Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

15 Februari 2016

I Feel Good di Puncak Bromo


APA yang paling mempesona dari Gunung Bromo? Sulit menjawab pertanyaan tersebut karena setiap orang mungkin memiliki kesan yang berbeda tentang gunung yang berada di Kabupaten Prubolinggo Jawa Timur ini. Namun bagi saya, selain keindahan, adalah tantangannya yang membuat saya merasa bangga dan puas sempat memandangnya dari dekat.
Saat kami berangkat ke Prubolinggo dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, sudah terdengar informasi bahwa puncak Bromo ditutup sementara karena sedang erupsi. Sedikit kecewa sebenarnya namun tidak menyurutkan niat kami bertujuh. Apalagi puluhan turis asing berkulit Eropa dan Asia terlihat keluar dari pelabuhan Ketapang. Kami merasa yakin mereka menuju Bromo juga.
Dari Ketapang kami menyewa mobil. Cukup mahal. Hal ini sudah kami duga karena belum ada pelayanan transportasi massal. Serupa lokasi wisata lainnya di Indonesia, biaya transportasi merupakan komponen pengeluaran terbesar. Apalagi jarak Ketapang dan kawasan Bromo cukup jauh – sekitar 6 jam perjalanan menggunakan mobil – dan sulit.
Kami memasuki kawasan gunung berapi aktif tersebut pada tengah malam berkabut. Mobil meliuk-liuk menyusuri jalan sempit, menyusuri rumah penduduk dan kebun sayuran serta pepohonan. Malam itu belum terlalu dingin, masih bisa tertahankan dengan mengenakan jaket atau baju berlapis. Sopir mengantar kami ke sebuah penginapan ketika jam telah lewat 12 malam.
“Silahkan istirahat dulu. Nanti jam empat pagi akan saya bangunkan, lalu diantar mobil jeep ke Seruni Point,” kata penjaga penginapan. Lagi, kami mengeluarkan ratusan ribu rupiah untuk sewa jeep. Tepat seperti yang direncanakan, kami dibangunkan pada dinihari tersebut. Sungguh sebuah perjuangan yang berat karena kondisi badan masih lelah dan mengantuk berat. Tapi demi melihat sunrise di puncak Bromo, kami berangkat dengan terseok-seok.
Sampai di kaki Seruni Point, banyak turis telah mulai mendaki. Turis asing dan lokal dengan puluhan orang-orang dari suku asli Tengger yang menyewakan kuda berkerumun di pemberhentian terakhir mobil jeep. Saya dan suami mencoba mengelak tawaran mereka yang gigih. Mereka terus merayu, mungkin karena mendengar nafas saya yang tersengal-sengal menapaki jalan berbatu, terjal dan licin akibat guyuran hujan.
“Jauh Pak, Ibu…tidak akan kuat. Ayo saya antar,” bujuknya. Ketika tawaran itu kami abaikan, lelaki lain mendekat dan menurunkan tarifnya.
“Lima puluh ribu saja pak…. Ke atas masih jauh, tidak akan kuat,” ucapnya. Akhirnya kami pun tergoda karena mengira puncak Seruni masih jauh. Ternyata hanya berkuda satu putaran, kami harus turun. Di sanalah pemberhentian terakhir kuda. Saya dan suami hanya bisa meringis karena telah ditipu mentah-mentah, namun juga salut atas kegigihan mereka menawarkan kudanya.
Bagi saya yang tidak muda lagi, menapaki sekitar duaratus anak tangga ke puncak pengamatan Bromo di Seruni Point adalah sebuah perjalanan berat. Berlahan semangat untuk tidak mau dikalahkan oleh usia bangkit. Saya bisa! Meski dada terasa berat dan dipenuhi oleh udara dingin yang membuat saya terbatuk-batuk, keinginan untuk sampai di Seruni sebelum pendar matahari muncul, semakin menguat. Uap dingin berpacu keluar, mengepul dari mulut-mulut kami. Syukurillah, akhirnya bisa sampai di puncak bersama puluhan turis lainnya.
Momen-momen menjelang munculnya matahari berlalu dengan sepi. Sebagian berbisik-bisik dengan teman atau pasangannya, yang lain memilih diam dan mengamati dengan tenang. Ketika cahaya matahari mulai berpendar kuat, suara jepretan kamera terdengar di setiap sudut, berlomba mendapatkan latar belakang menarik dari Gunung Bromo dengan asap yang mengepul dari kawahnya.
Berlahan langit mulai terang. Kami pun menuruni Seruni menuju kuda yang menunggu di bawah. Sungguh, menunggangi kuda menuruni jalan yang sempit dan curam adalah pengalaman yang sangat menegangkan. Seakan-akan kaki kuda akan terperosok dan melempar penunggangnya ke dalam jurang. Untungnya saya berhasil mengatasi rasa takut tersebut, bahkan kemudian menikmatinya.
Meski kawasan di tanah berpasir di kaki Bromo ditutup akibat erupsi, orang-orang Tengger menjanjikan mengantar kami ke sana melewati jalan setapak. Jalan tersebut biasa dilewati mereka untuk mengambil rumput makanan kuda. Sekali-sekali kami terpaksa turun dari kuda karena jalannya terlalu licin dan berbahaya.
Begitu sampai di dataran berpasir, perasaan saya terasa meluap-luap oleh sensasi keindahan dan kemenangan. Akhirnya kami berada tidak jauh dari kaki Gunung Bromo. Meski terlarang mendaki puncaknya, kami memberanikan diri mengambil beberapa gambar di dekat Pure Luhur Poten, tempat ibadah Penganut Hindu Tengger.
Ada perasaan puas dan senang yang aneh, serta kedekatan dengan yang Maha Kuasa ketika berada di sana. Sedikit terbawa perasaan…tapi terus terang saya merasa menjadi salah satu orang terpilih ketika itu. Di usia yang tak lagi muda, saya bisa hadir di kawasan Bromo. Itu suatu pencapaian yang luar biasa. Lalu saya ingat…, bumi Allah ini sangat luas. Saat itu pun saya bermohon agar DIA memberi kami umur panjang dan rezeki cukup agar dapat mengunjungi bagian lain dari bumiNya dan merasakan keagunganNya, sebagaimana perasaan saya ketika berada di kawasan Bromo. (Asnelly Ridha Daulay)


Sorga yang Bingar di Gili Terawangan


KETIKA saya mengupdate status di facebook, “Just arrived in Lombok”, seorang teman berkomentar agar tidak melewatkan Pulau Gili Terawangan. Teman-teman lain bahkan dengan detil menyebut objek wisata yang harus saya kunjungi di Pulau Lombok dan sekitarnya. 
“Tenang, kita akan ke sana setelah acara HPN selesai,” jawab suami ketika dengan geli saya melaporkan respon teman-teman tersebut.
Jadi, hari-hari pertama di Mataram kami mengunjungi objek wisata yang dekat-dekat saja seperti Pantai Senggigi, menyapa monyet di Pusuk Pass, singgah sebentar di Pantai Aan dan tentu saja, melihat karya tangan penduduk Lombok yang terkenal; perhiasan mutiara dan tenunannya.
Fathur yang amat keranjingan fotografi mengajak ke bukit Merese yang terletak di seberang Pantai Aan. Hanya saya dan Fathur yang berangkat. Kami pun menyewa kapal untuk menyeberang.
Perjalanan ke Bukit Merese ternyata tidak mudah. Siang itu sangat panas. Hati saya langsung terhibur begitu kapal meninggalkan pantai menuju  laut biru. Tuhan telah menganugerahkan biru yang indah untuk semua laut yang mengitari Pulau Lombok. Sampai di kaki Bukit Merese, kami bertiga menapaki padang rumput tipis dan bergelombang, yang mengingatkan pada scene sebuah film Hollywood. “Seperti di film Jurrascic Park ya Ma?,” kata Fathur mengungkapkan apa yang juga ada di pikiran saya.
Fathur tak kuasa menahan gejolak hatinya untuk segera menemukan sudut terbaik pemotretan. Nyaris lupa bahwa ibunya merangkak tertatih-tatih di belakang. Sadar melenggang sendirian, dia mendekat dan bertanya apakah saya masih bisa melanjutkan pendakian? Tentu saja harus bisa! Sebagaimana Fathur, saya juga amat tertarik dengan pemandangan anyar.
Dan ketika kami membelok mengitari sebuah undukan dan sampai di sebuah dataran, dada kami terkesiap melihat pemandangan di bawah kami. Laut biru membentang hingga ke tepi langit, mengitari bukit-bukit yang lebih rendah dari Merese.

