NYARIS semua kota di Indonesia menghadapi fenomena meningkatnya jumlah aksi kebut-kebutan di jalan raya. Pelakunya adalah pengendara muda usia. Berlahan namun pasti komunitas pengendara bau kencur ini bertambah jumlahnya. Prilaku masyarakat luas terhadap mereka cenderung permisif dan toleran, membiarkan mereka membawa kendaraan walaupun menurut hukum hal tersebut tidak dibenarkan.
Para remaja ini dengan cukup bebas mengendarai motor/mobil mereka menuju sekolah dan berhura-hura dengan aksi balapan liar di sudut-sudut kota. Ini merupakan dampak samping dari membaiknya perekonomian Indonesia, lemahnya kontrol keluarga serta masyarakat dan menjamurnya bisnis leasing kendaraan roda dua dan roda empat sehingga hampir semua kalangan di Indonesia dapat memanfaatkan fasilitas kredit untuk memiliki kendaraan pribadi.
Di sisi lain, upaya pihak Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk melarang siswanya berkendaraan ke sekolah dianggap angin lalu. Bila tidak diizinkan parkir di halaman sekolah, mereka ‘menitipkan’ kendaraan mereka di warung atau rumah penduduk di sekitar sekolah.
Pihak polisi jalan raya nampaknya tidak berdaya menghadapi derasnya arus pengendara belia ini. Selain karena keterbatasan petugas, peringatan dan ‘kemarahan’ dari polisi pun telah kehilangan daya tekannya. Bagi anak baru gede (Abege) ini, kucing-kucingan dengan polisi terkadang menjadi sebuah petualangan yang mengasyikkan dan tergoda untuk memenangkannya. Kondisi di jalanan menjadi lebih buruk lagi karena sebagian besar remaja ini ‘cuek’ terhadap keselamatan mereka sendiri. Selain tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) karena terganjal usia sesuai UU Nomor 22 tahun 2009, mereka juga tidak peduli pada kelengkapan kendaraan mereka seperti kaca spion dan lampu serta aturan lalu lintas lainnya.
Akibatnya angka kecelakaan lalu lintas pun tinggi. Berdasarkan laporan Kepolisian RI (Polri) kasus kecelakaan lantas tahun 2009 sebanyak 57.726 kasus dan mengakibatkan 18.205 meninggal dunia. Diperkirakan sekitar 60% korban tersebut tergolong usia produktif atau masih sekolah.
Peran Jasa Raharja dalam memberikan penyuluhan tentang pentingnya menjaga keselamatan di jalan raya telah diakui dan dirasakan masyarakat. Saya ingat ketika masih kecil dulu, di banyak tikungan jalan di luar kota terlihat tugu peringatan kecelakaan lalu lintas. Di puncak tugu tersebut biasanya dipajang mobil atau motor yang ringsek akibat tumburan hebat. Etalase tersebut memberikan shock terapi yang efektif bagi generasi saya pada waktu itu.
Namun bagi anak muda sekarang, sekedar tugu peringatan atau baliho yang mengingatkan akan sebuah kecelakaan tragis mungkin belum cukup. Mereka sudah terbiasa melihat tayangan atau film aksi yang lebih sadis/mengerikan daripada itu. Masyarakat sangat bersyukur dengan terobosan yang dilakukan oleh Jasa Raharja dengan menyempurnakan tugu peringatan tersebut. Sekarang tugu tersebut tidak hanya memampangkan motor dan mobil ringsek, namun juga terdapat pos pelayanan bagi pengendara yang membutuhkan bantuan dan fasilitas alat komunikasi, komputer, TV dan AC seperti yang akan dibangun di Belopa Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan.
Penyuluhan yang dilakukan ke sekolah-sekolah juga memperkuat eksistensi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan komitmennya; utama dalam perlindungan, prima dalam pelayanan ini. Materi yang diberikan seperti UU No. 6 tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, UU nomor 34 tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dan UU lalu lintas yang baru yaitu UU no 22 tahun 2009 memang sangat dibutuhkan masyarakat terutama untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka ketika mengalami laka lantas dan peraturan yang harus mereka patuhi.
Kontribusi tersebut patut disyukuri oleh masyarakat namun Jasa Raharja tidak boleh berhenti sampai di sana mengingat ancaman berkendaraan di jalan raya belum menurun. Mengedepankan tindakan penegakan hukum terhadap anak muda kita ini nampaknya belum mampu memberikan efek jera. Perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif terhadap mereka dan para ‘guardian’ mereka (orangtua, guru sekolah atau tokoh yang mereka patroni).
Peranan orangtua dan guru dalam membimbing anak-anak mereka untuk berkendaraan dengan aman dibatasi oleh ruang dan waktu. Di rumah dan di sekolah anak-anak bisa saja menunjukkan prilaku patuh namun di luar rumah/sekolah, wallahualam. Demikian juga dengan wibawa mereka telah tergerus oleh zaman. Alangkah lebih baiknya dalam kampanye-kampanye sadar keselamatan lalu lintas, Jasa Raharja juga melibatkan tokoh panutan atau popular seperti artis, komedian, politikus atau kaum profesional, selain para orang tua dan guru tentunya.
Baru-baru ini saya mendengar tentang program pelayanan masyarakat terbaru dari Jasa Raharja berupa layanan SMS Center yang menginformasikan tentang kecelakaan dan santunan. Baik sekali bila SMS tersebut juga berisi kampanye yang mengajak pengguna jalan raya untuk lebih bertanggung jawab terhadap dirinya dan sesama. Bekerjasama dengan operator selular, Jasa Raharja memiliki peluang besar untuk merubah opini anak muda ini, membujuk mereka untuk ‘menahan diri’ bermotor ria hingga usia 17 tahun. Tentu saja butuh argumen yang convincing and touching (meyakinkan dan menyentuh) seperti kampanye NO DRUG yang banyak kita lihat di media atau tempat umum.
Kita berharap kampanye lewat SMS tersebut akan mengurangi jumlah pengemudi tak berlisensi dan ugal-ugalan ini, atau setidaknya menjadi lebih bertanggung jawab terhadap keselamatan diri mereka dan pengguna jalan lainnya. Peran Jasa Raharja sebagai pembangun kesadaran publik di bidang keselamatan berkendaraan tentu akan semakin dirasakan oleh masyarakat dengan inovasi pelayanan yang dilakukannya belakangan ini. Jasa Raharja berperan tidak hanya ketika terjadi kecelakaan, namun sedari dini telah aktif meningkatkan kenyamanan berlalu lintas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar