I.
PENDAHULUAN
Konservasi hutan dan sumber daya yang ada di dalamnya saat
ini lebih banyak terfokus kepada kepentingan untuk menyelamatkan kayu dan tanah
hutan, yang dibanyak daerah telah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan dan
pertanian. Meskipun kayu bernilai penting namun nilai manfaatnya hanya sekitar 5%
dari total nilai hutan. Manfaat terbesar atau 95% justru terletak pada sumberdaya non kayu, seperti
tanaman obat-obatan dan satwa-satwanya.Berdasarkan gambaran tersebut sudah
selayaknya kelestarian sumber daya genetik di hutan, termasuk satwa liar harus
memperoleh perhatian yang serius.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang
mengalami laju kehilangan satwa liar tertinggi, di antaranya
140 jenis burung, 77 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan tawar, dan
281 jenis tumbuhan (www.wwf.or.id,
2014). Satwa yang kondisinya paling mengkhawatirkan adalah orang utan sehingga
diperkirakan akan punah pada tahun 2020 jika perburuan liar masih terus
berlanjut.
Penjualan satwa liar tidak saja dilakukan
dengan cara konvensional yaitu di pasar hewan, juga ditawarkan secara online
dan memiliki peminat yang luas baik untuk kepentingan pengobatan, keindahan dan
prestise. Satwa langka ditawarkan dengan harga bervariasi, misalnya Kukang
ditawarkan seharga Rp200 ribu/ekor, Siamang Rp3 juta/ekor, Elang Jawa Rp 2.000.000,-
hingga Rp5 juta/ekor, dan Nuri Kepala Hitam seharga Rp1 juta/ekor (www.antaranews.com,
2014).
Fenomena
penjualan satwa liar yang berpotensi merusak lingkungan tersebut mendorong
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan
penjualan/perdagangan satwa liar. Fatwa tersebut diumumkan pada 4 Maret 2014
dan berlaku efektif sejak tanggal 22 Januari 2014.
Alasan
dikeluarkan fatwa tersebut menurut Sekretaris Komisi
Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Sholeh karena dalam perspektif Islam, dimensi
kemanusiaan, lingkungan, dan sosial memiliki relasi ketuhanan, termasuk di
dalamnya menjamin keberlangsungan hidup satwa terancam punah (www.bbc.co.uk, 2014). Fatwa tersebut menegaskan
perburuan dan perdagangan hewan langka dikategorikan sebagai "berdosa dan
tidak bermoral."
Provinsi
Jambi merupakan wilayah yang menjadi perburuan satwa liar. Di daerah ini
terdapat empat taman nasional; Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional
Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Duabelas dan Taman Nasional Berbak, serta
kawasan hutan lindung lainnya yang banyak dihuni oleh satwa endemik dan
terancam punah. Sulitnya mengendalikan kasus
perburuan illegal dan perdagangannya karena wilayah yang luas dan keterbatasan
aparat untuk melakukan pengawasan.
Makalah
ini berupaya untuk mengungkapkan permasalahan perburuan dan perdagangan satwa
liar serta bentuk-bentuk pelanggaran etika dan moral pada kejadian tersebut. Salah
satu pertanyaan yang ingin dijawab, apakah kemiskinan dapat dijadikan
justifikasi terhadap perburuan dan perdagangan satwa liar tersebut.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perlindungan Terhadap Satwa
Liar
Perlindungan
terhadap satwa yang hidup di alam bebas telah diatur pemerintah dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya. Dalam UU tersebut, satwa liar didefenisikan sebagai semua binatang yang
hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai
sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
Pada Pasal
21 ayat (2) dinyatakan dengan tegas larangan untuk : (a). menangkap, melukai,
membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa
yang dilindungi dalam keadaan hidup; (b). menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; (c). mengeluarkan satwa yang dilindungi dari
suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (d).
memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain
satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar Indonesia; (e). mengambil, merusak, memusnahkan,
memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang
dillindungi. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, menurut Pasal 40 ayat (2) UU ini dapat dikenai hukuman
maksimal 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Namun pemanfaatan
satwa liar bukannya tidak boleh karena pemerintah memberikan izin untuk
kegiatan-kegiatan seperti: pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran;
perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran;
pemeliharaan untuk kesenangan (Pasal 36 ayat
(1) yang dilakukan secara terbatas dan diaturan oleh peraturan pemerintah. Selain
Undang-Undang No. 5 tahun 1990, aturan lain yang melindungi satwa liar
tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.
