Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

15 Desember 2010

Siapkah Jambi Memasuki Era Pembangunan Hijau?


PERNYATAAN Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, MM bahwa jajaran Pemerintah Provinsi Jambi siap menerapkan green economy concept atau pembangunan hijau ditanggapi beragam oleh sejumlah kalangan. Komitmen yang diungkapkan pada pertemuan dengan Tim Komisi VII DPR RI November 2010 lalu menjadi menarik untuk dibahas mengingat sejarah pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan di Provinsi Jambi cukup memprihatinkan. Sejumlah media massa pun memberi judul tebal di media mereka terhadap statemen Gubernur Jambi ini

Apa yang mendorong sang Gubernur yang baru dilantik pada tanggal 3 Agustus 2010 mengungkapkan hal tersebut? Apakah karena sebelumnya, Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pernah mengungkapkan hal serupa pada Global Ministerial Environment Forum di Bali pada bulan Februari 2010? Pada kesempatan tersebut Presiden menyatakan akan mengadopsi sejumlah strategi pembangunan hijau yang pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja dan pro-rakyat miskin.

Keraguan banyak pihak terhadap keseriusan para pemimpin daerah (Bupati, Walikota hingga Gubernur) di Provinsi Jambi untuk melaksanakan konsep pembangunan hijau cukup beralasan mengingat catatan suram yang ditorehkan para pemimpin pemerintahan di negeri sembilan lurah sepucuk Jambi ini. Selama puluhan tahun ekonomi Jambi ditopang oleh eksplorasi dan eksploitasi kekayaan hutan dan pertambangan. Bahkan pada periode sebelum tahun 2000, subsektor kehutanan menjadi primadona penghasil PAD Provinsi Jambi.

Pasca keluarnya beragam peraturan yang melindungi hutan dan segenap isinya, ekonomi Jambi beralih ke subsektor perkebunan dan sektor pertambangan. Sejak lima tahun terakhir keduanya menjadi penyumbang PDRB utama.

Selain kalangan yang ragu akan komitmen tersebut, ada juga pihak yang gembira dan optimis dengan perubahan paradigma pembangunan yang dulunya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi (proGrowth) namun sekarang harus lebih memperhatikan keseimbangan alam (proGreen). Apalagi dalam visi Provinsi Jambi tahun 2011-2015 yakni Jambi EMAS (Ekonomi Maju, Aman, Adil dan Sejahtera) telah ditetapkan lima prioritas pembangunan Provinsi Jambi lima tahun ke depan yaitu (1) Peningkatan Infrastruktur Wilayah dan Energi, (2) Pendidikan dan Kesehatan serta Sosial Budaya, (3) Pengembangan Ekonomi Rakyat, Investasi dan Kepariwisataan, (4) Ketahanan Pangan dan Sumber daya Alam serta Lingkungan Hidup, dan (5) Pelaksanaan Tata Pemerintahan yang baik. Tersirat cukup jelas bahwa green economy telah menjadi perhatian pemerintah provinsi.

Konsekuensi pengadopsian konsep pembangunan hijau kini berada di depan mata. Jika konsep ini diterapkan maka pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara selektif dan bijaksana. Siapkah pemimpin Jambi melaksanakan hal ini sementara tuntutan masyarakat untuk hidup layak dan terbebas dari kemiskinan semakin nyaring terdengar  serta target pertumbuhan ekonomi tahun 2011 yang dipatok cukup tinggi yakni 7,80 persen? Bukankah untuk memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan modal yang sangat besar?

Seperti apakah tantangan yang akan dihadapi Provinsi Jambi dalam menerapkan konsep pembangunan hijau ini, barangkali dapat tergambar dari permasalahan pembangunan dan lingkungan hidup yang saat ini dihadapinya.

Hutan dan Perkebunan

Pengelolaan hutan di Jambi paling banyak menuai kritik. Berdasarkan analisis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), hutan di Jambi mengalami penyusutan sekitar 99.000 hektar per tahun disebabkan oleh konversi, pembalakan liar maupun kerusakan hutan akibat alam. Jika pada tahun 1990-an luas hutan Jambi mencapai luas 2,2 juta hektar, saat ini diperkirakan hanya tersisa 500.000 hektar, dan sebagian telah mengalami kerusakan parah.

