Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

18 Agustus 2010

k e r b a u


Tak pernah bosan bermalas-malasan.

16 Agustus 2010

THE SMELL OF ROSES


Ibuku pergi satu tahun lalu. Walau penyakit itu begitu dahsyat mendera tubuhnya, di atas peraduannya yang terakhir, di visi yang selalu lekat di ingatanku, bibirnya melukiskan sebuah senyum. Ibuku pergi dengan ikhlas dan tenang. Kami pun menangis diam-diam, memandangi keayuan di wajahnya yang tidak akan bisa kami lihat lagi.


Ibuku adalah inspirasi bagiku. Sebagai seorang istri, dia sabar dan cerdik. Ibu tidak pernah menyerah pada semua keputusan papa, dia berusaha mencari jalan lain agar papa membatalkan keputusan yang tidak disetujuinya. Tidak selamanya ibu bisa memenangkan pertarungan ”kebijakan” itu, namun aku menghitung...satu, dua, tiga... dan beberapa lagi ’kekalahan’ ibu itu, menjadi penyesalan bagi keluarga kami belakangan hari.


Ibu adalah teman terbaikku. Ibu marah ketika aku mengambil keputusan yang membuyarkan impian keluarga kami. Namun ibu adalah yang pertama memberikan dukungannya ketika aku terpuruk dan kalah. Dia memaafkan kekeraskepalaanku yang tidak mendengar nasehatnya.


Dia membanggakanku ke siapa saja karena aku, putrinya yang cantik dan pintar, berhasil keluar dari keterpurukan itu. Aku tahu diam-diam ibu sering memandangiku seperti memandangi seorang putri yang dipujanya. Beberapa minggu menjelang kepergiannya, tiba-tiba ibu mendaratkan ciuman di pipiku tanpa diringi kata sepatahpun. Ciuman ringan itu sangat kuat membekas di hatiku.


Ibu juga banyak menyimpan kepedihan. Aku adalah temannya, aku adalah satu-satunya tempat dia mencurahkan keluh kesah di tahun terakhir hidupnya. Maaf kan aku ibu, satu atau dua kali aku pernah mengatakan dirimu tidak tabah. Engkau telah menata hatimu dengan luar biasa tegar selama ini, mengapa aku tidak dapat menerima kerapuhanmu saat itu? Pada saat diam-diam penyakit itu telah bersemayam dan menghancurkan kekuatanmu!


Dalam kenanganku pada dirimu, aku melihat diriku. Engkau mengharapkan diriku untuk menjadi pengganti dirimu bagi adik-adikku, penjaga papa yang masih sangat berduka, penolong bagi kerabat kita yang kehilangan seorang saudara yang amat perhatian dan dermawan. Aku mungkin tidak bisa menjadi sesabar dirimu ibu,... melayani tamu-tamu yang datang, memasak makanan dan kue yang lezat untuk mereka, atau menemani mereka bercerita di ruang keluarga kita yang sederhana.


Namun aku akan memenuhi harapanmu untuk menjadi seorang yang dermawan, bahkan aku bertekad melebihi kemurah-hatianmu ibu, karena Allah memberiku rezki harta yang lebih lapang. Kudedikasikan semuanya untukmu. Semoga keshalehanku cukup menjadi penolongmu.


Ibu, aku berdoa di Tanah Haram, di akhir shalatku, di setiap aku mengenangmu, agar Allah memberi dirimu teman-teman malaikat yang baik hati, ramah, periang dan suka bercerita riuh di beranda rumahmu di sana yang dipenuhi bunga-bunga.


Di Ramadhan ini, aku mencium lagi wangi bunga mawar itu. Engkau kah yang datang ibu? Aku menyadari tak mungkin bertemu dirimu lagi di taman rumahku, yang bebungaannya adalah pemberianmu. Aku sudah sangat senang bila harum mawar itu adalah dirimu.


The smell of roses. I hope it’s yours, mom….

(15 Agustus 2010)

15 Agustus 2010

THE EAST COAST OF JAMBI




Pemandangan menuju Desa Penyerang, Kecamatan Pengabuan Tanjung Jabung Barat.

11 Agustus 2010

TUTUDUNG PENANGKAL RACUN



Tidak mudah untuk sampai ke Desa Senyerang. Dari Kota Tungkal, rombongan kami harus menaiki speedboat dan mengelanai sungai selama kurang lebih 1 jam. Sungguh, jika bukan karena tugas kantor, akan sangat sulit bagi saya untuk mengunjungi desa tersebut.


Bayangkan saja, tak terlihat pemandangan menarik sepanjang perjalanan, hanya sungai yang airnya kecoklatan, tanaman mangrove di tepian dan rumah-rumah penduduk yang sederhana. Dengan pandangan prihatin, saya melihat anak-anak yang berenang riang gembira di air sungai yang keruh bercampur sampah plastik dan sampah rumah tangga lainnya.


Inilah gambaran kehidupan penduduk tepi sungai dan pantai. Sungguh ajaib mereka bisa tetap gembira dan sehat.


Sampai di dermaga besi yang dibangun Petrochina, kami disambut dengan beberapa sepeda motor yang akan mengantar kami ke lokasi peternakan yang merupakan target kunjungan kali ini. Namun sesampainya di rumah panggung milik seorang petugas di Desa Senyerang, kami tidak diizinkan langsung ke lapangan. Sebaliknya, kami dipersilakan untuk masuk rumah dulu dan mencicipi hidangan.


Di ruang depan telah menunggu sajian pelepas haus, kelapa muda, teh manis es dan air putih. Juga beberapa sisir pisang barangan yang lezat. Selesai meneguk habis kelapa muda dan mencicipi dagingnya yang putih lembut, ternyata tuan rumah ’memaksa’ kami untuk mencicipi hidangan makan siang. ”Ke lapangannya nanti saja, habis makan siang ini,” ucap Zainuddin si tuan rumah dengan ramah.


Di depan kami terhidang beberapa tudung nasi, yang menurut penjelasan tuan rumah dibuat dari daun nipah. Di bawah tudung nasi, terdapat nampan dimana tuan rumah menata lauk untuk makan siang kami; udang goreng, ayam goreng, gulai buncis serta kobokan pencuci tangan. Satu nampan berisi hidangan makan siang untuk tiga orang.


Tudung nasi itu mengingatkan saya pada film-film kungfu China, dimana tokohnya mengenakan tudung tersebut di kepala. Selain berfungsi sebagai penutup kepala, tudung itu juga merupakan alat bantu penyamaran bagi si jago kungfu untuk menyusup ke sebuah pemukiman penduduk atau sarang musuh.


Tapi di Desa Senyerang, tudung nasi ini berfungsi lain.


Tudung nasi ini, menurut penjelasan tuan rumah, bukan sekedar penutup hidangan, namun juga untuk melindungi makanan dari racun yang dikirim oleh orang-orang jahat. Seorang teman di rombongan kami mengatakan bahwa pada tahun 80-an, tiga desa di Kecamatan Pengabuan Tanjung Jabung Barat tersebut, -Desa Senyerang, Ketapang dan Sirindit-, dikenal sebagai ”sarang” racun. ”Orang luar tak berani makan dan minum di ketiga desa itu,” kata kawan tersebut.


Tudung nasi ini diyakini mampu menangkal black magic tersebut. Akibat keyakinan tersebut, tak heran semua rumah di kawasan tersebut apakah dia berasal dari etnis Banjar, Jawa, Bugis ataupun melayu tua, memiliki tudung (atau tutudung, menurut bahasa Banjar) di rumah mereka.


Bagi orang luar seperti saya, keyakinan akan adanya ilmu tersebut masih samar-samar. Di zaman dulu dimana fasilitas kesehatan masyarakat masih sangat minim, mungkin saja penyakit akibat racun tersebut adalah sejenis penyakit paru-paru atau lambung (maag). Namun bagi masyarakat sekitar, racun gaib tersebut diyakini ada. ”Tanda-tandanya kaki lemah, badan pucat dan kurus, hingga muntah darah,” kata Zainuddin yang mengaku pernah terkena racun saat berusia 6 tahun.


Syukurnya, ilmu hitam tersebut sekarang telah sirna dari desa penghasil pinang, padi dan ternak sapi tersebut. ”Kehidupan kami telah jauh berubah. Desa-desa di sini tidak lagi terisolir, sehingga pemikiran warganya pun sudah terbuka lebar. Mungkin inilah sebabnya ilmu racun tersebut berlahan hilang,” jelas Zainuddin. (Tanjabbar, 9 Agustus 2010)