Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

10 November 2010

BERHAJI DENGAN AIR MATA TERTUMPAH

Ibadah haji yang saya laksanakan tahun 2009 lalu merupakan pengalaman spritual yang amat mengesankan dan banyak menumpahkan air mata. Selain rindu menjadi tamu Allah, saya baru saja kehilangan ibu yang sangat saya cintai. Perasaan haru biru saya makin pekat karena suami yang saya harapkan mau ikut berhaji, mengatakan dirinya belum siap.

Namun suami mengizinkan saya untuk berangkat haji dengan bergabung ke salah satu KBIH yang ada di Kota Jambi. Selama persiapan keberangkatan dan manasik, perasaan saya masih enteng-enteng saja. Saya yakin dengan pengalaman selama ini, sering bertugas di luar kota dan luar negeri, pergi berhaji sendiri tidak akan lebih sulit. Apalagi di grup saya ternyata banyak perempuan yang pergi sendiri karena suaminya sudah meninggal atau memiliki alasan yang sama dengan saya. Tekad saya pun makin kuat. Saya harus berangkat untuk memenuhi panggilan Allah, juga untuk mengobati hati saya yang duka, mendoakan ibu agar hidupnya lebih lapang di alam sana dan suami mendapat hidayah.

Keinginan untuk menangis mulai muncul ketika saya sudah dilepas ke dalam pagar asrama haji dan gema Labaik allahumma labaik terdengar. Dengan susah payah saya menyembunyikan air mata. Di sekitar saya jemaah lain berada dalam kondisi hati yang riang gembira. Kok saya malah menangis?

Dalam pesawat yang membawa rombongan ke Medinah, saya menangis diam-diam. Saya terkenang ibu yang meninggal akibat sakit serosis hati yang tidak terdeteksi sebelumnya. Saya menyesali kelalaian sebagai anak, mengapa saya tidak sensitif terhadap penderitaan ibu? Sambil membaca Al-Quran, saya menyeka air mata yang membanjiri pipi. Kehilangan suami mulai terasa, seandainya dia ada di samping saya tentu kami dapat berbagi kesedihan ini.

Perasaan saya kembali campur aduk ketika mendarat di Medinah. Begitu rombongan diizinkan keluar dengan tertib, saya langsung menghambur ke tanah, menangis dan bersujud syukur. Allahuakbar, akhirnya saya dapat menginjak tanah dan menghirup udara kota nabi Islam ini.

Pada shalat subuh pertama di masjid Nabawi, saya kembali terisak-isak bersama jemaah lain mengikuti imam yang membaca ayat Al-Quran dengan syahdu dan suara bergetar. Tiada hari tanpa air mata. Saya menangis di mana-mana, ketika membaca Al-Quran sambil bersandar ke tonggak masjid, ketika shalat dan berdoa di Raudhah, waktu memasuki masjidil haram dan melihat Kabah untuk pertama kali, saat wukuf dan puluhan tempat lain di kedua kota suci tersebut.

Sekarang saya memahami, ternyata air mata tersebut telah membuat ibadah saya makin khusu’. Perasaan terharu dan lembut itu lah yang membedakan kekhusu’an ibadah saya di tanah suci dengan di tanah air. Di Jambi saya jarang menangis, saya harus tegar karena urusan sehari-hari dan pekerjaan yang menuntut hal tersebut.

Karena tidak didampingi suami, selama di Mekah dan Medinah saya dinasehati untuk tidak pernah keluar maktab sendirian. Alhamdulillah, saya dipertemukan dengan beberapa orang teman setia dan baik hati.

Meski tidak didamping suami, ibadah saya lancar dan aman hingga kembali ke tanah air. Resepnya adalah menyerahkan diri kepada Allah, selalu hati-hati dan mengurangi kegiatan keluar maktab yang tidak berhubungan dengan ibadah haji. Ibadah lain yang saya percaya banyak menolong saya selama di sana adalah memperbanyak shalat sunat taubah dan bersedeqah.

Sebelum meninggalkan maktab, atau setiap kali perasaan saya terganggu karena interaksi tak menyenangkan dengan jemaah lain, saya segera berwuduk dan shalat sunat taubah. Saya juga menyediakan duit kecil 1 atau 2 riyal untuk diselipkan ke tangan para petugas kebersihan masjid. Saya mendengar mereka menerima gaji sederhana sehingga patut untuk dibantu.

Alhamdulillah, Allah menolong saya melalui orang-orang yang berbaik hati memudahkan urusan saya. Suatu kali, ketika antri untuk mengambil air zam-zam, seorang wanita berparas Arab meminta tabung air saya dan mengisinya dengan air zam-zam sehingga saya bisa segera keluar dari antrian. Saya juga bisa menerobos Hijr Ismail, shalat dan berdoa. Ketika kesulitan keluar dari Hijr Ismail karena desakan arus manusia yang ingin masuk, saya dituntun oleh seorang Turki dan dibawa ke pinggiran kabah yang agak lengang.

Kebahagian lain yang saya peroleh adalah suami saya akhirnya berangkat haji tahun ini. Allah membukakan hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar