Petugas mengumumkan penundaan penerbangan
untuk kesekian kalinya. Suasana di ruang keberangkatan Bandara Soekarno Hatta
terlihat lesu karena penundaan yang terus menerus. Laki-laki, perempuan, anak-anak,
tua dan dewasa, yang mestinya cerah pada paginya, kini terlihat lelah dan
kusut.
Aku baru saja mendaratkan tubuh di sebuah
kursi yang kosong, di samping seorang wanita tua dan bersahaja. Dia tersenyum,
aku membalas manis.
"Mau ke mana?" tanyanya ramah.
"Ke Jambi Bu," jawabku cepat seraya menambahkan diriku berangkat dari Ambon tadi pagi dan transit di Surabaya sebelum akhirnya mendarat di Jakarta. Ibu itu sendiri baru pulang mengajar di daerah kecil di Jawa Barat. Di sebuah Seminari, katanya.
"Ke Jambi Bu," jawabku cepat seraya menambahkan diriku berangkat dari Ambon tadi pagi dan transit di Surabaya sebelum akhirnya mendarat di Jakarta. Ibu itu sendiri baru pulang mengajar di daerah kecil di Jawa Barat. Di sebuah Seminari, katanya.
"Pesawat kami juga delay," katanya
sambil menunjuk suaminya yang duduk agak jauh.
"Suami saya orang Bali," jelasnya.
Oh ya, aku mulai tertarik. Dirinya berasal
dari Menado. Kulit wanita itu memang putih dan logatnya khas daerah itu. Tanpa tahu
sebabnya, tiba-tiba dia berujar,
"Saya menyukai wanita muslim. Mereka
cantik-cantik dan pakaiannya sopan," ucapnya sambil memandang dan
menyentuh lenganku, sepertinya terkesan dengan busana sederhana yang kupakai.
Aku tersipu karena sesungguhnya merasa agak
kusut. Maklum perjalanan cukup jauh dari Ambon. Wanita yang aku panggil ibu itu terus bercerita tentang dirinya dan
pandangannya terhadap wanita.
"Saya tidak suka wanita di daerah saya.
Pergaulan mereka tidak baik dan pakaiannya terlalu pendek," tambahnya.
Sebagai wanita yang bekerja di lingkungan
Seminari, sekolah kristen, dia meyakini bahwa perempuan mestinya berpakaian
lebih sopan.
"Wanita muslim selain cantik, juga
tabah. Saya pernah sebangku dengan seorang wanita berkerudung. Ketika itu
pesawat kami tergoncang dengan hebat. Saya gemetar, tangan berkeringat dingin.
Ketika saya meraih tangannya untuk mencari kekuatan, tangannya malah hangat.
Dia hanya mengucapkan Allahu Akbar dengan tenang, sedangkan saya sempat
panik," lanjutnya tenang, mungkin sambil mengenang suasana di pesawat
waktu itu.
Pada pertemuan kami yang cukup pendek, wanita
yang guru bahasa Latin itu, sempat mengungkapkan cerita perkawinannya. Dengan
berbisik ke telingaku, dia berucap lirih.
“Dulu
Bapak itu Hindu. Dia jadi kristen karena menikah dengan saya. Meski dia
sekarang bekerja di lingkungan gereja, tapi saya tahu, hatinya tak pernah
menjadi seorang nasrani,” ucapnya pelan. Seorang pria Bali, katanya, selalu terikat dan merasa berkewajiban memelihara Pura keluarganya. Entah kecewa atau menerima kondisi itu
sebagai jalan hidupnya, aku tak dapat menilai. Yang jelas, meski toleran dengan
agama lain, dia tak menyukai perkawinan beda agama.
“Saya bilang ke anak saya, kalau calon suaminya tak mau pindah agama, berarti
kalian tidak jodoh,” ceritanya tentang anak gadisnya yang berpacaran dengan
pria berbeda agama.
Ketika petugas mengumumkan pesawat ke Menado
siap diberangkatkan, dia bangkit dan mengucapkan salam perpisahan. Aku
menyalaminya dengan rasa sayang yang tiba-tiba muncul. Seorang wanita nasrani
telah mengungkapkan kekagumannya kepada wanita muslim. Dia mungkin tak
menyadari betapa pengakuannya itu sangat berarti – walau aku tak pernah
mengharapkannya.
Aku dan mungkin ribuan wanita muslimah lain
perlu diingatkan bahwa Islam telah memuliakan kami. Peringatan kali ini datang
dari seorang perempuan yang kebetulan tak seagama dengan ku. Terima kasih Ibu. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar