Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

31 Oktober 2010

HERBAL UNTUK SINUSITIS


1. Ramuan I

Bahan-bahan

Lima batang sereh, tiga buah jeruk nipis yang sudah tua, tujuh lembar daun sirih, tujuh belas biji cengkih, dan dua jari jahe.


Cara membuat

Jahe dan sereh dicuci lalu dimemarkan. Kulit jeruk nipis dikupas lalu dibelah menjadi empat bagian. Semua bahan tersebut direbus bersama enam gelas air hingga airnya tersisa tiga gelas.


Cara memakai

Ramuan ini diminum tiga kali sehari setelah makan. Dosisnya setengah gelas sekali minum. Penderita sinusitis dianjurkan untuk tidak mengonsumsi makanan penyebab alergi, seperti kepiting, udang, dan tongkol. Selain itu juga sebaiknya menghindari minum es dan berlama-lama berada di tempat yang berudara dingin. Jika berada di ruangan yana ber-AC sebaiknya menggunakan jaket.


2. Ramuan II

Bahan-bahan

Sepuluh gram jahe, lima suing bawang putih, dan enam puluh gram lokio.


Cara membuat

Semua bahan direbus dengan 600 ml air hingga tersisa sekitar 300 ml. setelah agak hangat, air rebusannya disaring.


Cara memakai

Airnya diminum selagi hangat secara teratur dua kali setiap hari.

26 Oktober 2010

DILEMA STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN; Konservasi Vs Kepentingan Ekonomi



Diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan merupakan jawaban atas kerisauan selama ini menyangkut banyaknya jenis ikan yang mulai terancam punah. Sebagai contoh, di wilayah daratan timur Pulau Sumatera terdapat 14 jenis ikan air tawar yang berstatus terancam punah dimana 7 jenis ikan diantaranya merupakan endemik Sumatra atau hanya terdapat di Pulau Sumatra.


Penerbitan peraturan ini juga berdampak pada bangkitnya gairah masyarakat baik yang disuarakan secara sendiri-sendiri maupun lewat LSM, serta instansi pemerintah terkait untuk mengusulkan jenis-jenis ikan yang menurut mereka patut diberi perlindungan. Diharapkan peraturan ini akan mendorong lebih majunya langkah-langkah konservasi terhadap ikan tawar maupun laut serta dengan sendirinya mendukung konsep pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.


Namun kehadiran peraturan ini memiliki konsekuensi ekonomi bagi masyarakat yang hidup dari hasil tangkapan ikan, baik dia seorang nelayan, pedagang atau sebatas pecinta ikan hias. Bagi pedagang dan nelayan, jelas pemberian perlindungan terhadap ikan jenis tertentu akan menutup penghasilan mereka dari jual beli ikan tersebut, walau sebenarnya peluang mereka masih terbuka lebar pada jenis ikan yang lain. Akan tetapi, ikan yang diberi perlindungan biasanya harganya sangat tinggi sehingga godaan untuk menangkap dan memperjual belikannya pun akan semakin besar.


Pemerintah harus memperhatikan dampak ekonomi ini. Sekali pemerintah menetapkan suatu jenis ikan diberi perlindungan, maka pemerintah harus menerapkan sanksi kepada para pelanggarnya. Ini artinya pemerintah akan berhadapan langsung dengan masyarakat. Bagi masyarakat yang tidak memiliki alternatif mata pencaharian yang lain, hal ini merupakan cobaan berat dan dapat memunculkan konflik jika tidak dengan bijak ditangani.


Apakah pertentangan antara kepentingan konservasi dan ekonomi sebegitu sengitnya? Bahkan di negara maju pun hal ini sering terjadi. Kaum Dark Conservasionist sangat percaya bahwa kepentingan ekologi dan konservasi tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Eksplorasi sumber daya alam dalam level rendahpun akan mereka tentang jika hal tersebut dikhawatirkan akan mengancam lingkungan.


Namun di negara berkembang, kepentingan lingkungan yang lebih sering dikorbankan untuk mencapai kesejahteraan sekarang. Populasi penduduk yang membengkak sementara kebutuhan akan areal dan sumber daya alam meningkat tajam, menyebabkan prilaku masyarakat dan pejabat pemerintah menjadi permisif terhadap eksplorasi alam yang berlebihan.


Akibat eksplorasi berlebihan tersebut terjadi degradasi keanekaragaman hayati ikan tawar sejak tiga dekade terakhir; kerusakan habitat karena pembalakan dan kebakaran hutan, polusi perairan, kompetisi penggunaan air, pemanasan global, introduksi spesies pendatang hingga overfishing (penangkapan ikan secara berlebihan). Sebut saja beberapa ikan khas Jambi yang mulai sulit diperoleh: arwana, lais (Cryptopterus sp), baung (Mystus bimaculatus) dan toman (Channa micropeltes). Masyarakat cendrung untuk menangkap ikan tersebut karena harga yang ditawarkan cukup menggiurkan. Bahkan kearifan lokal dalam bentuk lubuk (ikan) larangan pun belum mampu melindungi jenis ikan tertentu bahkan jumlah lubuk larangan di Jambi terus berkurang.


Dari segi pengembangan teknologi, kita juga terlambat mengembangkan cara menangkar ikan favorit masyarakat Jambi ini. Akibatnya ikan tersebut makin diburu di habitat aslinya.


Tidak Perlu Ada Pertentangan


Kekhawatiran munculnya kerugian ekonomi di pihak masyarakat jika peraturan ini dijalankan, sesungguhnya tidak perlu ada. Banyak argumen yang dapat dikemukakan untuk mendukung statemen tersebut. Pertama, prosedur pengusulan jenis ikan yang diberi perlindungan, sesuai pasal 12 Permen KP Nomor 03 sangat objektif dan melibatkan banyak pihak. Usulan inisiatif yang disampaikan oleh kelompok masyarkat atau instansi pemerintah di provinsi akan diverifikasi lebih dulu oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya, akan dilakukan analisis kebijakan bersama-sama oleh departemen dan stakeholders sebelum diserahkan kepada lembaga penelitian ilmiah yang kredible atau LIPI untuk diteliti lebih lanjut.


Kedua, jenis perlindungan yang diberikan ada dua, yaitu perlindungan penuh dan perlindungan terbatas. Artinya, untuk ikan yang dilindungi secara terbatas, masyarakat masih bisa memperoleh manfaat ekonominya selama tidak melanggar ketetapan ukuran berat dan atau panjang ikan yang boleh ditangkap, wilayah pemijahan, daerah pengasuhan, mencari makan dan atau alur ruaya, atau musim pemijahan, dan lain-lain (pasal 10 dan 11).


Ketiga, status perlindungan ikan tersebut ternyata dapat dicabut jika populasi ikan tersebut telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga tidak lagi termasuk kriteria jenis ikan yang terancam punah atau punah (pasal 26 ayat 1).


Sebaliknya, jika jenis ikan telah diputuskan untuk diberi perlindungan, sudah selayaknya masyarakat bisa mematuhi hal tersebut dan tugas pemerintah untuk menyosialisasikannya. Komitmen untuk ‘menahan diri’ dalam memanfaatkan nilai ekonomi jenis ikan dilindungi di masa sekarang, akan memberi manfaat besar bagi kehidupan generasi masa datang.

(Penulis: Ir. Asnelly Ridha Daulay, M. Nat Res Ecs/Kandidat peneliti pada Balitbangda Provinsi Jambi).

19 Oktober 2010

TUKANG PIJAT KU, DI MANAKAH DIKAU…?


Penyakit pegal linu menyerang hampir semua orang, dimulai dari kelas pekerja fisik hingga pekerja otak alias kantoran. Orang dewasa, anak-anak, bahkan bayi yang baru berumur beberapa bulan, juga butuh pijatan. Ketika jamu pegal linu tidak mampu mengurangi rasa pegal-pegal di badan, tidak ada alternatif lain selain menyerahkan raga ini ke tukang pijat. Saya menyukai tukang pijat tradisional.


Namun mencari tukang pijat yang cocok, bukanlah urusan sepele. Jalannya panjang dan berliku-liku, bahkan diantara sesama pasien pun terjadi saling rebut tukang pijat. Di rumah tukang pijat top, biasanya terdapat antrian 3 hingga 5 orang. Mereka datang ke tukang pijat yang sama dengan alasan ‘pegangan’ tukang pijat tersebut mengena dengan bagian tubuh yang pegal-pegal.


Sebagian pasien ingin dipijat di rumah mereka sendiri. Alasannya; ingin lebih nyaman dan tidak terburu-buru. Namun pilihan ini sering berbuntut kecewa. Seorang tukang pijat yang diorder untuk datang ke rumah pada jam 4 sore, ternyata hingga beberapa jam kemudian tidak muncul juga. Ternyata dia sedang memijat tetangga sebelah yang kebetulan melihatnya lewat dan langsung menyeretnya ke dalam rumah.


Tukang pijat pun sering ingkar janji dan malu-malu menyebut tarif. Sering lewat telpon dia menyanggupi untuk datang namun ditunggu dan ditunggu, tidak muncul. Ternyata dia pergi memijat ke tempat lain. “Iyalah, yang jemput dia kan pakai mobil. Bayarannya pasti lebih besar. Kita-kita yang walaupun tinggal dekatan rumah, tahu diri saja,” ucap seorang ibu yang kesal karena persoalan layanan tukang pijat ini.


Banyak tukang pijat ‘panggilan’ memang tidak menyebut tarif resmi atas jasanya. Katanya takut kualat kalau mematok harga. Kepandaian memijat merupakan berkah tuhan, jadi masalah tarif tidak boleh disebut-sebut.


Tapi tukang pijat juga manusia. Kalau ada yang membayar lebih mahal, kecendrungan tukang pijat untuk melayani panggilan pasien gedongan tersebut akan lebih kuat ketimbang menyambangi pasien lain yang walaupun masih sekampung namun bayarannya ‘standar’.


Tukang pijat menjadi semakin langka, juga karena faktor tidak ada regenerasi yang mulus. Tidak semua tukang pijat mewariskan ilmunya kepada keturunannya. Begitu juga tidak semua keturunan tukang pijat mau melanjutkan profesi orangtua atau kakek neneknya. Padahal penghasilan tukang pijat lumayan lho. Jika satu orang yang dipijat memberi upah Rp.25 ribu, 5 orang pasien sudah mendatangkan uang Rp 125 ribu per hari. Modalnya hanyalah minyak kelapa, balsem atau minyak kayu putih. Kalau dipanggil ke rumah bayarannya pun lebih besar, berkisar Rp30 ribu hingga Rp50 ribu, plus buah tangan yang lain seperti kue atau kain sarung.


Jadi, meskipun pijat refleksi bertabur di mana-mana, tukang pijat tradisional tetap sangat dibutuhkan. Sayang, tak banyak yang tertarik jadi tukang pijat ini. Gak keren kali ya?

13 Oktober 2010

Every One will love Balitbangda

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Jambi merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkup Pemerintah Provinsi Jambi yang masih eksis pasca penerapan PP No. 41 tahun 2007. Harapan tentu saja sangat besar, yaitu agar badan yang saat ini dipimpin oleh Fauzi Syam S.H., M.H. ini mampu melakukan penyusunan kebijakan dan melaksanakan kebijakan daerah di bidang penelitian dan pengembangan daerah, sesuai dengan tugas utamanya yang telah diatur dalam Peraturan Gubernur No. 31 tahun 2008.


Dua tahun telah berlalu sejak pemberlakukan PP No. 41 tahun 2007 tersebut. Sebagaimana SKPD lain yang masih berkutat untuk keluar dari problem besar mereka; rendahnya kualitas sumber daya pegawai, minimnya program kerja yang benar-benar menyentuh kepentingan masyarakat serta penyelesaian administrasi keuangan yang sering berujung pada temuan bahkan kasus korupsi dan lain-lain, Balitbangda pun menghadapi persoalan yang kurang lebih sama. Akan tetapi beban instansi ini bertambah berat dengan adanya pencitraan negatif tentang dirinya; banyak orang mengatakan bahwa Balitbangda Provinsi Jambi adalah instansi para pejabat dan pegawai buangan.


Citra negatif ini muncul dan pasti ada alasannya. Namun tulisan ini tidak akan membahas hal tersebut. Yang lebih penting adalah bagaimana membangkitkan Balitbangda dari keterpurukannya dan segera menjadi instansi Pemerintah Provinsi Jambi yang didengar hasil penelitian/kajiannya, menjadi faktor penentu apakah sebuah kebijakan perlu dilanjutkan atau tidak, atau apakah sebuah program pembangunan dapat mulai dilaksanakan atau perlu disempurnakan dulu sebelum diluncurkan oleh sebuah SKPD.


Guna meraih pencapaian tersebut, tentu saja perlu kerja keras. Sebenarnya kinerja Balitbangda selama ini tidaklah buruk-buruk amat. Beberapa hasil penelitiannya cukup mendapat respon seperti kajian tentang uji kelayakan program ikan patin, kajian tentang kinerja penyuluh atau kajian tentang pola penggaduhan sapi. Walau tidak diserap seratus persen, kajian tentang pola penggaduhan sapi, oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dijadikan bahan untuk menyusun pola gaduhan ternak pemerintah yang lebih menguntungkan masyarakat. Dan saat ini pola gaduhan tersebut telah disahkan dalam bentuk Peraturan Gubernur No 7 tahun 2010 tentang pola gaduhan ternak pemerintah daerah .


Jika Balitbangda ingin membenahi dirinya, ada beberapa hal yang mendesak untuk dilakukan dalam waktu dekat ini. Yang pertama adalah perlunya penyusunan database tentang judul dan hasil penelitian yang telah dilaksanakan sejak berdirinya Balitbangda atau setidaknya sejak lima tahun terakhir. Jika data utama ini tidak ada, orang-orang bisa jadi meragukan bahwa selama ini Balitbangda tidak mengerjakan apa-apa. Namun jika database ini dipunyai oleh Balitbangda, sangat banyak pihak yang tertolong; para mahasiswa, para peneliti, pejabat pemerintah ataupun warga masyarakat lainnya yang ingin mendapatkan informasi berkaitan dengan penelitian tersebut.


Walaupun hasil penelitian cukup banyak, itu bukan patokan bahwa nama Balitbangda akan berkibar. Perlu dibentuk sebuah tim untuk mengkaji kembali tentang hasil peneltian tersebut. Salah satu yang perlu dikaji adalah apakah penelitian/kajian tersebut mendapat respon SKPD dan masyarakat. Tidak usah takut bila respon tersebut bersifat negatif atau kecaman. Respon negatif dapat berfungsi sebagai vitamin yang dapat membangkitkan gairah para peneliti dan para pejabat yang kebijakannya diteliti atau dikaji. Sepanjang pimpinan Balitbangda dapat mengelola ‘konflik’ tersebut dengan baik, endingnya akan berbuah manis untuk kepentingan masyarakat Jambi.


Yang juga cukup penting diperhatikan, sudahkan Balitbangda atau para penelitinya mempublikasikan penelitian atau kajian mereka dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat? Jangan-jangan para peneliti Jambi hanya memfokuskan perhatiannya pada publikasi di jurnal ilmiah, padahal peran media massa sangat besar untuk menyampaikan pesan penelitian tersebut kepada pejabat pemerintah atau masyarakat. Perlu diketahui bahwa selama ini pihak media kesulitan mendapatkan narasumber yang tepat untuk menanggapi top news saat itu. Jika saja kebutuhan pihak media untuk mendapatkan narasumber yang kompeten dipertemukan dengan keinginan Balitbangda untuk mempublikasikan hasil penelitiannya dan didengar oleh decision makers di Provinsi Jambi atau masyarakat, ini akan menjadi blessing in disguise (berkah tersembunyi) bagi penguatan peran Balitbangda di masa datang.


Penguatan peran Balitbangda tidak akan terwujud jika kurang mendapat dukungan dari Gubernur, Kepala Bappeda atau pimpinan SKPD lainnya. Selama ini cukup kental penolakan atau kekhawatiran terhadap hasil kajian yang menyangkut kebijakan pembangunan daerah. Sesungguhnya tidak perlu khawatir jika semua sama-sama menyadari bahwa kajian tersebut bertujuan untuk mendukung kegiatan pemerintah agar lebih baik, efisien dan fokus untuk kepentingan masyarakat. Selama penelitian dilakukan dengan metode dan pengambilan kesimpulan yang benar, apalagi ditambah dengan penyampaian (komunikasi) yang tidak menghakimi, maka Insya Allah, everyone will love Balitbangda. (Ir. Asnelly Ridha Daulay, M. Nat Res Ecs/ Kandidat Peneliti pada Balitbangda Provinsi Jambi).