“Mama, inilah keindahan absolut itu,” ucap Fathur nyaris berdesah. Saya pun mengangguk. Teramat indah…indahnya nyungsep ke hati  karena tersaji khusus untuk kami berdua.
Fathur meninggalkan saya di puncak bukit Merese, ditemani kerbau-kerbau yang sedang merumput. Dia dan si pemandu menuju cerukan di bawah, meloncat dari satu batu karang ke batu berikut untuk mengambil gambar-gambar menarik. Sendiri di puncak Merese, saya sempat berpikir alangkah ramainya wisatawan asing yang akan datang jika infrastruktur ke sini dilengkapi. Dengan kondisi jalan yang buruk dan sempit saja, puluhan bule bersepeda motor mau datang, apalagi kalau ada kereta gantung atau kapal pesiar? Tapi, mungkin baik juga jika Merese dan bukit-bukit lainnya dijadikan sebagai lokasi wisata eksklusif, agar alamnya terawat dan tidak berisik
Selesai acara puncak HPN di Pantai Kuta yang dihadiri Presiden Jokowi, kami bertujuh pun berangkat ke Pulau Gili Terawangan. Dari Pelabuhan Bangsal, di tengah hujan rintik kami naik perahu yang dipadati bule dan penduduk lokal serta bertumpuk-tumpuk sayur-sayuran. Wahhh, terjepit seperti pengungsi yang tersingkir dari negerinya. Ini liburan atau penyiksaan sih? Tapi para bule yang duduk di anjungan kapal terlihat santai-santai saja, tak terganggu oleh pemandangan dunia ketiga di hadapan mereka. Bagi mereka mungkin keindahan alam Indonesia plus orang-orangnya yang bersahaja adalah satu paket yang saling melengkapi.
Sore itu Pulau Gili ramai, kegirangan terlihat di wajah-wajah yang melintas. Pulau itu bak sebuah desa yang penduduknya saling mengenal walau pada kenyataannya hampir tiap hari para turis datang dan pergi. Meski tingkah turis asing bikin risih, wisatawan muslim dan muslimah yang berjilbab seperti saya cukup banyak mengunjungi pulau ini. Dan di sini mudah mendapatkan makanan halal. Penduduk lokal Gili sebagian besar muslim, cara  berpakaian dan berbicara mereka pun sopan.
Gili Terawangan di waktu malam sepenuhnya menjadi kampung orang asing. Di sepanjang jalan yang mengitari pulau, berbaris kafe, pub, restoran atau Misbar Movie (dengan barisan bed/tempat tidur kecil untuk bersantai). Jalanan ramai oleh pejalan kaki,  kereta kuda model tempo dulu dan sepeda kayuh. Sampai saat itu, saya belum melihat istimewanya pulau ini. Lalu mengapa banyak teman merekomendasikannya? Apakah karena banyak bulenya? Hmm, bagi saya melihat orang kulit putih bukan lagi suatu pemandangan yang menarik. Saya agaknya harus menunggu besok untuk peroleh jawabannya.
Tuntas subuh, saya sendirian ke tepi pantai. Para karyawan kafe sedang bersih-bersih. Pagi itu pantai yang berjarak dua ratus meter dari penginapan lengang. Hanya beberapa turis Asia dan remaja lokal. Bule mungkin masih teler di kamar masing-masing.
Sunrise will be coming soon. Saya datang tepat waktu. Saat penghuni pulau ini tengah terlelap, dan kapal-kapal yang ditambat berayun lembut digoyang angin laut, kemunculan matahari pertama seperti hadiah bagi para pecinta subuh. Saya adalah sedikit orang yang menerima hadiah itu di Pulau Gili Terawangan.
Sebelum sarapan, saya dan suami mengelilingi pulau bersepeda. Udara segar dan birunya laut mengalir beriringan dengan kayuhan sepeda kami. Cucuran keringat terasa seperti cipratan air yang menyegarkan dan menggerakkan otot yang melempem akibat kemalasan berolahraga selama ini.
Pengalaman paling menarik di Gili tentu saja mengintip terumbu karang biru di dasar laut. Begitu boat sampai di Gili Mano, Fathur langsung menyebur disusul yang lain.  “Ayo..turun!” ajak suami dari laut. Sejenak saya ragu. Maakk, saya tidak bisa berenang! Saya melirik pelampung yang sudah dikenakan sejak kapal meninggalkan pantai. Saya akan menyesal jika tidak mencoba.
Saya pun turun ke laut. Ternyata tak ada yang perlu ditakutkan. Tubuh saya beradaptasi dengan cepat. Di kejauhan Fathur dan anggota rombongan lain asik snorkeling dan berfoto dengan latar terumbu biru yang indah. Luar biasa.

Kami kembali ke darat satu jam kemudian dengan perasaan puas dan bersepakat akan  mengulang kembali petualangan di dasar laut. Nusantara kita toh tidak kekurangan laut-laut indah untuk diselami.// Asnelly Ridha Daulay.