7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Pemerintah
No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Selain
peraturan di atas, negara-negara di dunia secara teratur melaksanakan pertemuan
setiap 2,5 tahun dan menghasilkan konvensi untuk melindungi satwa liar,
mencegah perburuan dan perdagangannya. Konvensi tersebut diformalkan dalam
bentuk Convention on International Trade
in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Empat hal pokok yang
menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES
menurut www.ksda-bali. go.id
(2011)
a. Perlunya perlindungan
jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia;
b. Meningkatnya nilai sumber
tumbuhan dan satwa liar bagi manusia;
c. Peran dari masyarakat dan
negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi;
d. Munculnya urgensi kerjasama internasional untuk melindungi
jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol perdagangan
internasional.
Mekanisme
pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah yang digunakan oleh CITES berdasarkan
mekanisme regulasi appendiks. Daftar
satwa yang dilindungi berdasarkan appendix sebagai berikut:
Tabel
1.
Jenis
Appendix dan daftar satwa dilindungi di Indonesia
JENIS APPENDIX
|
KATEGORI
|
JUMLAH YANG DILINDUNGI
|
CONTOH SATWA YANG DILINDUNGI
|
Appendix I
|
seluruh spesies satwa liar yang terancam punah akibat segala bentuk
perdagangan internasional/komersial. Izin hanya untuk penelitian dan
penangkaran.
|
Dunia: sekitar 800 spesies
Indonesia :
mamalia 37 jenis, Aves 15 jenis, Reptil 9 jenis, Pisces 2 jenis,
total 63 jenis satwa
|
semua jenis penyu, jalak bali,
komodo, orang utan, babirusa, harimau, beruang madu, badak jawa,
tuntong, arwana kalimantan.
|
Appendix II
|
spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam
punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan
|
Dunia: sekitar 32.500 spesies. Indonesia : mamalia 96 jenis, Aves 239
jenis, Reptil 27 jenisdll. Total 546 jenis satwa
|
trenggiling, serigala, merak hijau, gelatik, beo, beberapa jenis
kura-kura, ular pitas, beberapa ular kobra, dll
|
Appendix III
|
spesies satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara dan
memberikan pilihan bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan
dimasukkan ke Appendix II atau Appendix I
|
Dunia: sekitar 300 spesies.
Indonesia : tidak ada spesies yang masuk dalam Appendix III.
|
Menurut International Union for the Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN) dalam Pardosi
(2010), terdapat beberapa kategori konservasi satwa liar:
1. Punah
(Extinct; EX)
Suatu takson dinyatakan
punah apabila survei secara terus menerus pada habitat yang diketahui pada
rentang waktu tertentu gagal untuk menemukan satu individu. Survei dilakukan
sesuai dengan siklus kehidupan dari spesies yang dipelajari.
2. Punah di
alam liar (Extinct in the wild; EW)
Suatu takson dinyatakan
punah di alam liar ketika takson tersebut diketahui hanya bisa ditemui di
penangkaran tertentu.
3. Kritis atau
sangat terancam punah (Critically
endangered; CR)
Suatu takson dinyatakan kritis
atau sangat terancam akan kepunahan apabila memenuhi salah satu kriteria A
sampai E untuk sangat terancam punah sehingga dianggap sedang menghadapi risiko
tinggi kepunahan di alam liar.
4. Terancam (Endangered; EN)
Suatu takson dinyatakan genting ketika dinyatakan
memenuhi salah satu kriteria A sampai E untuk keadaan genting, sehingga
dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam liar.
5. Rentan (Vulnerable; VU)
Suatu takson dinyatakan
rentan ketika data-data mengindikasikan kesesuaian dengan salah satu kriteria A
sampai E untuk rentan atau rawan, sehingga dianggap sedang menghadapi risiko
tinggi kepunahan di alam liar.
6. Hampir
Terancam (Near Threatened; NT)
Suatu takson dinyatakan
mendekati terancam punah apabila dalam evaluasi tidak memenuhi kategori kritis,
genting, atau rentan pada saat ini tetapi mendekati kualifikasi atau dinilai
akan memenuhi kategori terancam punah dalam waktu dekat.
2.1. Konsep Etika Dan Moral
Etika dan moral merupakan pembeda
antara masyarakat yang beradab dengan yang kurang/tidak beradab. Permasalahan
etika muncul ketika keinginan suatu pihak untuk mencapai tujuannya, menyebabkan
pihak lain menderita atau terhalang mencapai tujuannya.
Ada banyak sekali teori etika yang dikemukakan para ahli atau
filsuf (Kartodiharjo, tanpa tahun), diantara yang dominan adalah:
A. Egoisme
Terdapat dua pengertian
mengenai egoisme yaitu egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis
menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat
diri (selfish) tanpa memperhitungkan
akibat perbuatannya pada orang lain, sedangkan egoisme etis menjelaskan
tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self interest), namun sebatas hal tersebut tidak mengganggu
kepentingan orang lain.
B. Utilitarianisme
Menurut teori ini suatu
tindakan dikatakan benar apabila membawa manfaat bagi sebanyak-banyaknya
anggota masyarakat. Disini ada anggapan kuat bahwa setiap orang sama
pentingnya.
C. Deontologi
Suatu perbuatan tidak bisa
dikatakan baik hanya karena hasilnya baik.hal ini, kewajiban moral bersifat
mutlak, tanpa ada pengecualian apapun dan tanpa dikaitkan dengan keinginan dan
tujuan apapun.
D. Teori Hak
Pada teori ini, suatu
tindakan dianggap benar bila sesuai dengan hak asasi manusia (HAM), yang
bersumber pada hak hukum (legal rights),
hak moral dan kemanusiaan (moral, human
rights) dan hak kontraktual (contractual
rights).
E. Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Faham ini menekankan pada
sikap atau tekad seorang manusia menjadi manusia utama dan bukan sebagai
manusia hina. Contoh sifat keutamaan, antara lain: kebijaksanaan, keadilan dan
kerendahan hati.
F. Etika Teonom
Pada teori ini sifat manusia
dikaitkan dengan hubungan dan kehendak Tuhan sesuai dengan tuntunan kitab suci.
2.3. Masalah Etika Moral Pada
Perburuan dan Perdagangan Satwa Liar
Maraknya perburuan dan perdagangan satwa liar sangat terkait kepada
lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Hal ini diungkapkan Wildlife
Conservation Society (WCS) dalam Pardosi (2010). Salah satu contoh lemahnya penegakan hukum
adalah kasus pidana pembunuhan orangutan dilindungi di Pengadilan Negeri Tenggarong beberapa tahun
lalu. Tersangka hanya dijatuhi hukuman penjara masing-masing selama 8 (delapan)
bulan dan denda sebesar Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta) meskipun bukti di
persidangan menunjukkan adanya kejahatan terorganisir dalam perburuan orang
utan tersebut. Banyak pihak mengharapkan hakim memberikan hukuman yang lebih
berat sekaligus merupakan kampanye terhadap perlindungan dan penyelamatan satwa
liar. (irfan dkk, tanpa tahun).
Pemerintah telah menyiapkan lembaga yang bertugas melindungi hutan dan
biodiversitas di dalamnya yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) namun
lembaga ini belum mampu memberikan perindungan yang optimal. Menurut Irfan dkk (
tanpa tahun), hal ini disebabkan kurangnya personil serta fasilitas yang
dimiliki, yang secara langsung mempengaruhi proses tata cara dalam pelaksanaan
upaya perlindungan hutan dan satwa yang dilindungi.
Lemahnya penegakan hukum dan keterbatasan lembaga yang ditunjuk
pemerintah untuk melindungi satwa liar tersebut diperparah lagi dengan kuatnya
keinginan manusia untuk mengoleksi dan menikmati produk olahan satwa liar guna
kesenangan pribadi. Jika masyarakat menghentikan permintaan
atas satwa liar tersebut maka otomatis
perdagangan satwa liar tidak marak seperti saat ini. (www.wwf.or.id. 2012).
Tabel
2.
Jenis
dan Harga Menu Olahan Monyet Ekor Panjang Di Jakarta
No
|
Jenis Olahan
|
Harga (Rp)
|
1
|
Sate monyet
|
40.000 –
100.000 per porsi
|
2
|
Abon
(biawak)
|
25.000 –
50.000 per bungkus
|
3
|
Otak monyet
|
300.000 –
500.000
|
Sumber: www.profauna.net
Kontribusi perdagangan spesies langka di beberapa negara
tidak dapat dikatakan sedikit, terutama dalam menyediakan kesempatan kerja dan
meningkatkan pendapatan lokal (Soehartono dan Ani, 2003). Hal ini terutama
terlihat pada daerah pinggiran hutan yang masyarakatnya hidup dalam kemiskinan
dan tingginya angka pengangguran.
Tabel
3.
Perdagangan
Bagian Tubuh Penyu di Teluk Penyu Cilacap
pada
Februari-April 2005
No
|
Jenis
Barang
|
Harga (Rp
|
Jumlah
|
Asal
|
1
|
Opsetan
|
35.000-1.500.000
|
175
|
Situbondo & lokal
|
2
|
Pipa Rokok
|
7.000
|
20
|
Situbondo
|
3
|
Cincin
|
3.500 -5.000
|
300
|
Lokal & Situbondo
|
4
|
Gelang
|
7.000 - 10.000
|
65
|
Lokal & Situbondo
|
5
|
Minyak bulus
|
15.000 -50.000
|
500
|
Lokal
|
6
|
Dendeng
|
4000
|
25
|
Lokal
|
7
|
Daging matang
|
1000
|
20
|
Lokal
|
8
|
Telur
|
2000
|
400
|
Lokal
|
9
|
Tukik kering
|
35.000 - 50.000
|
5
|
Situbondo
|
10
|
Penyu hidup
|
35.000-100.000
|
1
|
Lokal
|
Sumber: www.profauna.net
Indonesia merupakan daerah
penyuplai dan pasar yang menarik dalam menjajakan satwa liar karena hutan
tropis yang dimiliki sangat luas dan
mengandung keragaman biodiversitas yang sangat kaya. Mudahnya akses ke luar
negeri semakin memperburuk kondisi satwa liar ini di habitat aslinya.
Tabel 4.
Fakta-fakta tentang Perdagangan Satwa Liar di Indonesia Tahun
2009
No
|
Jenis
Fakta
|
Keterangan
|
1
|
Propinsi paling banyak memperdagangkan satwa dilindungi
|
Jawa Timur, Sumsel dan Bali
|
2
|
Kota paling banyak memperdagangkan satwa dilindungi
|
Pasar Burung Depok di Kota Solo, Ambarawa. ,
Surabaya, Semarang dan Jakarta
|
3
|
jalur penyelundupan satwa langka ke luar negeri
|
Bandara Soekarno Hatta, Bandara Ngurah Rai Bali dan
Kepulauan Talaud di Sulawesi
|
4
|
Perdagangan satwa di Pasar Burung
|
Dari 70 pasar burung di 58 kota, 14 pasar memperdagangkan
burung nuri dan kakatua, 21 pasar memperdagangkan primata, 11 pasar
memperdagangkan mamalia dan 13 pasar memperdagangkan raptor (burung pemangsa)
dan 11 pasar memperdagangkan jenis burung berkicau yang dilindungi.
|
Sumber: www.iwf.or.id (2014)
III.
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Penciptaan langit dan bumi serta
terjadnya siang malam menurut Al Quran merupakan fenomena yang seharusnya
dipelajari manusia agar dia dapat mengenal dirinya, mengenal adanya yang Maha
Pengatur dan akhirnya beriman dan bertaqwa kepada yang Maha Mengatur tersebut.
Meskipun bumi dan isinya diciptakan untk kesejahteraan manusia (antropocentris), tidak berarti manusia
dapat menggunakannya dengan sesuka hati karena semua perbuatan manusia akan
dipertanggungjawabkan ke hadapan Tuhan yang Maha Mengatur alam semesta. Apalagi
menurut Quran Surah Ar-Ruum 41, banyak kerusakan di bumi disebabkan oleh ulah
manusia.
Pada konsep pembangunan
berkelanjutan, semua kegiatan pembangunan termasuk aktivitas masyarakat yang
hidup di zaman sekarang harus mempertimbangkan generasi yang akan datang.
Generasi mendatang tidak akan bisa bertahan hidup jika lingkungan telah rusak
atau kitayang hidup di zaman ini akan dikutuk karena mewarisi alam yang
tercemar dan daya dukungnya amat rendah.
Melihat kepada kasus perburuan dan perdagangan liar, banyak
sekali prinsip etika yang telah dilanggar. Manusia menjadi begitu egois dan
gila kehidupan hedonis (kehidupan yang mengagungkan kemewahan hidup di dunia).
Maraknya perdagangan di internet dan pasar satwa menunjukkan hal tersebut (www.antaranews.com). Hanya
dengan alasan fashion dan prestise, ribuan ular, harimau, atau buaya dibunuh
untuk dijadikan jeket, sepatu, tas, ikat pinggang dan barang mewah lainnya.
Pelanggaran etika dan moral juga terjadi di lingkungan
penegakan hukum dan pejabat pemerintah. Hukuman maksimal 5 tahun dan denda yang
bisa mencapai 100.000.000,- terhadap pelaku perburuan dan perdagangan liar,
ternyata bisa ditawar dan dinegoisasikan. Tak heran bila hukuman yang diberikan
seringkali merupakan hukuman minimal sehingga tidak memberi efek jera kepada
pelakunya. (Irfan dkk, tanpa tahun).
Di kalangan masyarakat bawah, kemiskinan menjadi alasan utama
mereka melakukan perburuan satwa liar. Mereka tanpa sadar menjadi perpanjangan
tangan orang-orang kaya dan pedagang yang serakah sementara imbalan yang mereka
peroleh tidak sebanyak keuntungan yang mereka berikan kepada para pelaku utama
tersebut.
Menurut Kartodiharjo (2013), Undang-undang menyangkut hutan
seringkali tidak mempertimbangkan permasalahan mendasar yang terjadi di hutan
dan kawasan sekitarnya. Salah satu permasalahan mendasar yang tak tersentuh
pemerintah itu adalah kemiskinan masyarakat. Menurut ajaran Islam, kemiskinan
akan mendekatkan seseorang kepada kekafiran. Dalam arti yang lebih luas,
kemiskinan akan mendorong seseorang untuk berbuat kejahatan.
Siapa yang bertanggung jawab terhadapnya maraknya perburuan
dan perdagangan liar ini? Yang pertamakali tentu saja pemerintah karena negara
memiliki perangkat negara, dana dan wewenang untuk mengendalikan semua tindakan
negatif yang merugikan warga negara lain dan lingkungan. Jika ada aparat negara
yang bermain-main dalam menegakkan hukum dan melindungi alam, maka seharusnya
dihukum berat karena telah menyalahi sumpahnya sebagai pegawai negara.
Namun masyarakat juga tidak terlepas dari kesalahan.
Ketidakmampuan mereka menahan hawa nafsu dan berpikir lebih bijaksana dalam
memperlakukan alam, telah menyebabkan kerusakan yang parah di lingkungan hutan.
Nafsu ingin menguasai alam (antropecentris) ini harus dikendalikan oleh diri
mereka sendiri dan peraturan perundang-undangan yang ada.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Pelanggaran etika dan moral dalam
kasus perburuan dan perdagangansatwa liar terjadi di semua level mulai dari
tatanan kenegaraan hingga masyarakat bawah. Di tataran lebih tinggi melibatkan
pejabat penegak hukum yang korup dan pegawai pemerintah yang semangatnya lemah
dalam melaksanakan tugasnya mengawasi lingkungan.
Pelanggaran etika moral di tingkat masyarakat terjadi di
level tinggi atau masyarakat kelas atas terlihat dengan adanya permintaan yang
tinggi terhadap satwa liar, baik untuk kepentingan fashion, prestise, kesehatan
dan makanan serta alasan-alasan lain yang mereka pandang baik. Sedangkan
masyarakat bawah melihat peluang berburu hewan liar sebagai tambahan pendapatan
tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.
4.2.
Saran
Guna mengatasi permasalahan perburuan dan perdagangan satwa
liar, dapat disarankan sebagai berikut:
1. meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang pentingnya perlindungan lingkungan termasuk
biodiversitas yang ada di dalamnya untuk generasi yang ada sekarang dan yang
akan datang.
2.
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat pedesaan dan kawasan sekitar hutan
sehingga kemiskinan tidak lagi menjadi alasan mereka melakukan perburuan dan
perdagangan satwa liar.
3.
memperbaiki perangkat hukum yang ada saat ini sehingga menutup celah terjadinya
transaksi hukum.
4. memberi
hukuman berat kepada pejabat negara yang melakukan kecurangan atau menggunakan
jabatannya untuk memuluskan tindakan perburuan dan perdagangan satwa liar.
5. menutup
izin pasar hewan dan kelompok-kelompok berkedok pecinta lingkungan yang
merupakan organisasi tersembunyi perdagangan satwa liar.
DAFTAR
PUSTAKA
CITES,
Konvensi Internasional Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar, diunduh tanggal 9
September 2011 tersedia pada http://www.ksda-bali.go.id/?p=314
Haryadi K.
tanpa tahun. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Pengelolaan Sumber daya Alam;
Narasi-Aktor-Politik Jaringan. Unpublished book.
http//www.iwf.or.id, diakses tanggal 8 Mei 2014
http://www.profauna.net, diakses
tanggal 8 Mei 2014
Irfan M,
Hamongpranoto S dan Prija D. tanpa tahun. Penegakan Hukum Terhadap Tindak
Pidana Pembunuhan Satwa Orang Utan Yang Dilindungi Menurut Undang-undang no. 5
tahun 1990 di Wilayah Ijin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit; Studi Kasus di
Wilayah Hukum Kabupaten Kutai Kartanegara. Universitas Brawijaya Malang.
Kartodiharjo H (Ed). 2013.
Kembali ke Jalan yang Lurus. Yogyakarta: Forci Development bekerjasama dengan
Tanah Air Beta.
Menyelamatkan
yang Tersisa dari Perdagangan Ilegal Satwa Liar. 2012. Diunduh tanggal 29 April 2014, tersedia pada http://www.wwf.or.id.
Pardosi EE.
2010. Nilai Ekonomi Perdagangan Satwa Liar. http.
repository.usu.ac.id , diakses tanggal 29 April 2014.
Perdagangan
satwa secara online makin memprihatinkan, diunduh tanggal 29 April 2014, tersedia pada www.antaranews.com.
Setneg RI.
UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Jakarta: Setneg RI.
Soehartono T dan Ani M. 2003. Pelaksanaan Konvensi
CITES di Indonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar