Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

24 Mei 2011

IS THAT STILL ‘HARAAM’ TO ASK FOR A POSITION WHEN I HAVE FULFILLED ALL QUALIFICATIONS?


Dear Readers,
I am not sure of myself anymore. All doors seem to be closed and no prospect I can see ahead of me. No one is willing to help or at least to push and give me spirit to go on. I am in dilemma whether taking my current career as it is or fighting for a higher position. If I run for the second choice, I have to ask help to someone who has big power in order to make it true. Is it already the time to lower myself and ask such a help? 
My heart keeps saying that that step will be dangerous for my moral. Though I want a change in my life and I have promised to dedicate my work for my office, my country and my family, the consequences of that choice are huge.
According to my religion it is banned to ask for a government position especially if it aims to enrich you. Indeed it is allowed to do so for the sake of community interest but the challenges to maintain that good intension will be very hard. Islam pushes its followers to have clean heart and life, position or fortune is only a mean to reach it.
But I have my own reasons, these they are; I can’t stand life in indignity and just become an ordinary woman. I need to be acknowledged by the skill I have. Furthermore I want to contribute my fortune to relatives and neighbors who live in poor/difficulties. Since I was only a very young girl I had set in my mind about the life I would have in future. Until now I still fight for that…That is why I pursue my education, work hard to fulfill all qualifications needed and never forget to pray.
Now I am facing the situation where my boss doesn’t care of me and other researchers. She gets confused and panic. Two months in my office, she did nothing. She has no idea how to fix Balitbangda.  She already makes me sick. All critics about her as well as the demand to change my life, bring me to the dilemma I mentioned before; is that time for me to fight for a position?
Most of my productive time is spent in office; it’s a pity if that comes to nothing. Suppose I have other choices, I will not think of this too much. Frankly I hate to be ignored. I really hate to see a stupid person being my boss, and then give orders what to do and not to do while he just sits and enjoys a big income. 
Oh my Lord, why this life can’t be just simple?

19 Mei 2011

THE LICENSES ARE SOLD OUT


 Tomorrow there will be another rotation among the structural staffs in the Provincial Government of Jambi. Just a few months ago, the same rotation happened and now it comes again. Since I am not the part of it, I don’t need to be worried or on the contrary happy. Yet I need to be concerned with money politics behind that process as I heard quite soundly. I am one of provincial government staff who wants progress for this province. When will this region get up from its down position if the high level officials never give attention to this issue?
Money and connection becomes the important part of rotation in this “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah“ Province. I hear that someone is willing to pay around Rp30 million for the position of echelon IV while for position of echelon III the price hits the amount of Rp100 million. O my God! Of course no one will speak up voluntarily to confirm this issue. One friend just laughed at issue, he did not say either yes or deny.
Looking at to the quality of new promoted staffs (I watch some of them), frankly I am disappointed. How the Governor put a high expectation on him/her,  to bring the idea/ concept into actions etc if his capability in explaining the working plans, managing the subordinates or (this is very ashamed) typing is very low? Besides those weaknesses, they don’t have courage as well to learn quickly about the job. This is only a joking among my friends, i.e. they don’t need to catch up to acquire the job since they have bought that license (position) for a certain year. So, whether the work runs well or goes to hell, they don’t care!
Indeed it is very sad to see all happens in front of my eyes. I can do nothing to help. I even cannot fight for my own research project (My boss does not respond yet my proposal). I notice too that some colleagues in this office look at me in a suspicious way (perhaps it relates to some critics I ever revealed).
Now life is not easy for me. But as a fighter (cielah…hahaha), I will not give up. I just need take deep breath, try to think purely and then imply all ideas into this blog. Allah will back me, Insya Allah.

