Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

15 Mei 2014

PELANGGARAN ETIKA MORAL PADA PERBURUAN DAN PERDAGANGAN SATWA LIAR


I. PENDAHULUAN
Konservasi hutan dan sumber daya yang ada di dalamnya saat ini lebih banyak terfokus kepada kepentingan untuk menyelamatkan kayu dan tanah hutan, yang dibanyak daerah telah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan dan pertanian. Meskipun kayu bernilai penting namun nilai manfaatnya hanya sekitar 5% dari total nilai hutan. Manfaat terbesar atau 95% justru  terletak pada sumberdaya non kayu, seperti tanaman obat-obatan dan satwa-satwanya.Berdasarkan gambaran tersebut sudah selayaknya kelestarian sumber daya genetik di hutan, termasuk satwa liar harus memperoleh perhatian yang serius.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mengalami laju kehilangan satwa liar tertinggi, di antaranya 140 jenis burung, 77 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan tawar, dan 281 jenis tumbuhan (www.wwf.or.id, 2014). Satwa yang kondisinya paling mengkhawatirkan adalah orang utan sehingga diperkirakan akan punah pada tahun 2020 jika perburuan liar masih terus berlanjut.
Penjualan satwa liar tidak saja dilakukan dengan cara konvensional yaitu di pasar hewan, juga ditawarkan secara online dan memiliki peminat yang luas baik untuk kepentingan pengobatan, keindahan dan prestise. Satwa langka ditawarkan dengan harga bervariasi, misalnya Kukang ditawarkan seharga Rp200 ribu/ekor, Siamang Rp3 juta/ekor, Elang Jawa Rp 2.000.000,- hingga Rp5 juta/ekor, dan Nuri Kepala Hitam seharga Rp1 juta/ekor  (www.antaranews.com, 2014).
Fenomena penjualan satwa liar yang berpotensi merusak lingkungan tersebut mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penjualan/perdagangan satwa liar. Fatwa tersebut diumumkan pada 4 Maret 2014 dan berlaku efektif sejak tanggal 22 Januari 2014.
Alasan dikeluarkan fatwa tersebut menurut Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Sholeh karena dalam perspektif Islam, dimensi kemanusiaan, lingkungan, dan sosial memiliki relasi ketuhanan, termasuk di dalamnya menjamin keberlangsungan hidup satwa terancam punah (www.bbc.co.uk, 2014). Fatwa tersebut menegaskan perburuan dan perdagangan hewan langka dikategorikan sebagai "berdosa dan tidak bermoral."
Provinsi Jambi merupakan wilayah yang menjadi perburuan satwa liar. Di daerah ini terdapat empat taman nasional; Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Duabelas dan Taman Nasional Berbak, serta kawasan hutan lindung lainnya yang banyak dihuni oleh satwa endemik dan terancam punah.  Sulitnya mengendalikan kasus perburuan illegal dan perdagangannya karena wilayah yang luas dan keterbatasan aparat untuk melakukan pengawasan.
Makalah ini berupaya untuk mengungkapkan permasalahan perburuan dan perdagangan satwa liar serta bentuk-bentuk pelanggaran etika dan moral pada kejadian tersebut. Salah satu pertanyaan yang ingin dijawab, apakah kemiskinan dapat dijadikan justifikasi terhadap perburuan dan perdagangan satwa liar tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perlindungan Terhadap Satwa Liar
Perlindungan terhadap satwa yang hidup di alam bebas telah diatur pemerintah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam UU tersebut, satwa  liar didefenisikan sebagai semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
Pada Pasal 21 ayat (2) dinyatakan dengan tegas larangan untuk : (a). menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; (b). menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;  (c). mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (d). memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (e). mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, menurut  Pasal 40 ayat (2) UU ini dapat dikenai hukuman maksimal 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Namun pemanfaatan satwa liar bukannya tidak boleh karena pemerintah memberikan izin untuk kegiatan-kegiatan seperti: pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan;  peragaan; pertukaran;   pemeliharaan untuk kesenangan (Pasal 36 ayat (1) yang dilakukan secara terbatas dan diaturan oleh peraturan pemerintah. Selain Undang-Undang No. 5 tahun 1990, aturan lain yang melindungi satwa liar tercantum dalam  Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Selain peraturan di atas, negara-negara di dunia secara teratur melaksanakan pertemuan setiap 2,5 tahun dan menghasilkan konvensi untuk melindungi satwa liar, mencegah perburuan dan perdagangannya. Konvensi tersebut diformalkan dalam bentuk Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES  menurut www.ksda-bali. go.id (2011)
a. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia;
b. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia;
c. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi;
d. Munculnya urgensi  kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol perdagangan internasional.
Mekanisme pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah yang digunakan oleh CITES berdasarkan mekanisme regulasi appendiks.  Daftar satwa yang dilindungi berdasarkan appendix sebagai berikut:

Tabel 1.
Jenis Appendix dan daftar satwa dilindungi di Indonesia
JENIS APPENDIX
KATEGORI
JUMLAH YANG DILINDUNGI
CONTOH SATWA YANG DILINDUNGI

Appendix I

seluruh spesies satwa liar yang terancam punah akibat segala bentuk perdagangan internasional/komersial. Izin hanya untuk penelitian dan penangkaran.

Dunia: sekitar 800 spesies
Indonesia :
mamalia 37 jenis, Aves 15 jenis, Reptil 9 jenis, Pisces 2 jenis, total 63 jenis satwa

semua jenis penyu, jalak bali,
komodo, orang utan, babirusa, harimau, beruang madu, badak jawa, tuntong, arwana kalimantan.

Appendix II

spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan

Dunia: sekitar 32.500 spesies. Indonesia : mamalia 96 jenis, Aves 239 jenis, Reptil 27 jenisdll. Total 546 jenis satwa

trenggiling, serigala, merak hijau, gelatik, beo, beberapa jenis kura-kura, ular pitas, beberapa ular kobra, dll

Appendix III

spesies satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara dan memberikan pilihan bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dimasukkan ke Appendix II atau Appendix I

Dunia: sekitar 300 spesies.
Indonesia : tidak ada spesies yang masuk dalam Appendix III.


Sumber: www.ksda-bali. go.id (2011)

Menurut International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dalam  Pardosi (2010), terdapat beberapa kategori konservasi satwa liar:
1.   Punah (Extinct; EX)
Suatu takson dinyatakan punah apabila survei secara terus menerus pada habitat yang diketahui pada rentang waktu tertentu gagal untuk menemukan satu individu. Survei dilakukan sesuai dengan siklus kehidupan dari spesies yang dipelajari.
2.   Punah di alam liar (Extinct in the wild; EW)
Suatu takson dinyatakan punah di alam liar ketika takson tersebut diketahui hanya bisa ditemui di penangkaran tertentu.
3.   Kritis atau sangat terancam punah (Critically endangered; CR)
Suatu takson dinyatakan kritis atau sangat terancam akan kepunahan apabila memenuhi salah satu kriteria A sampai E untuk sangat terancam punah sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam liar.
4.   Terancam (Endangered; EN)
Suatu takson dinyatakan genting ketika dinyatakan memenuhi salah satu kriteria A sampai E untuk keadaan genting, sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam liar.
5.   Rentan (Vulnerable; VU)
Suatu takson dinyatakan rentan ketika data-data mengindikasikan kesesuaian dengan salah satu kriteria A sampai E untuk rentan atau rawan, sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam liar.
6.   Hampir Terancam (Near Threatened; NT)
Suatu takson dinyatakan mendekati terancam punah apabila dalam evaluasi tidak memenuhi kategori kritis, genting, atau rentan pada saat ini tetapi mendekati kualifikasi atau dinilai akan memenuhi kategori terancam punah dalam waktu dekat.

2.1. Konsep Etika Dan Moral
            Etika dan moral merupakan pembeda antara masyarakat yang beradab dengan yang kurang/tidak beradab. Permasalahan etika muncul ketika keinginan suatu pihak untuk mencapai tujuannya, menyebabkan pihak lain menderita atau terhalang mencapai tujuannya.
Ada banyak sekali teori etika yang dikemukakan para ahli atau filsuf (Kartodiharjo, tanpa tahun),  diantara yang dominan adalah:
A.    Egoisme
Terdapat dua pengertian mengenai egoisme yaitu egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (selfish) tanpa memperhitungkan akibat perbuatannya pada orang lain, sedangkan egoisme etis menjelaskan tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self interest), namun sebatas hal tersebut tidak mengganggu kepentingan orang lain.
B.    Utilitarianisme
Menurut teori ini suatu tindakan dikatakan benar apabila membawa manfaat bagi sebanyak-banyaknya anggota masyarakat. Disini ada anggapan kuat bahwa setiap orang sama pentingnya.
C.    Deontologi
Suatu perbuatan tidak bisa dikatakan baik hanya karena hasilnya baik.hal ini, kewajiban moral bersifat mutlak, tanpa ada pengecualian apapun dan tanpa dikaitkan dengan keinginan dan tujuan apapun.
 D.     Teori Hak
Pada teori ini, suatu tindakan dianggap benar bila sesuai dengan hak asasi manusia (HAM), yang bersumber pada hak hukum (legal rights), hak moral dan kemanusiaan (moral, human rights) dan hak kontraktual (contractual rights).
E.      Teori Keutamaan (Virtue Theory) 
Faham ini menekankan pada sikap atau tekad seorang manusia menjadi manusia utama dan bukan sebagai manusia hina. Contoh sifat keutamaan, antara lain: kebijaksanaan, keadilan dan kerendahan hati.
F.      Etika Teonom
Pada teori ini sifat manusia dikaitkan dengan hubungan dan kehendak Tuhan sesuai dengan tuntunan kitab suci.

2.3. Masalah Etika Moral Pada Perburuan dan Perdagangan Satwa Liar
Maraknya perburuan dan perdagangan satwa liar sangat terkait kepada lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Hal ini diungkapkan Wildlife Conservation Society (WCS) dalam Pardosi (2010).  Salah satu contoh lemahnya penegakan hukum adalah kasus pidana pembunuhan orangutan dilindungi di  Pengadilan Negeri Tenggarong beberapa tahun lalu. Tersangka hanya dijatuhi hukuman penjara masing-masing selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta) meskipun bukti di persidangan menunjukkan adanya kejahatan terorganisir dalam perburuan orang utan tersebut. Banyak pihak mengharapkan hakim memberikan hukuman yang lebih berat sekaligus merupakan kampanye terhadap perlindungan dan penyelamatan satwa liar. (irfan dkk, tanpa tahun).
Pemerintah telah menyiapkan lembaga yang bertugas melindungi hutan dan biodiversitas di dalamnya yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) namun lembaga ini belum mampu memberikan perindungan yang optimal. Menurut Irfan dkk ( tanpa tahun), hal ini disebabkan kurangnya personil serta fasilitas yang dimiliki, yang secara langsung mempengaruhi proses tata cara dalam pelaksanaan upaya perlindungan hutan dan satwa yang dilindungi.
Lemahnya penegakan hukum dan keterbatasan lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk melindungi satwa liar tersebut diperparah lagi dengan kuatnya keinginan manusia untuk mengoleksi dan menikmati produk olahan satwa liar guna kesenangan pribadi. Jika masyarakat menghentikan permintaan atas satwa liar tersebut maka otomatis perdagangan satwa liar tidak marak seperti saat ini. (www.wwf.or.id. 2012).

Tabel 2.
Jenis dan Harga Menu Olahan Monyet Ekor Panjang Di Jakarta

No
Jenis Olahan
Harga (Rp)

1
Sate monyet

40.000 – 100.000 per porsi

2
Abon (biawak)

25.000 – 50.000 per bungkus

3
Otak monyet

300.000 – 500.000


Kontribusi perdagangan spesies langka di beberapa negara tidak dapat dikatakan sedikit, terutama dalam menyediakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan lokal (Soehartono dan Ani, 2003). Hal ini terutama terlihat pada daerah pinggiran hutan yang masyarakatnya hidup dalam kemiskinan dan tingginya angka pengangguran.


  
Tabel 3.
Perdagangan Bagian Tubuh Penyu di Teluk Penyu Cilacap
pada Februari-April 2005

No
Jenis Barang
Harga (Rp
Jumlah
Asal
1
Opsetan
35.000-1.500.000
175
Situbondo & lokal
2
Pipa Rokok
7.000
20
Situbondo
3
Cincin 
3.500 -5.000
300
Lokal & Situbondo
4
Gelang
7.000 - 10.000
65
Lokal & Situbondo
5
Minyak bulus 
15.000 -50.000
500
Lokal
6
Dendeng 
4000
25
Lokal
7
Daging matang 
1000
20
Lokal
8
Telur
2000
400
Lokal
9
Tukik kering
35.000 - 50.000
5
Situbondo
10
Penyu hidup
35.000-100.000
1
Lokal

Sumber: www.profauna.net

            Indonesia merupakan daerah penyuplai dan pasar yang menarik dalam menjajakan satwa liar karena hutan tropis  yang dimiliki sangat luas dan mengandung keragaman biodiversitas yang sangat kaya. Mudahnya akses ke luar negeri semakin memperburuk kondisi satwa liar ini di habitat aslinya.



Tabel 4.
Fakta-fakta tentang Perdagangan Satwa Liar di Indonesia Tahun 2009
No
Jenis Fakta
Keterangan
1
Propinsi paling banyak memperdagangkan satwa dilindungi
Jawa Timur, Sumsel dan Bali
2
Kota paling banyak memperdagangkan satwa dilindungi
Pasar Burung Depok di Kota Solo, Ambarawa. , Surabaya, Semarang dan Jakarta
3
jalur penyelundupan satwa langka ke luar negeri
Bandara Soekarno Hatta, Bandara Ngurah Rai Bali dan Kepulauan Talaud di Sulawesi
4
Perdagangan satwa di Pasar Burung
Dari 70 pasar burung di 58 kota, 14 pasar memperdagangkan burung nuri dan kakatua, 21 pasar memperdagangkan primata, 11 pasar memperdagangkan mamalia dan 13 pasar memperdagangkan raptor (burung pemangsa) dan 11 pasar memperdagangkan jenis burung berkicau yang dilindungi.

Sumber: www.iwf.or.id (2014)

III. DISKUSI DAN PEMBAHASAN
            Penciptaan langit dan bumi serta terjadnya siang malam menurut Al Quran merupakan fenomena yang seharusnya dipelajari manusia agar dia dapat mengenal dirinya, mengenal adanya yang Maha Pengatur dan akhirnya beriman dan bertaqwa kepada yang Maha Mengatur tersebut. Meskipun bumi dan isinya diciptakan untk kesejahteraan manusia (antropocentris), tidak berarti manusia dapat menggunakannya dengan sesuka hati karena semua perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan ke hadapan Tuhan yang Maha Mengatur alam semesta. Apalagi menurut Quran Surah Ar-Ruum 41, banyak kerusakan di bumi disebabkan oleh ulah manusia.
            Pada konsep pembangunan berkelanjutan, semua kegiatan pembangunan termasuk aktivitas masyarakat yang hidup di zaman sekarang harus mempertimbangkan generasi yang akan datang. Generasi mendatang tidak akan bisa bertahan hidup jika lingkungan telah rusak atau kitayang hidup di zaman ini akan dikutuk karena mewarisi alam yang tercemar dan daya dukungnya amat rendah.
Melihat kepada kasus perburuan dan perdagangan liar, banyak sekali prinsip etika yang telah dilanggar. Manusia menjadi begitu egois dan gila kehidupan hedonis (kehidupan yang mengagungkan kemewahan hidup di dunia). Maraknya perdagangan di internet dan pasar satwa menunjukkan hal tersebut (www.antaranews.com).  Hanya dengan alasan fashion dan prestise, ribuan ular, harimau, atau buaya dibunuh untuk dijadikan jeket, sepatu, tas, ikat pinggang dan barang mewah lainnya.
Pelanggaran etika dan moral juga terjadi di lingkungan penegakan hukum dan pejabat pemerintah. Hukuman maksimal 5 tahun dan denda yang bisa mencapai 100.000.000,- terhadap pelaku perburuan dan perdagangan liar, ternyata bisa ditawar dan dinegoisasikan. Tak heran bila hukuman yang diberikan seringkali merupakan hukuman minimal sehingga tidak memberi efek jera kepada pelakunya. (Irfan dkk, tanpa tahun).
Di kalangan masyarakat bawah, kemiskinan menjadi alasan utama mereka melakukan perburuan satwa liar. Mereka tanpa sadar menjadi perpanjangan tangan orang-orang kaya dan pedagang yang serakah sementara imbalan yang mereka peroleh tidak sebanyak keuntungan yang mereka berikan kepada para pelaku utama tersebut.
Menurut Kartodiharjo (2013), Undang-undang menyangkut hutan seringkali tidak mempertimbangkan permasalahan mendasar yang terjadi di hutan dan kawasan sekitarnya. Salah satu permasalahan mendasar yang tak tersentuh pemerintah itu adalah kemiskinan masyarakat. Menurut ajaran Islam, kemiskinan akan mendekatkan seseorang kepada kekafiran. Dalam arti yang lebih luas, kemiskinan akan mendorong seseorang untuk berbuat kejahatan.
Siapa yang bertanggung jawab terhadapnya maraknya perburuan dan perdagangan liar ini? Yang pertamakali tentu saja pemerintah karena negara memiliki perangkat negara, dana dan wewenang untuk mengendalikan semua tindakan negatif yang merugikan warga negara lain dan lingkungan. Jika ada aparat negara yang bermain-main dalam menegakkan hukum dan melindungi alam, maka seharusnya dihukum berat karena telah menyalahi sumpahnya sebagai pegawai negara.
Namun masyarakat juga tidak terlepas dari kesalahan. Ketidakmampuan mereka menahan hawa nafsu dan berpikir lebih bijaksana dalam memperlakukan alam, telah menyebabkan kerusakan yang parah di lingkungan hutan. Nafsu ingin menguasai alam (antropecentris) ini harus dikendalikan oleh diri mereka sendiri dan peraturan perundang-undangan yang ada.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
            Pelanggaran etika dan moral dalam kasus perburuan dan perdagangansatwa liar terjadi di semua level mulai dari tatanan kenegaraan hingga masyarakat bawah. Di tataran lebih tinggi melibatkan pejabat penegak hukum yang korup dan pegawai pemerintah yang semangatnya lemah dalam melaksanakan tugasnya mengawasi lingkungan.
Pelanggaran etika moral di tingkat masyarakat terjadi di level tinggi atau masyarakat kelas atas terlihat dengan adanya permintaan yang tinggi terhadap satwa liar, baik untuk kepentingan fashion, prestise, kesehatan dan makanan serta alasan-alasan lain yang mereka pandang baik. Sedangkan masyarakat bawah melihat peluang berburu hewan liar sebagai tambahan pendapatan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.



4.2. Saran
Guna mengatasi permasalahan perburuan dan perdagangan satwa liar, dapat disarankan sebagai berikut:
1. meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya perlindungan lingkungan termasuk biodiversitas yang ada di dalamnya untuk generasi yang ada sekarang dan yang akan datang.
2. meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat pedesaan dan kawasan sekitar hutan sehingga kemiskinan tidak lagi menjadi alasan mereka melakukan perburuan dan perdagangan satwa liar.
3. memperbaiki perangkat hukum yang ada saat ini sehingga menutup celah terjadinya transaksi hukum.
4. memberi hukuman berat kepada pejabat negara yang melakukan kecurangan atau menggunakan jabatannya untuk memuluskan tindakan perburuan dan perdagangan satwa liar.
5. menutup izin pasar hewan dan kelompok-kelompok berkedok pecinta lingkungan yang merupakan organisasi tersembunyi perdagangan satwa liar.




DAFTAR PUSTAKA

CITES, Konvensi Internasional Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar, diunduh tanggal 9 September 2011 tersedia pada http://www.ksda-bali.go.id/?p=314
Haryadi K. tanpa tahun. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Pengelolaan Sumber daya Alam; Narasi-Aktor-Politik Jaringan. Unpublished book.
http//www.iwf.or.id, diakses tanggal 8 Mei 2014
http://www.profauna.net, diakses tanggal 8 Mei 2014
Irfan M, Hamongpranoto S dan Prija D. tanpa tahun. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Satwa Orang Utan Yang Dilindungi Menurut Undang-undang no. 5 tahun 1990 di Wilayah Ijin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit; Studi Kasus di Wilayah Hukum Kabupaten Kutai Kartanegara. Universitas Brawijaya Malang.
Kartodiharjo H (Ed). 2013. Kembali ke Jalan yang Lurus. Yogyakarta: Forci Development bekerjasama dengan Tanah Air Beta.
Menyelamatkan yang Tersisa dari Perdagangan Ilegal Satwa Liar. 2012. Diunduh tanggal  29 April 2014, tersedia pada http://www.wwf.or.id.
MUI: Perdagangan satwa langka 'haram', diunduh tanggal  29 April 2014, tersedia pada  www.bbc.co.uk.
Pardosi EE. 2010. Nilai Ekonomi Perdagangan Satwa Liar. http. repository.usu.ac.id , diakses tanggal 29 April 2014.
Perdagangan satwa secara online makin memprihatinkan, diunduh tanggal  29 April 2014, tersedia pada www.antaranews.com.
Setneg RI. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Setneg RI.

 Soehartono T dan Ani M. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency.