Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

15 Februari 2016

Sorga yang Bingar di Gili Terawangan


KETIKA saya mengupdate status di facebook, “Just arrived in Lombok”, seorang teman berkomentar agar tidak melewatkan Pulau Gili Terawangan. Teman-teman lain bahkan dengan detil menyebut objek wisata yang harus saya kunjungi di Pulau Lombok dan sekitarnya. 
“Tenang, kita akan ke sana setelah acara HPN selesai,” jawab suami ketika dengan geli saya melaporkan respon teman-teman tersebut.
Jadi, hari-hari pertama di Mataram kami mengunjungi objek wisata yang dekat-dekat saja seperti Pantai Senggigi, menyapa monyet di Pusuk Pass, singgah sebentar di Pantai Aan dan tentu saja, melihat karya tangan penduduk Lombok yang terkenal; perhiasan mutiara dan tenunannya.
Fathur yang amat keranjingan fotografi mengajak ke bukit Merese yang terletak di seberang Pantai Aan. Hanya saya dan Fathur yang berangkat. Kami pun menyewa kapal untuk menyeberang.
Perjalanan ke Bukit Merese ternyata tidak mudah. Siang itu sangat panas. Hati saya langsung terhibur begitu kapal meninggalkan pantai menuju  laut biru. Tuhan telah menganugerahkan biru yang indah untuk semua laut yang mengitari Pulau Lombok. Sampai di kaki Bukit Merese, kami bertiga menapaki padang rumput tipis dan bergelombang, yang mengingatkan pada scene sebuah film Hollywood. “Seperti di film Jurrascic Park ya Ma?,” kata Fathur mengungkapkan apa yang juga ada di pikiran saya.
Fathur tak kuasa menahan gejolak hatinya untuk segera menemukan sudut terbaik pemotretan. Nyaris lupa bahwa ibunya merangkak tertatih-tatih di belakang. Sadar melenggang sendirian, dia mendekat dan bertanya apakah saya masih bisa melanjutkan pendakian? Tentu saja harus bisa! Sebagaimana Fathur, saya juga amat tertarik dengan pemandangan anyar.
Dan ketika kami membelok mengitari sebuah undukan dan sampai di sebuah dataran, dada kami terkesiap melihat pemandangan di bawah kami. Laut biru membentang hingga ke tepi langit, mengitari bukit-bukit yang lebih rendah dari Merese.

“Mama, inilah keindahan absolut itu,” ucap Fathur nyaris berdesah. Saya pun mengangguk. Teramat indah…indahnya nyungsep ke hati  karena tersaji khusus untuk kami berdua.
Fathur meninggalkan saya di puncak bukit Merese, ditemani kerbau-kerbau yang sedang merumput. Dia dan si pemandu menuju cerukan di bawah, meloncat dari satu batu karang ke batu berikut untuk mengambil gambar-gambar menarik. Sendiri di puncak Merese, saya sempat berpikir alangkah ramainya wisatawan asing yang akan datang jika infrastruktur ke sini dilengkapi. Dengan kondisi jalan yang buruk dan sempit saja, puluhan bule bersepeda motor mau datang, apalagi kalau ada kereta gantung atau kapal pesiar? Tapi, mungkin baik juga jika Merese dan bukit-bukit lainnya dijadikan sebagai lokasi wisata eksklusif, agar alamnya terawat dan tidak berisik
Selesai acara puncak HPN di Pantai Kuta yang dihadiri Presiden Jokowi, kami bertujuh pun berangkat ke Pulau Gili Terawangan. Dari Pelabuhan Bangsal, di tengah hujan rintik kami naik perahu yang dipadati bule dan penduduk lokal serta bertumpuk-tumpuk sayur-sayuran. Wahhh, terjepit seperti pengungsi yang tersingkir dari negerinya. Ini liburan atau penyiksaan sih? Tapi para bule yang duduk di anjungan kapal terlihat santai-santai saja, tak terganggu oleh pemandangan dunia ketiga di hadapan mereka. Bagi mereka mungkin keindahan alam Indonesia plus orang-orangnya yang bersahaja adalah satu paket yang saling melengkapi.
Sore itu Pulau Gili ramai, kegirangan terlihat di wajah-wajah yang melintas. Pulau itu bak sebuah desa yang penduduknya saling mengenal walau pada kenyataannya hampir tiap hari para turis datang dan pergi. Meski tingkah turis asing bikin risih, wisatawan muslim dan muslimah yang berjilbab seperti saya cukup banyak mengunjungi pulau ini. Dan di sini mudah mendapatkan makanan halal. Penduduk lokal Gili sebagian besar muslim, cara  berpakaian dan berbicara mereka pun sopan.
Gili Terawangan di waktu malam sepenuhnya menjadi kampung orang asing. Di sepanjang jalan yang mengitari pulau, berbaris kafe, pub, restoran atau Misbar Movie (dengan barisan bed/tempat tidur kecil untuk bersantai). Jalanan ramai oleh pejalan kaki,  kereta kuda model tempo dulu dan sepeda kayuh. Sampai saat itu, saya belum melihat istimewanya pulau ini. Lalu mengapa banyak teman merekomendasikannya? Apakah karena banyak bulenya? Hmm, bagi saya melihat orang kulit putih bukan lagi suatu pemandangan yang menarik. Saya agaknya harus menunggu besok untuk peroleh jawabannya.
Tuntas subuh, saya sendirian ke tepi pantai. Para karyawan kafe sedang bersih-bersih. Pagi itu pantai yang berjarak dua ratus meter dari penginapan lengang. Hanya beberapa turis Asia dan remaja lokal. Bule mungkin masih teler di kamar masing-masing.
Sunrise will be coming soon. Saya datang tepat waktu. Saat penghuni pulau ini tengah terlelap, dan kapal-kapal yang ditambat berayun lembut digoyang angin laut, kemunculan matahari pertama seperti hadiah bagi para pecinta subuh. Saya adalah sedikit orang yang menerima hadiah itu di Pulau Gili Terawangan.
Sebelum sarapan, saya dan suami mengelilingi pulau bersepeda. Udara segar dan birunya laut mengalir beriringan dengan kayuhan sepeda kami. Cucuran keringat terasa seperti cipratan air yang menyegarkan dan menggerakkan otot yang melempem akibat kemalasan berolahraga selama ini.
Pengalaman paling menarik di Gili tentu saja mengintip terumbu karang biru di dasar laut. Begitu boat sampai di Gili Mano, Fathur langsung menyebur disusul yang lain.  “Ayo..turun!” ajak suami dari laut. Sejenak saya ragu. Maakk, saya tidak bisa berenang! Saya melirik pelampung yang sudah dikenakan sejak kapal meninggalkan pantai. Saya akan menyesal jika tidak mencoba.
Saya pun turun ke laut. Ternyata tak ada yang perlu ditakutkan. Tubuh saya beradaptasi dengan cepat. Di kejauhan Fathur dan anggota rombongan lain asik snorkeling dan berfoto dengan latar terumbu biru yang indah. Luar biasa.

Kami kembali ke darat satu jam kemudian dengan perasaan puas dan bersepakat akan  mengulang kembali petualangan di dasar laut. Nusantara kita toh tidak kekurangan laut-laut indah untuk diselami.// Asnelly Ridha Daulay.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar