Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

29 Oktober 2014

Jangan Merasa Hebat Di Media Sosial

Hidup terasa sepi bila tak berinteraksi dengan media sosial. Banyak orang merasa kosong kalau tidak mengupdate foto atau pendapatnya setiap hari, bahkan setiap jam. Sebagian mengupdate statusnya berdasarkan informasi atau pemikiran terbaru yang muncul di benaknya, namun lebih banyak lagi yang sebenarnya tidak punya kebaruan untuk dimunculkan. Hanya kepingin saja agar orang lain lebih tahu tentang dirinya.

Keinginan berlebihan untuk mengaktualisasi diri seringkali menjebak seseorang kepada dosa. Tanpa sadar pengguna media sosial telah berlaku riya, menginformasi hal-hal bagus tentang diri dan keluarganya untuk mendapatkan tanggapan pujian atau setidaknya acungan jempol. Yang lebih tidak bertanggungjawab, karena tak punya hal menarik tentang dirinya untuk diceritakan, lalu mencari cara lain untuk mengisi wajah media sosialnya, misalnya dengan memposting gambar jelek. Kalau gambarnya lucu atau inspiratif sih tidak apa-apa, bisa menambah banyak teman. Anehnya, ada yang menjadi kecanduan memposting gambar jelek dan porno (hasil editan lagi!), tulisan menghina dan mendikreditkan orang lain, bahkan menulis pendapat pribadi yang sifatnya memfitnah dan tidak logis.

Media sosial yang semula dimaksudkan untuk memperbanyak teman akhirnya menjadi arena saling balas kemarahan dan kekasaran serta pamer diri sendiri. Jumlah teman dan kontak bisa saja bertambah tapi deretan ‘musuh’ diantara teman-teman itu, pasti barisannya makin panjang. Hal inilah yang sering tidak disadari oleh pengguna media sosial yang suka memposting ini dan itu.

Jadi… bila sekarang tanggapan atau gambar apapun yang diposting di media sosial bisa dibawa ke ranah hukum, menurut saya itu bagus sekali. Seseorang harus bijaksana mengekspresikan dirinya. Ucapan atau ejekan yang akan membuat orang lain sakit hati dan terhina seharusnya dihindarkan, juga pendapat yang dangkal dan sekterian yang sebenarnya justru menunjukkan kekerdilan diri sendiri.

Dan yang menyulitkan tapi sering dianggap tidak penting adalah bagaimana caranya meminta maaf kepada orang-orang yang dilukai oleh media kita? Ketika menemui korban secara langsung jadi sulit akibat jarak yang jauh terbentang, apakah permintaan maaf di wall (facebook, bbm, dll) bisa menjadi jembatan permintaan maaf? Saya rasa tidak.

Tuhan tidak mengampuni dosa manusia terhadap manusia lain sebelum yang dilukai bersedia memaafkannya. 

Kalau memajang permintaan maaf lahir dan batin di wall kita bisa menjadi penghapus dosa, wuih alangkah mudahnya penghapusan dosa itu! Sama artinya dengan maling yang menguras benda berharga di sebuah rumah, lalu esoknya mengirim surat permintaan maaf dan bilang ia menyesali perbuatannya. Tidak segampang itu kan?

Karenanya jangan merasa hebat ketika memposting sesuatu. Mediamu menunjukkan siapa dirimu.

19 Oktober 2014

Belajar Kerendahan Hati Dari Jokowi

SIKAP rendah hati diajarkan semua agama. Tapi tidak mudah untuk mempraktikkannya karena godaan ego yang selalu ingin memproklamirkan kehebatan diri. Apalagi orang yang rendah hati sering dipandang sebelah mata, disalahtafsirkan sebagai ekspresi rendah diri dan tidak mampu berbuat apa-apa. Rendah hati itu tidak keren.

Dari sekian banyak puja puji untuk Jokowi, bagi saya kerendahan hatinya jauh lebih memikat. Banyak orang yang lebih pintar dari Jokowi. Yang lebih ganteng…hmm lebih banyak lagi (meski seraya berseloroh Jokowi bilang dirinya tak berbeda jauh ganteng dari artis sinetron Dude Herlino). Ia juga tidak  modis. Tapi soal kerendahan hati, dia amat menonjol.

Tanpa merasa capek, dia mendatangi tokoh bangsa satu persatu. Ia mencium tangan mereka, memeluk, memijat kaki dan mengambilkan kursi untuk mereka dengan spontan. Wajar jika tokoh gaek seperti KH. Hashim Muzadi dan Buya Ma’arif mengungkapkan rasa sayang dan dukungan kepadanya. Jokowi juga tidak keberatan mendatangi dan menyalami lawan politik atau orang-orang yang mencibir, menghina dan mengkritiknya. Semuanya dihadapi dengan ketenangan yang akan sulit  dilakukan oleh orang yang tidak memiliki karakter rendah hati.

Karena itu banyak orang Indonesia  dan dunia yang memperhatikan dan menaruh harapan kepadanya. A new hope – kata mereka. Dia menjadi teman orang miskin dan rakyat jelata dan mulai besok kewenangannya untuk membantu mereka-mereka yang terpinggirkan ini akan semakin besar. 

Apakah sulit menjadi sederhana dan rendah hati? Tidak juga. Bahkan gaya itu jauh lebih pas bagi orang-orang yang penghasilannya tidak banyak. Seperti saya ini! Gaya seperti itu mengurangi beban psikis karena dipaksa ego harus tampil hebat di hadapan orang lain, padahal uang tidak cukup atau prestasi biasa-biasa saja. Bagi mereka yang hidup berlimpah, mungkin akan sedikit sulit tapi kini tidak lagi, ...karena sudah ada contoh bagus di depan mata.

Meski kita masih menunggu apa yang akan dilakukannya untuk mengurangi permasalahan negara ini, setidaknya kita telah menggenggam satu teladan baik darinya. Rendah hati.

                                                             ** V **


11 Oktober 2014

Kemenangan Malala Tidak Disambut Gembira?


Penetapan Malala Yousafzai, 17 tahun, sebagai pemenang Nobel Perdamaian Tahun 2014 -bersama seorang nenek asal India Kailash Satyarthi, 60 tahun- terkesan kurang disambut antusias oleh komunitas negara-negara muslim. Saat Presiden Amerika Serikat dan tokoh Eropa menyampaikan selamat kepada gadis yang selalu mengenakan selendang penutup kepala tersebut, pemimpin negara-negara muslim diam-diam saja. Meski Pemerintah Pakistan lewat Perdana Menterinya Nawaz Syarif menyampaikan kegembiraannya atas penghargaan paling top dunia untuk warganya yang ditembak milisi Al Qoida pada 2012 lalu, masyarakat pakistan sendiri memberi  penilaian kurang simpatik. Sebagian menganggap kemenangan Malala merupakan propaganda negatif negara barat terhadap ketidakberpihakan Islam untuk pendidikan perempuan. Sehingga tidak ada yang perlu dibanggakan dari anugerah tersebut.

Bagi saya, sikap yang mengkerdilkan sebuah kemenangan besar terasa menyedihkan. Jelas Islam tidak begitu. Islam lahir mencerahkan peradaban. Surah pertama yang diturunkan kepada Yang Mulia Nabi Muhammad Salollohi Alaihi Wassalam memerintahkan sang nabi untuk membaca (Iqra!). Bukan perintah berperang atau siasat dari Tuhan untuk menaklukkan kaum kafir. Sejak saat itu, nabi menyeru umatnya untuk banyak membaca, terutama kitab suci Al-Quran dengan janji reward Allah berupa pahala berlipat-lipat.

Lalu mengapa kemenangan Malala dalam memperjuangkan pendidikan untuk anak-anak dianggap tidak penting? Apakah karena dia perempuan? Salah jika Islam dianggap meremehkan kesempatan perempuan peroleh pendidikan. Buktinya diantara istri nabi, Siti Asyiah radiallahu anhu dan Zaynab binti Jahsh radiallahu anhu merupakan wanita intelektual di zamannya. Mereka ikut merawikan hadis dan aktif mendidik perempuan agar beradab benar.