Meningkatnya jumlah kebun sawit secara drastis dituding sebagai penyebab utama hancurnya hutan di Jambi. Sebenarnya bukan hanya hutan yang dikonversi, lahan gambut dan lahan sawah pun beralih fungsi menjadi kebun sawit. Tanaman keras asal Amerika Latin ini juga dianggap tidak ramah lingkungan karena rakus pupuk kimia dan air, merusak struktur tanah serta menyebabkan kehilangan keragaman hayati (biodiversity). Pada tahun 2002, luas kebun sawit di Provinsi Jambi 155.857 hektar, meningkat tajam menjadi 493.737 hektar pada tahun 2009.

Ironisnya, Pemerintah Provinsi Jambi justru menjadikan komoditi sawit sebagai program unggulan daerah yang memperoleh pendanaan besar lewat APBD Provinsi Jambi. Bahkan Gubernur Zulkifli Nurdin (periode 1999 - 2009) yang berlatar belakang pengusaha ini mencanangkan program 1 juta hektar kebun sawit. Sangat disyukuri program tersebut tidak berlanjut karena ditentang banyak pihak. Kalau tidak, entah bagaimana wajah Jambi saat ini.

Namun sawit terlanjur menimbulkan konflik.  Fluktuasi harga CPO menyebabkan kerugian besar bagi para petani. Pada Desember 2008, harga TBS mencapai titik terendah berkisar Rp300 sampai Rp400 per kilo-nya. Sebelumnya harga TBS kelapa sawit mencapai Rp1.900 sampai Rp2.100, bahkan pernah sampai Rp3.000 per kg-nya. Hal ini menyebabkan banyak petani terlilit hutang, stress hingga masuk rumah sakit jiwa. Keadaan makin buruk karena para pengusaha sawit ikut menekan harga sehingga hal ini memaksa Gubernur Jambi melakukan intervensi. Ditetapkanlah harga terendah TBS Rp892 per kg pada medio Desember 2008 tersebut.

Meskipun manfaat ekonomi dari booming sawit cukup dirasakan masyarakat bahkan memunculkan sejumlah orang kaya baru, namun keuntungan ini kurang dinikmati masyarakat kecil. Pemilik kebun baru tersebut umumnya adalah pengusaha besar dan orang kaya perkotaan sementara masyarakat kecil hanya menjadi buruh perkebunan. Faktor kecemburuan sosial, sengketa lahan, perjanjian inti-plasma yang tidak memuaskan telah mendorong terjadinya konflik antara perusahaan atau pemilik kebun sawit dengan masyarakat.



Tabel 1.  Kerusuhan Massa akibat ekspansi sawit di Provinsi Jambi 1998 – 2007
No
Tahun
Lokasi
Keterangan
1.
1 November 1998
Tungkal Ulu Kab. Tanjab
Pembakaran PT. DAS. Akibat pembakaran, 1 petani dijadikan tersangka.
2.
2 April 1999
Tanah Tumbuh Kab. Bute
Pembakaran PT. TEBORA
3.
3 September 1999

Empang Benao Kab. Bangko
Pembakaran PT. KDA. 13 orang dijadikan tersangka dengan pasal 170, 363, dan 218 KUHP
4.
4 Januari 2000

Tanah Tumbuh Kab. Bute
Pembakaran PT. Jamika Raya. 13 orang tersangka dengan pasal berlapis: pasal 170, 187, 406,412,164 KUHP
5.
7 September 2002

Bungo
Pengrusakan PTPN VI. 18 Orang dijadikan tersangka dengan tuduhan pasal 170 KUHP
6.
10 Desember 2006

Singkut Kab. Sarolangun
Pembakaran PT. DIPP. 27 orang dijadikan tersangka dengan 5 berkas terpisah.
7.
11 Desember 2007

Lbk Madrasah Kab. Tebo
Pembakaran alat-alat berat di PT. WKS. 9 orang dijadikan tersangka dengan 2 berkas terpisah.

