ADELA menutup
pintu kamar perlahan. Di keremangan matanya menyapu tubuh dua bocah yang tidur
melengkung di kasur. Mereka nyaris berpelukan, saling menghangatkan tubuh di
tengah dinginnya angin malam. Upi dan Rein telah merelakan kamar mereka
untuknya. Kini mereka harus tidur di ruang keluarga, satu-satunya ruang multi
fungsi yang ada di rumah ini.
Seperlahan
mungkin, Adela mencapai kamar mandi yang berada di luar dapur. Untunglah
kampung nelayan ini aman, sehingga dia tak perlu takut keluar. Desakan di
kantung urinnya tak bisa ditahan. Limabelas bulan di sini tapi tubuhnya masih tak
kuasa menahan dorongan alamiah yang selalu datang jelang pukul 4 subuh.
Cuaca cerah. Malam
mulai menepi. Gubuk reot, bersusun paku di kiri kanannya. Keindahan desa yang kerap
dilukiskan buku ceritanya semasa kecil, tak ada di sini. Penduduk desa ini
orang-orang sederhana yang berjuang hidup, menjadi nelayan atau pembuat ikan
asin. Memiliki rumah yang atapnya tak bocor dan berdinding cukup tebal untuk menahan
hembusan angin, adalah kenyamanan tertinggi yang bisa mereka raih. Hanya sedikit
keluarga yang mampu membangun rumah batu dengan kamar mandi di dalam.
Adela membersihkan
tubuhnya. Lalu berkumur-kumur dan mengambil whudu. Ada berkah dari kebiasaan pipis
dinihari ini. Dia bisa melaksanakan shalat subuh tepat waktu serta dua atau
empat rakaat shalat sunat fajar. Pemilik rumah ini bukan orang yang religius.
Suami isteri Halim masih tidur, mengalirkan penat keluar tubuh mereka akibat menjemur
ikan pada siang dan mengepaknya ke dalam keranjang-keranjang pada malam
harinya,
Adela membentang
sajadah di kamarnya. Seseorang tiba-tiba melintas di pikirannya. Di tengah
kebimbangan, kesejukan diam-diam menyapu hatinya.
Setiap pukul
setengah tujuh, Adela berjalan menuju tikungan di dekat kantor Lurah. Sebuah SD
dibangun pemerintah di tempat itu. Di sana, anak-anak Desa Nelayan memperoleh
pendidikan dasar. Sejak satu setengah tahun lalu, Adela mengajar Bahasa Inggris
dan Kesenian. Sebagai sukarelawan.
Keberuntungannya sebagai
orang kota, dia cepat dikenal dan dihargai. Mereka mengangguk, mengucapkan
salam, setiap berpapasan di jalan. Penghargaan itu melebihi ekspektasinya.
Namun kini dia berpikir, ini akan berakhir, cepat atau lambat. Hidupnya tak seharusnya
dihabiskan di kampung ini. Dia telah memperoleh pengalaman hidup berbeda walau
baru segenggam. Untuk waktu cukup lama dia telah mengasingkan diri di sini, telah cukup menunjukkan kemarahannya kepada
kedua orangtuanya,
“Salam, Adela,”
Kurniawan menyapanya dari ambang pintu ruang guru.
“Pagi, Pak.”
Kurniawan
mengalihkan pandanganya ke whiteboard di
dinding, melihat daftar jam mengajar delapan guru di sekolah itu termasuk
dirinya.
“Nayra belajar
denganmu, kan? Bagaimana kemajuannya?” tanyanya.
Nayra murid yang cemerlang.
Di semua pelajaran dia berusaha untuk
selalu menjadi yang terbaik. Selain manis dan bersemangat, dia juga pandai
mengambil hati semua guru, termasuk Adela. Nayra berusaha terlalu keras untuk
disukai, padahal dia tidak perlu melakukan itu karena ayahnya adalah kepala di
sekolah ini.
Adela tersenyum.
“Seperti biasa.
Dia yang terbaik,” jawabnya singkat.
Kurniawan bertanya
tentang Nayra kepada semua guru, dan jawabannya tak jauh beda. Kedua mahluk itu
saling mencintai, membanggakan, tak terpisahkan. Siapa yang bisa bertahan di
tengah-tengah mereka walaupun Kurniawan menginginkannya? Adela bertanya-tanya
dalam hati.
Satu persatu guru
datang dan ruangan itu menjadi lebih hidup. Kurniawan telah berada di ruang
kerjanya sendiri, menekuni beberapa laporan dan sesudahnya duduk termenung,
menunggu jam mengajarnya datang.
Adela hafal jadwal
Kepala Sekolahnya. Di usianya yang mendekati 40 tahun, Kurniawan masih terlihat
muda, rapi namun terkesan lamban. Tak ada yang bisa memburu dan mendesaknya.
Dia berjalan dengan langkah yang teratur, bicara hanya jika diperlukan. Sekolah
Dasar yang terletak di jantung kelurahan ini pun terlihat damai, dipimpin oleh
seorang laki-laki yang lebih mementingkan keteraturan dan ketenangan.
Sebagai penduduk
asli kampung ini, Kurniawan hidup dengan gaya yang berbeda. Dia memilih
membangun rumah di tempat yang lebih jauh ke darat, dengan halaman cukup luas,
tidak berdesak-desakan ke tepi pantai seperti kebanyakan warga desa ini. Dia
menyukai bertukang dan berkebun di senggang waktunya. Bangku di taman, meja
makan dan lemari kabinet di dapurnya, kata guru-guru di sini, merupakan hasil
karyanya.
Ketika Adela dan
teman-temannya diundang ke rumahnya lebaran lalu, sungguh dirinya tak menyangka
akan memasuki rumah serapi itu. Tanpa
istri dan harus mengurus seorang putri, bagaimana caranya Kurniawan mengatur
semuanya?
Tapi itulah yang
dimilikinya. Dengan ketenangannya, dia berhasil menata keluarganya yang
ditinggalkan oleh wanita itu hampir 10 tahun lalu. Kurniawan terlihat sempurna.
Tapi mengapa ibu Nayra lari darinya? Pertanyaan itu bergelung-gelung di kepala
Adela.
Di bawah semua
yang terlihat begitu sempurna, selalu ada kebusukan. Seperti dirinya yang mengasingkan
diri dari rumahnya di Jakarta. Dia memiliki segalanya, pendidikan SMA dan
kuliah di kompleks pendidikan
internasional. Orangtunya memanjakan dia dan adiknya dengan materi,
memenuhi kebutuhan mereka dengan benda kualitas terbaik.
Namun tiga tahun
setamat kuliah, Adela belum juga tahu kemana tujuan hidupnya. Sempat bekerja di
sebuah perusahaan asing, dia akhirnya give
up. Tak tahan dengan kerutinan dan kesibukan yang memburu-buru. Dia juga
enggan kembali ke rumahnya yang sunyi dan mati seperti kuburan. Menjumpai Mama yang
selalu murung karena memendam marah atas perselingkuhan demi perselingkuhan yang
dilakukan suaminya.
Di bawah semua
yang terlihat begitu sempurna, selalu ada kebusukan, bisik Adela.
Adela meyakini itu
sejak pertama kali melihat papa masuk ke sebuah apartemen, lengannya dipeluk
seorang wanita cantik bertubuh mungil. Dia marah, tapi tak bisa berteriak.
Kebiasaan berteriak saat marah tak terbangun di keluarganya. Marah mereka
adalah marah yang diam. Marah yang mendendam.
Dan Papa tahu itu.
Lalu mentransfer uang yang banyak ke rekeningnya agar dia terhibur. Dengan uang
itulah Adela meninggalkan rumahnya, memulai perjalanan volunternya. Bertekad bisa
setabah volunter lainnya, seperti yang dilihatnya di Kick Andy Show.
Mulanya dia cukup
tabah. Kunjungan singkatnya ke Jakarta setelah 5 bulan di Kampung Nelayan,
disambut ibunya dengan pelukan ketat.
“Kau menikmati
kerjamu di sana?” tanyanya.
Mama tak pernah
tahu dirinya digaji oleh duit sogokan papa.
“Ya Ma, aku
senang,” jawabnya.
Mama merindukannya.
Dulu dia sibuk dengan perasaan dan kesedihannya sendiri. Kehilangan putrinya menyadarkannya,
ada kepedihan yang lebih besar dari pada kehilangan cinta suami.
