Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

3 November 2010

INTEGRASI SAWIT - SAPI DI PROVINSI JAMBI; Mengapa Belum Dilirik?


Program Integrasi Perkebunan dengan Peternakan yang digagas Departemen Pertanian RI sejak tahun 2007, yang diaplikasikan di Provinsi Jambi melalui kegiatan integrasi tanaman sawit dengan ternak sapi terkesan berjalan lamban. Empat tahun sudah usia program ini, gaungnya cukup nyaring di telinga para pejabat pemerintah dan pengusaha sawit namun di lapangan perkembangannya masih jauh dari harapan.


Pernyataan di atas bukannya tanpa alasan. Beberapa fakta dapat dikemukakan pada tulisan ini. Populasi sapi di wilayah pengembangan kebun sawit belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Di Kabupaten Muaro Jambi yang memiliki kebun sawit terluas di Provinsi Jambi yaitu sekitar 127.614 Ha pada tahun 2008, populasi sapinya sekitar 14.743 ekor dan pada tahun 2009 naik sedikit menjadi 16.354 ekor. Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan luas kebun sawit 84.598 Ha, populasi sapinya 8.726 ekor, dan pada tahun 2009 meningkat sedikit menjadi 11.075 ekor.


Jika 1 hektar kebun sawit dapat menampung 3 ekor sapi, maka di kedua kabupaten itu saja, berpotensi diternakkan sedikitnya 642.636 ekor sapi. Namun sayang potensi tersebut belum digarap serius. Seandainya integrasi sawit-sapi ini telah berjalan dengan baik dan sepertiga saja dari lahan sawit tersebut diintegrasikan dengan ternak sapi, sudah lama Provinsi Jambi berswasembada daging sapi. Menurut Road Map Percepatan Swasembada Daging Sapi di Provinsi Jambi yang disusun Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi, untuk mencapai level swasembada tersebut hanya dibutuhkan sekitar 198.000 ekor sapi.


Demikian juga animo perusahaan swasta perkebunan untuk berpartisipasi masih rendah. Dari data tahun 2009, di Provinsi Jambi terdapat 39 perusahaan perkebunan sawit dengan pola kemitraan dan 12 perusahaan perkebunan sawit dengan pola PIR trans. Namun dari jumlah tersebut, perusahaan yang menerapkan integrasi sawit-sapi hanya segelintir; PT. Asian Agri, PT. Kirana Sekernan dan beberapa perusahaan lainnya.


Bagi masyarakat pekebun sawit, konsep program integrasi sawit-sapi ini mungkin belum dipahami secara benar. Hal ini terlihat dari sedikitnya lokasi baru peternakan sapi di kebun sawit milik masyarakat padahal terdapat sekitar 168.053 petani sawit di Provinsi Jambi (Jambi Dalam Angka, 2008). Jika dikatakan mereka tidak mampu membeli bakalan sapi, rasanya kurang tepat karena petani sawit termasuk kategori petani yang cukup mampu atau petani dengan penghasilan lumayan.


Menurut Owin Jamasy dalam bukunya Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan (2004), terdapat 12 prinsip pemberdayaan masyarakat yang harus dituangkan kedalam aksi program sebagai syarat keberhasilan program tersebut. Bila pendapat Owin Jamasy tersebut dipakai untuk mengevaluasi pelaksanaan program integrasi sawit-sapi, ternyata terdapat beberapa poin penting yang terlupakan dan patut diduga sebagai penyebab mengapa penerimaan masyarakat terhadap program integrasi sawit-sapi tidak seperti yang diharapkan.


Pertama; tidak jelasnya tahapan kegiatan dan belum tergalinya potensi lokal untuk mendukung kesuksesan program integrasi ini. Pada awal program ini diluncurkan, tim seleksi calon penggaduh dan calon lokasi (cp/cl) turun ke lapangan tanpa menjelaskan konsep program ini secara utuh. Kelompok tani terpilih kemudian disodori sejumlah dana untuk membeli sapi dan kebutuhan beternak lainnya. Masyarakat tidak diperkenalkan dengan konsep integrasi semisal Low External Input Agriculture System (LEIAS) dimana hasil samping limbah perkebunan dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, dan tenaga sapi dipakai untuk pengangkutan TBS, serta pupuk kandang digunakan sebagai pupuk sawit. Jika konsep ini tidak sesuai dengan karakter petani atau lokasi, konsep integrasi yang mengakomodasi kepentingan/potensi lokal harus disusun kembali (re-format) dan didiskusikan dengan masyarakat, sehingga pada pelaksanaannya masyarakat telah cukup familiar dan terlibat seutuhnya dengan kegiatan tersebut.


Kedua; kurangnya kemampuan petugas dalam hal problem solving, menumbuhkan dan memasarkan inovasi, asistensi, fasilitas, promosi dan social marketing. Hal ini wajar saja terjadi karena model pengembangan integrasi tersebut juga belum dipahami oleh semua petugas sehingga ketika masalah muncul, mereka tidak tahu solusinya.


Ketiga; kurangnya partisipasi aktif dari stakeholders di lapangan. Dalam beberapa kali kunjungan ke lokasi integrasi sawit-sapi di Desa Lampisi Kabupaten Tanjung Jabung Barat, terlihat bahwa tidak semua anggota kelompok terlibat dalam program tersebut. Hal ini disebabkan tidak semua anggota kelompok memperoleh bantuan sapi dari pemerintah. Mereka harus menunggu perguliran sapi dari anggota yang telah terlebih dulu memperoleh bantuan, namun melihat kondisi perkembangan sapi yang lambat, butuh waktu cukup lama agar mereka dapat sapi guliran. Anggota kelompok tersebut ternyata tidak termotivasi untuk membeli sapi bakalan dengan modal sendiri walaupun mereka cukup mampu secara finansial.


Keempat; belum adanya metode pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan. Banyak masalah yang berkembang namun kurang memperoleh respon dari dinas terkait. Jadwal kunjungan petugas atau penyuluh pun tidak teratur.


Berdasarkan gambaran tersebut, maka wajar saja banyak perusahaan perkebunan sawit swasta belum tertarik mengintegrasikan kebun sawitnya dengan sapi karena percontohan integrasi sawit-sapi di beberapa lokasi di Provinsi Jambi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, selain faktor sosialisasi dan promosi yang masih sangat kurang dari pihak terkait. (Ir. Asnelly Ridha Daulay, M. Nat Res Ecs/Kandidat Peneliti pada Balitbangda Provinsi Jambi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar