Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

30 Mei 2010

LOVE WITHOUT SHARING

Mengikatmu dalam cintaku akan menggelisahkan diri.

Tiada guna!

Cinta bagimu adalah bagaimana memiliku,

Tanpa sharing darimu.


Di hatimu ada bilik lain tempat rasamu bercengkerama.

Aku ada di bilik tua…, di hatimu, yang tetap ada walau rasamu untuk dia.

Aku tak berkuasa atas ruang itu....


Memelihara cinta untukmu berarti menahan sakit yang tiada darah.


Apakah ini akan melegakan dirimu....?

Bila aku tak bertanya lagi siapa di bilik hatimu itu?

Biarlah hatiku dan hidupmu berjalan sendiri sampai masa datang.

Ketika hatimu berkata..., aku membutuhkanmu!


Atau aku yang pergi menjauh dari dekapanmu.

Berjalan menuju dia yang kucari sepanjang hidupku

26 Mei 2010

KASUS BAKSO BABI Tak Ada Sanksi Hukum, Kasus Daging Oplosan Muncul Lagi


Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi melalui Laboratorium Keswan dan Kesmavet kembali menemukan kasus positif bakso babi di Kota Jambi, awal Mei 2010. Kali ini dilakukan pemilik Warung Bakso Arema di Paal Merah, Jambi Selatan.

“Hasilnya positif mengandung daging Babi.” ujar Ir. Hanif Lubis, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi.

Kasus ini mengulang cerita lama. Di akhir 2007 lalu, empat warung bakso melakukan hal sama; Bakso Sentot di Thehok dan Sipin, Bakso Udin di Sungai Putri dan Bakso Pariah di Tanjungsari, Jambi Timur. Saat itu warga sempati emosi dan memporak-porandakan bangunan salah satu warung bakso.

Kejadian ini cukup memukul masyarakat terutama yang beragama Islam. Dulu Sentot ngotot tidak mengakui bahwa dia telah menggunakan campuran daging sapi dengan babi untuk pembuatan bakso, lalu menggugat Dinas Peternakan Provinsi Jambi atas ‘temuan’ tersebut dengan alasan pencemaran nama baik. Pada kasus yang muncul tahun 2010 ini, pemilik Warung Bakso Arema langsung mengambil langkah seribu. Dia menutup warung baksonya dan melarikan diri dari masyarakat yang marah atas tindakannya tersebut.

Kejadian ini sangat membuat hati kita miris. Aqidah umat Islam kembali dicederai oleh oknum pedagang bakso yang ingin mencari untung banyak dalam waktu singkat. Pertanyaan yang cukup menggelitik adalah mengapa pedagang bakso, penjual daging sapi oplosan dan lain-lain masih berani bermain-main dengan daging sapi bercampur babi?

Tidak adanya tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku merupakan satu hal yang menyebabkan kasus penjualan daging oplosan masih terjadi. Kasus bakso Sentot sebagai contoh sempat menjadi headline media massa waktu itu. Sentot sendiri pun melakukan pembelaan diri yang dramatis dengan melakukan sumpah pocong di sebuah masjid. Waktu itu opini publik sempat terpecah dengan kasus tersebut dan pihak kepolisian tidak membawa kasus tersebut ke pengadilan. Akhirnya Sentot melenggang bebas tanpa hukum pidana walau secara moral masyarakat telah menghukumnya dengan tidak membeli bakso lagi dari warungnya.

Pemilik Warung Bakso Arema mungkin banyak belajar dari kasus Sentot. Dia melarikan diri, harapannya masyarakat lambat laun akan melupakan kecurangannya menjual bakso babi. Sambil menikmati keuntungannya, dia saat ini mungkin sedang berpikir untuk membuka usaha yang sama di tempat lain. Ternyata prilaku pedagang tidak berobah.

Jika prilaku pedagang belum berobah, kita boleh bersyukur bahwa prilaku masyarakat kita (konsumen) terhadap daging yang mencurigakan berubah ke arah postif. Ini merupakan dampak dari sosialisasi produk pangan hewani yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) yang gencar dilakukan Disnak Keswan Provinsi Jambi sejak kasus daging babi tahun 2007 lalu. Semua kasus di atas terungkap karena partisipasi masyarakat membawa sampel makanan yang dicurigai ke laboratorium keswan dan kesmavet Disnak Keswan Provinsi Jambi. Anggota masyarakat yang bertindak proaktif tersebutlah yang menyebabkan kasus ini terungkap.

Dinas Peternakan dan kesehatan hwan Provinsi Jambi telah melakukan upaya optimal untuk melindungi masyarakat. Dengan keterbatasan sumber daya manusia (saat ini Disnak Keswan Provinsi Jambi baru memiliki 2 orang Penyidik Pegawai Negeri sipil/ PPNS), serta dana operasional yang terbatas untuk membeli biokit atau bahan kimia pemeriksa sampel makanan ( yang harga 1 paketnya cukup mahal yaitu sekitar Rp35 juta dan diperlukan puluhan hingga ratusan paket biokit jika ingin memeriksa seluruh sampel makanan produk hewani yang ada di Provinsi Jambi secara berkala) dan untuk pengambilan sampel ke lapangan. Koordinasi dengan Dinas Pertanian Kota Jambi sebagai instansi yang menangani fungsi peternakan di Kota Jambi, pihak kepolisian, Satpol PP, serta Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) juga dilakukan walaupun belum berjalan memuaskan.

Menurut UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pada pasal 84 disebutkan bahwa selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya meliputi peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat 1).

Selanjutnya pada ayat 2 dijelaskan bahwa PPNS berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas laporan/ keterangan berhubungan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan, pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan; meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan; melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan; melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan; dan/atau meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Sebelum melakukan pengambilan dan pemeriksaan sampel yang ke-tiga kalinya dari warung bakso Arema Disnak Keswan Provinsi Jambi telah melakukan koordinasi sekaligus melibatkan pihak terkait termasuk kepolisian, sebagaimana diamanatkan ayat 3 pasal pasal 84 UU No. 18 tahun 2009.

Mengenai sanksi hukum, UU no 18 tahun 2009 menyebutkan tentang sanksi admistratif (pasal 85 ayat 1 dan 2) berupa peringatan secara tertulis; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran; pencabutan izin; atau pengenaan denda.

Besarnya denda paling sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp500 juta (pasal 85 ayat 4 (c)).

Merujuk pada UU No 18 tersebut di atas, Penulis berpendapat bahwa terbuka peluang untuk membawa kasus daging oplosan ini ke jalur hukum. Sisi hukum kasus daging babi harus ditangani lebih serius agar memberikan efek jera kepada para petualang daging oplosan. Masyarakat berhak memperoleh perlindungan dari aparat negara. Jika kasus daging oplosan dibiarkan muncul dan muncul lagi, komitmen aparat negara untuk melindungi masyarakat akan dipertanyakan. Jangan sampai masyarakat menjadi apatis, tidak mau lagi mengantar sampel makanan yang dicurigai ke laboratorium atau melaporkan penjualan daging yang tidak ASUH, karena ternyata tidak ada sanksi hukum untuk pelakunya.

PENDIDIKAN DENGAN NURANI

Kemajuan yang diraih kaum perempuan di Indonesia patut dibanggakan. Semua itu bermula dari cita-cita Kartini agar semua perempuan dapat bersekolah dan memiliki kebebasan untuk memilih (pernikahan dan jalan hidup/karir) yang diinginkannya Saat ini tidaklah aneh seorang perempuan menduduki jabatan menteri, atau pemimpin perusahaan/BUMN atau kepala daerah. Namun kaum perempuan belum dapat bersenang hati karena muncul masalah-masalah lain seperti perdagangan perempuan (women traficking), penyiksaan atas para tenaga kerja perempuan (TKW), fenomena nikah siri serta ratusan kejadian lain yang menyayat hati.

Mengapa nasib perempuan masih menjadi bulan-bulanan? Ataukah cita-cita Kartini yang diurainya melalui ratusan surat-surat kepada teman-teman Belandanya terlalu sederhana sementara zaman modern menuntut solusi yang lebih rumit?

Membahas apa yang dicita-citakan Kartini tanpa membaca dengan sabar keseluruhan surat-suratnya tidak akan memberikan gambaran yang utuh tentang cita-cita Kartini. Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, amat jelas tergambarkan kegelisahan wanita kelahiran 21 April 1879 ini. Ada beberapa poin penting yang dia gundahkan di dalam surat-suratnya; keprihatinan akan nasib perempuan terutama dari kalangan bawah yang tidak memperoleh pendidikan sama sekali, keprihatinan akan perempuan bangsawan seperti dirinya yang diizinkan mengecap pendidikan dasar namun tidak dibolehkan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, serta kepedihan banyak perempuan yang memasuki dunia pernikahan tanpa kebebasan untuk memilih laki-laki yang disukai atau tanpa melalui masa perkenalan yang memadai.

Masa-masa tersebut dilalui Kartini dengan ribuan pertanyaan dan kegelisahan, adakalanya didapatinya ketenangan dari buku yang dia baca, surat dari sahabat penanya, atau kemampuannya menjawab pertanyaan-pertanyan yang mengganggunya tersebut. Seringkali kegelisahan itu datang lagi, hatinya tenang lagi, gelisah lagi dan akhirnya Kartini sampai pada titik keikhlasan. Menjelang kematiannya pada tanggal 13 September 1904, Kartini nampaknya berada pada spirit yang sangat baik (Betapa saya tiada akan girang, mengetahui ada akan tiba bahagia yang demikian besarnya itu,... surat Kartini tanggal 7 September 1904 kepada Nyonya Abendanon). Kesimpulan yang penulis peroleh adalah Kartini telah berhasil mengatasi kegelisahannya karena dia telah sampai ke tahap menyadari tujuan hidupnya yaitu menjadi perempuan yang berguna bagi keluarga dan lingkungannya melalui profesi sebagai pendidik.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah pendidikan telah membekali warga didiknya sehingga dia mampu mendidik dirinya sendiri atau menolong kaumnya dan orang disekitarnya? Apakah seseorang harus bersekolah ke jenjang pendidikan yang sangat tinggi seperti S2 atau S3 agar bisa menemukan jalan hidup terbaik bagi dirinya? Bukankah tidak semua orang mampu membiayai pendidikan tinggi? Mengapa pendidikan setara pendidikan lanjutan tidak mampu membekali seseorang untuk mencari penghidupan yang layak bagi dirinya, memotivasi dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dan sebagainya? Jangan-jangan dorongan untuk bersekolah tinggi hanyalah untuk mengejar cita-cita menjadi PNS atau pekerjaan lain yang gampang mendapatkan uang sehingga profesi lain yang juga baik namun membutuhkan jiwa dan pikiran yang terasah halus seperti pelukis, penulis, jurnalis, pemahat dan lain sebagainya diabaikan atau tidak dijadikan pilihan hidup.

Penulis menduga keluhuran pendidikan yang dicita-ciakan Kartinilah yang tidak dimiliki di era ini sehingga penindasan terjadi dan terjadi lagi. Pendapat ini bukan bermaksud menafikan keberhasilan perjuangan perempuan Indonesia. Pemberlakuan kebijakan pendidikan dasar 12 tahun atau UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang salah satu pasalnya mengatakan bahwa wanita boleh dinikahkan minimal berusia 16 tahun dan pengetatan persyaratan bagi laki-laki yang bermaksud beristri lebih dari satu wanita, sangat banyak mengangkat harkat perempuan.

Namun sistem pendidikan yang dilaksanakan pada era ini terasa kurang pas dengan pendidikan, atau lebih tepatnya ruh pendidikan yang dicita-citakan kartini. Hal ini telah dirasakan oleh Kartini, dimana dalam salah satu suratnya dia menulis ....Banyak lagi perempuan Bumiputra, lebih, lebih terpelajar dan cakap daripada kami, dan pada mereka ada tersedia segala yang perlu; tiada kurang kesempatan akan mencerdaskan pikirannya dengan segala ilmu dengan sesukanya; sama sekali tiada terlambat dalam mencerdaskan tenaga rohaninya; yang boleh menjadi apa saja yang dikehendakinya; dan mereka itu semuanya tiada berbuat apa-apa, suatupun tidak ada yang tercapai oleh mereka yang menuju ke arah sesuatu yang boleh membangkit perempuan sebangsanya dan bangsanya.

Dengan terus terang Kartini menyatakan pendapatnya tentang perempuan yang menikmati pendidikan formal memadai, memperoleh kesempatan yang luas namun tidak melakukan apa-apa untuk menolong kaumnya. Apa yang dikatakan Kartini sangat relevan pada zaman ini. Siapa bilang wanita yang nikah siri adalah orang-orang bodoh yang tidak mengecap pendidikan? Mereka semua adalah wanita yang memperoleh pendidikan, namun ternyata pendidikan tersebut tidak dapat digunakannya untuk mengarahkan dirinya sendiri. Pendidikan yang dikecapnya adalah pendidikan yang hanya menyentuh fisiknya atau otaknya, namun tidak menyentuh ruhnya, tidak mencerahkan jiwanya.

Melalui peringatan hari kartini ini kita sebaiknya mengevaluasi sistem pendidikan nasional yang lebih berorientasi kepada penguasaan teori namun miskin keterampilan, mengabaikan pencerahan dan kurang memberikan motivasi. Guru-guru berpacu agar siswanya lulus 100% dalam UAN, apakah pendidikan yang diberikan membawa kepada keluhuran budi, itu adalah persoalan lain.

Pendidikan luar sekolah seharusnya juga mendapat porsi perhatian yang besar. Kita tahu bahwa peran da’i atau ulama atau pemuka agama non muslim lainnya sangat besar untuk membentuk karakter bangsa. Selama ini apakah pemerintah memperhatikan guru-guru spritual ini dengan memadai? Perbaikan kesejahteraan hidup, pelatihan dan pembekalan hanya diberikan kepada guru-guru formal sedangkan guru-guru spritual ini, hidup dan bekerja dari sumbangan warga masyarakat semata. Peran mereka makin lama makin kecil, profesi ini menjadi tidak diminati karena masyarakat berlahan-lahan lebih menyukai kehidupan hedonis dan kurang waktu untuk mencari kehidupan yang agamis.

Dari kehidupan Kartini, penulis juga memperoleh suatu temuan yang menyejukkan yakni tiada lagi dikotomi antara perempuan dan laki-laki karena kedua jenis sex itu diciptakan Allah untuk saling berbagi. Kartini yang pada mulanya menentang perjodohan dirinya dengan Bupati Rembang, akhirnya menemukan penguatan pada diri suaminya tersebut, dan anak-anak tirinya sebagai murid pertamanya di Rembang. ”... Di Rembang nanti luaslah lapangan pekerjaan saya, dan syukurlah saya tiada akan berdiri sendirian di sana, dia telah berjanji akan membantu saya kuat-kuat...” (Suratnya tanggal 25 Agustus 1903 kepada Nyonya Abendanon)

Rangkaian kalimat tersebut menggambarkan optimisme Kartini karena suaminya mendukung perjuangannya. Kartini menunjukkan kepada kita bahwa perjuangan untuk mencerdaskan perempuan tidak harus dilakukan dengan gerakan ekstrem semacam gerakan women liberation atau feminisme ala barat, namun bisa lebih efektif bila dilakukan dengan persuasi dan diskusi yang menjembatani dua pemikiran yang berseberangan seperti permintaan persuasif yang dilakukan Kartini terhadap kedua orangtuanya agar dapat bersekolah ke Belanda (disetujui walaupun kemudian dibatalkannya karena pinangan Bupati Rembang kepada Kartini) dan diskusi dengan calon suaminya tentang peran yang ingin Kartini lakukan setelah menjadi istri nantinya.

Sebagai kesimpulan, perbaikan sistem pendidikan yang menyatukan otak dan hati nurani serta diskusi yang terus menerus dengan semua pihak adalah hal yang harus ditingkatkan implementasinya agar cita-cita kartini menjadikan perempuan Indonesia yang cerdas, bahagia dan bermartabat dapat diwujudkan sepenuhnya.



MORAL HAZARD… ADA DI MANA –MANA

Istilah moral hazard sering disebut-sebut ketika anggota dewan mempertanyakan kebijakan Bank Indonesia untuk memberikan bailout kepada Bank Century. Banyak pemirsa yang menyaksikan siaran langsung Pansus Century tidak terlalu peduli apa maksudnya moral hazard. Mereka lebih memperhatikan anggota dewan di satu sisi yang mengintrogasi Sri Mulyani atau sang menteri keuangan yang menjadi bulan-bulanan dalam sidang tersebut namun berhasil untuk tetap bersikap tenang.

Moral hazard sering dipakai di bidang ekonomi untuk menggambarkan dampak sebuah kebijakan ekonomi yang merugikan pasar atau masyarakat namun menguntungkan segelintir pelakunya. Contohnya adalah pemberian bailout kepada Bank Century tersebut. Tidak ada defenisi khusus kapan kekisruhan di sebuah bank dapat menimbulkan dampak sistemik. Menurut Deputi Gubernur B, pendefenisian dampak sistemik di satu sisi akan memberikan kepastian hukum kepada pelaku perbankan namun sisi negatifnya akan menimbulkan moral hazard karena pemilik bank yakin bahwa kalau banknya bermasalah maka pasti akan di bailout.

Ternyata moral hazard dapat terjadi dimana-mana. Beberapa hari ini saya sibuk memikirkan fenomena di masyarakat kita yang merupakan gambaran lebih familiar tentang moral hazard. Anak SMP atau SMA yang belum memiliki SIM ternyata diperkenankan orangtuanya untuk membawa motor atau mobil ke sekolah. Pihak sekolah pun tidak terlalu mempermasalahkan hal ini, terlihat dengan diplotnya areal halaman sekolah sebagai lapangan parkir. Polisi pun tidak banyak bertindak terhadap anak sekolah yang bersileweran dengan motornya. Dalam contoh ini, moral hazard dirasakan oleh anak-anak lain yang tidak memiliki motor, tidak diizinkan orangtuanya untuk membawa motor namun memiliki keinginan kuat untuk membawa motor ke sekolah. Yang terjadi akhirnya adalah perdebatan tak henti atau negoisasi yang berkepanjangan antara anak dengan orang tua agar dia dibelikan motor seperti kawan-kawannya yang lain.

Contoh lain dan ini melibatkan pejabat di instansi pemerintah adalah keputusan untuk mempromosikan seseorang menjadi pejabat di eselon III dan II. Sudah jamak diketahui bahwa penunjukan seseorang menjadi pejabat eselon berdasarkan pertimbangan ketat oleh BAPERJAKAT (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). Namun ketika nama-nama pejabat tersebut diumumkan kepada publik dan dilantik, kekecewaan muncul atas sebagian nama pejabat tersebut. Ada yang terlalu muda dan prestasinya biasa-biasa saja, ada yang pernah terkait masalah indispliner, ada pejabat yang program pembangunan instansinya gagal total namun tetap bertahan.... Ketidakpuasan ini terjadi karena tidak adanya kejelasan terhadap kriteria pengangkatan. Jika pengangkatan berdasarkan Daftar Urutan Kepangkatan/DUK (kriteria ini sering digembor-gemborkan sebagai kriteria yang amat penting), mengapa di banyak instansi muncul pejabat karbitan?

Moral Hazard pun muncul dalam jenjang karir pegawai negeri ini. Bagi pegawai muda yang seharusnya dapat berkembang optimal karena minat belajar dan bekerjanya tinggi, berlahan akan lesu darah. Untuk apa bekerja terlalu semangat jika yang menjadi bos adalah si tua itu yang tidak dapat bekerja optimal atau tidak dapat lagi memonitor kegiatan di lapangan karena penyakit yang menggerogotinya atau memang karena malas saja ....

Kekecewaan juga muncul ketika mendengan si anu yang masih muda, prestasi kerjanya biasa saja (tapi dengar-dengar masih ada hubungan kekerabatan dengan pejabat penting dll) mendapat promosi. Kenapa dia? Apa sih istimewanya?

Disinilah moral hazard dapat menghancurkan moral (dalam artian semangat) bangsa untuk berderap maju. Kecurangan yang sedikit-sedikit berlahan menjadi bukit (patah) arang. Benar, bekerja itu sebaiknya dengan niat Lillahi Ta’ala. Namun tidak adakah tanggung jawab moral pejabat publik negeri ini untuk mengurangi terjadinya moral hazard?

25 Mei 2010

IN MEDINA

Apakah kemiskinan yang membawa ku kepada mu?

Tidak ada yang miskin, asal ia pandai berkeinginan sederhana.


Tak ada yang ku harapkan darimu, kecuali rasa hormatmu,


Kalau kau tahu menghormati orang yang jujur dan merdeka.


(Omar Khayyam)