Sumber: Walhi Jambi, 16/11/2008

Sejatinya Pemerintah Provinsi Jambi memiliki program pertanian unggulan lainnya seperti replanting karet, perikanan dan peternakan. Program ini pun lebih dapat diterima karena ramah lingkungan dan pro rakyat miskin namun pelaksanaannya kurang sukses.  Replanting karet yang bertujuan untuk mengganti tanaman karet rakyat yang sudah tua dan tidak produktif, gagal mencapai target. Penambahan luas kebun karet dari tahun 2006 hingga 2010  yang ditargetkan 130 ribu hektar ternyata hanya tercapai 21 ribu hektar.

Program budidaya ikan patin juga gagal total karena tak didukung studi kelayakan usaha dan pemasaran yang memadai. Sementara itu program peternakan berupa penyebaran sapi bibit kurang berhasil karena sulitnya mendapatkan bibit sapi unggul, proses seleksi penggaduh dan penyebaran ternak yang kurang tepat hingga produktivitas ternak yang rendah.

Patut untuk menjadi renungan dan kajian, mengapa program kerja pemerintah daerah yang jelas-jelas hijau (green), pro-rakyat miskin dan pro-lapangan kerja ternyata kurang/tidak berhasil dalam pelaksanaannya.

Pertambangan

Eksploitasi kekayaan tambang di Jambi semakin marak sejak lima tahun terakhir. Izin begitu mudah diberikan. Di Kabupaten Batanghari, banyaknya izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan Pemkab Batanghari melalui Badan Pelayanan Terpada Satu Pintu (BTPSP) dipertanyakan anggota Dewan karena dari 100 izin yang dikeluarkan, hanya dua perusahaan yang melakukan produksi.

Lain lagi cerita di Kabupaten Bungo. Dampak kerusakan lingkungan akibat eksplorasi batubara seperti terjadi di Desa Leban, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo mendorong Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Jambi untuk turun ke lapangan.

Kerusakan lingkungan akibat pertambangan umumnya disebabkan penggunaan bahan kimia yang berlebihan dan lahan bekas galian yang ditelantarkan. Kesepakatan antara perusahaan pengeksplorasi tambang dengan pemerintah kabupaten bahwa perusahaan tidak boleh menggunakan bahan kimia dan berkewajiban mereklamasi bekas galian, diabaikan begitu saja. Banyak sekali penggunaan bahan kimia yang dilaporkan oleh masyarakat serta bekas penggalian yang tidak dibuat menjadi kolam ikan atau danau untuk lokasi rekreasi air.

Selain penambangan oleh perusahaan,  penambangan emas liar oleh masyarakat atau Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) terjadi di 4 kabupaten yatu Bungo, Tebo, Merangin dan Sarolangun. Kegiatan ini meresahkan karena mengakibatkan air sungai menjadi tercemar sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Beberapa desa menjadi kesulitan air bersih.

Masalah lingkungan di bidang pertambangan muncul karena pengeluaran izin oleh kabupaten dan kota kurang selektif, sementara kewenangan Bapedalda Provinsi Jambi dalam melaksanakan pengawasan terbatas. Fungsi Bapedalda Provinsi Jambi hanya sebagai koordinator dan memberikan pembinaan sedangkan pengawasan langsung terhadap aktivitas perusahaan terkait pelestarian lingkungan itu merupakan wewenang pemerintah kabupaten. Sejak pemberlakukan otonomi daerah, pihak kabupaten seakan berjalan sendiri dan kurang berkoordinasi dengan Bapedalda Provinsi Jambi.

Pemerintah Provinsi Jambi maupun pemerintah kabupaten terkait sebenarnya telah melaksanakan beberapa langkah seperti penyuluhan/sosialisasi hukum mengenai dampak dari kegiatan PETI yang dilakukan oleh Tim Terpadu Pemerintah Propinsi Jambi yang terdiri dari Bapedalda Propinsi Jambi, Dinas Pertambangan Propinsi Jambi, Kejaksaan Tinggi Jambi dan Biro Hukum Setda Propinsi Jambi kepada para camat, para lurah, kepala desa dan ketua LKMD, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh pemuda serta LSM serta penegakan hukum bagi para pelaku dengan menerapkan sanksi pidana sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun  1967 pasal 31 ayat (1) namun hal ini belum efektif. 

Upaya menertibkan PETI kelihatannya tidak akan berhasil sebelum pemerintah mampu menyediakan atau mengalihkan ekonomi masyarakat ke sektor lain yang lebih menarik. Sedangkan untuk perusahan pertambangan nakal, belum terlihat adanya tindakan hukum yang tegas terhadap mereka.

Hutan dan pertambangan hanyalah sekelumit permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi. Masih terdapat masalah lain seperti menurunnya kualitas air sungai Batanghari, hutan bakau di pantai timur Jambi yang terancam punah atau perlindungan plasma nutfah lokal yang menunggu perhatian Pemerintah Provinsi Jambi.



Tantangan dan Peluang

Harus diakui bahwa tantangan yang dihadapi Pemerintah Provinsi Jambi untuk melaksanakan konsep pembangunan hijau sangat berat karena selama ini para birokrat dan masyarakat terbiasa dimanjakan oleh kekayaan alam Jambi yang berlimpah dan mengabaikan pelestarian alam. Merubah attitude (mental dan prilaku) bukanlah pekerjaan gampang.

Apalagi jika pemberian izin eksploitasi kekayaan alam terhadap perusahaan tertentu merupakan bagian dari balas jasa atas dukungan dana perusahaan tersebut kepada kepala daerah saat pencalonannya dulu. Persoalannya pun menjadi tidak sederhana. Namun selalu ada solusi. Selama eksploitasi tersebut masih dalam batas-batas yang wajar dan ada upaya meminimalkan efeknya terhadap lingkungan, penggunaaan sumber daya alam boleh-boleh saja. Saat ini Jambi belum mampu mengikuti paham dark conservasionist yang menolak dengan total seluruh bentuk eksploitasi alam, mengingat sumber daya alam tersebut masih merupakan salah satu modal utama untuk keluar dari belitan kemiskinan.

Lalu bagaimana caranya menciptakan program kerja pembangunan daerah yang pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja dan pro-rakyat miskin agar tidak gagal seperti yang diuraikan di atas?

Pemerintah daerah harus mengefektifkan mekanisme penjaringan usulan pembangunan yang telah diatur dalam UU No. 25/2004 yaitu forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Masyarakat lewat lembaga adat atau sosial keagamaan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengusulkan pembangunan yang dibutuhkan dan secara berjenjang disampaikan lewat forum tingkat kecamatan hingga pusat (nasional). Forum ini juga menjadi arena efektif untuk mensosialisasikan konsep pembangunan hijau kepada masyarakat dan seluruh jajaran pemerintah daerah.  

Selanjutnya Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) yang ada di provinsi dan kabupaten/ kota yang selama ini nyaris tak terdengar kiprahnya, bekerjasama dengan BAPPEDA dan dinas teknis terkait harus diberi tugas untuk menggodok pola pelaksanaan kegiatan pemerintah yang tepat sasaran.

Menumbuhkan kepedulian dan kekritisan masyarakat terhadap semua tindakan yang merusak lingkungan harus dilaksanakan secara terus menerus dan mendapat dukungan pemerintah daerah. Selama ini terkesan pemerintah daerah sangat alergi dengan unjuk rasa para aktivis lingkungan dengan alasan mereka diboncengi oleh kepentingan asing atau pihak yang tidak senang dengan perusahaan atau pejabat tertentu. Bapedalda pun perlu lebih diberdayakan, jangan hanya menunggu laporan masyarakat. Keluhan atas kewenangan terbatas yang dimiliki oleh Bapedalda patut direspon dengan merevisi peraturan terkait tugas dan fungsinya.

 Terakhir namun sangat penting adalah penegakan hukum terhadap para penjahat lingkungan ini. Sesungguhnya kejahatan mereka bukan saja terhadap masyarakat sekarang namun juga terhadap generasi masa datang. Kerusakan yang mereka ciptakan hari ini terpaksa dibayar mahal oleh generasi masa datang karena biaya pemulihan lingkungan akibat kerusakan tersebut akan menyedot 20% dari GDP Indonesia.

Jika tidak, kita patut khawatir bahwa komitmen untuk menerapkan pembangunan hijau hanyalah rangkaian kata yang manisnya di bibir saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar