HUSNI MUBARAK dan Ben Ali adalah dua contoh anyar presiden terguling yang berjiwa nasionalis tinggi. Mantan Presiden Tunisia Ben Ali harus dipaksa staf kepolisian dan dikatai ‘idiot’ oleh sang istri sebelum akhirnya mau naik pesawat menuju ranah pengungsian di Arab Saudi. Presiden Mesir Husni Mubarak menolak mentah-mentah usulan pergi ke negeri asing karena Mesir baginya adalah negeri tempat dia ingin mati. Terlepas dari tudingan korupsi yang menyebabkan kejatuhan mereka, kedua presiden ini ternyata nasionalis juga. Ancaman penjara, hukuman mati bahkan pembunuhan tidak membuat mereka takut di tengah gelombang revolusi yang terjadi di negaranya.
Nasionalisme mantan presiden Indonesia kurang lebih juga sama. Meski cerita seputar penguduran diri Almarhum Pak Harto tak begitu banyak beredar, - misalnya polemik yang muncul di tengah keluarga besarnya tak berhembus ke media massa- yang jelas beliau tetap tinggal di Indonesia hingga akhir hayatnya. Padahal kalau ingin hidup senang dan bebas dari kecaman plus tekanan, beliau dan keluarga bisa saja lari ke luar negeri. Namun keputusan yang diambil adalah tetap bertahan di Indonesia, melewati badai kebencian, kemarahan dan proses hukum yang kusut.
Wajar saja bila jiwa cinta bangsa dan negara begitu pekat di hati bekas kepala negara karatan tersebut. Mubarak, Ben Ali dan Soeharto dulunya tokoh muda yang merintis karir dari bawah, melewati bermacam pergolakan dan revolusi. Ditakdirkan lahir dari keluarga kelas bawah atau menengah, jiwa muda mereka dipenuhi oleh semangat untuk membawa perubahan mendasar bagi bangsa dan masyarakatnya. Kalau kemudian mereka terinfeksi penyakit korupsi, itu tak terlepas dari kehadiran istri dan keluarganya, anak–anak yang manja dan para menantu yang suka hidup glamour serta kerabat dekat dan jauh yang mendadak menjadi sok penting serta sok kuasa.
Apa yang terjadi pada bekas kepala negara tersebut dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua orang. Berhentilah bermimpi untuk berkuasa puluhan tahun. Bila pada kepemimpinan satu atau dua periode saja sudah dapat melakukan banyak hal positif, kenapa ngotot maju lagi untuk periode berikut, seakan-akan hanya dia yang bisa menyelesaikan masalah di dunia ini? Banyak orang lain yang pintar dan capable. Beri mereka kesempatan untuk bekerja dan beramal kepada bangsa dan negaranya.
Nasionalisme seorang pemimpin diuji di sini. Mau gak mundur untuk memberi kesempatan pada yang muda berkarya. Jangan menunggu didemo atau dikudeta. Malu dong….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar