar.

Benangsarinya bergoyang-goyang diembus angin sesudah hujan. Inilah yang ia inginkan. Menjadi orang pertama yang melihat bunga itu mekar.

Riri menikmatinya dengan kepauasan penuh. Ia menjumpai banyak mawar, di taman, di teras rumah, di pot bunga, dijual di toko-toko kembang. Tapi yang satu ini, mawar miliknya sendiri. Steknya ia minta dari Diana, dirawatnya baik-baik dan akhirnya hari ini, mempersembahkan kuntum yang cantik. Betapa indahnya! Betapa segarnya! Betapa merahnya.

Riri mendekatkan hidung, menghirup bau mawar itu dalam-dalam. Wanginya memenuhi rongga hidung, menjalar sampai ke hati. Diusapnya dengan lembut tetes embun yang menyentuh kulit wajahnya. Saat matanya berpaling, ia melihat gadis kecil itu berdiri di luar pagar.

Di wajahnya yang pucat tersembul mata menyelidik. Barangkali dia sudah berdiri di sana sejak tadi, Riri menerka dalam hati. Gadis kecil itu tidak bergeming. Jalinan rambutnya jatuh di bahu, melewati lehernya yang pucat dan kurus. Baju yang dipakainya tipis dan di subuh ini, tak ada sandal di kakinya.

“Kamu tidak kedinginan?” Riri keheranan. Sebelum ini, dia tidak mengacuhkan gadis itu walau seringkali lewat di depan rumah.

Gadis kecil itu menggeleng. Matanya berpindah dari Riri ke kuntum mawar merah. Kelihatannya dia tidak akan beranjak dari sana.

“kamu yang tinggal di rumah itu kan?” Riri bertanya lagi. Dia mengangguk untuk kedua kalinya. Apa dia bisu? Selama ini Riri tidak memperhatikan keanehan di diri gadis belasan tahun itu. Ia terlalu biasa. Rumah yang dihuninya pun seperti tidak bersuara padahal Ine pernah bilang, anak itu memiliki saudara tujuh orang.

Riri mencoba Melupakan kehadirannya. Ditangannya kini terselip gunting bunga. Ranting-ranting tua dan daun yang tumbuh melewati pagar jadi sasaran perhatiannya. Tetes air menghujani Riri ketika tanpa sengaja tersenggol rumpun bambu jepang.

Hup! Dingin. Riri tersenyum sendiri. Sejak solar water masuk rumah, keluarganya tidak lagi mandi dengan air keran yang dingin. Sampai mendadak ia dikejutkan jatuhan air dari pohon bambu jepang.

Riri melanjutkan pemangkasannya. Ia telah berada dekat ke gadis itu berdiri. Matanya masih menatap dengan simak.

”Bunga kertas kami tua dan tinggi. Aku akan memotongnya,” tiba-tiba ia bersuara. Tenang dan anggun. Riri mendongak heran. Siapa yang mengajarinya bicara seperti itu?

Perkiraan demi perkiraan muncul dalam benaknya. Siapa tahu gadis ini putri ningrat yang karena suatu peristiwa terdampar di rumah kayu itu? Atau keluarganya bangkrut mendadak setelah mengecap hidup bagai raja-raja? Dunia sekarang ibarat roda yang berputar teramat kencang. Banyak yang berubah dalam waktu sekejab.

Tapi saudaranya ada tujuh. Masihkah orang kaya yang hidup ala raja-raja menginginkan beranak banyak?

”Kakak bolehkah kupinjam guntingmu?” Putri itu berkata lagi. Riri menatapnya ragu. Bunga kertas di rumah kayu itu tumbuh menjulang dan menebarkan warna mencolok. Orange dan lila. Beberapa dahannya menjuntai hampir menyentuh tanah. Tidak terlihat lagi daun hijau. Semuanya berwarna cerah. Walau begitu tidak mampu juga menghapus kesan lengang yang mendominasinya.

Akan ditolaknyakah permintaan itu? Toh dia tidak mengenal betul siapa gadis itu sesungguhnya. Lagipula, dia meminjam tanpa benar-benar meminta.

Riri beranjak meninggalkannya. Sudah waktunya bersiap-siap menuju sekolah.

“Kakak?”

Riri menemukan wajah memelas kini. Ia memohon. Riri tergerak menyodorkan gunting itu.

”Segera kembalikan.”

Dia mengangguk. Lalu tubunhnya yang ringan berjalan seperti melayang.

Riri segera melupakannya. Ingatannya kini beralih pada Diana. Banyak yang akan ditanyakannya pada teman sebangku itu.

”Din, mawarku....”

”Mekar,” sambung Diana sambil senyum-senyum. Riri ini ada-ada saja. Masa mawar segitu aja diributin?

”Kok tahu sih?”

”Terang dong. Sedari minggu lalu, saat masih kuncup, kamu ngomong mawar melulu.”

Riri nyengir. Di rumah ia meninggalkan sekuntum mawar. Hanya sekuntum. Sementara di halaman rumah Diana yang luas, ada sepetak tanah yang dikhususkan untuk mawar hibrida. Wajar saja perasaan Diana tidak seajaib perasaaannya sekarang.

“Tapi, kelopaknya kok sedikit? Tidak penuh seperti di rumahmu?”

“Belajar berbunga kali. Pohon jambu kan juga begitu. Pertama berbuah, kecil dan jarang-jarang.”

Riri melongo.

“Begitu ya?”

“Tahu pasti sih tidak. Aku kurang memperhatikan bunga-bungaan. Mawar itu kan bisnisnya Mbak Ega.”

Ega, mbaknya Diana, tamatan Fakultas Pertanian. Ia menolak jadi pegawai negeri karena lebih tertarik agro bisnis. Dia mengolah sendiri kebun jeruk warisan keluarga. Halaman rumah pun dimanfaatkan untuk menanam bunga potong. Riri terkagum-kagum melihat hamparan mawar, krisan, dahlia, anggrek dan banyak lagi di sana. Belum lagi bonsai-bonsai di rumah kawat yang selalu terkunci. Terlihat artistik dan mahal.

”Aku ambil pertanian saja nanti,”

Diana tertawa mengejek.

”Gara-gara mawar sekuntum kamu melupakan ITB-mu. Ngapain dulu ngotot ambil jurusan A-1?”

Riri terkikik. Iya-ya. Padahal di rapor kelas satu fisikannya cuma tujuh. Tapi ia merengek-rengek terus pada Bu Aida agar dimasukkan ke kelas A-1 sementara guru bimbingan Penyuluhan itu tetap yakin, Riri lebih cocok di jurusan A-2.

“Sudah ah. Nyengir melulu!”Diana menyenggol tangannya. “Nanti temani aku ke RIO ya?”

“Jadi ambil blus itu?”

“He-eh.”

“Katanya sedang apes?”

”Mbak Ega yang kasih duitnya.”

Beruntung benar Diana punya kakak sudah bekerja. Macet duit dari ortu bisa minta pada kakak. Tapi Diana mencibir.

”Dia tidak mau kasih gratis. Hari minggu nanti, aku tidak boleh kemana-mana. Harus membantunya memanen bunga.”

Oooh!

Dari RIO plaza, Diana mengajak makan martabak mesir di Kubang. Kuahnya yang pedas benar-benar memancing selera. Martabak satu porsi habis ludes, masih ditambah lagi satu gelas es alpokat.

Riri sampai di rumah sudah sore. Alisnya berkerut melihat tenda hitam terpasang di rumah kayu itu. Siapa yang mati?

“Anaknya,” jawab Ine pendek. Dalam hati Riri bertanya-tanya, adik si gadis tadi pagi atau kakaknya?

“Sudah dikubur?”

“Baru saja. Aku ikut mengantar. Kasihan sekali mereka.”

”Memangnya kenapa?”

Ine menatapnya sewot. Apa orang mati tidak patut dikasihani? Enak saja Riri ngomong mentan -mentang bukan keluarga sendiri.

”Putrinya sudah sakit beberapa hari. Tadi pagi, waktu dibangunkan dia tidak bergerak lagi,” Ine menjelaskan.

”Begitulah kalau keluarga besar. Tak sempat diurus satu-satu. Siapa yang tahu barangkali dia sudah mati sejak senja kemarin?”

Perasaan Riri menjadi tidak enak. Baginya kematian adalah sebuah gambar buram yang penuh kesedihan. Seperti sebuah jalan panjang berliku-liku, lengang dan gelap sekali.

Ine mengguncang tubuh Riri yang tertidur lelap. Riri membuka mata dengan malas. Dilihatnya Ine bersiap-siap hendak pergi. Pakai kerudung segala.

”Ikut takziah, nggak?”

Riri menggeleng dan menguap bersamaan.

“Berani sendiri? Mama dan Papa sudah berangkat ke sana lho.”

Riri bangkit buru-buru.

“Tunggu aku! Kamu sih tidak bangunkan sejak tadi.” Ia langsung membasuh muka ke kamar mandi. Soal takut, Riri memang nomer satu.

Takziah berlangsung dalam suasana mendung. Air mata masih berlinang di wajah ibu yang kehilangan putrinya. Sementara suaminya menunduk terus seperti tidak sanggup menahan berat kepala. Di kiri dan kanan mereka, duduk berdempet anak-anak.

Riri prihatin melihatnya. Kondisi rumah jelas menunjukkan kemiskinan mereka. Anak-anak kurus dan kurang terawat. Putrinya yang dua orang itu, walau berpara manis tapi lesu-lesu. Mana gadis tadi pagi?

Riri mengitari rumah dengan pandangannya. Mencari-cari barangakali si tubuh kurus itu terselip diantara tamu yang membanjiri rumahnya. Berulangkali Riri menyusuri satu persatu sampai matanya kembali tertumbuk pada kedua orangtua itu. Satu, dua, tiga..., tujuh. Ah! Riri mengulang hitungannya. Satu, dua, tiga..., tujuh. Anak-anak mereka tinggal tujuh. Dan gadis tadi pagi tidak ada diantara mereka.

Diakah yang mati? Tapi ....

”Ine!”

Ine menyikutnya. Beberapa mata menyorot pada Riri yang tidak sadar menyebeut nama Ine terlalu keras. Wajah Riri pucat. Mendadak tubuhnya menggigil.

”kamu ini apaan sih tadi? Tegur Ine. Riri duduk lemas di atas tempat tidur.

”Aku ketemu dia tadi pagi.”

”Siapa?”

”Gadis yang mati itu!”

Ine tertawa. ”Bercanda melulu. Tadi pagi ia sudah jadi mayat!”

Wajah Riri menegang. Tiba-tiba berlari mendekati pintu.

“Benar Ine. Dia yang datang!” Riri berkata gusar. Ine berhenti menyiram air ke wajahnya. Riri kelihatan gelisah sekali.

”Nih cuci dulu mukamu. Biar lebih tenang,” Ine menyodorkan gayung kepadanya. Riri melakukannya juga tapi pikirannya tidak bisa lepas dari gadis kecil tadi pagi. Aneh! Masih tergambar jelas sosoknya yang lemah, bajunya yang tipis, kakinya yang tanpa sandal dan nada bicaranya yang mengesankan. Dia masih hidup tadi pagi. Dia berkata akan memangkas bunga kertas. Gadis itu meminjam gunting bunga!

Ine menatap kakaknya khawatir. Apalagi melihat Riri yang kemudian kasak kusuk membuka laci, lalu ke luar kamar, meninggalkan bunyi debum di sana sini.

”Ada apa sih, Ri?”

”Gunting bunga. Dia meminjamnya tadi!” Riri bertambah pucat.

”Tidak mungkin! Kau bermimpi. Tidur sore-sore sih!”

Riri tidak mengacuhkannya.

“Tidak ada. Gunting itu, mana? Ine, dia datang tadi pagi, melihatku sedang mencium mawar. Lalu gunting itu ia pinjam!”

Ine tambah cemas. Aduh! Mama papa belum juga pulang. Ia takut Riri histeris karena tidak kuat menahan emosi. Ine berlari ke dekat pintu, menunggu-nunggu kehadiran mereka. Ingin rasanya menjemput ke sana tapi Ine juga tidak mau meninggalkan Riri sendirian.

“Ayo, kita ke kamar. Kamu capek sekali,” Ine membujuk. Tubuh Riri lemas. Diikutinya Ine yang membimbingnya ke kamar. Tubuhnya terasa dingin. Ia yakin tidak bermimpi. Gadis kecil itu benar-benar datang kepadanya.

”Siapa namanya?”

”Astuti. Sudahlah, jangan pikir dia lagi. Astuti telah berbaring dengan tenang di sisi Tuhan.”

Malam itu rasanya panjang sekali. Wajah-wajah berduka melintas lagi di depan matanya. Mereka tinggal di rumah kayu itu bertahun-tahun, hidup miskin sementara tetangganya berkecukupan. Tak ada yang membantu mereka. Tidak ada yang tahu, Astuti dibiarkan merintih sakit karena tak sanggup membiayai dokter.

Perasaan beralah menghantuinya. Hampir setiap hari ia melihat Astuti di depan rumah. Tidak sekalipun ia menyapa atau bertanya mengapa wajahnya pucat. Mengapa baju buruk itu masih dipakai dan mengapa dia tidak bersandal. Sesungguhnya banyak keanehan pada gadis kecil itu.

Dia begitu kontras dengan lingkungannya. Tetapi mengapa tak sempat terperhatikan? Bahkan ia baru tahu sekarang, namanya Astuti. Oh Tuhan, benar-benar tuakah dunia ini sehingga tetangga sendiri pun tidak kenal?

•••••••••

Riri merapatkan sweaternya. Angin dingin berhembus lembut. Mawar sekuntum itu dilihatnya tidak seindah kemarin. Tak tercium lagi harumnya yang menyegarkan.

Riri tersenyum kecut. Ternyata selama ini ia terlalu sibuk memperhatikan hal-hal sepele. Sekuntum mawar saja sanggup membuatnya tergila-gila sementara di sekitarnya masih banyak yang menuntut perhatian dan mengharap bantuan.

Angin dingin berhembus tiba-tiba.

“Kakak?” suara halus menyapanya. Riri menunduk menahan gejolak di jiwanya. Dibaliknya tubuh berlahan-lahan.

“Astuti? Selamat pagi,” jawabnya berhasil untuk tenang. Gadis kecil itu terpana. Perlahan-lahan wajah pucatnya berseri-seri. Gunting bunga diangkatnya tinggi-tinggi.

“Aku mengembalikan gunting kakak.”

Riri mendekat, menyambut gunting itu. Tangan dingin Astuti menyentuh tangannya.

“Terimakasih, Kak. Aku pergi.”

”Tunggu dulu,” tahan Riri. Mawar sekuntum itu dipotongnya.

”Ambillah untukmu. Kakak tidak bisa memberimu apa-apa,” ucap Riri terharu. Senyum Astuti tersungging, terlihat abadi.

”Terimakasih, Kakak.”

Astuti pergi. Tubuhnya ringan seperti melayang. Di belakangnya Riri menyusut air mata. Astuti sengaja datang padanya. Ia ingin dikenang. Ia ingin Riri mengingatnya selama-lamanya. Dia seperti hendak berkata, aku memiliki tujuh lagi saudara. Sewaktu-waktu mereka bisa mati karena lapar dan sakit yang tidak terobati.

Matahari belum nampak walau sinarnya telah berpendar dari timur bumi. Meski semua masih serba samar hari ini tapi Riri sadar, ia harus berbuat sesuatu. Hidupnya pasti lebih indah bila tidak hanya memikirkan diri sendiri • [CERIA BUKU ke-26, 24 April – 8 Mei1995]