Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

11 Oktober 2014

Kemenangan Malala Tidak Disambut Gembira?


Penetapan Malala Yousafzai, 17 tahun, sebagai pemenang Nobel Perdamaian Tahun 2014 -bersama seorang nenek asal India Kailash Satyarthi, 60 tahun- terkesan kurang disambut antusias oleh komunitas negara-negara muslim. Saat Presiden Amerika Serikat dan tokoh Eropa menyampaikan selamat kepada gadis yang selalu mengenakan selendang penutup kepala tersebut, pemimpin negara-negara muslim diam-diam saja. Meski Pemerintah Pakistan lewat Perdana Menterinya Nawaz Syarif menyampaikan kegembiraannya atas penghargaan paling top dunia untuk warganya yang ditembak milisi Al Qoida pada 2012 lalu, masyarakat pakistan sendiri memberi  penilaian kurang simpatik. Sebagian menganggap kemenangan Malala merupakan propaganda negatif negara barat terhadap ketidakberpihakan Islam untuk pendidikan perempuan. Sehingga tidak ada yang perlu dibanggakan dari anugerah tersebut.

Bagi saya, sikap yang mengkerdilkan sebuah kemenangan besar terasa menyedihkan. Jelas Islam tidak begitu. Islam lahir mencerahkan peradaban. Surah pertama yang diturunkan kepada Yang Mulia Nabi Muhammad Salollohi Alaihi Wassalam memerintahkan sang nabi untuk membaca (Iqra!). Bukan perintah berperang atau siasat dari Tuhan untuk menaklukkan kaum kafir. Sejak saat itu, nabi menyeru umatnya untuk banyak membaca, terutama kitab suci Al-Quran dengan janji reward Allah berupa pahala berlipat-lipat.

Lalu mengapa kemenangan Malala dalam memperjuangkan pendidikan untuk anak-anak dianggap tidak penting? Apakah karena dia perempuan? Salah jika Islam dianggap meremehkan kesempatan perempuan peroleh pendidikan. Buktinya diantara istri nabi, Siti Asyiah radiallahu anhu dan Zaynab binti Jahsh radiallahu anhu merupakan wanita intelektual di zamannya. Mereka ikut merawikan hadis dan aktif mendidik perempuan agar beradab benar.

Kemenangan Malala sesungguhnya adalah pengakuan dunia terhadap semangat umat Islam untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap benar dan dibenarkan oleh agamanya. Jika kebetulan kebenaran itu sama dengan keyakinan yang dimiliki oleh dunia barat, maka hal itu tidak seharusnya membuat kita mengecilkan perjuangan Malala.

Kemenangan Malala sekali lagi menunjukkan bahwa nilai Islam (khususnya pendidikan) adalah nilai universal. Islam tidak menginginkan anak-anaknya bodoh meski sekelompok kecil yang berpaham keras dan radikal, menginginkan perempuan tetap berada di rumah dan beradaptasi dengan ruang sempit yang disediakan untuknya. Mayoritas masyarakat Islam menginginkan jalan tengah, pengaturan yang tidak memberatkan namun juga tidak terlalu menggampangkan segala sesuatu. Menyekap perempuan di rumahnya bukan bagian dari jalan tengah itu. Jika kita malu atau emoh mengakui perjuangan Malala, sama artinya kita membenarkan pandangan Barat yang salah tentang Islam.

Ataukah Malala dianggap tidak mewakili muslim karena konon paham keagamaannya yang Ahmadyah? Olala…kalau begitu kita kembali terjebak kepada perpecahan yang membuat  musuh bertepuk tangan.  Saya menjadi ingat seruan seorang tokoh agama Indonesia, agar umat melihat kesamaan diantara kita dan tidak terlalu meributkan perbedaan. Kesamaan akan membuat kita lebih kompak dan mudah menjalin kerjasama. Namun jika selalu bertumpu kepada perbedaan, sampai kapan pun kita tidak bisa jalan bersama.



Apa tidak capek berkonflik terus…? Dan mungkin kita harus rajin-rajin bertanya kepada diri sendiri apakah kualitas keimanan kita sudah berada pada level yang mumpuni sehingga (dirimu) kompeten menilai keimanan orang lain.

--^^--

1 komentar:

  1. Posting yang bagus dan mudah2an bisa menjadi pencerahan bagi yang baca

    BalasHapus