“Berapa lama
kontrakmu? Cepatlah keluar dari sana. Kau harus memikirkan dirimu, Sayang”
ucapnya.
Adela mengangguk,
berusaha mendamaikan ibu yang melahirkannya, yang sempat mati rasa karena
terpaan rasa rendah diri. Sementara Papa hanya diam, menatapnya tajam.
Kecurigaan, kekhawatiran dan merahasiakan banyak hal, telah menghilangkan kepercayaan
dirinya. Aaah Papa, sampai kapan, desis Adela geram.
Mama selalu menanyakan
kapan kontraknya berakhir. Dia bahkan menanyakan apakah Adela mempunyai teman
cowok di sana. Seorang cowok di Kampung Nelayan itu? Apakah mama akan suka bila
ia menjawab ada?
Feeling mama
ternyata benar. Tak lama sesudah itu, setelah periode gelisah dan kebingungan
panjang, Kurniawan memanggilnya, menyampaikan maksudnya untuk membina hubungan
lebih serius. Melamarnya menjadi istri.
Bukan laki-laki
seperti Kurniawan yang diimpikannya menjadi suami, yang tak banyak bicara, datar
saja. Baju batiknya suram, warnanya terlalu gelap dan coraknya pasaran, tinggal
di kampung, pernah ditinggal istri, punya anak, ooh….
“Ibu melamun!”
suara renyah itu mengejutkannya.
Bocah itu datang
setiap jam istirahat, membawa bekalnya dan makan di hadapannya. Nayra, dengan
rambut ikal tergerai sampai bahu, mata berbinar-binar dari balik kelopaknya
yang sipit, memandangnya curiga.
“Ibu tidak makan? Nasinya
belum datang ya?” tanyanya.
Adela menggeleng.
“Kalau gitu makan
dengan Nayra aja,” ajaknya.
“Nasi mu sedikit.
Mana cukup!”, Adela menggodanya.
Nayra mengeluarkan
sesuatu dari tasnya.
“Aku membawa
kerupuk. Ayah menggorengnya tadi pagi. Kerupuk ikan,” ucapnya.
Nayra memamerkan
masakan ayahnya. Dari kotak nasinya keluar aroma ikan asap dan sambal
cabe yang sedap, serta sayur lalap berbumbu pecal.
Adela menyendok
nasi dan lauk dari kotak Nayra. Seperti dugaannya, makan siang Nayra lezat.
Dengan teratur Adela dan Nayra menyendok makanan bergantian, diselingi kerupuk
ikan yang cukup membuat mereka berdua kenyang.
“Alhamdulillah,
terima kasih ya,” ucap Adela.
Nayra terlihat
senang.
“Aku sudah hafal
lagu que sera sera, Bu,” ucapnya.
Adela mengajarkan
lagu itu dua minggu lalu dan meminta anak-anak menghafalkannya. Anak-anak di
kampung nelayan itu pernah mendengar irama lagu itu dari sebuah iklan
komersial. Mereka surprise begitu
Adela mengajarkan lagu itu, tak menyangka lagu itu benar-benar ada. Mereka bertambah
jatuh cinta ketika Adela menterjemahkan syairnya, kata per kata. Kini
dihadapannya, si manis itu menyanyikan lagu dengan riang. Suaranya naik turun
mengikuti ketukan pensil di meja Adela.
Que
sera sera
Whatever
will be will be
The
future's not ours to see
Que
sera sera
==========
Kurniawan memandangi wajah di
seberangnya. Harus diakuinya, dia terlalu istimewa di sini, di kampung nelayan
ini. Meski hanya mengenakan kemeja atau gaun katun, dia tahu pakaian Adela bukan
murahan. Cara bicaranya yang sopan dengan nada rendah, menunjukkan di masa
lalunya dia tidak harus berkeras-keras untuk mendapat keinginannya, untuk
diakui lingkungannya.
“Gadis itu tidak terlalu pintar,
tapi baik. Dia berusaha untuk menyesuaikan diri walau tak sepenuhnya berhasil.
Dan Nayra menyukainya, bahkan memujanya,” bisiknya.
Dia masih ingat ketika Adela
pertama kali datang ke sini. Terlihat ragu-ragu dan murung. Kurniawan
mempersilakan Adela memilih pelajaran yang disukainya. Ketika esoknya sayup-sayup
mendengar suara gadis itu dari ruang kerjanya, mengajarkan lagu berbahasa
Inggris kepada anak-anak di kelasnya, sesuatu merayapi hatinya, ringan dan
indah. Seperti gemerisik dedaunan menjelang senja dari luar sebuah jendela yang
terkembang. Sayup, merdu, meyentuh hati yang terbuka untuk mendengarnya.
Sejak Adela datang, demam berbahasa
Inggris melanda anak-anak. Nayra menghafal syair lagu, berguman, bernyanyi,
hampir sepanjang hari di rumah mereka. Keriangan dan antusiasme yang ditularkan
Adela ke anak-anak sangat berarti. Kurniawan menikmati perubahan itu.
Sudah cukup lama dia menunggu. Kini
kekhawatiran mulai merasuk. Adela semakin sering pulang ke rumahnya di Jakarta.
Ada kebimbangan yang dibawanya kembali ke Kampung Nelayan ini. Apakah dia mulai
jenuh di sini?
Kurniawan tak bisa menahan Adela
lama-lama. Statusnya hanya sukarelawan. Apakah lamarannya tak berarti apa-apa
bagi Adela? Ataukah dia terlalu lancang karena perbedaan di antara mereka
terlalu besar?
Kurniawan mendesah. Kampung ini
terlalu kecil dan rapat. Dia tidak bisa berbicara bebas dengan Adela tanpa
resiko dipergunjingkan. Ketika dia memberikan sajadah itu kepada Adela,
beberapa bulan lalu, dia harus memanggil Adela ke ruang kerjanya. Gadis itu
tersipu dan berusaha tenang mendengar maksudnya.
Tak ada jawaban waktu itu.
Sekarang, apakah dirinya harus
memegang tangan gadis itu dan memaksanya untuk menjawab? Dua resiko yang harus
ditanggungnya, Adela menerima atau meminta waktu. Dan kedua, Adela menolak dan
hengkang dari kampung ini. Resiko kedua itu akan membuat kerugian besar bagi
anak-anak sekolahnya yang menyukai guru Adela. Dan tentu saja bagi Nayra,
pemujanya. Dan dirinya yang telah begitu
terlambat mencari perempuan terbaik.
Akhir minggu ini Adela akan kembali
ke Jakarta. Kurniawan harus berbicara kepadanya. Mengisahkan seluruh dirinya
agar Adela mengerti dan memberi kesempatan kepadanya.
Gadis itu masih di kelasnya.
Sendirian. Membaca buku atau mungkin memeriksa PR anak-anak yang tak dapat
dilakukannya di rumah keluarga Halim karena listrik mereka yang terbatas.
“Apakah aku mengganggu?”
Adela mengangkat kepalanya.
Keningnya berkerut halus tapi tak lama.
“Tidak Pak. Hanya membereskan
berkas-berkas ini sebelum pulang.”
“ Bu Rahma bilang kamu akan ke
Jakarta Jumat ini? Ada urusan keluarga yang mendesak? Maaf kalau aku lancang,”
tanyanya.
Adela mengangguk.
“Mama membutuhkan kehadiranku,”.
“Tentu saja. Maafkan aku terlalu
mendesak. Aku hanya khawatir, mungkin dapat membantu jika kau izinkan?”
ucapnya.
Adela tersenyum. Manis sekali.
Seandainya urusannya ke Jakarta tidak terkait dengan kesedihan mama dan
keinginannya untuk lebih dekat dengan Adela, mungkin dia bisa mengharapkan
bantuan Kurniawan. Tapi masalahnya bukan itu.
“Maafkan aku, tapi…”
“Pak, tak ada yang perlu dimaafkan.
Saya baik-baik saja. Ini hanya urusan keluarga, tidak terlalu mendesak tapi
cukup penting bagi saya,” Adela mencoba meringankan suasana.
“Kau tahu kan betapa kehadiranmu
sangat disukai anak-anak di sini? Aku tahu betapa penting kehadiranmu bagi
ibumu, tapi tolong juga anak-anak di sini. Jangan tinggalkan mereka!” ucap
Kurniawan.
Akhirnya mereka sampai juga pada
pembicaraan ini, sesuatu yang tidak ingin dibahasnya. Meninggalkan kampung ini
telah menjadi pikirannya beberapa minggu terakhir. Mungkin sudah saatnya dia
kembali ke Jakarta, tinggal bersama mama dan menata kembali hidupnya.
“Maafkan saya Pak,” sesal Adela.
“Jadi benar kau akan meninggalkan
kami? Adela, kau belum menjawab permohonanku yang lalu. Tidak bisakah kau tetap
di sini, bersamaku dan anak-anak itu?” Kurniawan mendekat, memintanya dengan
suara rendah dan dalam.
Oh Tuhan, bagaimana mungkin?
Tidakkah mama akan semakin terpuruk mendengar kabar ini? Tinggal lebih lama di kampung
ini saja telah cukup membuat mama merana, apalagi jika mendengar dirinya
menerima lamaran pria telah punya anak ini.
“Dengarkan aku Adela! Usia kita
memang cukup jauh. Delapan atau sembilan tahun. Aku tidak kaya, tapi mampu
menghidupimu dengan sederhana. Aku tidak pemarah, dan aku berjanji akan sabar
menghadapimu.”
“ Kau memang tidak dilahirkan di
sini, tapi kau telah berusaha keras untuk berbaur dengan mereka. Karena itu aku
menghargaimu, mencintaimu. Maka tolonglah pertimbangkan. Aku tidak akan
mengemis, pertimbangkan itu sebelum kau putuskan pergi,” desaknya.
Semua yang diucapkan Kurniawan
telah dipikirkannya, di setiap subuh yang dilaluinya beberapa bulan belakangan
ini. Terus terang, pernah dia tergoda untuk meninggalkan rumah Halim dan
meloncat ke rumah Kurniawan yang tenang dan hangat, dengan dinding yang dicat
dan didekor sebagaimana harusnya rumah tinggal. Dia telah bosan di rumah Halim,
mencium aroma ikan asin, melewati dapur di tengah malam menuju kamar mandi di
luar.
Adela telah lama membayangkan
kehangatan di rumah Kurniawan, kebersihan dan kesejukannya. Dan keceriaan
seorang gadis kecil yang tak bosan merayu hatinya. Tapi apakah mama dapat
menerima perbedaan besar diantara mereka walaupun cinta diam-diam telah tumbuh
di hati Adela ?
“Dan Nayra juga sangat
mengharapkanmu. Dia tidak pernah mengenal ibunya. Ibunya meninggalkannya
bersamaku demi mengejar impiannya, cintanya. “
“Maksudmu?”
“Aku menikahi wanita itu ketika
usia kadungannya mendekati 5 bulan. Buah cintanya dengan seorang pemusik. Aku
berhutangbudi kepada keluarganya dan menawarkan penyelamatan itu agar mereka
tak malu. Aku melepas kembali wanita itu setelah melahirkan. Nayra tak
diinginkan oleh mereka, tapi aku mencintainya seperti darah dagingku sendiri.
Jangan biarkan kehadirannya mengaburkan pandanganmu terhadapku?”
“Jadi Nayra bukan darah dagingmu?”
“Bukan! Tapi, apakah kehadirannya
membuatmu khawatir?”
Adela meringis. Pertanyaan konyol!
Siapa yang menginginkan anak tiri kalau tidak terpaksa? Tapi kejujuran
Kurniawan telah memupus sebagian keraguannya. Dia tidak buruk. Nasib yang
membawanya kepada tanggung jawab menjadi ayah bagi seorang anak yang bukan
darah dagingnya.
*******
Adela tersenyum-senyum melihat dari
kejauhan Mama berbincang akrab dengan Nayra. Dia dan ayahnya memaksa ikut ke
Jakarta, bertemu dengan Papa dan Mama Adela. Mama yang lebih dulu berbicara
berdua dengan Kurniawan, langsung jatuh cinta ke calon menantunya. Entah
bagaiamana caranya Kurniawan menjelaskan dirinya kepada Mama, mungkin Mama
menyukai kejujurannya.
Mama ternyata tak keberatan menerima
Nayra, diluar dugaan Adela. Sementara papa yang datang belakangan, menerima dingin
lamaran Kurniawan. Adela tak terlalu peduli. Dan ketika Kurniawan menggenggam
tangannya, hatinya merasa hangat. Pria ini jodoh terbaik yang dikirimkan Tuhan
untuknya. (Asnelly RD/ Januari 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar