Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

24 Januari 2013

PENGAKUAN SEORANG WANITA NASRANI


Petugas mengumumkan penundaan penerbangan untuk kesekian kalinya. Suasana di ruang keberangkatan Bandara Soekarno Hatta terlihat lesu karena penundaan yang terus menerus. Laki-laki, perempuan, anak-anak, tua dan dewasa, yang mestinya cerah pada paginya, kini terlihat lelah dan kusut.
Aku baru saja mendaratkan tubuh di sebuah kursi yang kosong, di samping seorang wanita tua dan bersahaja. Dia tersenyum, aku membalas manis.
"Mau ke mana?" tanyanya ramah.
"Ke Jambi Bu," jawabku cepat seraya menambahkan diriku berangkat dari Ambon tadi pagi dan transit di Surabaya sebelum akhirnya mendarat di Jakarta. Ibu itu sendiri baru pulang mengajar di daerah kecil di Jawa Barat. Di sebuah Seminari, katanya.
"Pesawat kami juga delay," katanya sambil menunjuk suaminya yang duduk agak jauh.
"Suami saya orang Bali," jelasnya.
Oh ya, aku mulai tertarik. Dirinya berasal dari Menado. Kulit wanita itu memang putih dan logatnya khas daerah itu. Tanpa tahu sebabnya, tiba-tiba dia berujar,
"Saya menyukai wanita muslim. Mereka cantik-cantik dan pakaiannya sopan," ucapnya sambil memandang dan menyentuh lenganku, sepertinya terkesan dengan busana sederhana yang kupakai.
Aku tersipu karena sesungguhnya merasa agak kusut. Maklum perjalanan cukup jauh dari Ambon. Wanita yang aku panggil ibu itu terus bercerita tentang dirinya dan pandangannya terhadap wanita.
"Saya tidak suka wanita di daerah saya. Pergaulan mereka tidak baik dan pakaiannya terlalu pendek," tambahnya.
Sebagai wanita yang bekerja di lingkungan Seminari, sekolah kristen, dia meyakini bahwa perempuan mestinya berpakaian lebih sopan.
"Wanita muslim selain cantik, juga tabah. Saya pernah sebangku dengan seorang wanita berkerudung. Ketika itu pesawat kami tergoncang dengan hebat. Saya gemetar, tangan berkeringat dingin. Ketika saya meraih tangannya untuk mencari kekuatan, tangannya malah hangat. Dia hanya mengucapkan Allahu Akbar dengan tenang, sedangkan saya sempat panik," lanjutnya tenang, mungkin sambil mengenang suasana di pesawat waktu itu.
Pada pertemuan kami yang cukup pendek, wanita yang guru bahasa Latin itu, sempat mengungkapkan cerita perkawinannya. Dengan berbisik ke telingaku, dia berucap lirih.
 “Dulu Bapak itu Hindu. Dia jadi kristen karena menikah dengan saya. Meski dia sekarang bekerja di lingkungan gereja, tapi saya tahu, hatinya tak pernah menjadi seorang nasrani,” ucapnya pelan. Seorang pria Bali, katanya, selalu terikat dan merasa berkewajiban memelihara Pura keluarganya. Entah kecewa atau menerima kondisi itu sebagai jalan hidupnya, aku tak dapat menilai. Yang jelas, meski toleran dengan agama lain, dia tak menyukai perkawinan beda agama.
“Saya bilang ke anak saya, kalau  calon suaminya tak mau pindah agama, berarti kalian tidak jodoh,” ceritanya tentang anak gadisnya yang berpacaran dengan pria berbeda agama.
Ketika petugas mengumumkan pesawat ke Menado siap diberangkatkan, dia bangkit dan mengucapkan salam perpisahan. Aku menyalaminya dengan rasa sayang yang tiba-tiba muncul. Seorang wanita nasrani telah mengungkapkan kekagumannya kepada wanita muslim. Dia mungkin tak menyadari betapa pengakuannya itu sangat berarti – walau aku tak pernah mengharapkannya.
Aku dan mungkin ribuan wanita muslimah lain perlu diingatkan bahwa Islam telah memuliakan kami. Peringatan kali ini datang dari seorang perempuan yang kebetulan tak seagama dengan ku. Terima kasih Ibu. (***)

6 Januari 2013

PEREMPUAN TERBAIK


ADELA menutup pintu kamar perlahan. Di keremangan matanya menyapu tubuh dua bocah yang tidur melengkung di kasur. Mereka nyaris berpelukan, saling menghangatkan tubuh di tengah dinginnya angin malam. Upi dan Rein telah merelakan kamar mereka untuknya. Kini mereka harus tidur di ruang keluarga, satu-satunya ruang multi fungsi yang ada di rumah ini.

Seperlahan mungkin, Adela mencapai kamar mandi yang berada di luar dapur. Untunglah kampung nelayan ini aman, sehingga dia tak perlu takut keluar. Desakan di kantung urinnya tak bisa ditahan. Limabelas bulan di sini tapi tubuhnya masih tak kuasa menahan dorongan alamiah yang selalu datang jelang pukul 4 subuh.

Cuaca cerah. Malam mulai menepi. Gubuk reot, bersusun paku di kiri kanannya. Keindahan desa yang kerap dilukiskan buku ceritanya semasa kecil, tak ada di sini. Penduduk desa ini orang-orang sederhana yang berjuang hidup, menjadi nelayan atau pembuat ikan asin. Memiliki rumah yang atapnya tak bocor dan berdinding cukup tebal untuk menahan hembusan angin, adalah kenyamanan tertinggi yang bisa mereka raih. Hanya sedikit keluarga yang mampu membangun rumah batu dengan kamar mandi di dalam.

Adela membersihkan tubuhnya. Lalu berkumur-kumur dan mengambil whudu. Ada berkah dari kebiasaan pipis dinihari ini. Dia bisa melaksanakan shalat subuh tepat waktu serta dua atau empat rakaat shalat sunat fajar. Pemilik rumah ini bukan orang yang religius. Suami isteri Halim masih tidur, mengalirkan penat keluar tubuh mereka akibat menjemur ikan pada siang dan mengepaknya ke dalam keranjang-keranjang pada malam harinya,

Adela membentang sajadah di kamarnya. Seseorang tiba-tiba melintas di pikirannya. Di tengah kebimbangan, kesejukan diam-diam menyapu hatinya.

Setiap pukul setengah tujuh, Adela berjalan menuju tikungan di dekat kantor Lurah. Sebuah SD dibangun pemerintah di tempat itu. Di sana, anak-anak Desa Nelayan memperoleh pendidikan dasar. Sejak satu setengah tahun lalu, Adela mengajar Bahasa Inggris dan Kesenian. Sebagai sukarelawan.

Keberuntungannya sebagai orang kota, dia cepat dikenal dan dihargai. Mereka mengangguk, mengucapkan salam, setiap berpapasan di jalan. Penghargaan itu melebihi ekspektasinya. Namun kini dia berpikir, ini akan berakhir, cepat atau lambat. Hidupnya tak seharusnya dihabiskan di kampung ini. Dia telah memperoleh pengalaman hidup berbeda walau baru segenggam. Untuk waktu cukup lama dia telah mengasingkan diri di sini,  telah cukup menunjukkan kemarahannya kepada kedua orangtuanya,

“Salam, Adela,” Kurniawan menyapanya dari ambang pintu ruang guru.

“Pagi, Pak.”

Kurniawan mengalihkan pandanganya ke whiteboard di dinding, melihat daftar jam mengajar delapan guru di sekolah itu termasuk dirinya.

“Nayra belajar denganmu, kan? Bagaimana kemajuannya?” tanyanya.

Nayra murid yang cemerlang. Di semua pelajaran  dia berusaha untuk selalu menjadi yang terbaik. Selain manis dan bersemangat, dia juga pandai mengambil hati semua guru, termasuk Adela. Nayra berusaha terlalu keras untuk disukai, padahal dia tidak perlu melakukan itu karena ayahnya adalah kepala di sekolah ini.

Adela tersenyum.

“Seperti biasa. Dia yang terbaik,” jawabnya singkat.

Kurniawan bertanya tentang Nayra kepada semua guru, dan jawabannya tak jauh beda. Kedua mahluk itu saling mencintai, membanggakan, tak terpisahkan. Siapa yang bisa bertahan di tengah-tengah mereka walaupun Kurniawan menginginkannya? Adela bertanya-tanya dalam hati.

Satu persatu guru datang dan ruangan itu menjadi lebih hidup. Kurniawan telah berada di ruang kerjanya sendiri, menekuni beberapa laporan dan sesudahnya duduk termenung, menunggu jam mengajarnya datang.

Adela hafal jadwal Kepala Sekolahnya. Di usianya yang mendekati 40 tahun, Kurniawan masih terlihat muda, rapi namun terkesan lamban. Tak ada yang bisa memburu dan mendesaknya. Dia berjalan dengan langkah yang teratur, bicara hanya jika diperlukan. Sekolah Dasar yang terletak di jantung kelurahan ini pun terlihat damai, dipimpin oleh seorang laki-laki yang lebih mementingkan keteraturan dan ketenangan.

Sebagai penduduk asli kampung ini, Kurniawan hidup dengan gaya yang berbeda. Dia memilih membangun rumah di tempat yang lebih jauh ke darat, dengan halaman cukup luas, tidak berdesak-desakan ke tepi pantai seperti kebanyakan warga desa ini. Dia menyukai bertukang dan berkebun di senggang waktunya. Bangku di taman, meja makan dan lemari kabinet di dapurnya, kata guru-guru di sini, merupakan hasil karyanya.

Ketika Adela dan teman-temannya diundang ke rumahnya lebaran lalu, sungguh dirinya tak menyangka akan memasuki  rumah serapi itu. Tanpa istri dan harus mengurus seorang putri, bagaimana caranya Kurniawan mengatur semuanya?

Tapi itulah yang dimilikinya. Dengan ketenangannya, dia berhasil menata keluarganya yang ditinggalkan oleh wanita itu hampir 10 tahun lalu. Kurniawan terlihat sempurna. Tapi mengapa ibu Nayra lari darinya? Pertanyaan itu bergelung-gelung di kepala Adela.

Di bawah semua yang terlihat begitu sempurna, selalu ada kebusukan. Seperti dirinya yang mengasingkan diri dari rumahnya di Jakarta. Dia memiliki segalanya, pendidikan SMA dan kuliah di kompleks pendidikan  internasional. Orangtunya memanjakan dia dan adiknya dengan materi, memenuhi kebutuhan mereka dengan benda kualitas terbaik.

Namun tiga tahun setamat kuliah, Adela belum juga tahu kemana tujuan hidupnya. Sempat bekerja di sebuah perusahaan asing, dia akhirnya give up. Tak tahan dengan kerutinan dan kesibukan yang memburu-buru. Dia juga enggan kembali ke rumahnya yang sunyi dan mati seperti kuburan. Menjumpai Mama yang selalu murung karena memendam marah atas perselingkuhan demi perselingkuhan yang dilakukan suaminya.

Di bawah semua yang terlihat begitu sempurna, selalu ada kebusukan, bisik Adela.

Adela meyakini itu sejak pertama kali melihat papa masuk ke sebuah apartemen, lengannya dipeluk seorang wanita cantik bertubuh mungil. Dia marah, tapi tak bisa berteriak. Kebiasaan berteriak saat marah tak terbangun di keluarganya. Marah mereka adalah marah yang diam. Marah yang mendendam.

Dan Papa tahu itu. Lalu mentransfer uang yang banyak ke rekeningnya agar dia terhibur. Dengan uang itulah Adela meninggalkan rumahnya, memulai perjalanan volunternya. Bertekad bisa setabah volunter lainnya, seperti yang dilihatnya di Kick Andy Show.

Mulanya dia cukup tabah. Kunjungan singkatnya ke Jakarta setelah 5 bulan di Kampung Nelayan, disambut ibunya dengan pelukan ketat.

“Kau menikmati kerjamu di sana?” tanyanya.

Mama tak pernah tahu dirinya digaji oleh duit sogokan papa.

“Ya Ma, aku senang,” jawabnya.

Mama merindukannya. Dulu dia sibuk dengan perasaan dan kesedihannya sendiri. Kehilangan putrinya menyadarkannya, ada kepedihan yang lebih besar dari pada kehilangan cinta suami.

“Berapa lama kontrakmu? Cepatlah keluar dari sana. Kau harus memikirkan dirimu, Sayang” ucapnya.

Adela mengangguk, berusaha mendamaikan ibu yang melahirkannya, yang sempat mati rasa karena terpaan rasa rendah diri. Sementara Papa hanya diam, menatapnya tajam. Kecurigaan, kekhawatiran dan merahasiakan banyak hal, telah menghilangkan kepercayaan dirinya. Aaah Papa, sampai kapan, desis Adela geram.

Mama selalu menanyakan kapan kontraknya berakhir. Dia bahkan menanyakan apakah Adela mempunyai teman cowok di sana. Seorang cowok di Kampung Nelayan itu? Apakah mama akan suka bila ia menjawab ada?

Feeling mama ternyata benar. Tak lama sesudah itu, setelah periode gelisah dan kebingungan panjang, Kurniawan memanggilnya, menyampaikan maksudnya untuk membina hubungan lebih serius. Melamarnya menjadi istri.

Bukan laki-laki seperti Kurniawan yang diimpikannya menjadi suami, yang tak banyak bicara, datar saja. Baju batiknya suram, warnanya terlalu gelap dan coraknya pasaran, tinggal di kampung, pernah ditinggal istri, punya anak, ooh….

“Ibu melamun!” suara renyah itu mengejutkannya.

Bocah itu datang setiap jam istirahat, membawa bekalnya dan makan di hadapannya. Nayra, dengan rambut ikal tergerai sampai bahu, mata berbinar-binar dari balik kelopaknya yang sipit, memandangnya curiga.

“Ibu tidak makan? Nasinya belum datang ya?” tanyanya.

Adela menggeleng.

“Kalau gitu makan dengan Nayra aja,” ajaknya.

“Nasi mu sedikit. Mana cukup!”, Adela menggodanya.

Nayra mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

“Aku membawa kerupuk. Ayah menggorengnya tadi pagi. Kerupuk ikan,” ucapnya.

Nayra memamerkan masakan ayahnya. Dari kotak nasinya keluar aroma ikan asap dan sambal cabe yang sedap, serta sayur lalap berbumbu pecal.

Adela menyendok nasi dan lauk dari kotak Nayra. Seperti dugaannya, makan siang Nayra lezat. Dengan teratur Adela dan Nayra menyendok makanan bergantian, diselingi kerupuk ikan yang cukup membuat mereka berdua kenyang.

“Alhamdulillah, terima kasih ya,” ucap Adela.

Nayra terlihat senang.

“Aku sudah hafal lagu que sera sera, Bu,” ucapnya.

Adela mengajarkan lagu itu dua minggu lalu dan meminta anak-anak menghafalkannya. Anak-anak di kampung nelayan itu pernah mendengar irama lagu itu dari sebuah iklan komersial. Mereka surprise begitu Adela mengajarkan lagu itu, tak menyangka lagu itu benar-benar ada. Mereka bertambah jatuh cinta ketika Adela menterjemahkan syairnya, kata per kata. Kini dihadapannya, si manis itu menyanyikan lagu dengan riang. Suaranya naik turun mengikuti ketukan pensil di meja Adela.

Que sera sera

Whatever will be will be

The future's not ours to see

Que sera sera

==========

Kurniawan memandangi wajah di seberangnya. Harus diakuinya, dia terlalu istimewa di sini, di kampung nelayan ini. Meski hanya mengenakan kemeja atau gaun katun, dia tahu pakaian Adela bukan murahan. Cara bicaranya yang sopan dengan nada rendah, menunjukkan di masa lalunya dia tidak harus berkeras-keras untuk mendapat keinginannya, untuk diakui lingkungannya.

“Gadis itu tidak terlalu pintar, tapi baik. Dia berusaha untuk menyesuaikan diri walau tak sepenuhnya berhasil. Dan Nayra menyukainya, bahkan memujanya,” bisiknya.

Dia masih ingat ketika Adela pertama kali datang ke sini. Terlihat ragu-ragu dan murung. Kurniawan mempersilakan Adela memilih pelajaran yang disukainya. Ketika esoknya sayup-sayup mendengar suara gadis itu dari ruang kerjanya, mengajarkan lagu berbahasa Inggris kepada anak-anak di kelasnya, sesuatu merayapi hatinya, ringan dan indah. Seperti gemerisik dedaunan menjelang senja dari luar sebuah jendela yang terkembang. Sayup, merdu, meyentuh hati yang terbuka untuk mendengarnya.

Sejak Adela datang, demam berbahasa Inggris melanda anak-anak. Nayra menghafal syair lagu, berguman, bernyanyi, hampir sepanjang hari di rumah mereka. Keriangan dan antusiasme yang ditularkan Adela ke anak-anak sangat berarti. Kurniawan menikmati perubahan itu.

Sudah cukup lama dia menunggu. Kini kekhawatiran mulai merasuk. Adela semakin sering pulang ke rumahnya di Jakarta. Ada kebimbangan yang dibawanya kembali ke Kampung Nelayan ini. Apakah dia mulai jenuh di sini?

Kurniawan tak bisa menahan Adela lama-lama. Statusnya hanya sukarelawan. Apakah lamarannya tak berarti apa-apa bagi Adela? Ataukah dia terlalu lancang karena perbedaan di antara mereka terlalu besar?

Kurniawan mendesah. Kampung ini terlalu kecil dan rapat. Dia tidak bisa berbicara bebas dengan Adela tanpa resiko dipergunjingkan. Ketika dia memberikan sajadah itu kepada Adela, beberapa bulan lalu, dia harus memanggil Adela ke ruang kerjanya. Gadis itu tersipu dan berusaha tenang mendengar maksudnya.

Tak ada jawaban waktu itu.

Sekarang, apakah dirinya harus memegang tangan gadis itu dan memaksanya untuk menjawab? Dua resiko yang harus ditanggungnya, Adela menerima atau meminta waktu. Dan kedua, Adela menolak dan hengkang dari kampung ini. Resiko kedua itu akan membuat kerugian besar bagi anak-anak sekolahnya yang menyukai guru Adela. Dan tentu saja bagi Nayra, pemujanya.  Dan dirinya yang telah begitu terlambat mencari perempuan terbaik.

Akhir minggu ini Adela akan kembali ke Jakarta. Kurniawan harus berbicara kepadanya. Mengisahkan seluruh dirinya agar Adela mengerti dan memberi kesempatan kepadanya.

Gadis itu masih di kelasnya. Sendirian. Membaca buku atau mungkin memeriksa PR anak-anak yang tak dapat dilakukannya di rumah keluarga Halim karena listrik mereka yang terbatas.

“Apakah aku mengganggu?”

Adela mengangkat kepalanya. Keningnya berkerut halus tapi tak lama.

“Tidak Pak. Hanya membereskan berkas-berkas ini sebelum pulang.”

“ Bu Rahma bilang kamu akan ke Jakarta Jumat ini? Ada urusan keluarga yang mendesak? Maaf kalau aku lancang,” tanyanya.

Adela mengangguk.

“Mama membutuhkan kehadiranku,”.

“Tentu saja. Maafkan aku terlalu mendesak. Aku hanya khawatir, mungkin dapat membantu jika kau izinkan?” ucapnya.

Adela tersenyum. Manis sekali. Seandainya urusannya ke Jakarta tidak terkait dengan kesedihan mama dan keinginannya untuk lebih dekat dengan Adela, mungkin dia bisa mengharapkan bantuan Kurniawan. Tapi masalahnya bukan itu.

“Maafkan aku, tapi…”

“Pak, tak ada yang perlu dimaafkan. Saya baik-baik saja. Ini hanya urusan keluarga, tidak terlalu mendesak tapi cukup penting bagi saya,” Adela mencoba meringankan suasana.

“Kau tahu kan betapa kehadiranmu sangat disukai anak-anak di sini? Aku tahu betapa penting kehadiranmu bagi ibumu, tapi tolong juga anak-anak di sini. Jangan tinggalkan mereka!” ucap Kurniawan.

Akhirnya mereka sampai juga pada pembicaraan ini, sesuatu yang tidak ingin dibahasnya. Meninggalkan kampung ini telah menjadi pikirannya beberapa minggu terakhir. Mungkin sudah saatnya dia kembali ke Jakarta, tinggal bersama mama dan menata kembali hidupnya.

“Maafkan saya Pak,” sesal Adela.

“Jadi benar kau akan meninggalkan kami? Adela, kau belum menjawab permohonanku yang lalu. Tidak bisakah kau tetap di sini, bersamaku dan anak-anak itu?” Kurniawan mendekat, memintanya dengan suara rendah dan dalam.

Oh Tuhan, bagaimana mungkin? Tidakkah mama akan semakin terpuruk mendengar kabar ini? Tinggal lebih lama di kampung ini saja telah cukup membuat mama merana, apalagi jika mendengar dirinya menerima lamaran pria telah punya anak ini.

“Dengarkan aku Adela! Usia kita memang cukup jauh. Delapan atau sembilan tahun. Aku tidak kaya, tapi mampu menghidupimu dengan sederhana. Aku tidak pemarah, dan aku berjanji akan sabar menghadapimu.”

“ Kau memang tidak dilahirkan di sini, tapi kau telah berusaha keras untuk berbaur dengan mereka. Karena itu aku menghargaimu, mencintaimu. Maka tolonglah pertimbangkan. Aku tidak akan mengemis, pertimbangkan itu sebelum kau putuskan pergi,” desaknya.

Semua yang diucapkan Kurniawan telah dipikirkannya, di setiap subuh yang dilaluinya beberapa bulan belakangan ini. Terus terang, pernah dia tergoda untuk meninggalkan rumah Halim dan meloncat ke rumah Kurniawan yang tenang dan hangat, dengan dinding yang dicat dan didekor sebagaimana harusnya rumah tinggal. Dia telah bosan di rumah Halim, mencium aroma ikan asin, melewati dapur di tengah malam menuju kamar mandi di luar.

Adela telah lama membayangkan kehangatan di rumah Kurniawan, kebersihan dan kesejukannya. Dan keceriaan seorang gadis kecil yang tak bosan merayu hatinya. Tapi apakah mama dapat menerima perbedaan besar diantara mereka walaupun cinta diam-diam telah tumbuh di hati Adela  ?

“Dan Nayra juga sangat mengharapkanmu. Dia tidak pernah mengenal ibunya. Ibunya meninggalkannya bersamaku demi mengejar impiannya, cintanya. “

“Maksudmu?”

“Aku menikahi wanita itu ketika usia kadungannya mendekati 5 bulan. Buah cintanya dengan seorang pemusik. Aku berhutangbudi kepada keluarganya dan menawarkan penyelamatan itu agar mereka tak malu. Aku melepas kembali wanita itu setelah melahirkan. Nayra tak diinginkan oleh mereka, tapi aku mencintainya seperti darah dagingku sendiri. Jangan biarkan kehadirannya mengaburkan pandanganmu terhadapku?”

“Jadi Nayra bukan darah dagingmu?”

“Bukan! Tapi, apakah kehadirannya membuatmu khawatir?”

Adela meringis. Pertanyaan konyol! Siapa yang menginginkan anak tiri kalau tidak terpaksa? Tapi kejujuran Kurniawan telah memupus sebagian keraguannya. Dia tidak buruk. Nasib yang membawanya kepada tanggung jawab menjadi ayah bagi seorang anak yang bukan darah dagingnya.

*******

Adela tersenyum-senyum melihat dari kejauhan Mama berbincang akrab dengan Nayra. Dia dan ayahnya memaksa ikut ke Jakarta, bertemu dengan Papa dan Mama Adela. Mama yang lebih dulu berbicara berdua dengan Kurniawan, langsung jatuh cinta ke calon menantunya. Entah bagaiamana caranya Kurniawan menjelaskan dirinya kepada Mama, mungkin Mama menyukai kejujurannya.

Mama ternyata tak keberatan menerima Nayra, diluar dugaan Adela. Sementara papa yang datang belakangan, menerima dingin lamaran Kurniawan. Adela tak terlalu peduli. Dan ketika Kurniawan menggenggam tangannya, hatinya merasa hangat. Pria ini jodoh terbaik yang dikirimkan Tuhan untuknya. (Asnelly RD/ Januari 2013)