SEORANG Ustadz mengatakan shalat taraweh adalah
shalat bersenang-senang. Shalat taraweh seharusnya dilakukan dengan hati
tenang, tidak mengumpat meskipun ayatnya panjang dan tidak
terburu-buru meski rakaatnya banyak. Bahkan bagi siapa yang ingin
membawa minuman untuk diteguk ketika jeda antar shalat taraweh,
dipersilakan saja. Tujuannya agar shalat panjang tersebut terlaksana
dengan lebih khusu'.
Dengan maksud untuk mencari kesenangan taraweh itu dan memaknai
kehadiran Ramadhan yang hanya setahun sekali, saya dan suami hampir
setiap malam shalat taraweh berpindah tempat. Kami ingin mencicipi
nuansa berbeda shalat di satu masjid dengan masjid lainnya.
Tak banyak syarat yang kami tetapkan untuk pilihan masjid taraweh malam
ini; masjidnya cukup lapang dan manajemennya baik, parkir leluasa, dan
relatif dekat dari rumah kami.
Ternyata shalat taraweh di masjid berbeda benar-benar mendatangkan
keindahan yang kami cari. Seraya mendengarkan azan, takbir, bacaan ayat
Al Quran yang merdu, kami bisa menikmati interior masjid yang artistik.
Zikir kami juga bisa lebih khusu' dan banyak bila dibanding shalat
taraweh di lingkungan rumah sendiri -maaf, karena di lingkungan sendiri
kita cenderung ngobrol atau berbagi cerita dengan tetangga yang duduk di
sebelah.
Shalat di masjid lain juga bermakna silaturrahmi karena sering kami
dipertemukan dengan teman atau kerabat yang bertahun-tahun tak berjumpa.
Pertemuan singkat di teras masjid misalnya, sudah cukup untuk bertukar
nomor HP yang telah hilang atau mengupdate informasi yang terputus.
Manfaat lain yang terasa adalah shalat taraweh menjadi tidak
membosankan karena gaya taraweh di setiap masjid berbeda. Ada yang
rakaatnya 20, ada yang hanya 8 rakaat. Beberapa penyelenggaraan taraweh
disertai tausiah, yang lain tidak. Ada masjid yang tarawehnya dihiasi
zikir dan shalawat untuk Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, namun ada
yang tidak samasekali. Semuanya menunjukkan keragaman dalam memaknai
Islam dan kami mencoba memahaminya dengan hati lapang.
Dalam perjalanan kembali ke rumah, kami menikmati suguhan penutup;
Jambi di waktu malam yang diterangi lampu seadanya, para penjual
makanan pinggir jalan, dan ratusan orang bersarung dan bertelekung
keluar dari masjid. Jambi seperti kota santri, ribuan penduduknya
kembali belajar Islam dan berlomba-lomba merebut keistimewaan Ramadhan.
Kami adalah bagian dari Hamba-hamba Allah itu. Seandainya ramadhan ini
menjadi Ramadhan yang terakhir, mudah-mudahan kami tak menyesal karena
telah menikmati dan merasakan keindahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar