PEREMPUAN di banyak
budaya diibaratkan sebagai alam. Dalam
kultur barat, wanita diasosiasikan dengan nature,
dan semua yang berhubungan dengan alam sangat dekat maknanya dengan kelembutan
dan kelemahan. Di indonesia, nusantara atau bagian bumi yang kita diami
sekarang dimuliakan dengan sebutan Ibu Pertiwi. Ini merupakan bukti betapa
perempuan dan alam memiliki interaksi atau hubungan pertemanan yang lebih
dekat, dibanding misalnya antara laki-laki dengan alam.
Pengasosian perempuan dengan alam juga
merupakan penanda kuatnya paham patriakhi di budaya barat dan timur. Laki-laki
dicitrakan sebagai penakluk, keras, tangguh, dan di pihak lain terdapat
perempuan yang lembut, lemah dan dengan begitu merupakan sebuah sasaran (yang
akan ditaklukkan).[1]
Pengibaratan atau pengasosiasian
perempuan dengan alam seharusnya dapat menjadi faktor yang mencegah kerusakan
alam, karena sebagai mahluk yang dimuliakan Tuhan, -sebagaimana laki-laki-,
perempuan memiliki kekuatan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi kepada
dirinya. Kecuali jika perempuan tidak setuju dengan pengibaratan seperti itu.
Namun yang kita lihat sekarang
adalah kerusakan lingkungan yang bertambah parah. Dimana-mana di Indonesia, di
perkotaan hingga di desa-desa, lingkungan sedang mengalami degradasi. Sebagian
terjadi dengan cepat, yang lain pelan namun terus berlangsung. Hal itu tidak
mungkin menjadi fenomena yang umum jika perempuan tidak terlibat, atau
setidaknya setuju terhadap perubahan tersebut.
Hal ini memunculkan pertanyaan
apakah perempuan masih relevan disebut sebagai the mother of nature, ibunya alam? Perempuan yang dianggap lebih
banyak menggunakan perasaannya, dibanding akal dan nafsunya, dan dengan
demikian diharapkan menjadi penyeimbang atau penawar angkara murka atau
keinginan manusia menguasai alam, masihkah mampu menjadi penahan agar bumi
tidak semakin rusak?
Banyak alasan untuk meragukan masih
bertahannya sifat-sifat kelembutan dan kedekatan perempuan dengan alam pada
saat ini. Bila kita berjalan ke pelosok negeri ini, menuju kampung-kampung yang
perekonomiannya tengah menggeliat, terlihat banyak sekali tanda lingkungan
tengah mengalami degradasi. Ketersediaan air bersih yang semakin menyusut
disebabkan terkontaminasi pupuk dan
pestisida, hutan hilang akibat beralih menjadi perkebunan, lahan pertanian, dan
perumahan, yang diikuti oleh hilangnya keanekaragaman hayati (fauna dan flora),
udara yang semakin panas akibat berkurangnya vegetasi, mekanisasi di
pabrik-pabrik pengolahan hasil perkebunan/pertanian serta jumlah kendaraan yang
bertambah, hanyalah sebagian penyumbang kepada degradasi lingkungan tersebut.
Dimanakah para perempuan berada
ketika pembangunan dan perusakan itu terjadi? Apa sikap mereka melihat kerusakan
yang dilakukan terhadap alam, yang di banyak budaya dibaratkan dengan diri
mereka sendiri?
Para perempuan ternyata berada di
rumah mereka, diantara keluarga mereka dan melihat perubahan tersebut. Hanya
sedikit yang peduli dan terlibat kegiatan nyata untuk menyelamatkan lingkungan.
Sebagian besar tak berupaya untuk mencegah atau menahannya, bahkan
menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Beberapa diantara mereka mungkin merasa terganggu, namun tak cukup
berdaya untuk menyuarakan kerisauan hatinya.
Ada banyak alasan mengapa perempuan menjadi
menurun kepeduliannya terhadap alam. Satu atau lebih alasan tersebut mungkin
dapat dipakai untuk memahami pergeseran fungsi perempuan sebagai the mother of
nature.
Alasan pertama sangat terkait
dengan relatif rendahnya kesempatan perempuan memperoleh akses informasi dan
pendidikan. Indeks Pembangunan Gender (IPG)
Indonesia (indeks yang menunjukkan ketidak-setaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam bidang kesehatan, pendidikan dan standar hidup) pada tahun
2009, menempatkan Indonesia pada peringkat 93 dari 155 negara. Meski terjadi
peningkatan yang konsisten, tapi Indonesia masih menghadapi tantangan berat
guna mencapai semua indikator utama kesetaraan gender. (Kemenneg PPPA, 2011)
Perempuan sering tidak dilibatkan
dalam pengambilan keputusan di rumah tangga atau di tingkat lebih tinggi
(keluarga besar atau desa). Mengenyampingkan perempuan dari urusan yang
sifatnya publik, merupakan bentuk dari diskriminasi gender yang terjadi sejak
lama dan didukung secara tidak langsung oleh kebijakan pemerintah. Laki-laki
dipetakan pada jenis pekerjaan yang membutuhkan otot lebih kuat, tingkat resiko
dan bahaya lebih tinggi, serta tingkat keterampilan dan kerjasama lebih tinggi
sementara perempuan dikonsepsikan lemah sehingga lebih cocok untuk bekerja pada
jenis yang resikonya rendah, cenderung bersifat pengulangan, dan tidak
memerlukan konsentrasi. Tingkat keterampilan perempuan dianggap lebih rendah
dari laki-laki (Khotimah, 2009).
Di tingkat lokal masih terdapat
peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Seringkali peraturan tersebut diinspirasi
oleh pemahaman agama yang sempit (Kemenneg PPA, 2011)
Bias dalam menempatkan perempuan di ruang public menyebabkan
perempuan terpinggirkan dari isu-isu penting yang muncul di sekitarnya, termasuk
isu kerusakan alam sebagai dampak aktivitas pembangunan dan perekonomian di
wilayahnya. Pada penyelenggaraan musyawarah di kantor desa atau penyuluhan dari
pemerintah terkait program pembangunan,
partisipannya adalah kepala keluarga, yang di Indonesia secara otomatis
dipegang oleh para suami, meskipun banyak perempuan menjadi motor bahkan
menejer pada usaha keluarganya. Hal ini
berdampak menyempitnya wawasan dan kepedulian perempuan terhadap pelaksanaan
pembangunan yang sebagian dampaknya bersifat negatif terhadap lingkungan.
Perempuan di barat telah menunjukkan keberpihakannya kepada
alam bahkan menjadi motor penggerak kesadaran lingkungan.[2]
Apakah karena pendidikan dan wawasan mereka lebih baik dibanding perempuan di
negara berkembang? Kemungkinan memang begitu, namun di negara lain yang juga
sama berkembangnya dengan Indonesia, gerakan kesadaran lingkungan juga dimotori
oleh perempuan. Salah satu yang terkenal adalah Medha Patkar dari India yang
menentang pembangunan proyek dam di Sungai Narmada.
Pemahaman agama yang masih dangkal,
bahkan bertambah dangkal ikut memberi kontribusi kepada makin lemahnya dukungan
perempuan terhadap kelestarian alam. Sebagai penganut Islam, Penulis melihat
umat lebih banyak menyediakan waktu dan pemikirannya untuk mengkaji ilmu agama
yang bersifat fiqih, halal dan haram,
sementara ajaran Islam menyangkut kemanusiaan dan lingkungan, tidak
dianggap penting, seakan-akan kepedulian kepada sesasama manusia dan alam tidak
akan bisa membawa mereka kepada tempat terbaik di alam nanti.
Dalam Al
Qur’an, terdapat banyak keterangan tentang pentingnya menjaga alam dan kebaikan
yang diberikan oleh Allah terhadap mereka yang menjaga alam. Diantara ayat-ayat tersebut adalah : QS al-Ra’d ayat 17, QS Saba’ ayat 10 – 11, QS. Hud ayat 61 dan QS. Al-Rum ayat 9.[3]
Demikian juga dalam banyak hadis Rasulullah, dikutip penghargaan tinggi
terhadap umat yang berpartisipasi memakmurkan alam. [4]
Pergeseran pemahaman akan materi,
dari awalnya bersifat apa adanya menjadi
berorientasi penumpukan materi (materialism)
dan kesenangan (hedonism) ikut
mempengaruhi cara berpikir perempuan terhadap alam. Materialisme dan hedonism
dengan dahsyatnya menyentuh perempuan-perempuan yang hidup di pedesaan
sekalipun. Kehidupan mereka di
lingkungan yang lebih alami dan semestinya lebih sehat, tidak disyukuri sebagai
kelebihan. Banyak perempuan menganggap kehidupan di desa atau pinggiran kota
sebagai kehidupan yang kuno, miskin, kumuh dan keras sehingga berusaha untuk
meninggalkannya. Jika mereka tidak bisa melakukannya untuk diri sendiri, mereka
terus berusaha membuat anak-anak mereka pergi ke kota dan tidak mengikuti
kehidupan mereka di desa.
Tak heran bila banyak perempuan
desa yang tidak bersekolah, menginginkan anak-anaknya untuk meninggalkan
desa, bekerja atau mengejar pendidikan
di kota, agar tak lagi mengecap hidup sederhana dan harmonis dengan alam.
Sebaliknya juga demikian bagi mereka yang telah lama hidup di kota, terasa
berat untuk kembali ke kesederhanaan desa meskipun menjanjikan lingkungan yang
lebih harmonis dengan alam. Hanya
sedikit orang yang bisa menghargai atau lebih memilih hidup di lingkungan
pedesaan, seperti yang pernah diungkapkan oleh
Horace dalam puisinya.[5]
Dahsyatnya kecanduan manusia modern
untuk menumpuk materi bahkan tidak dapat dijelaskan dengan baik oleh teori The
Hierachy of Need-nya Abraham Maslow. Masyarakat pemburu dan pengumpul yang
hidup di masa lalu tidak membutuhkan waktu banyak untuk mendapatkan makanan
bagi kelompoknya. Waktu luang dapat mereka gunakan untuk saling berkunjung,
bernyanyi, bertukar informasi dan membuat barang-barang seni. Hal ini jauh
berbeda dengan manusia modern yang kebutuhan dasarnya telah terpenuhi namun
masih tidak puas dan mencari materi berlebih. Mereka terhambat untuk memasuki level
berikutnya dalam hirarki yang disusun Maslow tersebut (Bell, 1957).[6]
Tabel 1: Hirarki Kebutuhan
Maslow
"higher needs” (ideal needs)
|
|
|
Aesthetic
|
|
Knowledge and understanding
|
'Basic needs”
|
Self Actualism Esteem
|
Belongingness and Love
|
|
Safety
|
|
Psychological
|
|
"Lower needs” (material needs)
|
Sumber:
An Invitation to Environmental Sociology (hal 40)
Perempuan dari kelompok Leisure Class ikut menyumbang
kepada perusakan lingkungan dengan gaya hidupnya yang conspicuous waste (mengkonsumsi banyak benda, lalu membuangnya tanpa
upaya untuk menggunakan atau memperbaikinya kembali). Pola hidup leisure class yang super konsumtif; mobil mahal, rumah
mewah, liburan berkelas, digambarkan oleh Torstein Veblen dalam Bell (1998)
sebagai “mendemonstrasikan kekuasaan lewat kekayaan yang dimiliki yang diyakini
merupakan indikator pasti tentang kekuasaan di alam modern”
Untuk kondisi di Indonesia,
keengganan untuk kembali ke kehidupan yang natural atau alam pedesaan,
disebabkan oleh minimnya fasilitas umum terutama instruktur jalan menuju wilayah
tersebut. Ini merupakan dampak negatif
dari pembangunan yang tidak merata. Tapi keengganan tersebut juga dimungkinkan
oleh terbentuknya imej bahwa pedesaan identik dengan tempat bermukimnya
orang-orang yang kalah, yang (sebagian) hidup miskin, kumuh dan malas. Mereka
mengenyampingkan nilai lebih pedesaan yang alamnya bersih dan
relatif sedikit tercemar.[7]
Tanpa menafikan perempuan pejuang
lingkungan yag diantaranya telah mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah[8],
Indonesia membutuhkan lebih banyak perempuan lagi untuk meningkatkan kesadaran
lingkungan dan bersama-sama berjuang memperbaiki lingkungan. Meningkatkan akses
perempuan memperoleh pendidikan dan mengambil keputusan adalah langkah yang
harus terus didorong.
