Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

30 Desember 2011

Alumni AusAid di Ambon

Seminar “Chalenges and Opportunities in the Management of Coastal Zones, Marine and Small Island Resources in Maluku Province”,  Ambon (30/11)

29 Desember 2011

Bedah Rumah Dan Pemberdayaan Masyarakat Miskin


 DARI sekian banyak program pembangunan Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus yang ditampung di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015, mungkin kegiatan Bedah Rumah (Bedrum) yang berada di bawah payung Program Satu Miliar Satu Kecamatan (SAMISAKE)-lah yang paling populer. Padahal selain  Bedrum,  ada kegiatan lain seperti Jaminan Kesehatan dengan sasaran 19.639 jiwa, beasiswa dengan sasaran 7.043 siswa, Sertifikasi Rumah Hasil Bedrum 3.176 sertifikat, bantuan modal usaha bagi UMKM, serta bantuan dump truck  8 unit dan kendaraan roda tiga. 1

Bedrum menjadi begitu populer, salah satunya karena memberi peluang kepada keluarga miskin yang jumlahnya di Provinsi Jambi saat ini mencapai 34.180 keluarga untuk berharap suatu hari nanti rumah mereka direnovasi melalui kegiatan ini. Berdasarkan data BAPPEDA Provinsi Jambi, pada tahun 2011 ditargetkan sebanyak 5000 rumah akan dibedah. Dari jumlah tersebut, baru 2.802 rumah yang didanai oleh APBD Provinsi Jambi, 100 unit dari APBD Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sementara sisanya diharapkan didanai oleh BUMN, BUMD dan perusahaan swasta besar yang beroperasi di Jambi melalui penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebanyak 805 unit. 

Harapan HBA terhadap peran swasta yang lebih besar untuk mendukung kegiatan ini nampaknya cukup mendapat respon positif. Beberapa bank telah melaksanakan bedah rumah seperti Bank Jambi (10 unit rumah), BTN (10 unit), BNI (20 unit), Bank Mandiri (10 unit) dan sebuah BUMN, PTPN VI (10 unit). Beberapa pengusaha papan atas juga ikut memberikan bantuannya, diantaranya seorang pengusaha batubara yang membedah 500 unit rumah dan seorang pengusaha asal Kota Jambi yang membedah 14 rumah keluarga miskin di sekitar tempat tinggalnya.

Banyak hal positif yang dapat dicermati dari pelaksanaan kegiatan ini. Yang pertama, terlibatnya unsur TNI melalui Komado Resor Militer 042/Garuda Putih sebagai pelaksana lapangan untuk kegiatan bedah rumah yang didanai APBD Provinsi Jambi. Ini merupakan bentuk keharmonisan hubungan antara Pemerintah Provinsi Jambi dan TNI serta sebuah upaya simpatik untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Apresiasi  juga pantas diberikan karena kegiatan ini berhasil menggugah warga negara golongan ekonomi mampu untuk berbagi dengan saudaranya yang hidup kurang beruntung.

Ada makna positif yang tak kalah penting dari pelaksanaan program ini, yakni penghiburan untuk masyarakat yang belum terpenuhi harapannya akan infrastruktur jalan yang baik. Keluhan tentang buruknya kondisi jalan di Jambi muncul di mana-mana. Saat ini Jambi memiliki jalan provinsi sepanjang 1.400 km dan jalan nasional sepanjang 900 km lebih. Diawal kepemimpinan HBA, keadaan jalan yang bagus hanya 31 persen, selebihnya dalam keadaan rusak ringan dan rusak berat.2  Demikian juga publik masih mengeluhkan pelayanan aparat pemerintah, sehingga keberadaan kegiatan bedah rumah ini dapat mengurangi kekecewaan yang dirasakan oleh mereka. 

Meski target fisik 5000 rumah yang dicanangkan HBA belum tercapai, sebagian masyarakat menilai kemenangan telah diraih, kemenangan nilai kemanusiaan dan pemerataan pembangunan. Bahkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ikut menyampaikan apresiasinya untuk kegiatan percontohan di 50 kecamatan ini saat berkunjung ke Jambi pada September 2011 lalu.

Dibalik cerita sukses itu, ada suara-suara mempertanyakan kualitas rumah yang dihasilkan. Beberapa rumah yang dibedah hanya mengalami pergantian atap seng atau catnya saja diganti, dan diperkirakan tak akan menghabiskan Rp7,5 juta sebagaimana dana yang dialokasikan per  rumah. Aroma penyelewengan tercium di sini.

Gubernur Jambi pun tak abai soal ini. HBA mengakui ada beberapa rumah yang tidak sempurna pengerjaannya, tidak sesuai spesifikasi tapi jumlahnya sangat kecil sehingga tidak patut untuk dibesar-besarkan, apalagi sampai mengecilkan arti keberhasilan kegiatan.