KOTORAN TERNAK PEMBAWA BERKAH


PETERNAK sapi dan kerbau di desa Kota Baru Kecamatan Geragaii Kabupaten Tanjab Timur maju selangkah. Sejak diujicobakannya pembuatan biogas di desa tersebut, para peternak semakin bergairah untuk meningkatkan skala usaha peternakannya karena ternyata kotoran ternak yang selama ini menumpuk tidak termanfaatkan dengan baik, bahkan menyebabkan lingkungan rumah mereka tidak bersih, sekarang memberikan nilai tambah yang lebih besar untuk peningkatan kualitas hidup dan perekonomian warga di desa eks trans tersebut . Menurut pengakuan Pak Deni (54 tahun), salah seorang anggota kelompok tani ternak Suka Maju, sejak sebulan lalu istrinya telah menggunakan biogas asal kotoran ternak untuk memasak, layaknya ibu-ibu di kota yang menggunakan gas LPG untuk memasak.
Peternak yang memiliki 7 ekor kerbau ini dapat menghemat uang keluar untuk membeli minyak tanah. ”Istri saya juga tidak perlu antri untuk mendapatkan minyak tanah,” katanya. Api yang dihasilkan oleh kotoran ternak tersebut tidak berbau dan berwarna biru, sama sekali tidak meninggalkan bekas di peralatan masak milik keluarga petani tersebut.
Keuntungan lebih besar dinikmati oleh Mugi (52 tahun), sang ketua kelompok yang selain beternak sapi juga memiliki usaha sampingan pembuatan tahu. Bio gas tersebut dipakai untuk mengolah sekitar 55 Kg kacang kedelai untuk menjadi tahu setiap harinya. Penghematan bahan bakar yang dilakukan cukup besar meski dia belum menghitung berapa rupiah yang dapat di hemat dari penggunaan kotoran gas tersebut. Keuntungan lain yang diperoleh Pak Mugi adalah tersedianya ampas tahu untuk pakan tambahan bagi ternak sapinya. Setiap pagi dan sore ternaknya memperoleh jatah 2 ember ampas tahu atau sekitar 30 Kg. Tidak heran, jika petani asal Jogja ini memiliki rumah permanen yang cukup besar di hamparan lahan seluas seperempat hektar.
Teknologi pembuatan bio gas dari kotoran ternak mulai diujicobakan di desa Kota Baru pada awal bulan Maret tahun 2007. Dari 14 unit yang diujicobakan, 13 unit diantaranya berhasil menghasilkan gas, sedangkan 1 unit yang dicoba pertama kali mengalami kebocoran. Untuk menghasilkan gas, peternak yang mendapatkan dana percontohan ini membangun kolam kotoran yang ditembok batu bata dengan ukuran sekitar 1,5 x 3 meter. Kolam ini kemudian ditutup rapat dengan plastik tebal agar gas yang dihasilkan tidak menguap ke udara. Sebuah alat pengatur gas digantung di atas kolam penampungan yang berfungsi mengatur pengeluaran gas ke alam bebas jika terdapat kelebihan gas. Alat pengatur ini sangat vital untuk menghindari terjadinya ledakan karena tekanan gas yang berlebihan. Dari kolam kotoran tersebut, gas dialirkan ke rumah dengan rumah, telah menunggu sebuah kantung plastik besar dan tebal berukuran sekitar 1 x 2 meter untuk menampung gas methane dari kolam tersebut. Gas tersebutlah yang kemudian dialirkan ke kompor gas.
Semua komponen pembuatan jaringan biogas yang tergolong cukup sederhana ini beserta kompornya dibeli dari sebuah perusahaan di Bandung, Jawa Barat, tempat dimana mereka melaksanakan magang sebelum pengerjaan proyek ini dimulai. Untuk menghasilkan gas pertama kali, diperlukan kotoran sebanyak 2 ton. Kotoran tersebut diaduk sedikit demi sedikit dengan air dengan komposisi setiap 50kg kotoran diaduk 50 liter air. Pengadukan dilakukan di dalam sebuah galon ukuran 100 liter. Setelah adukan rata, sedikit demi sedikit kotoran encer itu dialirkan melalui lobang yang dibuat di bagian bawah galon tersebut.”Kami menunggu selama 1 minggu sampai gas terkumpul cukup banyak dan dapat dialirkan ke rumah’ kata Syahmaliadi, PPL di desa tersebut yang menjadi pendamping kelompok dalam uji coba pembuatan bio gas tersebut.
Untuk mendapatkan gas secara berkala, pengadukan dan pengaliran kotoran ke kolam penampungan cukup dilakukan setiap 3 atau 4 hari sekali, dengan komposisi 50 kg kotoran dan 50 lieter air. Selain menghasilkan gas, kolam penampungan nantinya akan mengeluarkan kotoran yang tidak mengandung gas lagi. Kotoran ini merupakan pupuk kompos yang sangat baik untuk pemupukan tanaman. Mengingat kondisi tanah di Tanjab Timur yang memiliki kadar sulfat masam yang tinggi, keberadaan pupuk kompos dalam jumlah besar akan berguna untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk buatan dan lebih ramah lingkungan.
 Peternak di desa ini nampaknya perlu bersiap-siap untuk mendapatkan sumber pendapatan baru yaitu produksi pupuk kompos. Baik peternak maupun PPL yang melaksanakan kegiatan ujicoba pembuatan biogas ini mengaku puas dengan hasil yang diperoleh. Magang yang dilaksanakan di Lembang Jawa Barat sebelum proyek bernilai 75 juta ini diujicobakan di Tanjab Timur, terbukti memberikan manfaat yang besar bagi mereka. Banyak warga desa lain berniat mengikuti jejak mereka untuk beternak karena untuk menghasilkan bio gas, tidak perlu memiliki ternak banyak. Kotoran dari 3 sampai 4 ekor ternak sapi sudah cukup menghasilkan biogas bagi pemenuhan kebutuhan energi rumah tangga. (Ir.Asnelly Ridha Daulay, M.Nat Res Ecs).