Kemenangan Malala sesungguhnya adalah pengakuan dunia terhadap semangat umat Islam untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap benar dan dibenarkan oleh agamanya. Jika kebetulan kebenaran itu sama dengan keyakinan yang dimiliki oleh dunia barat, maka hal itu tidak seharusnya membuat kita mengecilkan perjuangan Malala.

Kemenangan Malala sekali lagi menunjukkan bahwa nilai Islam (khususnya pendidikan) adalah nilai universal. Islam tidak menginginkan anak-anaknya bodoh meski sekelompok kecil yang berpaham keras dan radikal, menginginkan perempuan tetap berada di rumah dan beradaptasi dengan ruang sempit yang disediakan untuknya. Mayoritas masyarakat Islam menginginkan jalan tengah, pengaturan yang tidak memberatkan namun juga tidak terlalu menggampangkan segala sesuatu. Menyekap perempuan di rumahnya bukan bagian dari jalan tengah itu. Jika kita malu atau emoh mengakui perjuangan Malala, sama artinya kita membenarkan pandangan Barat yang salah tentang Islam.

Ataukah Malala dianggap tidak mewakili muslim karena konon paham keagamaannya yang Ahmadyah? Olala…kalau begitu kita kembali terjebak kepada perpecahan yang membuat  musuh bertepuk tangan.  Saya menjadi ingat seruan seorang tokoh agama Indonesia, agar umat melihat kesamaan diantara kita dan tidak terlalu meributkan perbedaan. Kesamaan akan membuat kita lebih kompak dan mudah menjalin kerjasama. Namun jika selalu bertumpu kepada perbedaan, sampai kapan pun kita tidak bisa jalan bersama.



Apa tidak capek berkonflik terus…? Dan mungkin kita harus rajin-rajin bertanya kepada diri sendiri apakah kualitas keimanan kita sudah berada pada level yang mumpuni sehingga (dirimu) kompeten menilai keimanan orang lain.

--^^--

8 Oktober 2014

Antara Ahok dan FPI, Ku berpihak kepada yang baik



Memilih, bukan pekerjaan gampang saat ini. Informasi bersilang-silang dan sering kali kebenaran dijungkirbalikkan. Hanya yang  menyediakan waktu untuk menyimak berita, berpikir dan menganalisisnya lah yang akan peroleh hidayah. Yang tidak…, mereka akan terjebak kepada fanatisme dan kebenaran semu.

Aku berusaha tidak terjebak dalam perseteruan Gubernur Jakarta Ahok dengan Front Pembela Islam (FPI). Namun aku memikirkan mereka sangat sering akhir-akhir ini, bertanya-tanya kepada diriku sendiri dimana aku akan berpihak bila diharuskan memilih.

Ahok seorang kafir dan China, tidak asli Indonesia. Itu poin yang melemahkan dirinya. Bagi kami yang Indonesia asli, Orang China dikenal suka mementingkan diri sendiri. Semakin kaya mereka, bertambah tinggi tembok yang mengitari rumahnya dan bertambah jumlah anjing galak yang dipelihara. Tapi kok Ahok beda? Dia keras kepada semua orang yang nyeleweng dari tugas dan tanggung jawabnya. Dia bersimpati kepada masyarakat yang sering diabaikan atau dipalak oleh pegawai pemerintah. Dia tidak (belum tersangkut) korupsi. Gak banyak pejabat pemerintah daerah seperti dia saat ini.

Berbeda dengan orang-orang FPI, mereka muslim semua. Sama dengan agama yang kuanut. Pimpinan dan tokoh pentingnya keturunan Arab, juga tidak asli Indonesia. Mereka berwatak keras (sama seperti Ahok), suka melabrak karaoke, tempat judi dan tempat maksiat lainnya. Mereka juga suka malabrak siapa saja, bahkan pemerintah, jika menentang agenda mereka.

Banyak yang takut FPI kalau mereka sudah mulai berkumpul, teriak-teriak dan memukul-mukul. Disitu lah aku mulai tidak sepaham dengan tindakan mereka. FPI bukan hukum, walau mereka merasa pandangan hidup mereka paling benar. Di negara yang multi kultur dan agama, serta punya pemerintahan yang sah, menurutku FPI tidak boleh menjadi hakim untuk orang lain. Siapa yang menunjuk mereka menjalankan peran itu? Tidak ada! Apalagi jika benar mereka bisa dibayar untuk melindungi seseorang atau untuk menghujat orang lain. Hukum dan kebenaran tidak boleh diperdagangkan bukan…?

Memilih antara Ahok dan FPI, aku membayangkan diriku berada di tengah adik-adikku. Jika mereka benar, aku akan membela mereka. Namun jika mereka suka mencuri uangku, atau menekanku dengan kehendak-kehendak yang liar, apakah aku akan terus mencintai mereka?


Agama Islam mengatakan Allah menilai seseorang dari imannya. Bukan dari ras atau keunggulan pribadi seseorang. Dalam masyarakat yang majemuk, prinsip Allah itu amat relevan. Seseorang akan dinilai lebih tinggi, dihargai dan dipihaki jika ia membawa manfaat banyak bagi orang lain. Sedangkan bagi yang suka bikin rusuh, yah… ke laut aja!


6 Oktober 2014

Yang terlihat di luar, tidak sama dengan yang di dalam

SEORANG teman dekat menasehatiku, "Jangan cepat menilai dari penampilan luar seseorang. Belum tentu ia seburuk itu ..." katanya dengan setengah menggoda dan sedikit nada menghakimi. Sebelumnya ia berkata aku  terlalu cepat memutuskan ketika melihat sikap negatif seseorang.

Dia mungkin benar ..., tapi bisa juga salah. Apalagi yang kami perbincangkan saat itu tentang situasi politik akhir-akhir ini, tentang pergulatan di parlemen, arena yang tersisa untuk diperebutkan oleh partai politik di negeri kami.


Seperti kalian tahu, negara kami kembali bergolak. Tahun 1990-an paska jatuhnya Soeharto situasi seperti ini pernah terjadi. Mereka yang mengaku dari golongan reformis mengangkat Gus Dur menjadi presiden, lalu sepakat menjatuhkannya dua tahun kemudian. Amin Rais cs lalu bersekutu menaikkan Megawati, sosok yang mati-matian mereka hindari untuk jadi presiden pada 2 tahun sebelumnya meski partainya memenangkan pemilu. Pelarian pilihan itu pun tak bertahan lama, Mega selalu dicerca sehingga ia menjadi presiden yang di cap gagal karena (dengan izin DPR kala itu) menjual aset negara penting.


Kini hal yang mirip terjadi. Rakyat memilih Jokowi sebagai presiden, unggul tipis (dan mungkin karena itu menjadi sangat menyakitkan) atas Prabowo, seorang mantan jenderal dan anak bangsa yang hidupnya selalu dinaungi keberhasilan. Jokowi tidak disukai oleh kelompok yang tak memilihnya dan pertarungan balas dendam pun berlanjut.


Maka keluarlah komentar saling tuding dan saling bela. Arena berbalas pantun yang membuat masyarakat bingung. Namun tidak bagiku yang dianugerahi Tuhan pikiran kritis dan hati yang istiqamah (Alhamdulillah...). Aku menilai seseorang dari ucapan dan perbuatannya, karena aku tak bisa membaca hati orang lain, apalagi mereka yang bicara rumit dan berputar-putar itu ada di Jakarta.


Dan inilah kesimpulanku. Aku percaya kepada sebagian dari mereka dan menolak menaruh kepercayaan kepada sisanya. Mereka yang tak kupercayai itu terlihat baik, namun ucapannya tak sesuai dengan perbuatannya. Dan itu tidak sekali terjadi, sudah berulang-ulang.


Maka jangan salahkan rakyat bila mengambil keputusan sama denganku. Karena sudah seharusnya apa yang terlihat di luar, sama dengan yang bermukim di dalam hati. Politik memiliki komitmen yang harus dijaga, bukan bermain dengan bola-bola liar yang menyuburkan prasangka dan akhirnya kebencian.


Politik bisa jadi tidak menyebalkan jika dikelola dengan elegan. Itulah hakekat yang sebagian anggota parlemen tidak tahu atau lupa mengkajinya. Atau mungkin sebagian dari mereka tidak layak untuk duduk di sana?


Yah ....mereka harus dipulangkan ke daerahnya kalau begitu. Karena kami tak berkuasa atas hal itu, biar Allah yang mengatur pemulangan mereka!

5 Oktober 2014

Ketika Hari Raya Just Like the Other Days


HARI RAYA –apakah itu Idul Fitri atau Idul Adha– tak terasa lagi indah. Indah yang sebenar-benarnya, yang menyusup hingga ke hati seperti yang kurasakan ketika masih bocah. Aku berangkat tidur pada malam dengan gema takbir sayup yang menghangatkan hati. Dan paginya dibangunkan oleh dingin dan azan milik  subuh sementara Mom di dapur memotong-motong ketupat dan menghangatkan gulai lontong. Aku pun terburu-buru ke sumur, mandi, berbedak wangi dan bersalin pakaian baru. Mom akan senang nanti melihat aku sudah bersih dan siap berangkat ke lapangan untuk shalat. Satu hal kecil dariku yang bisa membuatnya lebih bahagia hari itu.

Tapi anak-anak dan ponakanku? Mereka masih meringkuk tidur, melewatkan shalat subuh. Satu persatu mereka bangun untuk mandi kilat dan mengenakan pakaian menuju masjid. Mereka telah melewatkan hal penting; meninggalkan satu ibadah wajib untuk satu kegiatan sunat. Mereka memaknai hari raya hanya sebagai hari berkumpul keluarga, menikmati hidangan enak, peroleh uang ekstra dan baju baru.

Hari raya membebaskan mereka untuk berbuat yang agama kami tidak menghendakinya. Aku melihat ketidakberdayaan dan mungkin pembolehan atas tingkah laku mereka.

Oh sudahlah…nanti sadar sendiri. Tidak perlu ribut-ribut…ini hari raya, kata orangtua yang satu kepada yang lainnya. Hari raya jangan diusik dengan peringatan tentang tata tertib agama. Ooh begitukah???

Aku menjadi bertanya…, dimana kah kini berada pendidikan komunal, saling ingat dan memperingatkan di tengah kaum kerabat? Kenapa kami para orangtua tidak mampu lagi menegakkan dasar agama itu diantara kami?

Aku melihat kesombongan dan sifat pamer lebih berkuasa dibanding kerendahan hati. Mobil dan gadget baru, promosi jabatan, prestasi sekolah anak-anak….semua hal berlomba diungkapkan. Apakah ini tidak melelahkan? Bukankah semua itu diperoleh dengan cara keras dan penuh perjuangan…mengapa tak dibiarkan keberhasilan-keberhasilan itu menyelinap dengan damai ke semua hati dalam keluarga tanpa perlu banyak berkoar-koar….

Kalau begitu hari raya menjadi tak beda dengan hari-hari lain. Untuk apa kita berkumpul ketika ada hati yang diam-diam gelisah, terpinggirkan atau tidak setuju dengan ke-riya-an itu? Kenapa tak biarkan tawa renyah kita berderai dan kisi-kisi hati yang pernah diobrak-abrik kemarahan bertaut kembali? Semua itu bisa pulih bila kita mau berendah hati. Pada hari besar ini seharusnya anak-anak kita belajar tentang ketulusan antar saudara, bukan sebuah persaingan berkosmetika silaturahim, yang menempatkan seseorang lebih tinggi diantara saudaranya yang lain.

Hari raya seharusnya lebih khusu’…. Tapi aku tak menemukannya lagi. Ia sama dengan hari-hari lain.