Namun sikap kritis terhadap kegiatan bedah rumah tidak hanya menyangkut dugaan penyelewengan dana. Juga muncul pertanyaan, akankah kegiatan ini diteruskan untuk tahun kedua dan ketiga hingga kelima pemerintahan HBA? Menurut mereka, kegiatan ini hanya pantas dipertahankan pada tahun pertama,  sebagai pemenuhan atas janji HBA di waktu kampanye dulu. 

Jawaban pun sudah diperoleh. Kegiatan bedah rumah akan berlanjut untuk tahun 2012 dengan jumlah anggaran per rumah  ditingkatkan menjadi Rp. 10 juta. Total dana keseluruhan yang harus disediakan di APBD Provinsi Jambi 2012 sebanyak Rp 27,5 miliar untuk 2.750 unit rumah. 

Adalah kalangan pemerhati pembangunan dan perguruan tinggi yang mengharapkan program pembangunan yang diusung Pemerintah Provinsi Jambi lebih berkonten pemberdayaan masyarakat. Secara konseptional, pemberdayaan masyarakat memiliki dua makna pokok, yaitu memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada masyarakat agar mereka memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan untuk membangun diri dan lingkungan secara mandiri. Pemberdayaan masyarakat juga bermakna meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program pembangunan agar kondisi kehidupan mereka dapat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan.3

Kegiatan bedah rumah yang dilaksanakan di Jambi justru memiliki nilai pemberdayaan yang sangat kurang dan karenanya tidak strategis. Dari segi kriteria penerima bantuan bedah rumah, mungkin saja telah memenuhi syarat-syarat dianggap sebagai keluarga miskin seperti tidak memiliki faktor produksi (tanah, modal atau keterampilan), terbatasnya akses terhadap aset produksi, tingkat pendidikan rendah dan lain sebagainya. Tapi dari segi kriteria pemberdayaan, jelas kegiatan bedah rumah belum memenuhi unsur kegiatan yang memberdayakan masyarakat.  Di sini, masyarakat tak terlibat dalam kegiatan apapun,  semisal menentukan cat atau bentuk rumah mereka.

Melihat keadaan tersebut, dapat dipahami bila banyak yang mengharapkan kegiatan bedah rumah untuk tahun berikutnya harus diperbaiki, bahkan dihentikan saja untuk diganti dengan kegiatan lain yang lebih konstruktif. Fraksi Gerakan Keadilan dalam tanggapannya terhadap penyampaian APBD Provinsi Jambi tahun 2012 mengharapkan adanya kejelasan terhadapi informasi rumah yang dibedah.  Jangan sampai terjadi tumpang tindih penggunakan dana APBD dengan dana CSR ataupun dengan dana yang bersumber dari APBD Kabupaten / Kota untuk rumah yang sama.4

Tuntutan untuk mengaudit kegiatan tersebut juga disuarakan banyak pihak. Hal ini sangat relevan karena sebagian besar dana yang digunakan berasal dari APBD Provinsi Jambi yang memang harus dipertanggungjawabkan sesuai administrasi keuangan negara. Dana bedah rumah yang berasal dari CSR, auditnya dapat diserahkan kembali kepada perusahaan bersangkutan.

Perbaikan paling penting untuk kegiatan ini dengan cara memasukkan unsur pemberdayaan masyarakat ke dalamnya. Ini sesuai dengan amanat UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah, khususnya menyangkut kebijakan pemberdayaan masyarakat. Peran pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat dengan diterapkannya UU tersebut seharusnya bergeser dari pelaksana menjadi fasilitator, dari memberikan instruksi menjadi melayani masyarakat, dari mengatur menjadi memberdayakan masyarakat, dan dari bekerja untuk memenuhi aturan menjadi bekerja untuk memenuhi misi.3

Model kegiatan yang memberdayakan masyarakat sebenarnya telah dimiliki oleh beberapa program di Indonesia seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Ratusan jalan desa, jembatan, madrasah dan sekolah telah dibangun atau direnovasi oleh masyarakat sendiri dengan menggunakan kucuran dana pemerintah, serta kualitasnya sering dipuji-puji melebihi hasil kerja kontraktor swasta.

Dalam kegiatan PNPM, masyarakat di dusun atau desa dilatih untuk mampu merencanakan, mengusulkan dan memperjuangkan proposal mereka di depan forum musyawarah dan Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM-MP Kecamatan hingga rencana yang mereka bangun bersama-sama layak untuk didanai.  Selain itu terdapat juga pendanaan untuk kegiatan ekonomi dalam bentuk kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP).

Proses kompetisi ini dapat diaplikasikan ke kegiatan bedah rumah secara selektif, sesuai dengan keterbatasan serta pendidikan keluarga miskin.  Misalnya untuk mendapatkan pendanaan bedah rumah, rumah tersebut diharuskan memiliki warung atau tempat usaha sederhana. Dengan demikian, selain memberikan tempat berteduh yang lebih representatif, bedrum juga membantu keluarga miskin dalam bekerja mencari nafkah dan untuk lebih produktif.

Kegiatan bedah rumah harus memberikan pencerahan kepada masyarakat miskin, sehingga mereka ikut aktif dalam pelaksanaannya. Masyarakat diminta untuk merencanakan bagian tertentu dari rumah yang direnovasi. Misalnya, merencanakan renovasi dapur yang lebih pas untuk usaha pembuatan kue atau gudang/workshop yang memadai untuk kegiatan ekonomi produktif  lainnya.

Dengan adanya perspektif baru tentang kegiatan bedah rumah, diharapkan  memberikan nilai lebih dalam pelaksanaannya pada tahun yang akan datang. Kegiatan ini tidak lagi bersifat kemanusiaan atau charity semata namun memberi dorongan kepada masyarakat kurang mampu untuk lebih mandiri, memperbaiki kehidupan ekonominya melalui perbaikan rumah plus sarana produksi yang difasilitasi oleh pemerintah. (Penulis Asnelly Ridha Daulay, adalah Ketua IKWI Cabang Jambi, Peneliti Badan Litbang Provinsi Jambi dan Wapimred Infojambi Koran).


DAFTAR PUSTAKA

1 Samisake Diharap Menjadi Daya Ungkit Menuju Jambi EMAS 2015, (http://www.jambiprov.go.id, diakses 27 Desember 2011)

2 Jalan Di Jambi Masih Rusak Sampai 2015, (http://infojambi.com, diakses 27 Desember 2011).
3  Daeli, SP dan Y.R. Siregar, 2010. Model Kelembagaan Pemerintah daerah Ditinjau Dari Perspektif pemberdayaan Masyarakat Miskin. Jurnal Binapraja, vol. II (384-394), Jakarta.
4 Pandangan Umum Fraksi Gerakan Keadilan Terhadap APBD Provinsi Jambi Tahun 2012, (http://infojambi.com, diakses 25 Desember 2011)






     

26 Desember 2011

PETANI CERDAS, KUNCI PENTING KEBERHASILAN PEMBANGUNAN KARET JAMBI



Tanaman karet merupakan penyumbang kemakmuran ekonomi masyarakat Jambi yang sangat penting. Selain sejarahnya lebih tua dari tanaman sawit yang beberapa tahun terakhir digadang-gadangkan sebagai pilar ekonomi wilayah ini, luas kebun dan jumlah petani/kepala keluarga pekebun karet juga lebih besar. Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, sampai tahun 2010 luas kebun karet di Jambi 646.878 hektar dan petani terlibat 251.403 KK. Bandingkan dengan sawit yang luasnya baru mencapai 341.457 hektar dan petani terlibat baru sekitar 177.802 KK.
Karet ternyata juga berjasa dalam perkembangan pers di negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini. Cerita ini dimulai ketika pada tahun 1957, Gubernur Jambi Singedekadane memberi izin kepada Persatuan Pedagang Karet Jambi yang diketuai Raden Yasin (alm) untuk menjual langsung karet ke Singapura. Sebagian keuntungan penjualan karet disepakati akan digunakan untuk membeli  beberapa unit mesin percetakan.
Dibawah pengelolaan Perusahaan Daerah (PD) Dharma Karya, mesin cetak bermerek Handle Bergh  itu digunakan untuk mencetak dokumen dan buku-buku milik Pemerintah Provinsi Jambi serta beberapa harian lokal Jambi yang eksis waktu itu seperti Koran Mingguan Berita dan Ampera. Mesin bersistim intertip/linetip ini menggunakan material timah yang sangat banyak sebagai bahan baku penyusun huruf. Meski berteknologi sederhana, keberadaannya sangat membantu wartawan dalam mempercepat penyampaian informasi karena tidak perlu lagi  ke Padang, Palembang atau Jakarta untuk mencetak koran.
Dari cerita di atas terlihat, di awal berdirinya Provinsi Jambi petani karet pernah jaya. Mereka hidup makmur, bahkan dapat memberi sumbangan materi bernilai tinggi kepada pemerintah dan pers waktu itu.
********
 Berpuluh tahun kemudian, kehidupan petani karet Jambi makin sulit. Merekalah kini yang berada di pihak yang membutuhkan sumbangan. Saat ini terdapat 118.000 hektar kebun karet yang harus diremajakan dan petani menunggu bantuan pemerintah untuk memulainya.
Petani karet sepertinya tak berdaya mengatasi masalah yang ada. Harga karet yang tak stabil, kuatnya cengkraman tengkulak dan buruknya infrastruktur jalan, merupakan keluhan paling sering diungkapkan. Keluhan tersebut benar adanya dan sulit dibantah. Pemerintah juga telah berupaya keras untuk meminimalkan masalah tersebut.
Dukungan yang diberikan oleh pemerintah untuk program karet khususnya lima tahun terakhir sebenarnya cukup besar. Setiap tahun anggaran peremajaan karet tertuang dalam APBD Provinsi Jambi. Dana terkait juga dialokasikan di APBN Murni. Sebagai tambahan, untuk tahun 2012 Dirjen Sarana Prasarana Perkebunan Kementan RI juga menyediakan dana perluasan areal untuk membuka kebun karet baru.
Masalahnya sebenarnya bukan semata pada kurangnya dana pembangunan karet karena besaran  dana seringkali bersifat relatif. Sistim penganggaran pemerintah kita sangat terikat kepada peraturan keuangan yang ada. Kebijakan yang diambil di luar sistim, misalnya untuk memintas proses tender, akan menyeret pejabat negara kepada tuduhan penyalahgunaan wewenang atau tindakan korupsi. Praktis tak banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini bila pemerintah pusat tidak lebih dulu merevisi peraturan keuangan tersebut.
Benturan ini sering terjadi di Jambi. Pada awal tahun para petani telah diinstruksikan untuk membersihkan lahan namun hingga pertengahan tahun bibit atau saprodi belum bisa didistribusikan disebabkan proses tender belum selesai. Ketika bahan tersebut datang, minat petani telah menguap melihat lahan mereka yang kembali dipenuhi ilalang. Inilah yang menyebabkan sebagian target peremajaan karet pada era kepemimpinan Gubernur Drs. H. Zulkifli Nurdin tak tercapai.
Sementara sebagian petani bergantung kepada bantuan pemerintah, sisanya tak dapat melepaskan diri dari tengkulak. Tengkulak atau pengijonlah yang mereka datangi ketika membutuhkan dana segar meski harga yang ditawarkan lebih rendah dari harga di pasar lelang atau pabrik.
Selalu menyalahkan faktor-faktor lain di luar diri sendiri bukanlah sikap yang bijak dan dewasa. Petani karet Jambi seharusnya bangga dan bangkit, mereka memiliki keunggulan komparatif yang besar. Dibandingkan dengan kehidupan petani tanaman pangan yang sangat tergantung pada kemurah-hatian musim dan  harga jual komoditi lebih rendah, kondisi petani karet jauh lebih baik karena harga jual lebih tinggi dan hasil panen bisa disimpan lama (non-perishable).
Sejatuh-jatuhnya harga, petani karet masih bisa bernafas. Tidak seperti petani lobak dan tomat di Kerinci yang sering membiarkan sayurnya tak dipanen karena nilainya jatuh di pasaran. Pada saat harga karet cukup tinggi seperti pada minggu ke-4 Desember 2011 dimana harga karet slab bersih 100 persen dijual Rp28.400/kg, slab bersih 70 persen Rp19.880/kg dan Rp14.200/kg untuk slab bersih 50 persen, petani bisa meraup keuntungan yang besar. Jika penghasilan tersebut dikelola dengan baik, tentu keadaan petani karet tidak semiris yang sering diungkap di media massa.
Namun kenyataanya masih banyak petani yang belum mengelola kekayaannya dengan baik. Menguapnya uang penjualan karet terkait dengan gaya hidup mereka yang konsumtif. Sudah jamak diketahui setiap kali harga karet melambung tinggi, show room mobil dan motor di Kota Jambi dan kota sekitarnya dibanjiri pembeli yang berasal dari kalangan petani karet. Demikian juga mal yang ada di kota, tak luput menjadi tempat petani menghamburkan uangnya. Meski tak semua begitu, kecendrungan demikian terlihat jelas di masyarakat Jambi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungannya ke Jambi pada 22 September 2011 telah mengingatkan hal itu. Presiden mengharapkan keuntungan penjualan karet dapat dikelola dengan baik sehingga saat harga karet dunia anjlok, tidak membuat petani sulit.
Melihat kepada gambaran yang ada di masyarakat dan nasehat presiden di atas, penyuluhan petani sudah seharusnya menempatkan porsi lebih besar untuk materi manajemen usaha dan keuangan. Mendidik petani untuk lebih cerdas berwirausaha sangat penting dilakukan. Banyak petani kita yang belum merasa perlu menginvestasikan kembali sebagian keuntungan untuk membeli saprodi dan areal tanam baru.
Jika melihat kepada materi penyuluhan yang ada, baru sebatas hal-hal bersifat teknis budidaya karet. Jika petani Jambi cerdas dalam menanam dan merawat karet namun ceroboh dalam menggunakan uangnya, kesejahteraan sulit untuk diwujudkan.
Selain kurang bijak menggunakan uangnya, petani kita juga belum cerdas dalam memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan ringan. Lembaga keuangan/ekonomi mikro (LKEM) di desa-desa belum dimanfaatkan secara optimal. Hampir semua desa telah memiliki koperasi atau kelompok simpan pinjam. Pemerintah lewat berbagai departemen pun telah menyalurkan modal awal untuk mendukung pertumbuhan LKEM.
Kini tinggal usaha pemerintah daerah mendorong petani untuk memanfaatkannya. Dana LKEM dapat digunakan sebagai talangan sehingga petani tak perlu mengemis kepada pengijon atau berharap bantuan bibit dari pemerintah yang berkisar Rp3 juta sampai Rp 5 juta per hektarnya. Jika LKEM  dapat dikembangkan dan diperkuat, petani memiliki tempat mengadu saat butuh modal. Pengijon dapat disingkirkan dari mata rantai pemasaran karet di Jambi.
 Kini sudah waktunya Pemerintah Provinsi Jambi  bersama-sama Pemerintah Kabupaten dan Kota menyusun program pembangunan karet yang lebih berorientasi mencerdaskan petani karet, dengan tidak meninggalkan kegiatan pembangunan sarana jalan, pasar lelang karet dan industri hilir yang telah lama diidamkan. Dengan program pembangunan yang menempatkan petani sebagai mitra sejajar, mudah-mudahan visi  membangun karet untuk kesejahteraan rakyat Jambi dapat segera diwujudkan. (Penulis : Asnelly Ridha Daulay)



19 Desember 2011

Bila Mak Yuni Berhenti Bekerja


MAK YUNI menggandeng kedua tangan anaknya, bergegas menuju sekolah pemerintah yang berada sekitar 400 meter dari rumahnya. Tak lama lagi bel akan berbunyi, sementara kedua putri kembarnya yang baru berusia tujuh tahun, terlihat ceria meski kantuk masih membayang di mata mereka. Bedak yang berlepotan, aroma minyak kayu putih yang menghangatkan, samar tercium di udara pagi. Mak Yuni harus berpacu, mengantar anak ke sekolah dan kemudian singgah ke warung terdekat, membeli bahan mentah untuk lauk mereka hari ini. Dia harus cepat. Ada setumpuk jahitan yang menunggu diselesaikan. Sebagai tukang jahit yang cukup punya nama, dia tak mau mengecewakan langganan-langganannya.Baju-baju itu harus siap sesuai waktu yang dijanjikan.

Mak Yuni adalah satu contoh potret wanita Indonesia saat ini. Meski bukan sarjana, walau tak beraktivitas di luar rumah, kesibukannya menyerupai wanita karir yang menduduki posisi penting. Mak Yuni memiliki pekerjaan. Dia memiliki pendapatan yang jelas. Dia seorang tukang jahit.
Ada banyak potret lain wanita Indonesia yang bekerja di berbagai sektor. Mulai dari wanita pemulung sampah, pembuat kue, perias pengantin, tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, penasehat hukum, hingga mereka yang beruntung menduduki jabatan strategis di pemerintahan atau perusahaan swasta. Tak ada penolakan atas keberadaan mereka karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang moderat. Lagi pula wanita-wanita itu bekerja dengan kemampuannya, dengan ketekunan serta kerja kerasnya dan didorong niatnya untuk menyejahterakan keluarga.
Peran wanita Indonesia dalam memperkuat ekonomi keluarga tak bisa dibantah. Wanita di Indonesia berbeda dengan mayoritas wanita di negeri muslim lainnya yang dilarang untuk beraktivitas di ruang publik. Ketika wanita di Arab Saudi misalnya, masih berjuang untuk memperoleh hak bersuara dalam pemilihan umum, seorang wanita Indonesia telah menjadi presiden dan puluhan telah menduduki kursi menteri. Ketika wanita di Afghanistan tidak diizinkan bersekolah umum, banyak generasi pemudi Indonesia yang masuk universitas bahkan berjaya meraih nilai tertinggi Indeks Pendidikan Komulatif (IPK).
Siapakah yang bisa membantah fakta ini? Bahkan jauh sebelum zaman Kartini, jutaan wanita telah berkebun, mengeringkan dan mengasinkan ikan atau membuat jamu untuk dipikul dan dijual ke kota-kota. Mereka bekerja dan mencipta sesuai dengan ilmu yang diwariskan kepada mereka dan penciuman tajam seorang wirausahawati sejati.
Namun, negara secara formal belum mengakui peran wanita dalam membangkitkan perekonomian bangsa. Fasilitas dan perlindungan yang diberikan kepada wanita Indonesia yang bekerja, terutama di level usaha kecil dan menengah sangat kurang. Janganlah lagi menyebut masalah TKW yang disiksa dan tak dibayar gaji di luar negeri, di dalam negeri saja belum terlihat perubahan kebijakan pemerintah terhadap wanita pekerja mandiri atau wirausahawati.
Sesungguhnya banyak wanita yang memiliki usaha kecil berpotensi berkembang menjadi usaha yang lebih besar, namun terkendala memperoleh modal usaha. Mak Yuni misalnya, berkeinginan membeli beberapa unit mesin jahit dan membuat butik kecil di samping rumahnya namun upah jahitan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit belum cukup untuk membuat lompatan seperti itu.
Pemerintah lewat lembaga perbankan yang dimilikinya ternyata kurang percaya pada kemampuan para pekerja mandiri ini untuk mengembalikan modal yang mereka pinjam. Perbankan minta boroh sertifikat rumah atau tanah sementara banyak rumah belum memiliki tanda kepemilikan itu. Jika pun ada, sertifikat rumah itu seringkali atas nama suami dan suami merasa berat menyetujui peminjaman ke bank karena bunganya yang berat. Bisakah para wanita pengusaha kecil ini meminjam tanpa jaminan harta? Bisakah mereka menjaminkan kredibilitas diri mereka saja, toh uang yang dipinjam tak sebanyak pengusaha kelas kakap?
Beberapa jenis kredit perbankan menyaratkan tanda tangan suami jika seorang wanita ingin mengajukan pinjaman modal usaha. Mengapa hal itu masih diperlakukan? Bukankah pada banyak usaha keluarga, si istrilah yang menjadi pionir dan pemimpin usaha sementara si suami hanya sebagai pendukung, bahkan sering tak terkait samasekali karena memiliki pekerjaan lain. Masih adakah urgensi tanda tangan suami di sini?
Perubahan cara berpikir terasa lambat di kalangan pengambil kebijakan di Indonesia. Para pejabat masih memandang ke potret lama ketika wanita yang memiliki usaha di rumah, harus bertanya kepada suami apakah dia boleh begini dan begitu. Banyak laki-laki Indonesia yang kini berpikir moderat, bahkan sangat senang karena istrinya menghasilkan uang tanpa harus bekerja di luar rumah. Banyak suami yang membiarkan istri mengambil keputusan sendiri terhadap usaha yang dibangunnya, karena menurutnya si istri lebih tahu. Perubahan yang terjadi di masyarakat ini seharusnya dapat ditangkap dan diadopsi untuk memperbaiki pelayanan negara terhadap wanita.
Demikian juga di bidang pendidikan anak yang senantiasa menjadi konsern para wanita. Pertanyaan di hati mereka selalu muncul, apakah anak-anak mereka dididik dengan benar, apakah kesehatan dan keselamatan anak dijaga dengan baik di sekolah atau di tempat penitipan anak? Belum lagi masalah biaya pendidikan yang semakin tinggi dan kegiatan ekstra sekolah yang dipaksakan kepada anak-anak mereka. Kekhawatiran tersebut muncul karena lembaga pendidikan termasuk penitipan anak beroperasi dengan standar yang belum baku dan seringkali tidak dipatuhi. Kerisauan ini cukup mengganggu pencapaian dan totalitas mereka dalam bekerja.
Masalah kesehatan juga belum tersentuh. Karena peran ganda yang dilakoninya, banyak wanita mengabaikan kesehatannya. Pemerintah belum banyak memberi dukungan terhadap produktivitas wanita lewat bidang kesehatan, misalnya dengan memberi subsidi untuk cek kesehatan menyeluruh (general ceck-up) atau pemeriksaan kanker rahim yang banyak merenggut nyawa wanita Indonesia.
Meski peran wanita dalam perekonomian nyata, namun belum banyak yang telah dilakukan untuk mendukung atau membuat mereka nyaman bekerja. Jika wanita-wanita ini menyerah atau memutuskan untuk tak bekerja, dampaknya pasti akan besar sekali. Akan banyak keluarga Indonesia yang terpaksa menurunkan kualitas hidupnya, pasti akan banyak keluarga berkehidupan ekonomi menengah yang turun kasta menjadi ”keluarga miskin” atau setidaknya ”hidup sangat sederhana” karena tak ada lagi pendapatan istri yang ikut menopang keluarga itu. Pada gilirannya, negara pasti akan terdampak negatif karenanya. (Penulis : Asnelly Ridha Daulay)

16 Desember 2011

Habibie dan Kehidupan Sesudah Mati


Saya ingin tahu, di manakah posisi Ibu Ainun saat ini. Apakah dia berada di President Suit Room atau di mana? 

Pernyataan Bachruddin Jusuf Habibie tersebut, tentang almarhum istrinya dr. Hasri Ainun yang meninggal 22 Mei 2010 di Jerman, membuat ruangan yang dipenuhi oleh Pengurus Dewan Riset Nasional (DRN) dan perwakilan Dewan Riset Daerah (DRD) dari 26 Provinsi di Indonesia itu sontak hening. Masih teringat dengan jelas bagaimana Presiden RI ke-3 ini sangat terpukul dengan kematian istrinya tahun lalu. Tak biasanya Habibie berbicara hal spritual dan di forum para pakar dari berbagai disiplin ilmu tersebut, dia menyebut-nyebut tentang kehidupan sesudah mati. 
 
Dalam perjalanan dari Kuningan (kediaman Habibie-red) ke Serpong ini, saya membaca Surah Yasin dan beberapa surah lain untuk dikirimkan ke dua orang ibu, pertama ibu yang melahirkan saya, dan yang kedua Ibu Ainun pendamping hidup saya. Saya yakin, getaran di hati saya saat membaca surah Al- Qur'an dan doa-doa akan sampai kepada mereka, karena menurut teori fisika, getaran itu adalah energi yang bisa dikirimkan ke tujuan manapun,” jelasnya.

Pada kesempatan tampil sebagai keynote speaker dalam sidang paripurna Dewan Riset Nasional tersebut, Kamis (15/12) di Gedung DRD Serpong, Banten, Habibie masih terlihat energik dan ceria. Namun bukan berarti dirinya telah melupakan pendamping hidupnya selama 48 tahun tersebut. Justru terlihat bahwa Habibie yang bangkit dari kesedihannya menemukan optimisme bahwa istrinya berada di tempat yang baik.

Dengan gaya bahasa yang meletup-letup, Habibie berusaha menjelaskan keberadaan ruh dengan menggunakan teori fisika quantum dan penjelasannya tersebut cukup meyakinkan dan masuk akal. Menurutnya ruh orang yang mati tersusun dari partikel-pertikel energi yang memungkinnya terbang menuju akhirat. Tak cukup hanya bicara, ternyata Habibie tengah merampungkan buku tentang ruh tersebut.

Saya sedang menulis buku dan hampir rampung. Buku ini menguraikan pemikiran saya tentang di mana Ibu Ainun saat ini, tentang kehidupan sesudah mati,” ucapnya seraya menambahkan buku tersebut akan diluncurkan dalam delapan bahasa, termasuk bahasa Arab.

Nampaknya selain sukses sebagai ilmuwan, Habibie juga penulis yang andal. Buku Habibie dan Ainun, Kisah Cinta Sejati Sang Profesor yang dirilis tahun lalu menarik perhatian cukup besar. Kita tunggu saja, bagaimana Habibie menjawab rasa ingin tahunya di buku barunya ini. (Asnelly Ridha Daulay)

14 Desember 2011

15 Tahun Lagi Danau Sipin Dikelilingi Mahoni

HATI siapa yang tak kecut melihat kondisi Danau Sipin sekarang ini. Danau seluas 42 hektar tersebut kini dikelilingi oleh tanaman semak dan ilalang, nyaris tak ada pohon rindang. Air danau yang dangkal serta rumah-rumah reot yang nampak dari kejauhan menjadi trade mark danau ini. Pada waktu malam, kondisi di sini bahkan lebih seram, karena banyak pasangan ”mojok”, asyik masyuk di keremangan malam. Keindahan yang biasanya lekat dengan kata ”danau”, sungguh tak terlihat di sini.
Konon, dulunya Danau Sipin tak seperti ini. Airnya jernih dan tinggi, tempat para warga mandi dan mencari ikan. Penebangan pohon, eksplorasi hasil danau yang berlebihan, tumpukan sampah serta tekanan dari penduduk yang makin padat menyebabkan kondisi berubah. Saat ini terdapat ribuan keramba yang turut memperberat beban danau ini.
Upaya untuk menjadikan kawasan ini sebagai objek wisata, atau setidaknya tempat melapaskan kepenatan warga kota Jambi, pernah ada. Waktu itu di era tahun 1990-an, Lily Sayoeti membangun sebuah restoran yang berandanya menghadap ke danau yang masuk wilayah Kecamatan Telanaipura Jambi itu. Namun ketika suami Lily tak menjadi Gubernur Jambi lagi, pesona restoran dan danau itu memudar perlahan, dan akhirnya menjadi kawasan suram seperti adanya kini.
Syukurlah, pada pencanangan program nasional Menanam 1 Milyar Pohon, Kamis (8/12), Pemerintah Provinsi Jambi menetapkan kawasan Danau Sipin sebagai area penanaman pohon. Sebelumnya yayasan yang dipimpin Lily Sayoeti menyerahkan kembali pengelolaan tanah itu kepada Pemprov. Jambi sehingga upaya untuk menghijaukannya kembali terbuka lebar. Puluhan hektar area lain yang yang menjadi aset pemprov. Jambi juga akan ikut dihijaukan.
images/stories/pohon mahoni.jpgMahoni pun dipilih sebagai pohon yang akan menghijaukan Danau Sipin. Tinggi pohon ini bila telah besar nanti bisa mencapai 35 – 40 meter dan berdiameter 125 centimeter. Tanaman asal Hindia Barat ini biasanya tumbuh subur di daerah payau. Meski membutuhkan setidaknya 15 tahun lagi untuk menjadi besar dan rindang, namun apa yang telah dimulai hari ini, yakni menanam pohon di areal seluas 16 hektar di sekitar Danau Sipin hingga ke belakangan Kantor Gubernur Jambi, merupakan kabar gembira bagi rakyat Jambi.
Seperti yang dikatakan oleh Gubernur Jambi, Drs. H. Hasan Basri Agus bahwa penanaman pohon hari ini mungkin tidak dapat dinikmati oleh sekitar 1500 orang yang hadir pada acara pencanangan tersebut. ”Namun anak-anak dan keturunan kita lah yang akan menikmatinya. Ini adalah rezeki untuk mereka,” ucapnya.
Bila saat ini hanya sedikit kawasan rindang di Kota Jambi, maka lima belas tahun lagi diharapkan muncul kawasan-kawasan hijau baru yang memang sudah lama dirindukan warga kota ini. Mudah-mudahan saja. (infojambi.com/Asnelly Ridha Daulay)
 

2 Desember 2011

Workshop Australia Awards: Kearifan Lokal Untuk Kesejahteraan Nelayan



AMBON – Diskusi tentang pentingnya untuk me-revitalisasi dan me-reinterprestasi “sasi”, yaitu kesepakatan tradisional di masyarakat pesisir tentang pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan berikut sanksi pelanggarannya, menghangat pada workshop bertema “Chalenges and Opportunities in the Management of Coastal Zones, Marine and Small Island Resources in Maluku Province” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Australia melalui lembaga pengelola beasiswanya AusAid di Ambon (30/11) lalu. Workshop yang dibuka oleh Sekretaris Daerah Provinsi Maluku R. F. Far Far, SH, MH, ini menghadirkan sejumlah pakar kelautan Indonesia yang pernah menerima beasiswa dari pemerintah Australia dan pakar dari James Cook University Australia. 
 
Mengapa Maluku yang dipilih, hal ini terkait dengan kondisi geografi Maluku yang terdiri dari hanya 7% daratan dan 93% lautan. Negeri yang berjuluk ”The spicey Island and Exotic Marine Paradise” ini sejatinya sangat kaya hasil laut namun tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena kurangnya infrastruktur pendukung, pembangunan ekonomi yang lambat hingga rawan bencana alam. Akibatnya, kehidupan nelayan menjadi semakin sulit di provinsi yang akan mencanangkan dirinya sebagai lumbung ikan nasional tersebut. 
 
Adalah Prof. Hermien Soselisa yang mengangkat wacana pentingnya merevitalisasi sasi untuk mengurangi dampak kerusakan lebih berat di wilayah kelautan Maluku. Diakuinya, sasi mulai ditinggalkan di beberapa kawasan dan pemerintah selama ini tidak berusaha untuk mempertahankan budaya lokal tersebut. 
 
Sasi merupakan jalan tengah antara paham eksploitasi bebas dan paham deep conservasionist. Melalu penerapan sasi, wilayah perairan tertentu ditutup untuk kegiatan eksploitasi dalam jangka waktu tertentu, kemudian dibuka lagi untuk dimanfaatkan, sehingga wilayah tersebut memiliki waktu untuk pulih dari kerusakan,” jelasnya. 
 
Pakar dari Kementrian Kelautan Prof. Jamaluddin Jompa PhD setuju bahwa sasi dapat menjadi alternatif untuk menyelamatkan perairan Indonesia dari over-fishing dan eksploitasi berlebihan lainnya namun dia menghargai bila nilai yang ada pada sasi diteliti dulu untuk mencari pembuktian akademisnya. 
 
Bisa dengan pendekatan marine biology atau marine ecology. Kita jadi tahu mengapa nenek moyang kita membuat sasi itu. Jika di back-up ilmu pengetahuan, generasi yang hidup sekarang bisa lebih mengapresiasinya,” timpalnya. 
 
Yvonne Pattinaja, Kasi Tata Ruang Laut Nasional pada sesi lain menyoroti konflik antara beberapa produk hukum yang ada di Indonesia. Pada level nasional, telah ada UU no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir namun di kabupaten dan kota banyak ditemui Peraturan Kepala Daerah yang berbenturan dengan produk hukum yang ada di atasnya. Dia juga melihat masalah besar dimana sangat rendah minat masyarakat khususnya yang berasal dari wilayah pesisir untuk belajar ilmu kelautan.
 
Sekretaris Pertama AusAid Emily Serong mengharapkan workshop ini dapat menjadi jembatan antara pakar dari berbagai disiplin ilmu guna berdiskusi dan mencari solusi tentang masalah kelautan dan pemberdayaan masyarakatnya. ”Kami juga berharap networking sesama alumni penerima beasiswa Australia akan terbangun lebih baik lewat pertemuan ini, ”jelasnya.

Workshop yang sepenuhnya didanai pemerintah Australia ini juga memberi kesempatan kepada Alumni yang berada di luar Ambon untuk ikut berpartisipasi. Calon yang berminat diharusnya menulis esay singkat tentang pentingnya workshop ini bagi pengembangan karirnya atau daerah yang diwakilinya. Sebanyak 25 orang alumni AusAid akhirnya terpilih, termasuk satu dari Jambi yakni Ir. Asnelly Ridha Daulay, M. Nat Res Ecs, penerima beasiswa Australia tahun 2002-2004 yang sekarang bertugas sebagai peneliti di Balitbangda Provinsi Jambi. (infojambi.com/ARD)