Jika saat ini ada yang bertanya, siapakah tokoh wanita yang paling menarik hati saya? Dengan mantap saya akan menjawab; Elizabeth Bennet. Tokoh rekaan Jane Austin dalam novelnya “Pride and Prejudice” tersebut berhasil memenangkan hati saya karena kekukuhan hatinya dalam mempertahankan prinsip hidup. Cinta yang benar adalah cinta yang dibangun atas dasar penghormatan. Elizabeth atau Lizzy tidak dapat mentolerir siapapun atau pandangan apapun yang meremehkan dirinya, apalagi jika itu dikaitkan dengan keperempuanan dirinya atau status keluarganya.
Inilah yang nampak di Indonesia pada abad 21 ini. Perempuanlah yang paling banyak menderita karena kemiskinan keluarganya. Jutaan perempuan di Indonesia yang hidup tanpa harta, tanpa koneksi, ternyata juga tidak mendapat perlindungan dari laki-laki yang menjadi suami atau saudara laki-lakinya. Mereka terpaksa bekerja di sektor non formal dengan gaji rendah, resiko tinggi dan mengabaikan martabat mereka. Indonesia memiliki norma dan ide yang bagus tentang status perempuan namun gagal menjadikannya realita.
Kisah tragis yang dialami Sumiyati, tenaga kerja wanita (TKW) kita yang disiksa di Arab Saudi mengingatkan saya bahwa institusi negara belum dapat memberi kesetaraan, kesejahteraan dan perlindungan untuk perempuan. Demikian juga di sektor formal khususnya di jajaran pemerintahan, perempuan yang memiliki pendidikan yang baik dan kecakapan dalam bekerja masih sulit mencapai posisi puncak karena dilemahkan oleh faktor ‘keperempuanannya’. Perempuan harus dua kali lebih baik dari koleganya yang laki-laki agar dapat menduduki posisi strategis.
Saya menjadi bertanya-tanya, masih relevankah rangkaian kata muluk dan acap kali didengungkan bahwa agama dan budaya timur menghormati kaum perempuan? Perempuan yang manakah yang memperoleh kehormatan tersebut? Perempuan kelas atas atau tertentu sajakah? Berapa persenkah jumlah mereka dari seluruh perempuan yang ada di negeri ini? Bagaimana dengan perempuan yang tidak beruntung karena dilahirkan dari keluarga miskin?
Dalam kasus tenaga kerja wanita yang dikirim ke luar negeri yang jumlahnya pada tahun 2010 mencapai 465.485 orang atau naik 37,314 persen dari angka tahun lalu, hasil kerja keras mereka belum tentu dapat menjadi jaminan bahwa mereka akan lebih dihormati di tengah masyarakat atau keluarganya. Banyak diantara mereka, ketika pulang ke tanah air menemukan bahwa uang yang mereka kirim ternyata disalahkelola oleh suami atau saudara laki-laki mereka. Mereka belum dapat hidup tenang atau pensiun menjadi TKW, sebaliknya mereka dipaksa atau terpaksa kembali bekerja agar anggota keluarganya dapat hidup layak lebih lama. Sebuah pengorbanan yang harusnya memperoleh penghormatan yang pantas.
Sudah saatnya kita berhenti memuja diri sendiri dengan mengatakan bahwa perempuan di Indonesia memperoleh tempat terhormat. Sudah saatnya pula perempuan Indonesia berhenti bermimpi bahwa mereka dapat mengandalkan para laki-laki untuk melindungi mereka. Tanpa pendidikan, tanpa prinsip hidup yang diperjuangkan dengan ketat dan sungguh-sungguh, tak akan ada penghormatan dari masyarakat dan laki-laki. Dan cinta yang dibangun tidak atas dasar penghormatan tersebut, akan segera lapuk dimakan waktu dan kecantikan yang memudar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar