Penetapan Malala Yousafzai, 17 tahun, sebagai pemenang Nobel
Perdamaian Tahun 2014 -bersama seorang nenek asal India Kailash Satyarthi, 60
tahun- terkesan kurang disambut antusias oleh komunitas negara-negara muslim. Saat
Presiden Amerika Serikat dan tokoh Eropa menyampaikan selamat kepada gadis yang selalu mengenakan selendang penutup kepala tersebut, pemimpin negara-negara muslim diam-diam saja. Meski
Pemerintah Pakistan lewat Perdana Menterinya Nawaz Syarif menyampaikan
kegembiraannya atas penghargaan paling top dunia untuk warganya yang ditembak
milisi Al Qoida pada 2012 lalu, masyarakat pakistan sendiri memberi penilaian kurang simpatik. Sebagian
menganggap kemenangan Malala merupakan propaganda negatif negara barat terhadap
ketidakberpihakan Islam untuk pendidikan perempuan. Sehingga tidak ada yang
perlu dibanggakan dari anugerah tersebut.
Bagi saya, sikap yang mengkerdilkan sebuah kemenangan besar terasa
menyedihkan. Jelas Islam tidak begitu. Islam lahir mencerahkan peradaban. Surah
pertama yang diturunkan kepada Yang Mulia Nabi Muhammad Salollohi Alaihi
Wassalam memerintahkan sang nabi untuk membaca (Iqra!). Bukan perintah berperang
atau siasat dari Tuhan untuk menaklukkan kaum kafir. Sejak saat itu, nabi menyeru
umatnya untuk banyak membaca, terutama kitab suci Al-Quran dengan janji reward Allah
berupa pahala berlipat-lipat.
Lalu mengapa kemenangan Malala dalam memperjuangkan
pendidikan untuk anak-anak dianggap tidak penting? Apakah karena dia perempuan?
Salah jika Islam dianggap meremehkan kesempatan perempuan peroleh pendidikan.
Buktinya diantara istri nabi, Siti Asyiah radiallahu anhu dan Zaynab binti
Jahsh radiallahu anhu merupakan wanita intelektual di zamannya. Mereka ikut
merawikan hadis dan aktif mendidik perempuan agar beradab benar.
Kemenangan Malala sesungguhnya adalah pengakuan dunia terhadap
semangat umat Islam untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap benar dan
dibenarkan oleh agamanya. Jika kebetulan kebenaran itu sama dengan keyakinan
yang dimiliki oleh dunia barat, maka hal itu tidak seharusnya membuat kita
mengecilkan perjuangan Malala.
Kemenangan Malala sekali lagi menunjukkan bahwa nilai Islam (khususnya
pendidikan) adalah nilai universal. Islam tidak menginginkan anak-anaknya bodoh
meski sekelompok kecil yang berpaham keras dan radikal, menginginkan perempuan
tetap berada di rumah dan beradaptasi dengan ruang sempit yang disediakan
untuknya. Mayoritas masyarakat Islam menginginkan jalan tengah, pengaturan yang
tidak memberatkan namun juga tidak terlalu menggampangkan segala sesuatu. Menyekap
perempuan di rumahnya bukan bagian dari jalan tengah itu. Jika kita malu atau
emoh mengakui perjuangan Malala, sama artinya kita membenarkan pandangan Barat
yang salah tentang Islam.
Ataukah Malala dianggap tidak mewakili muslim karena konon
paham keagamaannya yang Ahmadyah? Olala…kalau begitu kita kembali terjebak
kepada perpecahan yang membuat musuh bertepuk
tangan. Saya menjadi ingat seruan
seorang tokoh agama Indonesia, agar umat melihat kesamaan diantara kita dan
tidak terlalu meributkan perbedaan. Kesamaan akan membuat kita lebih kompak dan
mudah menjalin kerjasama. Namun jika selalu bertumpu kepada perbedaan, sampai
kapan pun kita tidak bisa jalan bersama.
Apa tidak capek berkonflik terus…? Dan mungkin kita harus
rajin-rajin bertanya kepada diri sendiri apakah kualitas keimanan kita sudah
berada pada level yang mumpuni sehingga (dirimu) kompeten menilai keimanan
orang lain.
--^^--
Posting yang bagus dan mudah2an bisa menjadi pencerahan bagi yang baca
BalasHapus