Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

26 Mei 2010

KASUS BAKSO BABI Tak Ada Sanksi Hukum, Kasus Daging Oplosan Muncul Lagi


Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi melalui Laboratorium Keswan dan Kesmavet kembali menemukan kasus positif bakso babi di Kota Jambi, awal Mei 2010. Kali ini dilakukan pemilik Warung Bakso Arema di Paal Merah, Jambi Selatan.

“Hasilnya positif mengandung daging Babi.” ujar Ir. Hanif Lubis, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi.

Kasus ini mengulang cerita lama. Di akhir 2007 lalu, empat warung bakso melakukan hal sama; Bakso Sentot di Thehok dan Sipin, Bakso Udin di Sungai Putri dan Bakso Pariah di Tanjungsari, Jambi Timur. Saat itu warga sempati emosi dan memporak-porandakan bangunan salah satu warung bakso.

Kejadian ini cukup memukul masyarakat terutama yang beragama Islam. Dulu Sentot ngotot tidak mengakui bahwa dia telah menggunakan campuran daging sapi dengan babi untuk pembuatan bakso, lalu menggugat Dinas Peternakan Provinsi Jambi atas ‘temuan’ tersebut dengan alasan pencemaran nama baik. Pada kasus yang muncul tahun 2010 ini, pemilik Warung Bakso Arema langsung mengambil langkah seribu. Dia menutup warung baksonya dan melarikan diri dari masyarakat yang marah atas tindakannya tersebut.

Kejadian ini sangat membuat hati kita miris. Aqidah umat Islam kembali dicederai oleh oknum pedagang bakso yang ingin mencari untung banyak dalam waktu singkat. Pertanyaan yang cukup menggelitik adalah mengapa pedagang bakso, penjual daging sapi oplosan dan lain-lain masih berani bermain-main dengan daging sapi bercampur babi?

Tidak adanya tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku merupakan satu hal yang menyebabkan kasus penjualan daging oplosan masih terjadi. Kasus bakso Sentot sebagai contoh sempat menjadi headline media massa waktu itu. Sentot sendiri pun melakukan pembelaan diri yang dramatis dengan melakukan sumpah pocong di sebuah masjid. Waktu itu opini publik sempat terpecah dengan kasus tersebut dan pihak kepolisian tidak membawa kasus tersebut ke pengadilan. Akhirnya Sentot melenggang bebas tanpa hukum pidana walau secara moral masyarakat telah menghukumnya dengan tidak membeli bakso lagi dari warungnya.

Pemilik Warung Bakso Arema mungkin banyak belajar dari kasus Sentot. Dia melarikan diri, harapannya masyarakat lambat laun akan melupakan kecurangannya menjual bakso babi. Sambil menikmati keuntungannya, dia saat ini mungkin sedang berpikir untuk membuka usaha yang sama di tempat lain. Ternyata prilaku pedagang tidak berobah.

Jika prilaku pedagang belum berobah, kita boleh bersyukur bahwa prilaku masyarakat kita (konsumen) terhadap daging yang mencurigakan berubah ke arah postif. Ini merupakan dampak dari sosialisasi produk pangan hewani yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) yang gencar dilakukan Disnak Keswan Provinsi Jambi sejak kasus daging babi tahun 2007 lalu. Semua kasus di atas terungkap karena partisipasi masyarakat membawa sampel makanan yang dicurigai ke laboratorium keswan dan kesmavet Disnak Keswan Provinsi Jambi. Anggota masyarakat yang bertindak proaktif tersebutlah yang menyebabkan kasus ini terungkap.

Dinas Peternakan dan kesehatan hwan Provinsi Jambi telah melakukan upaya optimal untuk melindungi masyarakat. Dengan keterbatasan sumber daya manusia (saat ini Disnak Keswan Provinsi Jambi baru memiliki 2 orang Penyidik Pegawai Negeri sipil/ PPNS), serta dana operasional yang terbatas untuk membeli biokit atau bahan kimia pemeriksa sampel makanan ( yang harga 1 paketnya cukup mahal yaitu sekitar Rp35 juta dan diperlukan puluhan hingga ratusan paket biokit jika ingin memeriksa seluruh sampel makanan produk hewani yang ada di Provinsi Jambi secara berkala) dan untuk pengambilan sampel ke lapangan. Koordinasi dengan Dinas Pertanian Kota Jambi sebagai instansi yang menangani fungsi peternakan di Kota Jambi, pihak kepolisian, Satpol PP, serta Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) juga dilakukan walaupun belum berjalan memuaskan.

Menurut UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pada pasal 84 disebutkan bahwa selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya meliputi peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat 1).

Selanjutnya pada ayat 2 dijelaskan bahwa PPNS berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas laporan/ keterangan berhubungan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan, pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan; meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan; melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan; melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan; dan/atau meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Sebelum melakukan pengambilan dan pemeriksaan sampel yang ke-tiga kalinya dari warung bakso Arema Disnak Keswan Provinsi Jambi telah melakukan koordinasi sekaligus melibatkan pihak terkait termasuk kepolisian, sebagaimana diamanatkan ayat 3 pasal pasal 84 UU No. 18 tahun 2009.

Mengenai sanksi hukum, UU no 18 tahun 2009 menyebutkan tentang sanksi admistratif (pasal 85 ayat 1 dan 2) berupa peringatan secara tertulis; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran; pencabutan izin; atau pengenaan denda.

Besarnya denda paling sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp500 juta (pasal 85 ayat 4 (c)).

Merujuk pada UU No 18 tersebut di atas, Penulis berpendapat bahwa terbuka peluang untuk membawa kasus daging oplosan ini ke jalur hukum. Sisi hukum kasus daging babi harus ditangani lebih serius agar memberikan efek jera kepada para petualang daging oplosan. Masyarakat berhak memperoleh perlindungan dari aparat negara. Jika kasus daging oplosan dibiarkan muncul dan muncul lagi, komitmen aparat negara untuk melindungi masyarakat akan dipertanyakan. Jangan sampai masyarakat menjadi apatis, tidak mau lagi mengantar sampel makanan yang dicurigai ke laboratorium atau melaporkan penjualan daging yang tidak ASUH, karena ternyata tidak ada sanksi hukum untuk pelakunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar