Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

25 November 2010

PEREMPUAN YANG TAK TERINTIMIDASI KEADAAN


Jika saat ini ada yang bertanya, siapakah tokoh wanita yang paling menarik hati saya? Dengan mantap saya akan menjawab; Elizabeth Bennet. Tokoh rekaan Jane Austin dalam novelnya “Pride and Prejudice”  tersebut berhasil memenangkan hati saya karena kekukuhan hatinya dalam mempertahankan prinsip hidup. Cinta yang benar adalah cinta yang dibangun atas dasar penghormatan. Elizabeth atau Lizzy tidak dapat mentolerir siapapun atau pandangan apapun yang meremehkan dirinya, apalagi jika itu dikaitkan dengan keperempuanan dirinya atau status keluarganya.

Elizabeth menyadari diri dan keempat saudara perempuannya adalah beban keluarga. Tanpa seorang pun saudara laki-laki, nama keluarga Bennet, tanah dan rumah keluarga akan jatuh ke ponakan laki-laki sang ayah karena anak perempuan di daratan Inggris pada abad 18 tidak memperoleh hak waris. Dalam kondisi seperti itu, hanya perkawinanlah yang dapat menyelamatkan mereka. Namun hal tersebut tidak mudah. Jumlah laki-laki kaya, cukup kaya, atau bangsawan tidak banyak. Para perempuan harus bertarung dengan mengandalkan kualitas yang mereka miliki; kecantikan, nama keluarga dan harta. No money, no connection, nasib perempuan menjadi tidak jelas.

Elizabeth tidak membiarkan situasi tersebut mengintimidasi dirinya. Baginya lebih baik tidak menikah jika dia tidak menemukan laki-laki yang menghargai pendapatnya, menerima kondisi keluarganya yang tidak sempurna dan memahami hidupnya yang sederhana. Kemampuan Elizabeth untuk mendidik dirinya dan mempertahankan prinsip tersebut amat mengagumkan saya. Tidak banyak perempuan yang seperti itu. Sangat banyak perempuan yang menyerah atas desakan keluarga, keadaan dan mengorbankan prinsip atau cita-citanya agar semua orang senang dan mau mencintai dirinya.

Inilah yang nampak di Indonesia pada abad 21 ini. Perempuanlah yang paling banyak menderita karena kemiskinan keluarganya. Jutaan perempuan di Indonesia yang hidup tanpa harta, tanpa koneksi, ternyata juga tidak mendapat perlindungan dari laki-laki yang menjadi suami atau saudara laki-lakinya. Mereka terpaksa bekerja di sektor non formal dengan gaji rendah, resiko tinggi dan mengabaikan martabat mereka. Indonesia memiliki norma dan ide yang bagus tentang status perempuan namun gagal menjadikannya realita.

Kisah tragis yang dialami Sumiyati, tenaga kerja wanita (TKW) kita yang disiksa di Arab Saudi mengingatkan saya bahwa institusi negara belum dapat memberi kesetaraan, kesejahteraan dan perlindungan untuk perempuan. Demikian juga di sektor formal khususnya di jajaran pemerintahan, perempuan yang memiliki pendidikan yang baik dan kecakapan dalam bekerja masih sulit mencapai posisi puncak karena dilemahkan oleh faktor ‘keperempuanannya’. Perempuan harus dua kali lebih baik dari koleganya yang laki-laki agar dapat menduduki posisi strategis.

Saya menjadi bertanya-tanya, masih relevankah rangkaian kata muluk dan acap kali didengungkan bahwa agama dan budaya timur menghormati kaum perempuan? Perempuan yang manakah yang memperoleh kehormatan tersebut? Perempuan kelas atas atau tertentu sajakah? Berapa persenkah jumlah mereka dari seluruh perempuan yang ada di negeri ini? Bagaimana dengan perempuan yang tidak beruntung karena dilahirkan dari keluarga miskin?

Dalam kasus tenaga kerja wanita yang dikirim ke luar negeri yang jumlahnya pada tahun 2010 mencapai  465.485 orang atau naik 37,314 persen dari angka tahun lalu, hasil kerja keras mereka belum tentu dapat menjadi jaminan bahwa mereka akan lebih dihormati di tengah masyarakat atau keluarganya. Banyak diantara mereka, ketika pulang ke tanah air menemukan bahwa uang yang mereka kirim ternyata disalahkelola oleh suami atau saudara laki-laki mereka. Mereka belum dapat hidup tenang atau pensiun menjadi TKW, sebaliknya mereka dipaksa atau terpaksa kembali bekerja agar anggota keluarganya dapat hidup layak lebih lama. Sebuah pengorbanan yang harusnya memperoleh penghormatan yang pantas.

Sudah saatnya kita berhenti memuja diri sendiri dengan mengatakan bahwa perempuan di Indonesia memperoleh tempat terhormat. Sudah saatnya pula perempuan Indonesia berhenti bermimpi bahwa mereka dapat mengandalkan para laki-laki untuk melindungi mereka. Tanpa pendidikan, tanpa prinsip hidup yang diperjuangkan dengan ketat dan sungguh-sungguh, tak akan ada penghormatan dari masyarakat dan laki-laki. Dan cinta yang dibangun tidak atas dasar penghormatan tersebut, akan segera lapuk dimakan waktu dan kecantikan yang memudar.

Para perempuan, ayo didik dirimu menjadi lebih baik dan bermartabat. Jangan biarkan kesulitan mengintimidasi dirimu.

24 November 2010

RECITING AL QUR'AN



Despite I am quite busy with my own 'world' , there is still time 
to learn  Al Qur'an.

18 November 2010

A Catchy Package Tour for Teachers, Students and Me. Why not?


In my youth, sightseeing was not something I liked very much. As a bookworm, staying in my room to read comic books or magazines was my fave activity before I read again my text books.

I started to be fond of going sightseeing since I got a chance to live in Queensland for 2 years. Oz is the first foreign country I visited. I spent my weekends and vacations to explore Brisbane, the capital city, by bus or train and sometimes on foot. I loved to stroll around the city garden with its elegant trees. The chairs near the trees seemed to tease me to sit on one of them for a little while.

Sometimes I just walked around the city center, doing window shopping, or watching Aborigine’ street musicians and painters. I also took many pictures of Queenslander’ houses, museums, government buildings and campus areas. On another occasion, I went to China Town to get some groceries as well as to buy some used books, souvenirs, and to watch the palm readers in their tent. I also enjoyed my going to the blue Gold Coast to admire its beauty and clean.

I bring the joy of sightseeing to Jambi, my current residence. Along with my husband and kiddos, I start to adore a travel to Padang beach, the city where I was born and grew up. I used to think that going there was something ordinary. I also appreciate the handycrafts and the embroideries made by the local people of Bukitinggi.

  In other occasions, I and my family go to the praire in Padang Bolak, North Sumatra where hundreds of cattle are let free and fed there. We also visit small cities in  Jambi Province like Muaro Bungo, Kuala Tungkal or sometimes stay for a night in the hill of Kerinci, enjoying the view of tea trees and waiting for the sunrise.

Somes spots in Jambi City also become the target of my visits. The place I visit quite often with some friends is the Lake Sipin. This small lake with only 42 hectares large has one restaurant. Its veranda overlooks the lake. No wonder I do like to have my lunch here. Finishing our lunch, I and my friends usually buy some fresh fish such as Toman, Lambak, atau Baung for our family’s dinner.

The detailed and catchy look of these tourism spots leaves a unique feeling, proud of being an Indonesian. It also enriches my horizon as well as lightens up my life burden. I am sure my appreciation toward the tourism spots in Indonesia comes from the experience I had during my staying abroad. My country’s uniqueness is above another countries’. Most of tourism areas in Australian or Singapore are artificial, in contrary to my country.

In Oz the package of tourism tour is well managed to help the travellers. As one example, the brochures of how to get to Gold Coast or Australian Zoo and the cost of the entrance fee, either by train or by bus is obtained easily. We can find them in campuses or train stations or guest houses. In Jambi, the tourism brochures can only be found in the travel agencies. Most brochures are dominated by abroad or hajj/umroh trips. I hardly find any brochures of domestic tourism packages. Even in Sultan Thaha airport, I can’t find those kinds of brochure. Pathetic, huh??

No wonder the tourism packages to Malaysia, Singapore and Thailand are more popular than those to Bali or Ancol. Quite surprisingly the domestic tourists for the trips are not solely those with high income. Some of them are teachers and middle rank professionals such as civil servants or private company employees.

How could it happen? Why Indonesians prefer to make rich other countries in tourism sector than their own country?? “We need a short time and affordable tourism package, and an agency that will take care of us during the trip,” said Juslina, a teacher who ever joined a trip to those countries. “We do not have relatives there, so we entrust the travel agency to guide us,” said this 42 year old teacher. In the past she just went to a tourism site or area in Indonesia where she has relatives or acquitances there.

Juslina said that those countries’ tourism spots were not too interesting. “The scenery is ordinary. I could not buy many souvenirs or foods because they are out of my taste and aren’t cheap. However, I am proud of myself since I had a chance to see other countries,” she said and laughed, recalled the memory of 5 days trip to Singapore, Malaysia and Thailand. She refused to be regarded as a less nationalistic Indonesian. She just didn’t find an agency which offers a package tour to tourism areas in Indonesia.

If there were travel agencies that provide domestic tourism packages and the services given are as convinient as those of abroad trips, would you like to join it? Yuni, a vice principal of senior high school in Jambi said yes. “Almost every year my school brings students to go on field trip. I and my colleagues work together to take care of them. That’s not easy, you know. It’s tiring. The students’ enthusiasm is quite difficult to control.” she added.

Teachers and students are the market for tourism business that is not touched yet. It just takes 55 minutes by plane from Jambi to Jakarta.If the trip can be packaged into a small and affordable one, let say, a package of Rp2 millions for two nights and offered to schools or offices, I am sure many people will like it. That would be more tempting when discounts are given in certain months as the airplane companies also reduce the airfare tickets in the off-peak season. The trip to Ancol or other tourism areas in Indonesia will be in the hand of teacher, students and middle class employees.

Of course, a good collaboration between travel agencies and managements of tourism area is needed to be able to manage a short time and affordable package tour, with information that can be easily accessed by potential tourists. By providing handy package tour, there will come more tourists from regions outside Jakarta to Ancol or another tourism area, and are proud of being the guests.

10 November 2010

BERHAJI DENGAN AIR MATA TERTUMPAH

Ibadah haji yang saya laksanakan tahun 2009 lalu merupakan pengalaman spritual yang amat mengesankan dan banyak menumpahkan air mata. Selain rindu menjadi tamu Allah, saya baru saja kehilangan ibu yang sangat saya cintai. Perasaan haru biru saya makin pekat karena suami yang saya harapkan mau ikut berhaji, mengatakan dirinya belum siap.

Namun suami mengizinkan saya untuk berangkat haji dengan bergabung ke salah satu KBIH yang ada di Kota Jambi. Selama persiapan keberangkatan dan manasik, perasaan saya masih enteng-enteng saja. Saya yakin dengan pengalaman selama ini, sering bertugas di luar kota dan luar negeri, pergi berhaji sendiri tidak akan lebih sulit. Apalagi di grup saya ternyata banyak perempuan yang pergi sendiri karena suaminya sudah meninggal atau memiliki alasan yang sama dengan saya. Tekad saya pun makin kuat. Saya harus berangkat untuk memenuhi panggilan Allah, juga untuk mengobati hati saya yang duka, mendoakan ibu agar hidupnya lebih lapang di alam sana dan suami mendapat hidayah.

Keinginan untuk menangis mulai muncul ketika saya sudah dilepas ke dalam pagar asrama haji dan gema Labaik allahumma labaik terdengar. Dengan susah payah saya menyembunyikan air mata. Di sekitar saya jemaah lain berada dalam kondisi hati yang riang gembira. Kok saya malah menangis?

Dalam pesawat yang membawa rombongan ke Medinah, saya menangis diam-diam. Saya terkenang ibu yang meninggal akibat sakit serosis hati yang tidak terdeteksi sebelumnya. Saya menyesali kelalaian sebagai anak, mengapa saya tidak sensitif terhadap penderitaan ibu? Sambil membaca Al-Quran, saya menyeka air mata yang membanjiri pipi. Kehilangan suami mulai terasa, seandainya dia ada di samping saya tentu kami dapat berbagi kesedihan ini.

Perasaan saya kembali campur aduk ketika mendarat di Medinah. Begitu rombongan diizinkan keluar dengan tertib, saya langsung menghambur ke tanah, menangis dan bersujud syukur. Allahuakbar, akhirnya saya dapat menginjak tanah dan menghirup udara kota nabi Islam ini.

Pada shalat subuh pertama di masjid Nabawi, saya kembali terisak-isak bersama jemaah lain mengikuti imam yang membaca ayat Al-Quran dengan syahdu dan suara bergetar. Tiada hari tanpa air mata. Saya menangis di mana-mana, ketika membaca Al-Quran sambil bersandar ke tonggak masjid, ketika shalat dan berdoa di Raudhah, waktu memasuki masjidil haram dan melihat Kabah untuk pertama kali, saat wukuf dan puluhan tempat lain di kedua kota suci tersebut.

Sekarang saya memahami, ternyata air mata tersebut telah membuat ibadah saya makin khusu’. Perasaan terharu dan lembut itu lah yang membedakan kekhusu’an ibadah saya di tanah suci dengan di tanah air. Di Jambi saya jarang menangis, saya harus tegar karena urusan sehari-hari dan pekerjaan yang menuntut hal tersebut.

Karena tidak didampingi suami, selama di Mekah dan Medinah saya dinasehati untuk tidak pernah keluar maktab sendirian. Alhamdulillah, saya dipertemukan dengan beberapa orang teman setia dan baik hati.

Meski tidak didamping suami, ibadah saya lancar dan aman hingga kembali ke tanah air. Resepnya adalah menyerahkan diri kepada Allah, selalu hati-hati dan mengurangi kegiatan keluar maktab yang tidak berhubungan dengan ibadah haji. Ibadah lain yang saya percaya banyak menolong saya selama di sana adalah memperbanyak shalat sunat taubah dan bersedeqah.

Sebelum meninggalkan maktab, atau setiap kali perasaan saya terganggu karena interaksi tak menyenangkan dengan jemaah lain, saya segera berwuduk dan shalat sunat taubah. Saya juga menyediakan duit kecil 1 atau 2 riyal untuk diselipkan ke tangan para petugas kebersihan masjid. Saya mendengar mereka menerima gaji sederhana sehingga patut untuk dibantu.

Alhamdulillah, Allah menolong saya melalui orang-orang yang berbaik hati memudahkan urusan saya. Suatu kali, ketika antri untuk mengambil air zam-zam, seorang wanita berparas Arab meminta tabung air saya dan mengisinya dengan air zam-zam sehingga saya bisa segera keluar dari antrian. Saya juga bisa menerobos Hijr Ismail, shalat dan berdoa. Ketika kesulitan keluar dari Hijr Ismail karena desakan arus manusia yang ingin masuk, saya dituntun oleh seorang Turki dan dibawa ke pinggiran kabah yang agak lengang.

Kebahagian lain yang saya peroleh adalah suami saya akhirnya berangkat haji tahun ini. Allah membukakan hatinya.

4 November 2010

No Easy Way



I came to Balitbangda with a mountain of hopes and optimisms. In my mind, this new place would fulfill the emptiness I felt during my career period in Disnak Keswan. But one month here already kills my hope one by one. It’s not easy to reach what I dream of. I am surrounded by hopeless people. They don’t know the real aim of working in Balitbangda.


Yet, some of them are cunning. Their position is just to enrich themselves. Only a few have commitment to develop their careers as capable researchers. No wonder the circumstance here makes me ‘difficult to breath’.


I am aware that some of these people look at me suspiciously. Hey, people…Are you afraid of my grabbing your position? You know what friends, I have left a prestigious position in Disnak. If I want your position and Allah The Almighty decides that too, I will get it. So please be nice to me! Don’t look down on me!.


Today our proposal (the group of ignored researchers) aimed at getting small fund was rejected. Actually the fund was meant to pay experts who would be invited to enlarge our horizones in many fields of study. He (the head of something) didn’t give any prospect at all and considered it as unimportant. How come he didn’t understand our arguments? How can we develop our profesionalism well if there is no input for our brain?


I am asking my self, why it’s so hard to sacrifice a little fund to support this program? It’s only Rp3 millions. I really don’t understand what the hell is wrong with this office and its people. They funded hundred millions rupiah for reasearch project that is not clear yet the outcome, but dismissed a program for enhancing researcher’s quality.


They don’t understand that Balitbangda needs qualified researchers. Without it, this institution will be ruined. Now the last hope is only on our new boss, the head of Balitbangda. Allah, give him a bit of YOUR light so he can lead us to get out of this darkness.


My life is not easy. Indeed it is. YOU have promised that the patient one will get happiness at the end. So, i am going to get through it patiently.

3 November 2010

INTEGRASI SAWIT - SAPI DI PROVINSI JAMBI; Mengapa Belum Dilirik?


Program Integrasi Perkebunan dengan Peternakan yang digagas Departemen Pertanian RI sejak tahun 2007, yang diaplikasikan di Provinsi Jambi melalui kegiatan integrasi tanaman sawit dengan ternak sapi terkesan berjalan lamban. Empat tahun sudah usia program ini, gaungnya cukup nyaring di telinga para pejabat pemerintah dan pengusaha sawit namun di lapangan perkembangannya masih jauh dari harapan.


Pernyataan di atas bukannya tanpa alasan. Beberapa fakta dapat dikemukakan pada tulisan ini. Populasi sapi di wilayah pengembangan kebun sawit belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Di Kabupaten Muaro Jambi yang memiliki kebun sawit terluas di Provinsi Jambi yaitu sekitar 127.614 Ha pada tahun 2008, populasi sapinya sekitar 14.743 ekor dan pada tahun 2009 naik sedikit menjadi 16.354 ekor. Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan luas kebun sawit 84.598 Ha, populasi sapinya 8.726 ekor, dan pada tahun 2009 meningkat sedikit menjadi 11.075 ekor.


Jika 1 hektar kebun sawit dapat menampung 3 ekor sapi, maka di kedua kabupaten itu saja, berpotensi diternakkan sedikitnya 642.636 ekor sapi. Namun sayang potensi tersebut belum digarap serius. Seandainya integrasi sawit-sapi ini telah berjalan dengan baik dan sepertiga saja dari lahan sawit tersebut diintegrasikan dengan ternak sapi, sudah lama Provinsi Jambi berswasembada daging sapi. Menurut Road Map Percepatan Swasembada Daging Sapi di Provinsi Jambi yang disusun Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi, untuk mencapai level swasembada tersebut hanya dibutuhkan sekitar 198.000 ekor sapi.


Demikian juga animo perusahaan swasta perkebunan untuk berpartisipasi masih rendah. Dari data tahun 2009, di Provinsi Jambi terdapat 39 perusahaan perkebunan sawit dengan pola kemitraan dan 12 perusahaan perkebunan sawit dengan pola PIR trans. Namun dari jumlah tersebut, perusahaan yang menerapkan integrasi sawit-sapi hanya segelintir; PT. Asian Agri, PT. Kirana Sekernan dan beberapa perusahaan lainnya.


Bagi masyarakat pekebun sawit, konsep program integrasi sawit-sapi ini mungkin belum dipahami secara benar. Hal ini terlihat dari sedikitnya lokasi baru peternakan sapi di kebun sawit milik masyarakat padahal terdapat sekitar 168.053 petani sawit di Provinsi Jambi (Jambi Dalam Angka, 2008). Jika dikatakan mereka tidak mampu membeli bakalan sapi, rasanya kurang tepat karena petani sawit termasuk kategori petani yang cukup mampu atau petani dengan penghasilan lumayan.


Menurut Owin Jamasy dalam bukunya Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan (2004), terdapat 12 prinsip pemberdayaan masyarakat yang harus dituangkan kedalam aksi program sebagai syarat keberhasilan program tersebut. Bila pendapat Owin Jamasy tersebut dipakai untuk mengevaluasi pelaksanaan program integrasi sawit-sapi, ternyata terdapat beberapa poin penting yang terlupakan dan patut diduga sebagai penyebab mengapa penerimaan masyarakat terhadap program integrasi sawit-sapi tidak seperti yang diharapkan.


Pertama; tidak jelasnya tahapan kegiatan dan belum tergalinya potensi lokal untuk mendukung kesuksesan program integrasi ini. Pada awal program ini diluncurkan, tim seleksi calon penggaduh dan calon lokasi (cp/cl) turun ke lapangan tanpa menjelaskan konsep program ini secara utuh. Kelompok tani terpilih kemudian disodori sejumlah dana untuk membeli sapi dan kebutuhan beternak lainnya. Masyarakat tidak diperkenalkan dengan konsep integrasi semisal Low External Input Agriculture System (LEIAS) dimana hasil samping limbah perkebunan dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, dan tenaga sapi dipakai untuk pengangkutan TBS, serta pupuk kandang digunakan sebagai pupuk sawit. Jika konsep ini tidak sesuai dengan karakter petani atau lokasi, konsep integrasi yang mengakomodasi kepentingan/potensi lokal harus disusun kembali (re-format) dan didiskusikan dengan masyarakat, sehingga pada pelaksanaannya masyarakat telah cukup familiar dan terlibat seutuhnya dengan kegiatan tersebut.


Kedua; kurangnya kemampuan petugas dalam hal problem solving, menumbuhkan dan memasarkan inovasi, asistensi, fasilitas, promosi dan social marketing. Hal ini wajar saja terjadi karena model pengembangan integrasi tersebut juga belum dipahami oleh semua petugas sehingga ketika masalah muncul, mereka tidak tahu solusinya.


Ketiga; kurangnya partisipasi aktif dari stakeholders di lapangan. Dalam beberapa kali kunjungan ke lokasi integrasi sawit-sapi di Desa Lampisi Kabupaten Tanjung Jabung Barat, terlihat bahwa tidak semua anggota kelompok terlibat dalam program tersebut. Hal ini disebabkan tidak semua anggota kelompok memperoleh bantuan sapi dari pemerintah. Mereka harus menunggu perguliran sapi dari anggota yang telah terlebih dulu memperoleh bantuan, namun melihat kondisi perkembangan sapi yang lambat, butuh waktu cukup lama agar mereka dapat sapi guliran. Anggota kelompok tersebut ternyata tidak termotivasi untuk membeli sapi bakalan dengan modal sendiri walaupun mereka cukup mampu secara finansial.


Keempat; belum adanya metode pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan. Banyak masalah yang berkembang namun kurang memperoleh respon dari dinas terkait. Jadwal kunjungan petugas atau penyuluh pun tidak teratur.


Berdasarkan gambaran tersebut, maka wajar saja banyak perusahaan perkebunan sawit swasta belum tertarik mengintegrasikan kebun sawitnya dengan sapi karena percontohan integrasi sawit-sapi di beberapa lokasi di Provinsi Jambi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, selain faktor sosialisasi dan promosi yang masih sangat kurang dari pihak terkait. (Ir. Asnelly Ridha Daulay, M. Nat Res Ecs/Kandidat Peneliti pada Balitbangda Provinsi Jambi).