Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

21 Februari 2011

SOPANLAH KEPADAKU


Ada yang mengganggu Kania ketika ia membaca pesan singkat di ponselnya. 

“Aku jemput awak selesai rapat ini.”

Aneh!Tidak biasanya suaminya ber-sms dengan bahasa seperti itu, betapapun sedang kesal hatinya atau marah. Kalau lagi malas, suaminya Riziq mengirim Junaidi, lelaki berkulit hitam yang suka senyum cengengesan itu untuk menjemputnya. Walau dia kurang suka ekspresi nakal tukang ojek itu, -dan badan gempalnya yang hampir menyita seluruh dudukan motor-, namun itulah gunanya maaf dan toleransi dalam perkawinan. Toh belum ada perkawinan yang sempurna. 

Pesan itu hanyalah sebaris kalimat, tapi ia merasa suaminya kurang menghargainya. Coba kalau dia yang memanggil suaminya ‘kau’ atau’hey’ saja, dia pasti marah! Atau malah membentaknya. ‘Awak’ dalam bahasa Melayu sering diartikan ‘kau’. Cukup kasar dan asing bagi Kania yang bukan berasal dari ethnis Melayu. Walau dia telah tinggal di Jambi cukup lama, beberapa bagian dari bahasa lokal tak disukainya, termasuk ‘awak’ itu. Bolehkah ia menuntut laki-laki yang telah 16 tahun menjadi suaminya itu untuk berlaku sopan atau bertutur lebih lembut kepadanya?

Kania mencoba mengingat materi pengajian yang pernah dia ikuti. Semakin keras mengingat, semakin kecut hatinya. Berlaku kasih sayang dan menghormati istri bukan topik menarik para ustadz di kampungnya, bahkan juga di acara siraman kalbu berbagai tivi swasta.

Ustad Afdhal, guru mengaji yang sering memberi ceramah ba’da Ashar di langgar Fi Sabilillah mengatakan bahwa ridho Allah datang setelah ridho suami. “Allah tidak akan berkenan bila suami ibu tidak ridha” ucapnya sambil berpindah pandang dari satu wanita ke wanita lain, tatapannya begitu tajam terutama kepada jemaah perempuan yang banyak tertawa dan kurang khusu’ selama pengajian tersebut.

Ustad Hendri pernah dengan sangat menyentuh bercerita tentang istri yang patuh pada suaminya, hingga urung melayat ayahnya yang meninggal dunia. Hanya karena sang suami berpesan untuk tidak meninggalkan rumah hingga dia kembali. Bahkan Nyai Zulaikha, pimpinan masjid taklim menganjurkan anggotanya  untuk mencium tangan suami sebelum meninggalkan rumah. “Supaya kita dapat barokah,” pesannya lembut.

Sungguh, aku belum pernah dengar cerita ustadz tentang istri yang menuntut suaminya berlaku lembut dan sayang, Kania mengeluh dalam hati.

Kania kembali membaca pesan singkat tersebut. Apa yang berkelebat di otak suaminya hingga panggilan sayangnya, Nana berganti ‘awak’ dalam sms tersebut? 

Selama berumahtangga, dia dan suami saling berbagi. Kesetaraan diantara mereka tercermin dari belanja rumahtangga yang dipenuhi sebagian dari gajinya. Sungguh Kania tidak keberatan. Kata Nyai Zulaikha, itu juga termasuk sedekah. Sedekah yang utama adalah sedekah pada keluarga sendiri. 

Kania tidak suka merengek kepada suami, walau kadang keinginan untuk dihadiahi perhiasan yang indah dan mahal oleh suaminya berdenyut-denyut, meremas hatinya yang ingin dimanja. 

Betapa ingin Kania membongkar kesal hatinya agar suaminya tahu bahwa dia sudah cukup sabar selama ini. Dia mungkin istri yang tidak sempurna. Tapi Kania hanya ingin sedikit dicintai dan dihargai. 

Kania mulai merasakan panas yang lembab di matanya. Dibanding teman-teman SMAnya yang mengaku pengangguran – karena mereka ibu rumahtangga-, Kania lebih sejahtera secara finansial. Namun siapakah yang lebih bahagia, dirinya atau  mereka?

Akhirnya dia harus menyesali, kemandiriannya telah menjauhkan dirinya dari cinta suami. 

Handphonenya bergetar lagi. 

“Aku sudah di luar…”. Pesan singkat dari Riziq. 

Kania beringsut dan mencoba menjernihkan matanya yang berkaca-kaca. Mengenakan kemeja putih, pengusaha travel agent itu menatapnya dengan tanda tanya. Kania memasuki mobil mini van itu dengan diam. Dia masih mengunci mulutnya.

Mobil berjalan pelan. Kania masih bungkam hingga belokan ke jalan besar. Mengapa begitu sulit berterus terang kepada suami sendiri? Kania mengira perkawinan mereka telah dibangun atas kesetaraan, nyatanya… uh tidak!

“Ada masalah di kantor?” akhirnya Riziq memecah kebuntuan itu. Kania menggeleng. 

“Lalu apa?” suaminya menuntut penjelasan.

“Apakah Abang keberatan menjemputku?”

“Ti… tidak” ucapnya cepat dan agak gugup. 

Sekali-sekali dia melihat ke kaca spion, mengamati jalan yang amat ramai menjelang waktu sholat Jumat. Mereka tengah melalui pusat keramaian kota kecil ini, sebuah sekolah tengah menghamburkan siswanya sementara deretan para penjemput tak sabar membunyikan klason di jalan yang tak cukup lapang itu.

Akhirnya mobil mini van itu memasuki jalan kecil menuju rumah mereka. Kania turun dan membuka pagar istananya yang berwarna kuning gading. Suaminya menjejali langkahnya, terburu-buru mengambil kunci dari kantung jeans-nya. Ia membukakan pintu untuk Kania. “Tadi aku rapat di kantor asosiasi. Bertemu dengan teman-teman lamaku. Maaf, aku menyebutmu awak di sms itu. Tadinya aku kira tidak apa-apa. Tidak suka ya…?”

Kania menjatuhkan tasnya di kursi empuk itu. Lega. Benar, tadi dia tidak suka dipanggil awak oleh suaminya, tapi kini mendengar suaminya menjelaskan hal tersebut dengan agak menyesal, kok rasanya ‘awak’ menjadi tidak terlalu tidak sopan?

“Tidak apa-apa. Cuma jangan sering-sering.”

Suaminya tertawa. “Kenapa?”

“Abang tidak sopan padaku. Jangan perlakukan aku seperti kepada orang lain!”

Suaminya tersenyum, mencium kepalanya dan buru-buru menuju kamar mandi untuk berwudu’. Dari masjid terdengar Gharin masjid menyeru para laki-laki untuk datang. Kania tersenyum memandangi punggung suaminya. Sayup gemercik air wudu’jatuh di lantai kamar mandi. 

Sabar dan toleransi telah menolong mereka keluar dari banyak masalah. Perkawinan mereka tidak sempurna. Namun suaminya juga tidak buruk-buruk amat. Dia ternyata cukup peduli pada perasaannya. 

20 Februari 2011

Perceraian Halimah yang Melegakan

Walau menyakitkan, perceraian Bambang Tri dengan Halimah melegakan banyak orang. Sebagai pemirsa tivi dan pembaca yang rajin mengikuti proses perceraian akbar ini, terus terang saya cukup tersiksa melihat seorang perempuan dicampakkan oleh suaminya karena kehadiran perempuan lain. Saya yakin banyak wanita yang sependapat dengan saya; konflik keluarga yang terlalu lama hanya akan menyisakan luka yang lebih dalam dan dendam. Lebih baik diakhiri dengan cepat. Keputusan MA beberapa hari lalu merupakan momen yang tepat untuk mengakhiri konflik perkawinan salah satu keluarga elite di Indonesia ini.

Kelegaan paling huih huih, tentu dirasakan oleh pasangan Bambang dan istri barunya. Tak boleh dong kita terus menerus mencerca mereka apalagi mereka telah menikah dengan resmi. Hak semua orang untuk memulai hidup baru dengan pasangan yang dicintainya. Benar, puluhan tahun lalu cinta Bambang hanya untuk Halimah, namun siapa yang bisa melarang jika cinta seseorang berpindah ke lain hati?

Untuk Halimah yang baik hati, sabar dan masih kelihatan sangat cantik, beliau cukup beruntung dengan keadannya sekarang. Meski kehilangan suami, anak-anak mendukung dia sepenuhnya dan ada harta berlimpah yang menjamin kesejahteraan mereka hingga mati. Coba bandingkan dengan kehidupan wanita lain yang dipoligami atau dicerai sepihak tanpa tunjangan anak yang jelas. Banyak sekali kasus perceraian yang lebih mengenaskan, tak sepicingpun berbanding dengan perceraian Halimah-Bambang.

Sebagai sesama perempuan, saya berdoa agar cobaan ini memuluskan perjalanan Halimah dan anak-anaknya ke masa depan. Walau sakit, dengan kearifan dan kesabaran yang dimilikinya terutama sejak diceraikan suaminya di Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada 21 Mei 2007 lalu, Halimah dapat menata masa depannya kembali. Seandainya pun MA memutuskan sebaliknya, itu tak akan melegakan karena siapa yang suka punya suami yang hatinya telah dimiliki wanita lain?

Para perempuan Indonesia menunggu kembalinya Halimah ke dunia perjuangan. Dulu dia sangat aktif di Yayasan Jantung Harapan Kita. Kini masyarakat akan menghargai Halimah bukan karena hubungan kerabatannya dengan mantan Presiden Soeharto, namun karena perjuangannya sendiri.

Bu Halimah, jangan menyerah oleh kesulitan. Jangan mau diintimidasi keadaan. 


17 Februari 2011

PRESIDEN KORUP (TERNYATA) JUGA NASIONALIS


HUSNI MUBARAK dan Ben Ali adalah dua contoh anyar presiden terguling yang berjiwa nasionalis tinggi. Mantan Presiden Tunisia Ben Ali harus dipaksa staf kepolisian dan dikatai ‘idiot’ oleh sang istri sebelum akhirnya mau naik pesawat menuju ranah pengungsian di  Arab Saudi. Presiden Mesir Husni Mubarak menolak mentah-mentah usulan pergi ke negeri asing karena Mesir baginya adalah negeri tempat dia ingin mati. Terlepas dari tudingan korupsi yang menyebabkan kejatuhan mereka, kedua presiden ini ternyata nasionalis juga. Ancaman penjara, hukuman mati bahkan pembunuhan tidak membuat mereka takut di tengah gelombang revolusi yang terjadi di negaranya.

Nasionalisme mantan presiden Indonesia kurang lebih juga sama. Meski cerita seputar penguduran diri  Almarhum Pak Harto tak begitu banyak beredar, - misalnya polemik yang muncul di tengah keluarga besarnya tak berhembus ke media massa- yang jelas beliau tetap tinggal di Indonesia hingga akhir hayatnya. Padahal kalau ingin hidup senang dan bebas dari kecaman plus tekanan, beliau dan keluarga bisa saja lari ke luar negeri. Namun keputusan yang diambil adalah tetap bertahan di Indonesia, melewati badai kebencian, kemarahan dan proses hukum yang kusut.

Wajar saja bila jiwa cinta bangsa dan negara begitu pekat di hati bekas kepala negara karatan tersebut. Mubarak, Ben Ali dan Soeharto dulunya tokoh muda yang merintis karir dari bawah, melewati bermacam pergolakan dan revolusi. Ditakdirkan lahir dari keluarga kelas bawah atau menengah, jiwa muda mereka dipenuhi oleh semangat untuk membawa perubahan mendasar bagi bangsa dan masyarakatnya. Kalau kemudian mereka terinfeksi penyakit korupsi, itu tak terlepas dari kehadiran istri dan keluarganya, anak–anak yang manja dan para menantu yang suka hidup glamour serta kerabat dekat dan jauh yang mendadak menjadi sok penting serta sok kuasa.

Apa yang terjadi pada bekas kepala negara tersebut dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua orang. Berhentilah bermimpi untuk berkuasa puluhan tahun. Bila pada kepemimpinan satu atau dua periode saja sudah dapat melakukan banyak hal positif, kenapa ngotot maju lagi untuk periode berikut, seakan-akan hanya dia yang bisa menyelesaikan masalah di dunia ini? Banyak orang lain yang pintar dan capable. Beri mereka kesempatan untuk bekerja dan beramal kepada bangsa dan negaranya.

Nasionalisme seorang pemimpin diuji di sini. Mau gak mundur untuk memberi kesempatan pada yang muda berkarya. Jangan menunggu didemo atau dikudeta. Malu dong….

14 Februari 2011

A FOOTBALL STAR IN MY FAMILY


I am only an ordinary mother that hopes the best for my children. At the time (almost) all mothers in Indonesia expect that their children will continue their education up to the highest level, and later on they will get a decent livelihood, I have prepared myself to be happy to the choice of my son; he wants (only) to be a football player. As long as that profession satisfies his self and can make him happy, why not?

My beloved Fathur is gifted with a talent of playing football. How the talent will bring him to success, I am still not sure since career as a football player in Indonesia is not promising. But it is very obvious that he has set his resolution strongly. In his age of 14 years, Fathur plays for his school team. He practices the technique hard and diligently. He also joins a professional club in hope someone will look at and promote him to a higher level of club/division. Once or twice he also asked me to support and pray for his success.

In spite of his obsession to be a football player, one thing bothers me. He actually has a heart disorder.  The doctor said that when he was just 8 month old baby. The medical operation he ever had doesn’t guarantee that he is free from such a sickness. With so much energy he spends for football, my worry is getting huge. I am afraid, if he does not balance his activity well, the sickness will threaten his life. I cry to think of him stop breathing because of heart’s attack. 

This situation becomes a dilemma for me and my husband. It is sad to see him develop a dream that he might not be able to reach. He longs to be a football star like his idols; Messi, Ronaldo, and Ibrahimovic.  However, he must understand that his happiness cannot stand alone. It relates so much to the happiness of his family. He will tear off us if that football finally kills himself.

Indeed I haven’t talked yet seriously about this to him. Once I get his medical checkup result and the doctor’s suggestion, I will do it without delay.  I still hope that the result is not as bad as I imagine, so he can continue playing and reaching his dream. His dream is mine too. I will be very happy to have a football star in my family, if that is OK with his health.

10 Februari 2011

WHAT MY LIFE WILL BE AFTER DEATH?


I AM THINKING again about death after hearing the sudden gone of Adjie Massaid.  The news recalls me that death can come any time to any people, even if you are a rising politician, a healthy and wealthy guy. The angel will not consider any situation in doing his job.


I am asking myself, am I ready to meet my God when the time is coming? From what I know, the journey to meet HIM is not easy. I have to meet troubles with various levels of difficulties, depends much on my kindness and sincerity. What a pity if I know later on that the weight of kindness I did during my life is light, or God might decide to give no reward at all for me. It can happen because sometimes I feel pretty satisfied with myself as if the kindness I did is worthwhile enough. 

The word of death always intrigues me. Almost all literatures I read tell that the life after death would be a disaster for a man who didn’t do any good during his life in the world. Even the person, who did good things but less in amount, would be also in difficulty. I predict that only a few people will be saved from the situation there. Though I perceive that God will be not so cruel to HIS creatures, I really have to anticipate it by doing many more good things and reducing the bad behaviors.


The sources of my worry are also my mom, dad, brothers and sister, husband and children. Can they help themselves? Can my sons take care of themselves and hold Islamic values as strong as what I want them to? Who will remind them about praying, fasting, doing charity, etc when I no longer exist in the world? I am aware that it is not easy to keep the faith right now. The temptation to break it is so tantalizing.  Indeed, when I am dead, I will be released from the duty to guide my family. But I will be very sad to see them walking in the wrong path. I want to have my family, -all of them- with me in heaven.

I do hope that Allah will accept all kindness I did and ignore my sins. Would HE consider my love to HIM in return? If it is not too much, I also hope that HE will allow my family to join me in heaven. Can I?

1 Februari 2011

APA SIH YANG DITANGISKAN LUNA?


Melihat Luna Maya menangis dan nyaris pingsan ketika vonis dijatuhkan kepada teman (kekasihnya?), saya jadi bertanya? Apa sih yang ditangiskan Luna? Sebegitu sedihnya kah Luna terhadap nasib Ariel sehingga melupakan fakta bahwa dirinya sebagai gadis baik-baik sesungguhnya lebih terhina dibanding hukuman Ariel yang 3 tahun 6 bulan tersebut sebab video porno yang menampakkan profil tubuh telanjangnya bersama  Ariel telah tersebar ke mana-mana-.

Reaksi ketidakpuasan yang berlebih-lebihan terhadap vonis hakim, telah menjadi babak tersendiri dari sebuah drama panjang penanganan kasus di Indonesia. Masih ingat Gayus, ketika dengan tubuh dan suara gemetar mengungkapkan pihak-pihak lain yang bermain dalam kasusnya, hingga kini belum tersentuh hukum. Usahanya cukup bagus untuk membuka mata semua orang terhadap mafia hukum yang terjadi di Indonesia, namun masyarakat tak bisa dibodohi bahwa hukuman yang diterimanya terlalu rendah dibanding perannya dalam kasus perpajakan tersebut.

Setali tiga uang, Luna seakan menunjukkan kepada publik bahwa Ariel dizholimi. Kenapa dia dihukum, bukankah dia tidak tahu menahu soal video porno tersebut? Luna juga seakan menafikan copian video porno yang dijadikan bukti di pengadilan.

Apakah hukum kini dimaknai hanya sebagai sebuah pertarungan kalah-menang? Lalu dimana letaknya hati nurani? Apakah Luna akan senang jika Ariel dihukum 1 bulan saja atau dibebaskan sama sekali dari tuduhan tersebut? Apakah jika Ariel bebas hati mereka berdua akan puas?  Apakah jika Ariel bebas, dirinya juga akan bebas di mata Tuhan dan kembali bersih di mata keluarga, tetangga dan penggemar mereka?

Seandainya hukuman tersebut diterima dengan rendah hati serta dimaknai sebagai langkah pertobatan, masyarakat mungkin akan memaafkan mereka. Tapi nampaknya Luna dan Ariel tak peduli soal dosa dan maaf masyarakat tersebut. Toh banyak perusahaan dan program televise yang menunggu dan menawari kontrak untuk tampil kembali di depan penggemar masing-masing?

Jadi apa yang menyebabkan Luna menangis? Apakah ini hanya sebentuk kesombongan seorang artis pujaan dan berduit?