Perempuan memiliki peluang lebih
besar untuk menularkan spirit cinta lingkungan karena sebagian besar dipercaya masih menyimpan
kearifan lokal dari nenek moyangnya dan juga karena perannya sebagai ibu
sehingga dapat mendidik anak-anaknya untuk menghargai lingkungan (www.kla.or.id)[9]
Kegagalan perempuan sebagai ibu dari alam, sebagian disebabkan oleh keacuhannya
sendiri, perubahan gaya hidup menjadi lebih konsumtif dan materialistis, dan juga
terbentuk oleh diskriminasi masyarakat dan negara yang terpeliharan demikian
lama. (***)
DAFTAR
BACAAN
Bell, M.M. 1998. An Invitation to Environmental Sociology. California: Pine Forge Press
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak. 2011. Kertas Kebijakan 1
Pengarusutamaan Gender. Jakarta: Kemen PPPA.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2011. Fatwa MUI tentang Pertambangan Ramah Lingkungan. Jakarta: Kemen LH.
Khotimah,
K. 2009. Diskriminasi
Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan. Jurnal Studi Gender dan Anak, vol.4 (1), Jan-Jun 2009.
Sepuluh Prinsip Bijak Perempuan Selamatkan Bumi, www.kla.or.id, diakses tanggal 11 Desember
2013.
[2] Di tengah
dominasi laki-laki sebagai pemimpin di bidang pemerintahan, bisnis dan gerakan
sosial, sejumlah perempuan muncul menjadi pemimpin gerakan perubahan
lingkungan. Mereka antara lain: Rachel Carson yang menulis buku terkenal Silent
Spring (AS), Petra Kelly (Jerman), Vandana Shiva (India) dan Gro Bruntland
(Norwegia)- mantan PM dan penyuara konsep Sustainable Development.--An
Invitation to Environmental Sociology (hal
166)
[3] “Dan apakah mereka tidak
mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang
diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat
dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya
lebih banyak dari apa yang telah mereka
makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim
kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.”
(QS. Al-Rum ayat 9)
[4]
Dari Jabir ibn Abdillah ra ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidaklah seorang muslim menanam satu buah
pohon kemudian dari pohon tersebut (buahnya) dimakan oleh binatang buas atau
burung atau yang lainnya kecuali ia memperoleh pahala (HR. Muslim).
[6] Teori Maslow tidak dapat menjelaskan mengapa kita
mengonsumsi lebih banyak barang dari apa yang kita butuhkan. Seharusnya tidak
ada orang yang mengonsumsi berlebihan menurut teori Hierarchy of Needs. Jika
kebutuhan terendah telah terpenuhi, orang kaya dan mereka yang telah makan
cukup seharusnya dapat menyusun simponi, menulis puisi atau bekerja sebagai
volunter --Bell dalam An Invitation to Environmental Sociology (hal 40)
[7]
Michael M. Bell merujuk pada sebuah essay tahun
1972 yang ditulis seorang sociologist Inggris Raymond William. Raymon
mengungkapkan, manusia cenderung melihat sebuah lingkungan melalui kategori sosial
yang dibentuk oleh ketertarikan manusia. Imej kita terhadap sebuah lingkungan
dibentuk oleh seleksi dan refleksi sosial. Kita cenderung memilih fitur tertentu
dari sebuah lingkungan yang kita yakini/kehendaki dan mengabaikan fitur-fitur
lain yang tidak sesuai dengan kepentingan atau ketertarikan kita. Dunia
membentuk imej dengan cara seperti ini -- An Invitation to Environmental
Sociology (hal 213)
[8] Perempuan peraih penghargaan kalpataru kategori perintis lingkungan diantaranya: Wayan Sutiari Mastoer (2006),
Theresia Mia Tobi (2008), Sriyatun Djupri (2008), dan Nyi Eroh (1988) yang juga
meraih penghargaan lingkungan dari PBB pada tahun 1989.
[9] Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak telah mencanangkan program sosialisasi “10 Prinsip Bijak Perempuan untuk
Menyelamatkan Bumi” yang mencakup (1) bijak terhadap tanah; (2) tingkatkan
kualitas hidup; (3) budayakan prinsip 3R (Reduce,Reuse, Recycle); (4) hemat energi; (5) hemat air;
(6) transportasi yang efisien; (7) tanam pohon; (8) kelola sampah menjadi
berkah dan bermanfaat; (9) hindari tas plastik dan (10) hindari pemakaian bahan
kimia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar