Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

12 Februari 2014

MERUBAH ARAH PEREKONOMIAN INDONESIA; Memacu Produk Unggulan, Mengurangi Produksi dan Konsumsi Barang-Barang Sampah


PADA salah satu blok pedagang di Pasar Anyar Bogor, terlihat deretan toko dan kios pinggir jalan yang menjual aneka jenis sepatu/sandal anak-anak, wanita dan pria dewasa. Sepatu tersebut terbuat dari plastik dan kulit sintesis yang harganya relatif murah. Melihat sepatu bertumpuk sebanyak itu, patut ditanya, siapakah yang akan membeli dan memakainya?
Di tempat lain, Pasar Jambu, kita juga dapat melihat puluhan jenis handphone (HP) berderet di etalase  toko. Barang impor tersebut dijual dengan harga bervariasi, dari ratusan ribu rupiah  hingga mendekati 10 juta rupiah per unitnya. Begitu banyak pilihan HP dengan keunggulan fitur masing-masing, dan harganya relatif mahal. Pikiran kita pun kembali tergelitik, benarkah orang Indonesia cukup kaya sehingga pasar untuk handphone begitu terbuka ? Banyak orang Indonesia yang memiliki HP lebih dari satu, berganti model setiap enam bulan sekali bahkan lebih singkat dari itu. Kenapa dan apa gunanya?
Jawabannya; orang Indonesia tidak membutuhkan barang-barang sebanyak itu. Tunggu saja beberapa bulan setelah barang-barang tersebut dikeluarkan dari pabriknya, akan ada diskon bahkan penjualan banting harga.
Pada sisi lain masyarakat Indonesia selalu mengeluhkan naiknya harga komoditi kebutuhan pokok seperti beras, gula, cabe, bawang dan seterusnya. Kanapa untuk barang kebutuhan pokok seperti itu stoknya sering putus sehingga memicu kenaikan harga di pasar sedangkan untuk barang-barang yang tidak termasuk kebutuhan pokok, justru suplainya demikian berlebih dan lancar? Mengapa pabrik atau pengusaha memproduksi begitu banyak barang yang tak termasuk kebutuhan pokok, padahal mereka tahu bahwa tak semuanya akan terjual sesuai harga yang mereka patok pertama kali?
Menurut ilmu ekonomi produksi besar-besaran tersebut dilakukan dengan alasan efisiensi, agar kapasitas mesin pabrik atau alat terpakai sepenuhnya. Upah buruh yang murah, ikut menjadi faktor penting kenapa pengusaha ingin memproduksi lebih banyak dan kemudian menggenjot bagian pemasaran untuk merayu konsumen agar barang-barang mereka terjual lebih banyak. Prinsip ekonomi kapitalis “uang harus tumbuh” telah menyebabkan absorbsi sumber daya alam, kerusakan lingkungan dan kita terjebak dalam menghasilkan barang yang tidak bermanfaat.



Gambar 1. Hirarki Keharusan
 (Hoogendjik, 1996; hal  43)

Satu faktor lagi yang mendorong produksi skala besar tersebut adalah harga bahan mentah yang murah, yang tidak memasukkan biaya kerusakan lingkungan ke dalamnya. Dalam bisnis sepatu misalnya, harga bahan baku karet merupakan harga murni yang dihitung dari biaya yang terpakai untuk menyadap, mengolah karet secara sederhana dan membawanya ke pabrik. Di dalam harga tersebut tidak tercakup kerugian yang diderita lingkungan akibat hutan yang beralih menjadi kebun karet, polusi di sungai dan udara karena penggunaan pupuk serta bahan kimia untuk processing di pabrik. Hal itulah yang menyebabkan sepatu produksi Bogor (dan barang-barang lain di Indonesia) dapat dihasilkan dalam jumlah banyak plus harga murah.[1]
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mengapa kita tidak memproduksi barang dengan jumlah lebih sedikit, sesuai dengan kebutuhan masyarakat namun berkualitas? Mengapa Indonesia membiarkan dirinya dibanjiri produk HP luar yang beragam, sebagian berkualitas rendah yang jumlahnya melebihi kebutuhan normal masyarakat kita? Apakah karena negara kita tidak memiliki aturan pasar yang kuat untuk membatasi impor tersebut sehingga kita dengan mudah dikepung oleh barang-barang yang sesungguhnya tidak diperlakukan?
Ada tiga unsur utama dalam kegiatan ekonomi di dunia ini; pemilik pabrik/modal, konsumen (masyarakat), dan pemerintah. Jika perekonomian Indonesia ingin membaik, ketiga unsur tersebut harus merubah cara pandangnya terhadap barang.
Sudah jamak di dunia ini pemilik pabrik atau modal menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan modal sekecil-kecilnya. Prinsip tersebut sah-sah saja, tapi apakah keuntungan tersebut harus meningkat terus dan terus? Pemilik modal harus menyadari ada keterbatasan keuntungan, dan ketika hal itu tiba, mereka harus kreatif mencari jenis usaha lain yang memberi keuntungan baru. Keragaman bisnis akan mendorong munculnya lapangan pekerjaan baru, kemahiran baru dan trend. Menurut Hoogendijk (1998; hal 98) pengusaha seharusnya tidak hanya berpikir bahwa merupakan pemborosan jika mesin tidak digunakan sepanjang hari. Pengusaha harus memikirkan kepentingan lebih luas; masyarakat, lingkungan dan masa depan. Jangkauan pemikirannya harus sampai kepada; apakah ekosistem global memungkinkan untuk memproduksinya, seberapa banyak dan bagaimana kualitasnya, bisakan produk tersebut diperbaiki dan digunakan kembali?
Dari uraian di atas dan dengan merenungkan kondisi yang ada di sekitar kita, terdapat masalah utama yang kita hadapi saat ini, yaitu:
  1. Pengabaikan terhadap konsep Sustainable Development dan ekonomi hijau
  2. Pembangunan infrastruktur jalan dan pendukung industri lainnya sangat  lamban
  3. Sikap hidup masyarakat yang konsumtif
  4. Indonesia tak memiliki rancangan strategis tentang industri apa yang harus mendapat dukungan berlebih.
  5. Cikal bakal industri nasional, yaitu kerajinan khas Indonesia, belum memperoleh dukungan optimal

Apa Yang Harus Dilakukan Pemerintah?
1. Konsisten membangun ekonomi hijau
Pemerintah sebagai regulator memiliki peran penting untuk mengembalikan pemilik modal dan konsumen kepada perilaku ekonomi yang benar. Pajak lingkungan, insentif untuk usaha rakyat yang ramah lingkungan dan berkualitas, pajak impor yang tinggi dan terus mendorong upaya tercapainya swasembada pangan, merupakan langkah-langkah penting agar pasar Indonesia dibanjiri oleh produk berguna, yang benar-benar memenuhi kebutuhan rakyat, bukan barang-barang yang hanya akan memperbanyak sampah di bumi ini.
Penerapan pajak lingkungan dan internalisasi biaya kerusakan lingkungan, terutama terhadap perusahaan besar yang mengeksploitasi sumberdaya alam atau menyumbang pencemaran, sangat efektif untuk mengurangi kerusakan yang mereka timbulkan atau untuk menghemat sumberdaya alam. Disinsentif timbul karena biaya produksi menjadi bertambah.

Gambar 2.
Perbedaan laba hasil yang ditimbulkan oleh penerapan pajak lingkungan dan internalisasi biaya kerusakan lingkungan (Hoogendijk, 1996)


Prinsip ekonomi hijau harus dipandang bukan sebagai penghambat perekonomian, namun justru mendorong terciptanya pasar yang sehat dan pembangunan yang berkelanjutan. Mari kita lihat dua perbandingan berikut.
Sebuah negara berkembang –A- menghasilkan pemasukan ekonomi kotor (brutto) bernilai 100. Biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan pemasukan tersebut mencapai 60 (untuk membiayai produksi serta perbaikan kerusakan lingkungan yang terjadi), sehingga pemasukan netto negara itu menjadi 40.
Bandingkan dengan negara B, yang menjalankan ekonominya dengan cara lebih bersih dan sedikit limbah, cerdas, tenang. Meskipun nilai yang dihasilkan perekonomiannya hanya 40, namun biaya yang dikeluarkannya untuk produksi dan perbaikan kerusakan lingkungan hanya 10, sehingga pemasukan bersihnya menjadi 30. Meskipun pemasukan netto negara B lebih kecil dari negara A namun persentase kehilangan nilai perekonomiannya jauh lebih kecil – 25% berbanding 40% (Hoogendijk, 1996).[1]
Hoogendijk (1998) menyarankan pemerintah menghentikan sikap memihak kepada pengusaha besar, pengetatan kontrol terhadap investasi, mendorong substitusi impor dan konversi produk secara umum, melawan oligarki dan monopoli kecuali untuk komoditas yang dibutuhkan masyarakat luas, mengubah pajak pertambahan nilai (PPN) kerja menjadi PPN  energi dan lain-lain.

2. Membangun infrastruktur di daerah penghasil produk unggulan
Dalam Master Plan Percepatan Penguatan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah diplot Jawa merupakan basis pembangunan industri dan perdagangan sedangkan Sumatera berbasiskan perkebunan dan pertambangan. Penetapan itu menyebabkan banyak jalan, jembatan dibangun dan lapangan udara diperlebar di Pulau Jawa. Akibatnya laju alih fungsi lahan pertanian di tanah yang merupakan tersubur di Indonesa sangat cepat. Ini menyebabkan produksi pangan nasional menurun.
Sebaliknya di Pulau Sumatera yang tanahnya kurang subur sehingga lebih cocok untuk tanaman perkebunan, pembangunan infrastruktur tersebut jauh dari memadai. Hal ini menyebabkan pengangkutan hasil perkebunan menjadi mahal. Ongkos angkut kontainer dari Padang ke Jakarta sebaagi contoh, hampir empat kali lipat lebih tinggi dari biaya angkut Jakarta-Singapura (US$600 berbanding US$185).
Di Sumatra pengangkutan hasil perkebunan dan pertambangan umumnya dilakukan melalui jalan darat. Hal ini menyebabkan kerusakan berat pada jalan-jalan negara, provinsi dan kabupaten sehingga mengganggu transportasi umum secara keseluruhan dan beban bagi kas daerah/negara untuk memperbaikinya. Jenis transportasi lain seperti kereta api dan  kapal laut belum dikembangkan karena pemerintah daerah tidak memiliki dana untuk membangun jaringan rel kereta atau pelabuhan laut.

3. Mencerdaskan dan menghimbau masyarakat untuk hidup lebih membumi.
            Masyarakat harus diajak untuk hidup hemat, mengkonsumsi barang-barang lebih sedikit namun berkualitas baik. Untuk itu pajak iklan harus dibuat lebih tinggi khususnya untuk barang-barang lux dan bersifat pencemar sedangkan iklan layanan masyarakat diberi harga rendah, bahkan gratis (khususnya di media milik pemerintah)
Konsumen yang selama ini dimanjakan oleh iklan, harus kembali kepada akal sehat bahwa barang tetaplah barang, yang memiliki kemampuan terbatas untuk memuaskan keinginan manusia. Tubuh hanya memerlukan sedikit saja dari sekian banyak barang yang tersedia di pasar. Mengacu kepada Law of Diminshing Return, hati manusia bahkan lebih selektif karena tingkat kepuasannya akan berkurang seiring dengan bertambahnya koleksi barang yang dimiliki.
Menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa alamnya telah tergerus untuk memproduksi barang-barang yang tidak mereka butuhkan, atau dijual ke luar negeri dengan harga yang murah, mungkin membutuhkan kampanye jangka panjang.  Namun bukan tanpa pengharapan. Hidup sederhana dan menyukurinya serta menolak/mengecam semua bentuk pemborosan, telah diajarkan  semua agama. [2]

4.            Membuat skala prioritas tentang industri yang mendapat dukungan dari pemerintah.
Industri tersebut harus berbasis keunggulan lokal, yang hanya dimiliki oleh sedikit negara di dunia namun prospek pasar luas. Agar bisa mendorong pertumbuhan industri berbasis inovasi pemerintah harus menciptakan situasi yang kondusif, diantaranya mendorong inovasi serta Research and Development (R&D). Saat ini posisi Indonesia dalam bidang inovasi tidak terlalu membanggakan. Global Innovation Index Indonesia tahun 2012 berada di peringkat 100 dari 141 negara, terendah di antara negara ASEAN. Dana yang dibelanjakan pemerintah untuk R&D juga sangat rendah (hanya 0,08% dari GDP). Kondisi ini menyerupai kemunduran China pada akhir abad ke-18 hingga awal abad 19.[3]
.Jerman adalah satu contoh negara yang membangun industri berbasiskan inovasi. Jerman menduduki peringkat negara nomor 3 paling inovatif di dunia, memiliki hak paten terbanyak di dunia dan menghasilkan sekitar 80 orang peraih nobel. Industri penting yang dibangun dan dipilih negara ini untuk dikembangkan adalah industri mobil, konstruksi mesin, elektroteknik, teknologi lingkungan dan nanoteknologi. (http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de.go.id)
Indonesia bisa meniru Jerman dengan memilih komoditi tertentu untuk dikembangkan. Kita memiliki sawit dan karet yang berprospek besar untuk menyuplai sebagian besar kebutuhan dunia. Namun kita membiarkan pasar sawit dan karet dikuasai oleh pengusaha asing meskipun dari segi luas areal lebih banyak dimiliki oleh masyarakat (petani mandiri). Keadaan menjadi lebih tidak menguntungkan Indonesia karena sebagian besar industri pengolahan karet dan sawit bersifat semi processing sehingga pertambahan nilai dari produk akhirnya dinikmati negara lain.
Industri pangan di tanah air juga harus diperkuat. Ketergantungan Indonesia kepada produk pangan dari luar negeri harus dipangkas dengan cara mengembalikan pola dan jenis konsumsi sesuai dengan kebiasaan/kultur di masing-masing daerah.. Setiap daerah di nusantara ini memiliki tanaman pangan khas masing-masing. Pemerintah harus menghentikan upaya untuk menyeragamkan konsumsi pangan di seluruh daerah karena hal tersebut berakibat tekanan yang terlalu tinggi terhadap komoditas pangan tertentu (beras misalnya).
Khusus menyangkut impor daging sapi (atau ternak sapi), perlu dikaji lagi apakah Indonesia benar-benar membutuhkannya? Indonesia sendiri memiliki suplai ternak kecil (kambing, domba, babi), unggas dan ikan yang memadai.  Ini artinya dapat memenuhi kebutuhan akan daging hewani tanpa keharusan untuk memperoleh daging sapi atau kerbau.
Bahkan kita dapat menekan kebutuhan daging hewani –dengan jalan mengurangi konsumsi daging hewani dan beralih ke sumber protein nabati--karena menurut hasil studi, rata-rata konsumsi daging di dunia, telah melebihi standar hidup. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa level konsumsi daging oleh manusia telah menyamai konsumsi hewan karnivora bertubuh kecil (babi dan ikan-ikan kecil). Tingkat tropik manusia (dihitung dari tingkat tropik makanan dalam diet dan proporsi yang dikonsumsinya) mencapai  level 2,21. (level 1 untuk herbivore, level 2 untuk karnivora kecil, level 3 untuk karnivora besar dan level 4 untuk karnivora yang memiliki sedikit pemangsa seperti beruang kutub). Kita tidak membutuhkan konsumsi daging hewani sebanyak itu untuk dapat bertahan hidup.


Gambar 3 .
 Level tropik manusia menyamai hewan karnivora kecil, meningkat pesat karena konsumsi di negara yang ekonominya tengah berkembang pesat seperti India dan Cina (sumber: http://nationalgeographic.co.id)


5.                  Mendukung industri rumah tangga berciri khas Indonesia
Banyak kerajinan rakyat seperti batik, emas, perak dan batu sungai (akik) yang meskipun diproduksi dalam skala kecil dan menengah namun memiliki specialty atau niche sehingga terkenal hingga ke luar negeri.  Beberapa negara di dunia hidup dari industri yang cikal bakalnya merupakan kerajinan rumah tangga  seperti Swiss dengan industri jamnya serta Belanda dengan agroindustri bunga..
Nilai ekspor bunga tulip dari Belanda mencapai US$ 2,4 miliar dari ekspor langsung sedangkan jika digabungkan dengan nilai penjualan dari sistem lelang menjadi US$ 13 hingga 20 miliar per tahun. Keseriusan membangun industri bunga ini didukung dengan inovasi berupa munculnya varian baru bunga tulip setiap tahun serta adanya festival bunga. (www.liputan6.com). Bandingkan dengan industri batik kita yang nilai ekspornya masih rendah.


Tabel 1: Nilai Ekspor Batik Nasional 2004-2009
Tahun
Nilai Ekspor Batik Nasional
2004
US$ 34,41 juta
2005
US$ 12,46 juta
 2006
US$ 14,27 juta
2007
US$ 20,89 juta
2008
USS 32,28 juta
Triwulan I 2009
US$ 10,86 juta
                  Sumber: Suara Pembaruan, 3 Oktober 2009 (dalam  Ulum, tanpa tahun).

                  Sebagai kesimpulan Indonesia harus mereorientasi kebijakan ekonominya, tidak lagi sebatas mengejar pertumbuhan, tapi lebih fokus kepada efisiensi (menghasilkan barang yang benar-benar berguna) dan kehati-hatian memilih dan mendukung industri nasionaL. Langkah ini diharapkan dapat menghemat penggunaan sumberdaya alam, mengurangi kerusakan lingkungan dan masyarakat tidak terjebak dalam kehidupan boros.




DAFTAR BACAAN
Hoogendijk, W. 1996. Revolusi ekonomi Menuju Masa Depan Berkelanjutan Melalui Pembebasan Ekonomi dari Pengejaran Uang Semata. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kynge, J. 2007. Rahasia Sukses Ekonomi Cina; Kebangkitan Cina Menggeser Amerika Serikat sebaagi Superpower Ekonomi Dunia.  Bandung: Penerbit Mizan.
Manusia Semakin Karnivor, http://nationalgeographic.co.id, diakses tanggal 18 Desember 2013.
Prospek dan Tantangan Perekonomian Indonesia, bahan presentasi Faisal Basri 2 Desember 2013.
Tulip, Salah Satu Andalan Komoditi Ekspor Belanda, www. Liputan6.com, diakses tanggal 18 Desember 2013.
Ulum, I.MD. tanpa tahun. Batik  Dan Kontribusinya Terhadap Perekonomian Nasional.




[1] Cina adalah negara yang menikmati pertumbuhan ekonomi sangat tinggi, mencapai dua digit. Namun itu dibangun di atas pengorbanan lingkungan yang besar. Gurun di sebelah utara memakan kota-kota kecil dan besar yang ada ditepi-tepinya, sungai menghilang,  makanan tercemar hormon binatang dan zat kimia, munculnya penyakit baru seperti flu burung dan SARS hingga polusi yang buruk. Pembangunan ekonomi Cina juga menguras SDA dan merusak lingkungan di Indonesia, PNG dan tempat-tempat lain di dunia (Kynge, 2007, hal 160-161).
 [2] Masyarakat harus memilih antara produksi pada tingkat menengah dan gaya hidup sederhana dengan alam yang melimpah; atau lebih banyak produksi dengan kekayaan alam lebih sedikit. (Hoogendijk, 1996; hal 82)
[3] Rasulullah pernah berdiskusi dengan Jabir. “Mengapa engkau berlebih-lebihan.” Jabir menjawab, “Apakah didalam whudu tidak boleh berlebih-lebihan?”. Kemudian Rasulullah menjawab, “Ya, janganlah engkau berlebih-lebihan ketika whudu meskipun engkau berada di sungai”. (Mengapa Kita Harus Hidup Hemat, www.majelismunajat.com, diakses 17 Desember 2013)
[4] China mengalami kemandekan waktu itu dimungkinkan oleh beberapa hal: (1) kekakuan proses ujian kerajaan yang pada intinya mengabaikan sains, (2) penduduk yang terlalu banyak sehingga menghambat pengembangan mesin yang menghemat tenaga manusia, (3) pengundulan hutan yang menyebabkan China sulit memperoleh pasokan kayu bakar-sumber energi waktu itu, dan (4) pendanaan yang banyak di bidang militer dan pertahanan. (Kynge,  2007).