Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

26 Maret 2011

I AM 42 YEARS OLD NOW


I am 42 years old now, an age of a mature woman thought I still feel that I am fragile. A little conflict or something out of order can make me distressed, even more hopeless. I also figure out that my health becomes more sensitive. Like two day ago I was collapse and admitted to the nearest health clinic in LIPI. All those alarming signs have to make me watchful. The preparation for welcoming of death angel should be more and more.

In the future I promise to be more generous to my family and people in my surrounding, give gifts or what they really needs and release them from suffering. At least Allah will consider of forgiving my sin. Those people I help, perhaps, will remember me as a nice woman and this, in the eye of Allah will mean worthwhile. Giving much and get less should be my motto now on.

Yet, I still want to live longer. I remember the nights I miss my mother. What does she do there? I think she would like to be with me, admire one and other stuffs like bags, jewelries, cloths or a simple house decoration rather than lay down there. She would be happy to get a scarf or bag from my out of Jambi trip, or chatting with me by phone. 

I know my mother had many dreams. She went away before some of those dreams became true. I would be like my mother if I die young. I can’t refuse it. I just pray that I will not sorry to leave all I have in the world, because there Allah give me the best.

16 Maret 2011

I AM READY TO BE A RESEARCHER


I am in Cibinong West Java to prepare myself to be a researcher. I won’t tell any of my family members how lonely I am here. This LIPI building was not like I imagine before. No beautiful scenery at all. Only wet land, huge meadow and old fashioned buildings before my eyes. As a training centre, this LIPI building should give an impression of smart and dignity. Yet, I found it in misery.

My families do not need to know the condition here. I will not complain. They will question the resolution I have been developing to be a researcher since last year if I do that. Anyway, I knew from the beginning that the profession of researcher is not highly appreciated in my country. So, why did I still startle by situation here?

Actually, not all is distressing. At least I can tell proudly that most of my new friends here are smart and young. Though their looks are ordinary, their academic records and accomplishment are convincing. Frankly, I become nervous to be with them since I know nothing about research. But I and my colleague (Sartik) have made resolution that we must finish this training and hold a certificate in our hand. We had been agreed by Mr. Fauzi Syam to go (he is so generous by giving us an additional allowance) and some Balitbangda’ friends said good bye and prayed the best for us. Of course they don’t deserve to be disappointed.

It is my task to catch up with time and finish the study in LIPI’s training centre. There is a target for me; I have to acquire the scientific writing skill. Back home, two or more researches have been waiting for me. It’s clear I am in my way to be a researcher, except fate decides otherwise. I have to neutralize the doubt growing in my heart before it kills my will power to be a researcher.

Anyway, I and my roommate will have fun by going shopping and travelling during the weekends. Some places are already in our list. Nothing is too bad. Must be there something nice (or quite nice) about everything, it depends on the way you look it.

I think I am ready to be a researcher, a qualified one.

8 Maret 2011

SINGAPORE YANG TAK LAGI MEMPESONA

PERTAMA KALI bertandang ke Singapore, perasaan saya meluap-luap luar biasa.  Maklum, walaupun negeri itu dapat dicapai dengan 40 menit penerbangan Jambi - Batam  plus 60 menit Batam – Singapore (dengan kapal ferry), tak semua orang mampu dan berkesempatan berkunjung ke Negeri Merlion (harimau laut)  tersebut. Berhubung Singapore adalah sebuah negara asing, diperlukan paspor untuk masuk ke sana dan segepok dollar untuk membayar ferry, taksi, shopping dan ongkos bersenang-senang lainnya.  

Beruntung akhirnya saya dan keluarga dapat menginjakkan kaki ke sana beberapa tahun lalu. Hampir semua sudut kota tersebut telah kami jajaki. Mulai dari kawasan Masjid Sultan yang bernuansa Islam, arena bermain Sentosa Island, mejeng di depan patung Merlion di sekitar Fullerton Hotel hingga shopping barang branded di kawasan Orchard Road. Untuk menambah kesan petualangan dalam wisata tiga hari tersebut, Kami pun berkeliling kota menggunakan Mass rapid Transportation (MRT) dan bus kota yang mulus dan tak pernah terjebak macet.

Pesona Singapore mulai memudar pada kunjungan kedua dan berikutnya. Singapore tak ‘seheboh’ dulu lagi. Keindahan kota yang didirikan Sir Stamford Raffles tersebut tak lagi mempesona. Kembali saya dipertemukan dengan wajah kota yang rapi dan bersih, transportasi yang lancar dan shopping mall yang mewah. Pada Sabtu sore itu, saya tak menjumpai atraksi kebudayaan Asia (timur) yang anggun, atau keramahan dan anggukan persahabatan dari warga lokal. 

Imej bahwa Singapore adalah kota yang ‘snob’ alias sombong, dibenarkan oleh warganya sendiri. Dua sopir taksi yang mengantar kami ke tujuan berbeda di Singapore mengungkapkan betapa mereka sebenarnya bukan bagian dari kemewahan kota itu.

Mohammad, seorang sopir taksi keturunan Arab mengaku tak begitu mengenal kawasan perbelanjaan walaupun dia lahir dan tinggal di Singapore. “Itu kan untuk orang kaya. Kalau saya tak pernah belanja di Orchard,” ucapnya.

Ongkos taksi cukup murah di Singapore. Sewa taksi dari Harbour Front ke Orchard Road sekitar 8 dollar atau Rp56 ribu. Tarif tersebut terhitung rendah jika dibandingkan dengan tarif taksi di Jakarta dimana jarak tempuh 15 menit bisa dikenai biaya Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu.

Namun tak seperti dulu, sopir taksi di Singapore sekarang kurang jujur. Tak jarang penumpang dikenai biaya tambahan di luar yang tertera di argo. Dengan alasan ‘ charge for peak time’ , mereka meminta tambahan beberapa dollar lagi.

Lim, sopir taksi lain juga mengakui beratnya tinggal di Singapore. “Saya bekerja sekitar 14 jam sehari. Kalau tidak, mana mungkin bisa membayar sewa flat, “ kata laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun tersebut. 

Biaya berobat juga tidak murah di Singapore. Benar pemerintah menjanjikan potongan biaya untuk warganegaranya, namun tetap saja tak terjangkau. “ Saya pernah berobat karena sakit kepala yang tak sembuh-sembuh. Awalnya cuma dikenai biaya 80 dollar. Kemudian saya disuruh cek ulang beberapa kali. Mereka perkirakan total biayanya 4 ribu dollar. Lebih baik tidak usah saja,” cerita Lim. Dia malah memuji pelayanan kesehatan umum di Indonesia. “Di Indonesia bisa gratis. Di sini katanya diskon, tapi bayarnya tetap tinggi!”

Dibanding Negara ASEAN lainnya, kehidupan religius di Singapore nyaris tak terasa. Menurut Mohammad, kini tak ada lagi tuan guru yang kharismatis. Dia dan keluarganya tidak memperoleh bimbingan agama dari ulama. Keluarga yang menginginkan pendidikan Islam untuk anak-anaknya, biasanya datang  ke madrasah. “Selain ilmu agama, anak-anak madrasah harus belajar ilmu umum dan ketrampilan. Sekolah madrasah sekarang berat,” ucap laki-laki berkacamata ini. Akibatnya sekolah agama pun kurang diminati dan jumlahnya menyusut. Sekarang terdapat  tiga madrasah yang masih bertahan.

Sebagai kota wisata, Singapore hanya manis untuk belanja dan untuk orang sangat kaya. Ketika saya sejenak berdiri di Orchard Road, mengamati manusia bersileweran dengan tas tentengan berlogo terkenal, hati saya pun bertanya-tanya. Berapakah penghasilan orang-orang ini satu bulannya? Berapa banyak uang yang baru saja mereka habiskan? Jika melihat ke wajah pelancong yang sebagian sangat khas Indonesia, namun dengan penampilan penuh gaya serta kulit pucat mulus, saya pun berguman pada diri sendiri; alangkah kontrasnya penampilan mereka dengan sebahagian besar penduduk Indonesia. 

Pertanyaan demi pertanyaan itu membuat saya tak tahan berlama-lama di Orchard Road. Singapore membuat saya gelisah. Mendadak saya ingin segera kembali ke rumah, ke lingkungan saya yang sederhana dan  nyaman. Ke negeri saya Jambi.