18 Mei 2011

SEKTOR PETERNAKAN DI PROVINSI JAMBI; POTENSI YANG TERABAIKAN



SETIAP menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul fitri, gejolak harga daging dan telur selalu menjadi pusat perhatian masyarakat dan pemerintah daerah di propinsi ini. Meskipun di provinsi lain gejolak harga ini juga terjadi, namun mungkin hanya di provinsi Jambi, instansi terkait perlu turun ke lapangan untuk mengamankan harga-harga komoditas peternakan agar tidak melonjak lebih tinggi lagi.
Di satu sisi, perhatian pemerintah daerah Jambi agar harga komoditi peternakan tidak melonjak terlalu tinggi patut dihargai karena bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak akan daging dan telur dengan harga yang terjangkau oleh kantong mereka. Namun sayang sekali, dari tahun-ke tahun ternyata masalah ini belum juga terentaskan karena inti permasalahannya yaitu kurangnya stok ternak siap potong di daerah ini, belum tersentuh.
Permasalahan pengembangan peternakan di provinsi Jambi ditandai dengan lambatnya peningkatan populasi ternak di daerah ini. Berdasarkan data statistik dari BPS Jambi, ternak sapi di tahun 2002 berjumlah 141 600 ekor, menurun cukup tajam dari populasi tahun 1998 yang berjumlah 156 350 ekor (sekitar 9,4%). Sementara ternak kerbau pada tahun  2002 berjumlah 69 713 ekor, juga menurun  sangat tajam bila dibandingkan dengan populasi empat tahun sebelumnya yang berjumlah 86 156 ekor (sekitar 19%). Penurunan ini berdampak pada peningkatan harga daging di pasaran karena jumlah konsumen terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di provinsi yang pada beberapa dekade lalu sempat menjadi penyuplai ternak di Sumatra. Wajar kalau Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jambi Ir. Natres Ulfi kepada media massa mengatakan tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Jambi lebih rendah dibanding tingkat konsumsi di level nasional.
Upaya yang dilakukan saat ini dengan memasok sapi dan kerbau dari provinsi tetangga terbukti bukan cara penyelesaian terbaik. Sedikit saja pasokan terlambat, harga daging di pasaran akan segera melonjak tajam. Mengandalkan pasokan ternak dari luar juga berarti mengabaikan potensi alam dan sumber daya manusia yang cukup besar di daerah ini. Upaya yang harus dilakukan mau tidak mau adalah dengan kembali memperhatikan sektor peternakan yang selama ini seakan-akan terabaikan.
Dari segi potensi daerah, jelas provinsi Jambi sangat potensial untuk pengembangan ternak.  Pertama, tersedianya areal kosong yang belum termanfaatkan dimana lahan tersebut sangat cocok untuk menanam hijauan makanan ternak sekaligus tempat pemeliharaan ternak. Kedua, jumlah angkatan kerja yang cukup besar namun tidak memiliki keahlian di bidang tertentu. Ketiga, pengalaman beternak yang turun temurun dimiliki masyarakat Jambi, terutama mereka yang datang dari Pulau Jawa. Pengalaman ini dengan mudah dapat dibagi dan dicontoh oleh masyarakat lainnya jika percontohan atau sentra peternakan yang sedang digarap oleh Dinas Peternakan dapat berkembang dengan baik.
Namun potensi diatas terabaikan selama ini. Para Kepala Daerah nampaknya lebih memilih untuk melaksanakan proyek pembangunan yang bersifat fisik dengan alas an proyek tersebut dapat langsung dilihat dan dirasakan oleh masyarakat, dan akan dikenang nantinya sebagai ‘jasa monumental’ sang kepala daerah. Banyaknya dana yang terserap ke proyek-proyek tersebut, mau tidak mau ‘mengorbankan’ proyek-proyek pertanian, termasuk peternakan, yang memang hasilnya baru bisa dilihat beberapa tahun atau bahkan belasan tahun kemudian. Inilah salah satu alasan mengapa kegiatan-kegiatan pengembangan peternakan di daerah sering tidak mendapat perhatian yang memadai.
Masalah berikutnya adalah lemahnya koordinasi antara badan swasta maupun instansi pemerintah yang meluncurkan bantuan ternak ke masyarakat dengan Dinas Peternakan setempat. Beberapa program nasional seperti Proyek Bandes dan Pengentasan Desa IDT yang menyalurkan bantuan ternak ke masyarakat ternyata tidak berhasil meningkatkan populasi ternak di daerah ini. Hal ini terjadi karena Dinas Peternakan yang seharusnya melakukan pembinaan tidak dilibatkan penuh dalam pembinaan sebelum maupun sesudah ternak itu diserahkan, selain masalah-masalah teknis dan kecurangan yang menyertai peluncuran ternak bantuan pemerintah tersebut.
Kurangnya jumlah dan lemahnya kinerja petugas yang melayani peternak yang membutuhkan penyuluhan maupun pengobatan ternak merupakan masalah berikutnya. Penyakit ternak merupakan hal yang rawan karena tingkat penyebarannya yang cepat, menurunnya produktifitas bahkan berakibat kematian ternak. Kematian ternak merupakan kehilangan asset yang berharga bagi peternak miskin sehingga tak heran bila semangat dan minat beternak pun jadi padam. Untuk mengatasi masalah ini, ada baiknya insentif untuk petugas dianggarkan lagi. Pada saatnya nanti insentif ini dapat dicabut kembali, yaitu ketika peternak di Jambi mampu membayar sendiri pelayanan kesehatan ternak yang diterimanya.
Booming karet dan sawit juga berpengaruh pada pengembangan ternak di provinsi Jambi. Banyak Kepala Daerah yang menjagokan kedua sektor ini untuk dikembangkan di daerahnya, dan mengabaikan potensi daerah bersangkutan di bidang peternakan. Dukungan penuh kepala daerah ini terbukti manjur meningkatkan jumlah lahan kedua tanaman perkebunan ini di provinsi Jambi terutama untuk kebun sawit. Hal ini membuktikan bahwa sektor yang didukung penuh oleh pemerintah daerah memiliki harapan besar untuk berkembang. Mudah-mudahan, program pengembangan sejuta hektar sawit yang digabungkan dengan pengembangan peternakan membuahkan hasil yang sama seperti ditunjukkan oleh perluasan kebun sawit di Jambi yang cukup cepat.
Sebagai penutup, pemerintah daerah kabupaten perlu memberikan perhatian lebih kepada pengembangan peternakan di wilayahnya. Pasar komoditi ternak yang selama tahun-tahun terakhir ini diisi oleh peternak dari provinsi lain sudah waktunya diisi oleh peternak Jambi sendiri. Setelah itu, mungkin tidak berlebihan bila Jambi berupaya merebut kembali kejayaan di masa lampau, sebagai provinsi penyuplai ternak ke wilayah tetangga. Semoga, ketika kedua tanaman perkebunan jagoan Jambi, yaitu sawit dan karet memasuki usia senja produksi, sektor peternakan dapat menjadi tumpuan untuk menambah pendapatan masyarakat dan pemerintah Jambi.

15 Mei 2011

MY BROTHER IN ISLAM

My brother Ucok has played our heart dearly and without mercy. For such a long time we have prayed that he will find a light in his messy life, and end the difficulties he puts on our shoulders. We are getting older, we need to take a rest from his problems and think more of our own business. Indeed he was the trouble maker since he was only an elementary student. He made papa n mama busy to deal with the teachers who complaint his bad behaviors. Naturally all will stop. We say to our self often and often that he will change one day, he will pay back his entire bad manner with a kindness that surprises all of us.
Yet, the change in his life does not show any good progress even after he married Siska. I found no year in his marriage without financial difficulties. Our parent gave all they have to support him. I became the one who sponsored his work and paid his debt. I cry in front of Allah, please stop the trials to our family especially after Mama passed away. Allah now talk to us through this ….
My brother has joined an Islamic stream that evades from the true Islamic values. As a journalist he should know that stream is not in Islam anymore since it doesn’t ask the followers to do praying and fasting and some rituals as strongly pushed to do in Islam. Ucok was even daring to ask Papa to join the group . He becomes the loyal follower of that group now. This shocks our family!
Finally I have to decide! Do not  think of him anymore. It’s enough…enough….and enough! I don’t have any resources to give to him anymore. The poor in my surrounding need to be cared. Alhamdulillah, HE release me from Ucok and Mama no need to experience all messy he caused. Of course I still pray that someday he will be my brother in Islam again, realize that he has lost the only family he has, who loves and supports him very much.

10 Mei 2011

WANITA DI BALIK KERUNTUHAN PARA PENGUASA



DIBALIK kesuksesan seorang laki-laki, terdapat seorang wanita hebat. Barisan kata yang menyanjung kaum wanita ini tentu akan diamini oleh banyak orang jika faktanya memang demikian. Namun tak semua wanita berhati mulia. Setidaknya sejarah telah memperlihatkan kepada kita bahwa wanita berperan sangat besar untuk meruntuhkan kekuasaan laki-laki, seperti contoh tiga wanita berikut ini.
Contoh paling tragis adalah Marie Antonette, istri Raja Perancis Louis Auguste atau yang lebih dikenal dengan Louis XVI yang dinikahinya pada 16 Mei 1770. Awalnya Marie adalah wanita yang lugu, perkawinannya dirancang dengan sang Raja pada usianya baru 12 tahun. Namun pertentangan dalam istana Perancis antara pihak yang tidak menyukai Marie karena asal usulnya sebagai putri Raja Austria yang pernah bersiteru dengan Perancis, dan pihak lainnya yang berebut mendekatinya agar masuk pusaran kekuasaan perlahan merubah kepribadian wanita bertubuh mungil tersebut.
Kepribadian Marie yang labil juga karena dia merasa tak dicintai oleh ibu dan suaminya sendiri. Sang ibu sering menudingnya sebagai putri yang kalah cantik dibanding saudarinya yang lain dan tak berbakat. Sang suami lebih banyak menghabiskan waktu dengan selir-selirnya hingga butuh waktu 7 tahun bagi Marie untuk hamil dan mempunyai anak.  Kesepian hidupnya membawa Marie pada hobi berjudi kartu dan pacuan kuda, berjalan-jalan ke kota dan membeli barang-barang mewah seperti sepatu, parfum dan kosmetik
Kasus yang semakin menghancurkan reputasinya adalah pembelian kalung berlian (The Diamond Necklace Affair) yang menurut ahli sejarah sebenarnya bukan keinginan dari Ratu yang melahirkan empat anak ini. Adalah Cardinal de Rohan yang membeli dan menyodorkan kalung itu kepada Marie dengan harapan sang Ratu akan membantu mengamankan posisinya sebagai kardinal. Pelayan yang dipercayai mengantarkan kalung tersebut ke haribaan Marie, kemudian menjual kalung itu ke sebuah toko perhiasan. Tagihan kalung tersebut sampai ke istana dan menjadi kehebohan besar saat itu.
Selain judi dan tabiat konsumtifnya, Marie juga disorot karena pergaulan bebasnya dengan sejumlah laki-laki dan perempuan. Dalam persidangan menjelang eksekusi matinya, putera kandungnya sendiri menuduh si ibu telah melakukan perbuatan sexual terlarang dengannya. Kebencian rakyat yang memuncak, dan tak adanya dukungan dari saudara laki-lakinya yang saat itu telah diangkat menjadi Raja Austria membuat nasib Marie tak tertolong lagi. Marie akhirnya mati di tiang guillotine.
Perjalanan hidup Evita Peron untungnya tak setragis Marie Antonette. Lahir dari keluarga miskin dan tak memiliki ayah, María Eva Duarte yang lahir di Los Toldos, 7 Mei 1919 berjuang keras menuju tampuk kekuasaan. Berkat karirnya sebagai artis radio dan opera sabun Evita bertemu dengan Juan Domingo Perón, seorang militer cemerlang dan calon presiden Argentina waktu itu.
Semenjak pernikahan mereka, Evita tak kenal lelah mempromosikan suaminya, menghadiri banyak acara amal dan kampanye sehingga berbuah kursi kepresidenan untuk Juan Peron pada tahun 1946. Evita menjadi First Lady Argentina termuda dan paling berpengaruh di kawasan Amerika selatan kala itu. Sanjungan terhadap dirinya, antara lain terangkai dalam lagu “Don’t Cry For Me, Argentina” yang sempat dinyanyikan kembali dan difilmkan oleh Madonna.
Evita yang terlalu memuja suaminya tak mentolerir sedikitpun nada kritik terhadap suami dan dirinya. Semua pengkritik dianggap musuh dan tak patriotik. Meski kegiatan sosialnya seperti membangun ribuan rumah untuk rakyat miskin, rumah sakit dan rumah yatim piatu, berbuah kefanatikan luar biasa kaum miskin kepada dirinya, evita sebaliknya sangat dibenci oleh kalangan menengah ke atas Argentina.
Ambisi Evita yang besar pada kekuasaan semakin terlihat pada tahun 1951, ketika ia menggelar kampanye untuk membuka peluangnya menjadi Wakil Persiden Argentina. Hal ini ditentang oleh militer Argentina, kaum elit, dan akhirnya suaminya sendiri. Sebagai gantinya pada 1952 Evita mendapat gelar resmi "Pemimpin Rohani Bangsa".  Evita meninggal pada 26 Juli 1952 pada umur 33 tahun, diduga karena kanker rahim dan tak menyaksikan kejatuhan suaminya beberapa tahun kemudian.
Kehidupan Imelda Marcos hampir menyerupai Evita Peron yakni bertemu sang suami yang berkarir cemerlang dan bersama-sama berjuang meraih kepercayaan masyarakat menjadi presiden. Imelda juga populer di kalangan rakyat miskin namun dibenci kalangan menengah ke atas.
Meski berasal dari keluarga terhormat, Putri kelahiran daerah Leyte ini tak kaya. Namun kecantikannya yang bersinar terang dan mudah menarik kerumunan orang-orang membuat dia diminati politikus muda seperti Benigno Aquino dan Ferdinand Marcos. Marcos menikahi Imelda pada Mei 1953. Berdua mereka memulai debut untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Philipina.
Bersamaan dilantiknya sang suami menjadi presiden Philipina ke 10 pada tahun 1965, kehidupan mantan pegawai bank central Philipina tersebut pun berubah. Diantara kehidupan ektravaganza Imelda yang menghebohkan adalah kala dia menghabiskan lima juta dollar Amerika untuk berbelanja di New York, Roma dan Kopenhagen pada 1983 dan mengirim  sebuah pesawat untuk mengangkut pasir putih Australia guna membangun rumah peristirahatannya di sebuah pantai. Ibu satu putera dan tiga putri ini juga membeli sejumlah properti di Manhattan, perhiasan dan sekitar 175 lukisan dan karya seni lainnya. Tentang gaya hidupnya ini Imelda berdalih dilakukannya demi “menjadi cahaya dan penerang bagi rakyat miskin”.
Imelda juga menduduki sejumlah jabatan strategis seperti Gubernur Manila dan Menteri Perumahan Rakyat. Kelak setelah kembali ke Philipina dari pengasingan, Imelda sempat mencalonkan diri menjadi presiden meski kalah dan mendorong anak-anaknya maju dalam pencalonan gubernur dan anggota senat.
Pada 25 Februari 1986, Ferdinand Marcos and keluarganya diterbangkan ke Hawai setelah rezim sang suami ditumbangkan kekuatan rakyat. Meskipun hidup di pengasingan, Imelda masih mempertahankan gaya glamournya. Paska kepulangannya ke Philipina, Pengadilan negara itu memerintahkan Imelda untuk mengembalikan 10 juta dollar uang rakyat yang dikorupsi suaminya selama 27 tahun berkuasa. (ARD)

5 Mei 2011

MEMBANGUN GENGSI JABATAN FUNGSIONAL



BEBERAPA tahun lalu sempat didengungkan oleh pemerintah tentang akan dikembangkannya jabatan fungsional dengan tujuan meningkatkan kinerja aparat pemerintah sekaligus mengurangi persaingan perebutan jabatan struktural. Beberapa teman PNS yang meramalkan prospek ‘cemerlang’ bekerja sebagai pejabat fungsional, kemudian meninggalkan jabatan strukturalnya untuk beralih menjadi pejabat fungsional. Namun harapan mereka kabur bersama waktu. Wacana mengembangkan jabatan fungsional kini nyaris tak terdengar lagi. Kurangnya perhatian, tak adanya pembinaan dan diskriminasi perlakuan/pemberian fasilitas menyebabkan ratusan PNS yang memilih jalur karir ini merasa menyesal, bahkan ada yang membelot dan kembali berebut posisi jabatan struktural.
Meski berat mengakuinya, jabatan fungsional memang kurang populer di kalangan pegawai negeri sipil. Ada anggapan bahwa jabatan fungsional hanyalah pelarian bagi PNS yang tak peroleh jabatan struktural atau yang golongan kepangkatannya telah mentok. Opini tersebut terbangun karena tak memahami apa yang dikerjakan oleh seorang pejabat fungsional atau melihat pejabat fungsional yang bekerja tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Pengangkatan seseorang di jabatan fungsional bukan karena alasan ‘ketidakberhasilan’ di jalur struktural tapi harus berdasarkan pada keahlian dan keterampilan PNS bersangkutan sesuai PP No.16 tahun 1994.[1]  Faktor keahlian dan keterampilan ini sering luput dari perhatian sehingga ketika tiba waktunya mengajukan angka kredit guna kenaikan pangkat, si pejabat tersebut tak berhasil memenuhi kewajibannya.
Jabatan fungsional sesungguhnya memiliki kriteria dan kinerja yang jelas. Seorang peneliti misalnya, tak dapat naik dari pangkat sebelumnya sebagai Peneliti Pertama Golongan III/b menjadi Peneliti Muda Gol. III/c sebelum mengumpulkan angka kredit sedikitnya 50 poin. Melakukan penelitian saja tanpa menuliskannya di jurnal ilmiah tak akan menghasilkan angka kredit yang dibutuhkan untuk naik pangkat tersebut. Kriteria mirip itu berlaku juga bagi fungsional lain seperti penyuluh pertanian, pengawas bibit atau pranata komputer. Dengan tingkat kesulitan naik pangkat seperti itu dan tuntutan kemampuan untuk bekerja mandiri, seharusnya pejabat fungsional memperoleh perhatian dan dukungan dari instansi pembinanya agar dapat berkembang.
Namun kenyataannya, pejabat fungsional masih tinggal di belakang, kalau tidak bisa dibilang anak tiri di lingkungan SKPD Pemrov Jambi. Perbedaan perlakuan cukup kasat mata. Di beberapa dinas atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang memiliki pejabat fungsional dari rumpun tertentu, pembinaan karir terhadap pejabat fungsionalnya tidak jelas, bahkan tidak ada. Pembinaan yang dimaksudkan di sini adalah penetapan dan pengendalian terhadap standar profesi yang meliputi kewenangan, prosedur pelaksanaan tugas dan metodologi, termasuk penetapan petunjuk teknis.
Di beberapa SKPD yang keberadaan jabatan fungsional sangat dibutuhkan seperti SKPD lingkup Pertanian dan Balitbangda Provinsi Jambi, pejabat fungsionalnya adalah golongan minoritas. Di sebuah Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) seharusnya komposisi peneliti dan staf umum memenuhi perbandingan 1:3. Namun hal itu masih jauh dari capaian bila melihat kondisi Balitbangda Provinsi Jambi saat ini. Dari sekitar 60 orang staf Balitbangda, hanya 8 orang yang berstatus peneliti. Dari 8 orang tersebut, hanya 3 orang yang telah mengikuti sertifikasi di Diklat LIPI. Wajar saja jika kontribusi Balitbangda dalam memberi masukan tentang pelaksanaan program Gubernur sangat minim. Di SKPD lain kondisinya tak jauh beda, kecuali di lingkungan Dinas Kesehatan atau rumah sakit yang jabatan fungsionalnya telah berkembang baik.
Gengsi jabatan fungsional juga tak sementereng jabatan struktural, disebabkan perlakukan tak setara dalam pemberian fasilitas tunjangan. Menurut Peraturan Gubernur Jambi No.1 tahun 2011[2] perjalanan dinas untuk pejabat fungsional golongan III/a sampai dengan III/d setara dengan pejabat struktural eselon IV, dan pejabat fungsional golongan IV/a dan IV/b setara dengan pejabat struktural eselon III dan seterusnya. Semestinya semua SKPD telah menerapkan Peraturan Gubernur tersebut, namun ternyata masih ada yang belum melakukannya. Ketidaksetaraan juga tampak pada pembayaran Tunjangan Kesejahteraan Daerah (TKD), dimana TKD yang diterima pejabat fungsional nilainya sama dengan yang diterima oleh staf umum (PNS non jabatan) sesuai dengan golongan masing-masing.
Kesempatan yang diberikan oleh pimpinan kepada seorang pejabat fungsional untuk mengembangkan keahlian dan keterampilannya juga sangat terbatas. Pada rapat koordinasi, konsultasi atau pelatihan yang berkaitan dengan tugas fungsional, yang sering ditunjuk menghadiri adalah pejabat strukturalnya. Padahal pertemuan seperti itu akan memberi input kepada seorang pejabat fungsional tentang perkembangan terbaru di lingkup kerjanya dan mendorongnya untuk lebih kreatif serta bekerja mandiri.
Melihat kondisi ini wajar saja tak banyak PNS yang melirik jabatan fungsional. Walaupun Pemerintah Provinsi Jambi pada setiap penerimaan CPNS baru selalu menyediakan formasi fungsional, namun dalam perjalanannya, PNS baru tersebut lebih suka menjadi staf umum saja.
Sebenarnya kesempatan untuk mengembangkan jabatan fungsional sangat besar. Cukup banyak PNS di daerah ini yang berotak cemerlang, pemenang beasiswa dalam dan luar negeri serta terampil. Mereka sangat memenuhi syarat untuk menggeluti jalur karir fungsional namun Pemerintah harus membenahi dulu ‘ketidakadilan’ yang berlaku selama ini. Kalau tidak, jabatan fungsional akan selalu tertinggal dan tak dapat memberikan kontribusi optimal menunjang tugas SKPDnya.
Bagi Gubernur sendiri, mengembangkan jabatan fungsional akan sangat membantu pencapaian visi misinya menuju Jambi EMAS 2015. Dan alangkah lebih baiknya lagi bila kelak personil yang menduduki jabatan struktural dipilih dari pejabat fungsional yang terbukti telah mencapai taraf profesional sehingga kemampuan kelimuan dan leadershipnya tak diragukan lagi. Namun tanpa dukungan dalam meniti karir serta kesetaraan perlakukan dengan mereka yang duduk di jalur jabatan struktural, seperti terjadi saat ini, siapa yang akan mau jadi pejabat fungsional? (Penulis : Ir. Asnelly Ridha Daulay, M. Nat Res Ecs. Peneliti pada Balitbangda Provinsi Jambi).



[1]  Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 1994 Tentang Jabatan Fungsional PNS, (http:// www.4shared.com/ get/OWxAyQAI/Jabatan_Fungsional_PNS_PP_No_1.html , diakses 4 Mei 2011)
[2]  Pergub Jambi Nomor 1 tahun 2011 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pimpinan, Anggota DPRD, PNS dan PNS Tidak tetap di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi